Pages

Friday, June 8, 2012

Sicike-cike, dari Legenda Menuju Surga Anggrek

Sicike-cike, dari Legenda Menuju Surga Anggrek


Sepertinya kehadiran danau-danau di Sumatera tak bisa dipisahkan dari legenda. Lihatlah Danau Toba, Lau Kawar, Danau Siais, dan tak ketinggalan pula tiga danau di TWA Sicike-cike, yang masing-masing mempunyai cerita yang berbeda. Hanya satu hal yang mengikat dari cerita-cerita itu, yakni sama-sama mempunyai pesan moral yang kuat. Kami, mahasiswa Biologi FMIPA USU, tentu tertarik akan suatu lokasi yang sedikit unik. TWA Sicike-cike nun di Kabupaten Dairi adalah sebuah rawa dataran tinggi seluas 575 hektar. Rawa ini memiliki kemiripan dengan rawa yang terletak di kawasan Gunung Tujuh, Kerinci Seblat, karena sama-sama tidak berada di dataran rendah sebagaimana lazimnya sebuah rawa. Keinginan kami untuk mengunjungi TWA Sicike-cike yang mempunyai 3 danau ini pun akhirnya dilaksanakan awal April lalu. 



Setelah enam jam perjalanan melewati Berastagi-Kabanjahe–Merek–Sumbul-Taman Wisata Iman–Bangun-Desa Laehole II, rombongan kami yang terdiri dari 75 orang sampai ke pintu masuk hutan. Kami telah menempuh jarak 170 km sejak berangkat dari Medan. Hari sudah Maghrib, gubuk polisi hutan yang masih setengah jadi, kami tempati satu malam sebelum mendirikan 10 tenda di bibir hutan. Suhu 18 derajat celsius memaksa kami merapat dan merindukan kopi sidikalang yang hangat. Kami tak mendapatkannya. “Dik, hati-hati masuk hutan itu, banyak orang kesasar di sana,” kata penduduk yang rumahnya tidak jauh dari TWA, mencoba mengingatkan kami. Sebelumnya, cerita tentang kesakralan TWA Sicike-cike sudah kami serap dari seorang suku Pakpak bernama Konstan Capah. Konon, banyak pengunjung yang diganggu arwah dengan cara menyesatkan pengunjung, sehingga tak tahu jalan pulang. “Peneliti Jerman pernah kesasar beberapa hari di sana, dan mahasiswa yang berkunjung digigiti sesuatu ketika mandi-mandi, sampai ia minta ampun di danau pertama. Semuanya bergantung niat, bersihkan hati sebelum masuk hutan agar tidak diganggu,” saran pria dengan cambang lebat yang sudah memutih itu. 


Sesuai prosedur adat yang disarankan Konstan Capah dan demi kebaikan kami sebagai pengunjung, ada baiknya kami mengikuti ritual adat sipitu marga, yakni menyediakan pelleng (makanan khas Suku Pakpak), pisang, nditak, lae rimo mukur, gatap, timun, dan berbagai tambahan buah lainnya. Mengejar waktu yang singkat, kami pun mulai memotong dua ayam beserta nasi yang diaduk dengan air perasan kunyit, sekaligus belajar membuat makanan khas Sidikalang. Inilah saatnya kami menumbuk beras untuk nditak, dan menyusun buah sesuai tata letaknya. Dahulu, pelleng identik dengan peristiwa mergeraha (perang), dan selalu disajikan untuk para pemuda yang hendak maju ke medan tempur untuk mempertahankan haknya. Bumbu pedas yang sengaja ditambahkan pada makanan ini dimaksudkan dapat memacu semangat dan keberanian para ksatria Pakpak. Dari jenis makanan pedas ini, pemuda mencoba menyatukan dan merebut Pegagan, Keppas, Simsim, Kelasen, dan Boang, lima daerah yang didiami Suku Pakpak yang sengaja dipecah penjajah. Sampai saat ini, tradisi memakan pelleng masih banyak dilaksanakan pada seremoni hajatan. 


