Pages

Friday, September 28, 2012

Menyusuri Ulos Batak, Berkelana dengan Sandra (II)

Menyusuri Ulos Batak, Berkelana dengan Sandra (II)
by Mja Nashir on Saturday, 18 September 2010 at 04:06 ·
MENUJU AWAL MULA - (Sebuah tulisan perjalanan - Bagian Kedua)

Dalam “Proyek Pulang Kampung” ini tampaknya Sandra Niessen telah menyiapkan puluhan buku  “Legacy in Cloth – Batak Textiles of Indonesia” (KITLV Press Leiden, 2009) yang ia bawa. Padahal buku tebal dan besar itu minta ampun beratnya, sekitar 3 kilogram per bukunya. Namun di dalam mobil, di bagian bagasi itu ia telah menatanya sedemikian rupa. Sebelum perjalanan ini dimulai - jauh-jauh hari waktu pertama kali aku jumpa di Medan - ia baru saja belanja membeli kotak plastik (box) yang kokoh dan ada tutupnya. Semua buku yang kini dibawa di dalam mobil itu masing-masing telah ia masukkan ke dalam box-box tersebut. Dan tiap kali ia menyerahkan buku kepada penenun atau keluarga dari orang-orang yang dulu pernah membantunya maka ia serahkan juga box itu. Semua ini demi keamanan dan keawetan buku, mengingat hampir sebagian besar wilayah Tano Batak bercuaca dingin. Barangkali orang lain melihat ini adalah hal sepele namun ini mencerminkan kejelian yang detil dari seorang Sandra Niessen. Dan dengan box yang bisa tertutup rapat itu secara tak langsung adalah usaha untuk membuka kesadaran orang tentang bagaimana merawat sesuatu dengan baik.

       Aku sempat berfikir mencetak buku setebal dan sebesar itu dengan hard cover dan tata design serta lay out yang sangat menarik seperti itu pasti ongkosnya besar sekali. Itupun hanya masih mengukur apa yang tampak mata saja, belum kita hitung dengan beberapa puluh tahun Sandra merisetnya serta menyiapkan buku itu.  Ketika buku telah tercetak pun Sandra ternyata tidak serta merta dengan mudah menyiapkan ‘Proyek Pulang Kampung’-nya. Lantaran secara hitungan penerbitan seorang penulis cuma mendapat beberapa buku saja secara free dari penerbitnya yang biasanya disebut nomor bukti buku. Kalau hitungan di Indonesia biasanya untuk nomor bukti buku, penulis cuma dapat 10 eksemplar buku dari penerbitnya.  Jadi logikanya ia pasti harus membeli buku-bukunya sendiri jika mau dibagi-bagikan secara cuma-cuma kepada penenun dan masyarakat di Tano Toba. Untunglah ada beberapa sahabat Sandra yang mau membantunya secara personal, secara tulus, untuk usaha Proyek Pulang Kampung ini. Sahabat-sahabat itulah yang membeli buku-buku itu yang kemudian untuk diserahkan ke para penenun dan masyarakat Tano Batak. Ini cara yang cerdas. Ku tak tahu persis cara seperti ini jika di Indonesia memungkinkan atau tidak.

Mengingat belum tentu seorang teman atau sahabat mau membantu sahabatnya untuk urusan-urusan yang ‘tidak lumrah’ seperti ini; urusan menyangkut kebudayaan! Membantu orang miskin dengan materi atau uang untuk meringangkan beban hidup orang miskin lebih bisa diterima akal banyak orang dari semua agama karena hampir semua orang percaya hal macam itu berbuah pahala surga. Sedangkan hal macam begini, atas nama melestarikan kebudayaan? Pendeknya siapa yang mau peduli dengan kebudayaan? Padahal kalau diihitung jumlah orang kaya di negri kita masih banyak sekali, dan di televisi-televisi bisa kita lihat milyardan uang dihamburkan untuk acara yang tak ada manfaatnya, belum di tingkat lain-lainnya dari kehidupan masyarakat dan bernegara ini. Ah, entahlah.

        Yang jelas yang kulihat di bagasi mobil kami itu penuh bertumpuk buku-buku Sandra. Tiap kali Sandra memberikan buku pada seseorang yang menurutnya berhak atas bukunya, ia selalu membubuhkan nama sahabat yang menolongnya di halaman depan. Juga pesan-pesan dari sahabat untuk para penenun penerima buku. Dari pesan-pesan itu bisa kubaca betapa mereka sangat peduli dengan kelestarian ulos Batak dan budaya Batak, agar terus berlangsung dan tidak punah. Betapa mereka semua sangat menghargai betapa luhurnya tradisi ulos, disamping keelokan estetika dan keindahannya.

