Pages

Wednesday, June 13, 2012

Review Buku MENGENALI BANGUNAN SERTA ORNAMEN RUMAH ADAT DAERAH MANDAILING DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERLAMBANGAN ADAT Oleh : Drs. Oloan Situmorang


Review Buku MENGENALI BANGUNAN SERTA ORNAMEN RUMAH ADAT DAERAH MANDAILING DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERLAMBANGAN ADAT Oleh : Drs. Oloan Situmorang

Reviewer
Cut Nuraini

PENDAHULUAN
Buku yang ditulis oleh Oloan Situmorang ini terdiri atas lima bab, yaitu pertama pendahuluan, meliputi empat sub-bab : pengantar masalah, pentingnya bangunan tradisional dipelihara dan dilestarikan, ruang lingkup permasalahan serta tujuan dan manfaat; kedua bangunan tradisional sebagai warisan budaya, meliputi tiga sub-bab : makna bangunan tradisional, unsur kepribadian dan bangunan adat sebagai simbol; ketiga bangunan adat daerah Mandailing, meliputi tiga sub-bab : Lokasi penyebaran, jenis bangunan dan fungsinya dan struktur bangunan; keempat makna ragam hias dan unsur bangunan dalam rumah adat Mandailing, meliputi tiga sub-bab : Latarbelakang terciptanya ragam hias, jenis ragam hias, aspek perilaku dalam bentuk simbol pada ragam hias; kelima aplikasi aspek perilaku.

RINGKASAN BUKU
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki berbagai ragam budaya yang dilatarbelakangi suku-suku daerah setempat. Ragam budaya tersebut memiliki ciri khas masing-masing daerah sesuai dengan kondisi masyarakat yang mendiaminya, ada yang masih berciri tradisional dan ada juga yang masih primitif. Kekayaan ragam budaya Indonesia yang tersebar luas di beberapa daerah memiliki nilai estetis yang tinggi. Keanekaragaman budaya ini jelas digambarkan oleh setiap suku daerah kepulauan nusantara yang memiliki tradisi budaya yang kuat dan berciri khas daerah dan berbeda menurut keadaan masyarakat sukunya yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyangnya. Salah satu budaya daerah yang dapat diungkapkan melalui tulisan ini adalah bangunan tradisional sebagai bentuk bangunan adat.

Bangunan adat sebagai bentuk bangunan tradisional merupakan bangunan yang berukuran besar disertai dengan corak khusus dan berbeda dengan bangunan masyarakat setempat. Demikian juga antar daerah, masing-masing menunjukkan identitas tersendiri. Bangunan adat sebagai wrisan budaya nasional haruslah mendapat perhatian khusus dalam rangka melestarikan peninggalan budaya sebagai aset bangsa. Oleh karena itu, perlu dihayati makna yang terkandung pada bangunan-bangunan adat tersebut, yang salah satunya adalah bangunan adat daerah Mandailing yang berlokasi di daerah Tingkat II Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Pelestarian dan pemeliharan bangunan adat penting dilakukan agar kehidupan tatanan adat daerah setempat tidak hilang, sehingga mata rantai pewarisan nilai-nilai luhur adat kepada generasi muda tetap berjalan.

Penulisan buku ini bertujuan untuk membahas dan menguraikan struktur bangunan tradisional Adat mandailing, termasuk didalamnya makna-makna yang berhubungan dengan unsur bangunan dan hiasan, serta kaitannya dengan kepribadian masyarakatnya. Diharapkan, pembahasan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam penggalian warisan budaya tradisional daerah Mandailing.

Terbentuknya bangunan tradisional daerah adalah akibat adanya kebutuhan dari kelompok suku atau marga yang ingin menciptakan suatu ikatan sosial dalam bentuk rasa kebersamaan, tempat bermusyawarah demi kemaslahatan suku melalui sebuah wadah yaitu bangunan adat yang dilengkapi dengan semua sarana adat dan perlambangannya. Bangunan tradisional dimaknai sebagai sebuah wadah yang masih terikat kepada kebiasaan-kebiasaan lama, yang secara turun temurun tidak mengalami perubahan.
Bagi masyarakat daerah Mandailing, prinsip tatanan kehidupannya tidak terlepas dari penggambaran rumah adatnya. Masyarakat Mandailing memiliki kepribadian yang tinggi dalam hubungannya dengan perilaku adat, hubungan sosial antar sesama marga dan hubungan antar masyarakat. Hubungan-hubungan tersebut digambarkan dalam kumpulan-kumpulan simbol adat berupa gambar-gambar hiasan yang bercorak manusia, hewan, tumbuhan dan benda-benda pakai yang dimodifikasi sedemikian rupa hingga membentuk lambang-lambang.