Memakan pelleng bisa membuat semangat membara. Tapi kami hanya menerima rasa pedasnya, dan membuat liur mencair tak ketulungan. Ada kecenderungan di tengah masyarakat, untuk menghargai makanan khas ini, mereka tidak menjual paket makanan pelleng. “Kesakralannya bukan untuk dikomersilkan,” kata mereka. Sekitar dua jam kemudian, sudah tersaji ayam panggang cincang “ekspres” sebagai lauk nasi kuning. Sangat beraroma dan menggoda lidah. Dengan memakai pakaian khas Pakpak, oles, dimulailah seremoni yang dibuka dengan pembacaan sodip, semacam mantra dalam Bahasa Pakpak. Usai berdoa sejenak, saatnya makan hidangan yang terkenal dengan kepedasannya tersebut. Waduh, hancur. Tapi orang Pakpak adalah jenius tradisional. Rasa pedas kemudian disembuhkan dengan meminum lae rimo mukur (air jeruk purut). Luar biasa, rasa pedas itu hilang dalam sekejap. Apakah kami sudah siap untuk berperang? Gatap (daun sirih), disisipkan ke pinggiran danau yang diyakini meninggalkan situs peradaban yang hilang, kemudian tepung beras giling sedikit ditaburkan mengelilingi tenda kami. Banyak di antara rombongan yang menanyakan keampuhan ramuan itu. Kita semua mungkin tidak tahu. 
*** 


Lima hari di rawa dataran tinggi TWA Sicike-cike sudah cukuplah bagi kami untuk mengenal kekayaan flora dan fauna beserta faktor fisiknya. Dibantu tiga pemandu, kami menerapkan metode ilmiah, menganalisis keberadaan hutan Taman Wisata Alam (TWA) tersebut yang dibagi atas tiga tim, yakni tim tumbuhan, hewan dan perairan. Salah satu yang menjadi perhatian kami adalah anggrek dan Nepenthes spp (kantung semar), di samping banyak lagi tumbuhan dataran tinggi lainnya. Tak ketinggalan pula bunga bangkai (Rafflessia sp.) yang sedang mekar seukuran kepalan tangan. Intensitas cahaya yang masuk cukup baik untuk pertumbuhan kedua jenis tanaman eksotis ini. Di kisaran danau yang lebih terbuka, sinar matahari dapat masuk sepanjang hari. Sekitar 112 jenis anggrek terfokus pada ketiga danau tersebut. Anehnya, kami tidak pernah menemukan ikan di sepanjang danau itu. 


Penduduk kerap masuk hutan mengambil beberapa petik anggrek untuk dibuat ramuan obat. Danau pertama mempunyai jumlah anggrek tertinggi dan puluhan jenis Nephentes. Di titik inilah surga anggrek untuk Sumatera Utara, bahkan diduga surga anggrek terbaik untuk Sumatera secara keseluruhan. Lain lubuk lain ikannya, adalah ungkapan nyata bagi keanekaragaman hayati. Geografi yang berbeda diikuti faktor fisik (ketinggian, kelembaman, suhu udara dan tanah, intensitas cahaya, pH dan kecepatan angin) yang berbeda pula. Kondisi inilah yang mengilhami tidak adanya ikan ditemukan di hutan ini, kecuali ikan gobi. Konon, ikan gobi ini bisa dijadikan obat. “Ikan gobi yang berwarna kemerahan adalah obat paling ampuh di sini,” terang salah satu pemandu. Selain itu, di danau kedua dan ketiga ditemukan dua jenis belibis dari suku Anatidae. Sedikitnya ada 15 ekor yang kami jumpai. Belibis ini kerap terbang ke ladang dan ditangkap penduduk. Di tengah hutan, belibis ini sangat terjamin keselamatannya. Di saat-saat istirahat di tepi danau, pemandu yang tahu persis akan legenda danau ini mengisahkan terbentuknya ketiga danau tersebut. 