        Di dalam mobil aku masih memikirkan dan merenungkan semua itu. Tak terasa mobil sudah melewati sebuah jalan yang masih saja kuingat. Sebuah jalan dan jembatan rusak yang masih dalam status perbaikan itu mengingatkanku kembali tentang 6 bulan lalu aku pernah melewati jalan ini. Tanda bahwa kami sudah dekat dengan daerah Lumban Suhi Suhi. Pemandangan jembatan dan jalan itu masih nyaris sama posisi dan kondisinya dengan 6 bulan lalu.  Setelah melintasi jembatan itu tampak seorang ibu-ibu berkebaya warna cerah sedang berjalan mengenakan payung. Mungkin beliau baru pulang dari gereja. Kepadanya Sandra bertanya sambil menunjukkan beberapa foto para penenun yang pernah ditemuinya 24 tahun lalu di daerah itu; yaitu foto Ompung Kristen, Ibu Sitanggang dan beberapa foto penenun lainya. Namun ibu itu tidak tahu. Ibu itu akhirnya meneruskan perjalanannya, begitu juga kami.

        Kami masuk ke pekarangan rumah-rumah yang sangat sederhana. Beberapa minggu sebelumnya Sandra sudah kemari dan sempat temu dengan seorang wanita penenun di sini dan telah berjanji untuk memberikan buku padanya. Rumah-rumah yang pintunya tertutup rapat itu sepi seperti tidak ada orang. Sandra mencoba menyapa salam dengan bahasa Batak. Seorang nenek keluar dengan beberapa cucunya yang masih kanak-kanak. Mereka adalah anak-anak usia SD, beberapa diantara mereka bertelanjang dada.  Sandra bertanya tentang wanita yang dicarinya. Dengan hangat nenek menunjukkan ke arah rumah yang ada di seberang. Nenek itu ternyata orang tuanya. Si wanita itu pun keluar sambil menggendong bayi. Si bayi sempat rewel,

dan wanita itu menyusui anaknya sejenak di atas tangga depan rumahnya. Beberapa menit kemudian kami semua masuk ke dalam rumah nenek dan berkumpul duduk di atas tikar. Tak lama kemudian masuk tetangga mereka. Sandra memberitahukan tentang tujuannya kemari. Sambil bercakap-cakap dengan Sandra, sang nenek meneruskan pekerjaannya menggulung benang dengan kedua tangannya yang bergerak memutar semacam alat pemintal. Beberapa gulungan benang warna-warni tergeletak di lantai. Ia sangat senang ketika Sandra menyerahkan buku kepadanya, setelah menuliskan nama sahabat yang membantu pemberian buku itu; Andrew dan Lily Wang. Dan menuliskan pesan mereka di halaman depan. Sandra membacakan pesan dari kedua sahabatnya itu kepada nenek beserta keluarga agar mereka terus menjaga tradisi ulos. Sambil menyimak halaman demi halaman buku, Nenek itu sempat bilang, “Sekarang menenun seperti pekerjaan yang tak ada artinya lagi, pasarnya sudah sangat berkurang,“katanya. Mendengar kata-katanya membuatku merenungkan kembali bagaimana mereka bisa melanjutkan tradisi? Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja susah.

        Sandra kembali ke mobil mengambil sesuatu yang ia lupa sebelumnya. Dan kembali lagi ke rumah itu.  Yang barusan diambil dari mobilnya adalah foto Andrew dan Lily Wang, sahabatnya yang membantu pemberian buku kepada nenek itu. Segera Sandra mengetuk kembali rumah itu dan memberikan foto kepada nenek dan keluarganya. Nenek, anak, cucu-cucu dan tetangga itu semua masih berkumpul di dalam rumah menikmati buku Sandra. Mereka senang sekali menerima foto sahabat Sandra. Lantas kami pun segera menuju ke mobil lagi.

        Hari ini memang perjalanan cukup panjang dan tujuan-tujuan masih banyak serta masih jauh yang harus di tempuh. Namun semua itu kunikmati dengan baik. Begitu juga Sandra, kulihat ia tak ada capeknya. Meskipun tampak ia sedang mengechek daftar orang-orang yang harus ditemui. Namun ketika wajahnya melongok ke jendela melihat hamparan danau luas menghijaubiru itu, ia pun pasti teringat saat-saat remaja ketika menikmati danau Toba lalu tenggelam dalam puisinya tentang alam tano Batak. Kulihat Pak Gery, sopir kami juga demikian. Sangat menikmati perjalanan ini. Banyak orang di selama perjalanan ini mengenalnya secara akrab meskipun ia orang campuran Jawa-Menado, tak ada darah Bataknya sama sekali. Bahasa Bataknya lumayan lancar meskipun kadang dia agak ‘lancang’. Namun ‘kelancangan’-nya yang saya yakin maksudnya baik itu justru makin hari makin membuat kami semakin akrab.