Bangunan adat tradisional Mandailing yang ada berjumlah 25 bangunan dan tersebar di tiga kecamatan, yaitu Kotanopan, Penyabungan dan Muara Sipongi. Bangunan adat di kecamatan Kotanopan dan Muara Sipongi dimiliki oleh kelompok marga Lubis sedangkan bangunan di kecamatan Penyabungan dimiliki oleh kelompok marga Nasution, sesuai dengan daerah penyebaran marga-marga di Mandailing.
Struktur bangunan rumah adat Mandailing memiliki perbedaan-perbedaan karena bentuk ukuran rumahnya berbeda-beda. Ada bangunan rumah adat yang besar, yaitu Bagas Godang yang kemungkinan sekali merupakan bangunan pertama yang dibangun oleh raja huta setelah sebuah kampung dibangun, dan ada juga yang lebih kecil yaitu Sopo Godang sebagai balai adat dan upacara kesenian. Ada juga bangunan lain yang atapnya menyerupai Bagas Godang, yaitu rumah-rumah Kahanggi, Mora dan Anak Boru dan fungsinya sebagai tempat tinggal.

Bentuk atap bangunan rumah adat Mandailing merupakan atap lengkung (silingkung dolok parcucuran) dan atap datar (saro tole). Tidak semua rumah boleh memakai bentuk atap ini, kecuali bangunan milik kerabat raja. Sruktur bangunan rumah adat tidak berbeda dengan rumah biasa, hanya saja bangunan adat berukuran lebih besar dan dilengkapi dengan ornamen-ornamen yang berhubungan dengan simbol-simbol tertentu.

Struktur bangunan rumah adat Mandailing terdiri atas lima bagian, yaitu atap, badan, tiang, tangga dan halamana. Pola atap terdiri atas dua corak, yaitu saratole (atap datar) dan silingkung dolok parcucuran (atap lengkung). Susunan ruang di dala bangunan rumah adat tersusun atas beberapa bagian, yaitu (a) Pantar tonga (ruang tengah) yang berfungsi sebagai ruang tamu, tempat berkumpul keluarga, acara khusus seperti sidang adat, sidang horja (dihadiri masyarakat desa) dan berhak digunakan oleh hatubangon ni huta dan namora natoras; (b) Ruang tidur (khusus untuk namora natoras dan anak-anaknya; (c) Parangin-anginan (ruang depan) digunakan oleh namora natoras dan keluarga dan sebagai pos jaga pengawal (ulu balang); (d) Hauan Halang (kamar terlarang) adalah ruang persembahan raja kepada mula jadi nabolon dan juga sebagai tempat penyimpanan benda pusaka; serta ruang (e) Parsimonjapan (ruang persembunyian) sebagai ruang perlindungan dari kejaran musuh. Ruang yang terakhir ini tidak terdapat di semua Bagas Godang. Sopo Godang hanya memiliki dua ruangan, yaitu pantar na bolak (ruang musyawarah) yang dibuat terbuka, hanya dibatasi dinding setinggi 0,5 s/d 1 meter dan ruang bilik penyimpanan benda-benda pakai, alat kesenian dan perlengkapan adat.

Tiang penyangga pada bangunan adat berbentuk pahatan segi empat dan segi delapan. Susunan tiangnya bervariasi sesuai dengan luas bangunannya, tetapi selalu menggunakan angka ganjil 3,5,7,9. Angka-angka ganjil ini juga digunakan pada anak tangga di bangunan adat, walaupun jumlahnya tetap berbeda-beda di masing-masing tempat. Bagas Godang memiliki 7 anak tangga, sedangkan rumah-rumah kerabat raja memiliki 5 anak tangga. Rumah-rumah biasa jumlah anak tangganya adalah 2 dan 4. Tangga di rumah adat Mandailing disebut tangga sibingkang kayu, yaitu tangga yang jika dinaiki akan menimbulkan suara berderak. Tangga yang berderak tersebut memberi tanda kepada penghuni rumah, bahwa ada tamu yang datang.
Halaman pada bangunan adat memiliki luas yang berbeda-beda, ada yang luas dan ada yang sempit. Fungsi halaman adalah sebagai tempat melaksanakan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan adat. Pada masa sekarang, fungsinya bertambah, yaitu sebagai tempat latihan kesenian gordang sembilan, latihan silat, latihan menari serta perayaan hari-hari besar Islam.