Dahulu, hutan ini adalah satu perkampungan kecil. Ada keluarga rukun yang mempunyai 7 anak. Mereka bekerja sebagai petani dengan memelihara pesuruh. Alkisah, si ibu menyuruh pesuruhnya mengantarkan makanan untuk suami dan anaknya yang bekerja di ladang. Di tengah perjalanan, pesuruh mencium aroma makanan dan tergoda untuk menyantapnya. Lalu ia menggantinya dengan kotoran. Ketika makanan dibuka si ayah dan anak-anaknya, mereka terkejut, lalu melaporkan kejadian ini kepada si ibu. Si ibu murka. Ia meluapkan kemarahannya dengan memandikan kucing yang berakibat pada datangnya hujan terus menerus sehingga menenggelamkan perkampungan. Setelah mulai surut, tinggallah air sisa yang selanjutnya menjadi danau. Ke-7 anak tersebut selamat dan ketujuh anak inilah yang menjadi calon sipitu marga (tujuh marga) Pakpak Suak Keppas. 


Hingga sekarang, memandikan kucing bagi suku Pakpak adalah pantang. Sampai sekarang, marga Capah, Bintang, Ujung, Angkat, Kudadiri, Gajahmanik, dan Sinamo, masih mengakui tempat itu sebagai asal nenek moyang mereka. Ketujuh marga ini sering mengunjungi Sicike-cike dan mengikuti perkembangannya walaupun mereka sudah banyak terpencar ke mana-mana. Suku Pakpak yang hanya dijajah 10 tahun ini memang sangat mudah beradaptasi dan hampir manguasai semua Bahasa Batak. Capah, marga tertua dari sipitu marga, termasuk salah satu suku tertua di Tanah Batak. Sampai sekarang, menurut perkiraan Konstan Capah, jumlah marga Capah tidak bertambah, hanya dalam hitungan ratusan saja. Suku Pakpak merupakan suku yang paling mudah untuk berbaur dan ber-akulturasi dengan suku pendatang seperti Batak Toba dan Karo. Proses pembauran budaya dengan suku pendatang cenderung melunturkan budaya asli suku tersebut. Orang Pakpak sendiri banyak menggunakan bahasa selain Bahasa Pakpak. Pernah isu beredar, dan cukup mengkawatirkan para penghulu adat, bahwa Bahasa Pakpak bisa saja punah. 
*** 


Jejak kami sebanyak 75 orang di hutan selama lima hari, pasti memberi bekas. Sudah berapa banyak tanaman yang terpijak. Sebagian batang tumbuhan kecil telah kami potong di luar bibir hutan tempat tenda kami berdiri. Dan masing-masing anggota rombongan sudah berutang budi pada 10 pohon berumur 10 tahun untuk menetralisir buangan CO2 kami. Nah, untuk itu, kami bersama penduduk menanam 100 pohon mahoni di dalam hutan dan di kisaran pemukiman penduduk yang diharapkan dapat melunasi “utang-utang” itu. Satu malam terakhir, sengaja kami nantikan untuk presentasi hasil kegiatan. Di situ diundanglah pemandu dan kepala desa untuk mendengarkan dan mendiskusikan hasil penelitian. Pertanyaan demi pertanyaan muncul tentang keberadaan TWA Sicike-cike ini. Situasi memanas ketika ada yang menanyakan mengapa anggrek dan Nephentes terpusat di danau, dan mengapa ikan tak bisa hidup di sana walaupun sudah dibenihkan. Diskusi baru selesai setengah tiga pagi setelah kami sama-sama sepakat berhenti bertengkar karena cuaca terlalu dingin. Anda tidak mau bertanya juga? Akhmad Junaedi Siregar/Rahmad Lingga | mahasiswa Biologi FMIPA USU/mahasiswa pemerhati suku Pakpak)




Sumber:
http://www.insidesumatera.com/?open=view&newsid=251&go=Sicike-cike,%20dari%20Legenda%20Menuju%20Surga%20Anggrek

No comments:

Post a Comment