        ‘Kelancangan’-nya hari itu tampak ketika ia berusaha menjelas-jelaskan secara berlebih-lebihan tujuan Sandra pada orang-orang yang sedang ditanyai Sandra. Apalagi dengan membawa foto-foto penenun itu yang dia sendiripun sebenarnya tidak tahu. Dan itu terjadi di saat-saat Sandra sedang berbicara dengan orang-orang setempat secara bersemangat dengan bahasa Batak.  Membuat orang-orang itu terpecah konsentrasinya; untuk mendengarkan Sandra atau Pak Gery. Sampai Sandra akhirnya harus menghentikan Pak Gery yang sedang asyik bicara. Untung Pak Gery segera sadar atas ‘kelancangan’nya. Saya yakin maksud Pak Gery adalah baik, hanya kurang faham soal takaran. Mungkin juga naluri Pak Gery sebagai orang yang mengemban tanggungjawab dalam membantu membuat Sandra merasa aman, mengingat yang dihadapi saat ini adalah semuanya laki-laki dan di depan sebuah kedai, entah kedai tuak atau kedai kopi.

Seorang lelaki keluar dari kedai itu menghampiri kami yang sedang ramai dalam pembicaraan. Tampaknya dia seorang tukang ojeg, menyapa Sandra dengan bahasa Inggris ala kadarnya. Dikiranya barangkali Sandra adalah seorang wisatawan kebanyakan yang berkunjung ke Samosir danau Toba. Sandra menjawab dengan bahasa Batak. Seketika si tukang ojeg pun kaget bukan main. Dan rupanya justru menjadikan ia semakin ingin tahu siapa Sandra dan tujuannya apa.

Tukang ojeg ini berhati mulia, ia membantu Sandra mencari yang diinginkan Sandra. Ia pun melihat foto yang disodorkan oleh Sandra dan membantu menanyakan pada orang-orang sekitar. Informasi dari orang-orang setempat itu memberitahukan bahwa orang yang ada di dalam foto sudah lama pindah ke Jakarta, dan tak ada lagi satu pun keluarganya yang tinggal di daerah itu lagi. Akhirnya Sandra bertanya pada orang-orang itu, “Adong partonun dison?” (adakah penenun di sini?). Si tukang ojeg pun mengajak kami ke sebuah rumah kecil dan sangat sederhana tak jauh dari tempat itu. Di ruangan depan tampak seorang gadis yang masih khusuk menenun seorang diri. Sandra sangat senang melihat gadis itu menenun. Sandra mengajaknya ngobrol secara hangat tentang tenunan itu. Tak lama kemudian adik-adiknya yang masih kecil ke luar dari rumahnya dan ikut menikmati suasana yang ceria.  Dari pertemuan dengan penenun yang masih muda ini setidaknya membuat nafas Sandra - juga kami - merasa lega kembali. Setidaknya ada yang telah pergi namun ada yang baru lahir kembali.

        Dari situ kami melanjutkan ke arah Pangururan dan berhenti di kota kecamatan itu. Kami mengisi perut kami yang kelaparan. Rasanya nikmat sekali menikmati makanan yang hangat, meski dengan menu yang seadanya. Hawa angin danau terasa segar menyibak kulit dan rambutku. Sementara uap panas dari sumber air panas yang ada di dekat restoran kecil tempat kami makan membuat suasana makin hangat di sela-sela hawa dingin daerah itu. Seusai makan kami meneruskan ke arah Harian Boho. Tempat yang akan kami tuju ini adalah tempat yang sangat berarti bagi Sandra Niessen.

        Saking asyiknya menikmati panorama danau yang indah dari mobil kami yang bergerak  di atas jalan yang kami lewati ini ketika mau menuju ke Harian Boho ternyata kami sempat salah jalan. Jalanan tiba-tiba jadi makin mengerikan, jalan tanah bebatuan yang curam dan tak mungkin kami tempuh dengan mobil macam ini. Untung belum terlalu jauh salah langkah. Dan rasanya aku masih ingat jalan ini karena aku telah melewatinya beberapa hari lalu dengan landrover saat acara Napak Tilas Sisingamangaraja XII. Aku mencoba mengingatkan Pak Gery bahwa ini adalah jalan ke arah Tele. Lalu mobil kami memutar balik kembali. Di sebuah pertigaan jalan kami membelok ke kanan. Inilah jalan yang tepat, jalan menuju Harian Boho.