Setiap bangunan adat di Mandailing memiliki ragam hias dalam bentuk ornamen di bagian-bagian tertentu. Penciptaan motif-motif ornamen sebagai tanda adat berawal dari keberadaan sebuah huta yang telah memiliki kelengkapan adat dan peraturan-peraturan hukum yang tetap dan telah disepakati bersama melalui sidang-sidang adat. Adat istiadat sebagai sumber hukum yang tetap tersebut harus diketahui oleh setiap warga dan pendatang, sehingga dibuatlah surat berupa tanda-tanda gambar dari masing-masing ragam adat istiadat tersebut oleh panggorga (ahli kesenian). Lambang-lambang adat tersebut menggunakan motif-motif tumbuhan, hewan dan benda-benda serta ditampilkan dengan kombinasi tiga warna, yaitu merah, putih dan hitam.

Jenis ragam hias yang berjumlah 33 itu diantaranya, adalah (a) Jagar-jagar, dilambangkan dengan putik kelapa yang masih kecil-kecil yang artinya huta bona bulu telah memiliki lembaga adat yang kuat; (b) Bindu, berbentuk gambar pucuk rebung yang bermakna dasar kehidupan masyarakat adalah dalihan natolu; (c) timbangan, lambang keadilan dan kebenaran; (d) gancip, semacam alat penjepit yang dapat memotong bermakna raja harus memegang hukum dan adat, pelaksana kebenaran; (e) Barapati, burung merpati yang bermakna setiap selesai mencari nafkah, harus kembali ke rumah; (f) Takar, Tempurung kelapa bermakna setiap yang mengalami kesusahan panga, dapat meminta pertolongan kepada raja dan masyarakat desa; serta beberapa simbol lainnya.
Semua unsur-unsur hiasan maupun bagian bangunan tersebut adalah merupakan suatu lambang kepribadian. Yang dimaksud dengankepribadian adalah merupakan aspek perilaku yang selalu dinyatakan dalam sikap dan perbuatan sehari-hari. Beberapa aspek perilaku di dalam kehidupan bermasyarakatnya yang ditunjukkan melalui simbol-simbol ornamen adalah adat bertutur sapa, lapang hati dan terbuka, berani pada kebenaran, suka menolong, tahu berterima kasih, menghormati tamu, bersifat sosial dan selalu bermusyawarah mufakat. Berdasarkan aspek perilaku yang mencerminkan kepribadian ini, cukup membuktikan bahwa masyarakat daerah Mandailing memiliki wibawa yang tinggi dan terhormat serta bersifat dermawan. Munculnya kepribadian seperti ini tidak lepas dari ajaran, petunjuk serta bimbingan dari ketentuan adat yang telah diciptakan oleh orang-orang tua dan nenek moyang mereka, dan secara turn temurun diwariskan kepada anak cucunya sebagai generasi penerus

PEMBAHASAN
Bangunan tradisional sebagai warisan budaya, sering ditafsirkan sebagai bangunan yang memiliki ciri khusus dan berbeda dengan bentuk-bentuk bangunan hunian lain. Ciri bangunan ini diperlihatkan dalam bentuk dan ukuran yang lebih besar serta diperkaya oleh hiasan-hiasan yang memiliki makna adat sebagai implementasi dari tatanan kehidupan sosial masyarakatnya. Oleh karena itu, keistimewaan yang dimiliki oleh bangunan tradisional ini adalah kemampuannya dalam memberikan informasi tentang hal-hal apa saja yang dikandungnya melalui perlambangan-perlambangan adat. Gejala ini sebenarnya merupakan suatu kebiasaan dari setiap bangunan yang berfungsi sebagai bangunan adat. Kemampuan setiap bangunan dalam menginformasikan apa saja yang dikandungnya disebut sebagai gejala analogi linguistik semiotik, yang menganut pandangan bahwa sesuatu bangunan merupakan suatu tanda penyampaian informasi yang terdiri dari usur-unsur yang ditata menurut aturan, sehingga memungkinkan masyarakat cepat memahami dan menafsirkan apa yang disampaikan oleh bangunan tersebut.

Kajian buku ini diawal-awal penulisannya sangat menekankan pada pentingnya perlindungan dan perhatian dari semua pihak pada arsitektur adat Mandailing. Hal ini ditegaskan oleh penulisnya melalui tiga alasan pentingnya melestarikan arsitektur Mandailing, yaitu (a) makna; (b) unsur kepribadian dan (c) simbol. Makna menurut saya mencakup beberapa hal, yaitu pertama bahwa rumah adat adalah sebuah proses dimana setiap tahap pengerjaannnya memiliki arti sendiri-sendiri. Membangun rumah adat tidak hanya sekedar membuat pondasi, tiang, atap, dinding sehingga kebutuhan untuk berlindung terpenuhi, tetapi lebih kepada terpenuhinya syarat-syarat khusus pada setiap tahap sebelum pengerjaannya. Walaupun rumah sudah dapat dihuni, tetapi ritual tertentu masih tetap harus dilakukan. Kedua, bangunan tradisional sebagai warisan budaya memberikan pencerahan bahwa bangunan atau arsitektur merupakan unsur budaya yang telah tumbuh dan berkembang menjadi suatu wadah yang berfungsi ganda yaitu sebagai hunian dalam arti yang sebenarnya dan sebagai wujud dari ekspresi keinginan pemiliknya. Kepribadian adalah suatu sikap yang mendasari perilaku seseorang dan merupakan kesatuan sikap dari sekelompok manusia atau sekelompok masyarakat, dimana pribadi masyarakat itu didasari oleh tata krama adat istiadat dan perilaku sosial sehari-hari, yang saling berkembang dan berintegrasi. Ketika identitas sikap tersebut telah saling menyatu ke dalam diri pribadi masing-masing, maka terbentuklah kesepakatan bersama untuk mematuhinya. Pada akhirnya, makna dan kepribadian tersebut akan menjadi simbol dalam kehidupan bermasyarakat.

Kajian tentang Bangunan Adat Daerah Mandailing (hal.24) pada bab tiga buku ini, sama dengan yang terdapat pada buku Mandailing : Sejarah, Adat dan arsitektur, karya M. Dolok Lubis (hal.50). Hanya saja, buku yang ditulis oleh Oloan Situmorang dilengkapi dengan tabulasi penyebaran bangunan adat di Mandailing. Yang menarik pada bahasan struktur bangunan oleh Oloan adalah deskripsi yang menyatakan bahwa “bangunan rumah adat besar yang kemungkinan sekali merupakan bangunan yang pertama kali dibangun oleh raja huta setelah sebuah kampung dibangun” (hal.27). Keraguan tersebut sebenarnya telah terjawab dalam penelitian-penelitian yang beberapa kali telah dilakukan, bahwa rumah raja justru dibangun ketika sebuah kampung sudah survive sebagai huta adat. Di Mandailing, huta yang belum ‘mangadati’ belum berhak mendirikan Bagas Godang. Untuk menjadi sebuah huta yang memiliki kelengkapan adat, ada syarat-syarat yang harus dimiliki oleh sebuah huta. Berikut ini adalah proses terbentunya elemen-elemen huta di tinjau dari aspek fisik dan non-fisik, berdasarkan penelitian yang saya lakukan.

Disinilah letak keunikan Mandailing yang sebenarnya, bahwa bangunan adat dan elemen-elemen lain dalam huta benar-benar sebuah proses arsitektural penting yang dalam proses tersebut tersirat begitu banyak makna. Bahkan, untuk membuka sebuah huta baru, pun membutuhkan proses tersendiri dengan sequence atau urut-urutan yang sangat terstruktur.
Topik tentang struktur lain di buku Oloan adalah halaman, yang sebenarnya kurang tepat jika dikelompokkan pada bahasan struktur. Halaman mungkin lebih sesuai dibahas dalam konteks tersendiri sebagai salah satu unsur mikro arsitektural. Halaman di Mandailing yang dikenal dengan nama Alaman Bolak Selangseutang bukan hanya sekedar sebuah hamparan tanah luas di depan Bagas Godang. Halaman ini merupakan salah satu elemen arsitektural penting bagi terbentuknya huta di Mandailing.

Proses terbentuknya sebuah huta adat di Mandailing mempunyai dua tahapan penting, yaitu pagaran menjadi huta dan huta menjadi huta adat. Pagaran menjadi huta, yaitu tahap dibukanya sebuah kampung yang ditandai dengan dibangunnya rumah-rumah penduduk secara bergotong royong dengan menempatkan bangunan-bangunan hunian tersebut pada zona Banua Partonga. Perkembangan bangunan-bangunan hunian di pagaran menjadi banjar dan selanjutnya membentuk sebuah huta tetap mengikuti kelompok bangunan yang sudah ada pada zona tersebut. Huta menjadi huta adat, yaitu tahap diresmikannya huta yang sudah memiliki perangkat adat yang lengkap menjadi huta adat melalui horja Perkembangan huta selanjutnya diawali dengan menentukan letak Alaman Bolak dan bangunan-bangunan utama. Alaman dan Sopo Godang ditempatkan pada Banua Partonga sedangkan Bagas Godang ditempatkan di zona Banua Partonga, dekat dengan Banua Parginjang. Orientasi Bagas Godang diupayakan tidak membelakangi matahari, tetapi posisi membelakangi matahari lebih baik dari pada harus berada pada zona Banua Partoru.