        Dari pertigaan jalan tak lama kemudian kami melewati semacam restoran sederhana yang menyediakan makanan dan barang-barang kelontong kebutuhan pokok. Juga tampak tersedia bahan bakar untuk mobil. Beberapa mobil kulihat berhenti di situ. Beberapa orang tampak sedang makan serta ngopi. Melihat orang-orang yang sedang nikmat dengan kopi di tengah alam berhawa dingin membuatku tergiur. Namun kutahan saja keinginan itu mengingat perjalanan kami masih panjang. Kami berhenti disitu, Pak Gerry turun untuk bertanya dan memastikan bahwa jalan yang kami lewati ini benar. Segera kami melanjutkan perjalanan lagi. Restoran tadi saya kira semacam shelter atau perhentian untuk istirahat karena setelah itu jalan yang kami tempuh adalah hutan dan hutan. Mobil kami menembus belantara hutan itu. Jalan pun terjal mendaki. Pak Gery berhati-hati mengendalikan mobilnya. Dia memang supir yang  handal dan punya jam terbang tinggi. Sering di mobil itu dia bercerita tentang pengalamannya di dunia kesupirannya sampai ke pulau-pulau lain di daerah-daerah Indonesia Timur; Sulawesi, Ambon, Flores, sampai Irian Jaya. Dan ia sudah terbiasa antar lintas Jawa-Sumatera. Kami percaya itu. Hutan-hutan di sekitar kami pun terlewati dengan baik. Sampai akhirnya di penghujung hutan kulihat lagi wajah danau Toba tersenyum berseri di bawah kami.

        Jalan ke Harian Boho ini sebenarnya tidak bisa dibilang aman untuk mobil macam yang kami kendarai. Kubayangkan jika hujan lumayan mengerikan sekali karena jalan yang curam ini pasti akan licin dan tebing di kanan kami mudah sekali longsor.  Kulihat di atas kami kondisi hutan juga beberapa tampak gundul, melompong. Untung saja cuaca hari ini cerah sekali. Mobil kami dengan hati-hati terus merayap memanjat mengikuti jalanan melingkari bebukitan. Kami kini berada di atas ketinggian. Dari jendela kulihat danau Toba bagai samudra terbentang luas di bawah kami. Kupandangi beberapa tepian tanah Pulau Sumatera menjorok kepada danau itu seolah saling berjabatan erat. Aku berhenti sejenak untuk mengabadikan panorama itu. Langit begitu cerah dan membiru. Sandra pun keluar dari mobil, meyakinkan diriku bahwa nun di bawah itu adalah Harian Boho. Dari bukit kami berdiri, kami menyaksikan Harian Boho yang damai dengan pantainya yang indah di mana perahu-perahu bertambat di bibirnya. Sandra pun bercerita bahwa dulu jika dia ke Harian Boho seringnya naik perahu dari Pangururan lantaran jalan darat pada masa itu medannya berat sekali. Dan naik perahu kecil-kecil seperti itu saya bayangkan akan memakan waktu lama, berjam-jam. Kendati demikian bagiku itu pasti pengalaman yang sangat mengasyikkan. Nyaris tadi waktu kami masih di Pangururan terbesit untuk mencari perahu yang bisa membawa kami ke Harian Boho. Tapi kami tak ingin membiarkan Pak Gery menunggui kami di mobil sendirian.

        Luasnya pemandangan yang luar biasa itu aku serap semuanya. Mataku rasanya seperti mata elang yang sedang terbang. Satu persatu kusaksikan danau yang menghijaubiru di bawah langit; bibir pantai yang dihidupi oleh perahu-perahu kayu; garis jalan panjang membentang, rumah-rumah adat berdiri dengan wibawa; hutan dan pepohonan menghijau; dan sawah-sawah menguning menjelang masa panen. Aku sudah tidak ingat lagi berapa frame yang telah aku bidikan dengan kameraku.



        Dari atas bukit itu aku merasakan kedamaian dan kebanggaan tersendiri. Tinggal sejengkal lagi pada turunan jalan yang membelok itu harus kami lewati. Maka akan sampailah di Harian Boho, tanah lahir salah seorang penyair besar negri ini, Ompung Sitor Situmorang! Dan di Harian Boho itulah sejarah penciptaan buku Sandra dimulai.



                                                                                        ***
                                                                                 (bersambung)
=========
MJA Nashir, TujuhlangiT, 17 Sept 2010

(Bagian Pertama) : klik ini --> http://www.facebook.com/notes/mja-nashir/menyusuri-ulos-batak-berkelana-dengan-sandra/434462987855
(Bagian Ketiga) : klik ini -->http://www.facebook.com/notes/mja-nashir/menyusuri-ulos-batak-berkelana-dengan-sandra-iii/438797277855



http://www.facebook.com/note.php?note_id=436327202855

No comments:

Post a Comment