Penentuan letak atau tempat tiap objek fisik bangunan maupun bukan bangunan didasarkan pada tiga aspek penting yang sekaligus juga menjadi hierarki, yaitu (a) konsep Banua, (b) sistem kepercayaan yang berkaitan dengan sungai dan kekuatan matahari dan (c) kondisi alam. Pertama, objek fisik ditentukan tempatnya berdasarkan zona yang sesuai, lalu orientasi ditentukan berdasarkan letak sungai dan kedudukan matahari. Jika kondisi alam tidak memungkinkan, orientasi dapat berubah tetapi tetap tidak jauh dari sungai dan tidak membelakangi matahari. Jadi dalam hal ini, penerapan konsep Banua dan orientasi terhadap letak sungai sangat konsisten, sedangkan sistem kepercayaan terhadap kekuatan matahari sangat tergantung pada kondisi alam.

Proses terbentuknya huta di Mandailing melalui dua tahap tersebut menunjukkan kecenderungan adanya kemungkinan bahwa masyarakatnya telah memperkirakan atau menentukan lebih dahulu letak dan posisi Alaman Bolak di dalam huta yang baru didirikan tersebut. Dalam hal ini, perkiraan atau penentuan letak Alaman tersebut hanya untuk sementara waktu sampai di penuhinya syarat menjadi huta adat, sehingga dalam perkembangan selanjutnya, lokasi Alaman Bolak yagn telah direncanakan tersebut tidak diganggu atau dijaga agar tidak didirikan bangunan di atasnya. Ketika terbentuk huta adat dan dibutuhkan lahan untuk Alaman Bolak dengan bangunan-bangunan adatnya, maka lahan yang telah diperkirakan dan direncanakan sejak dulu mulai dibuka dan dibangun Bagas Godang dan Sopo Godang di sekitarnya.
Fenomena ini mungkin berhubungan dengan lobu. Pengertian lobu memiliki dua makna yang berbeda di dalam masyarakat Mandailing. Pengertian pertama, lobu merupakan suatu lahan yang pertama kali dibuka dan ditemukan oleh pendiri kampung, ketika ia menemukan sebuah daerah baru di dekat sungai yang akan dikembangkan menjadi huta. Daerah yang dapat dijadikan sebagai lahan perkampungan merupakan tempat di dekat sungai yang disebut tapian na so marlinta, jalangan na so marongit yang artinya tapian atau tempat yang tidak didiami lintah, padang rumput yang tidak didiami nyamuk. Jelasnya, tempat tersebut merupakan tempat yang nyaman, sehat tanpa gangguan penyakit.

Lobu yang baru dibuka tersebut dijadikan ladang yang hanya dikunjungi sewaktu-waktu dan dibangun beberapa Sopo Ladang untuk tempat berteduh. Setelah kegiatan berladang dan bersawah selesai, maka penduduk tersebut meninggalkan lobu dan kembali ke kampung asalnya. Hal ini berlangsung terus sampai kampung asal mereka telah padat dan dibutuhkan daerah untuk kampung baru. Pada tahap ini, lobu mulai dikembangkan menjadi banjar dan pagaran. Ketika menjadi huta, maka daerah lobu yang pada awalnya dimanfaatkan sebagai ladang sementara dijadikan lokasi Alaman Bolak dengan bangunan-bangunannya.

Pengertian lobu yang kedua adalah daerah perkampungan asal yang telah berubah menjadi lahan pemakaman. Jika dilihat pengertian lobu yang kedua ini, maka tidak mungkin lobu tersebut menjadi tempat dibukanya Alaman Bolak, karena lahan pemakaman tidak sesuai bagi perletakan Alaman Bolak sebagai pusat aktivitas adat di huta. Pengertian lobu yang pertama lebih relevan untuk menjawab fenomena lokasi Alaman Bolak dalam huta yang seolah-olah telah lebih dulu di rencanakan sebelumnya. Pengertian lobu tersebut, selain berada pada lokasi yang berdekatan dengan sungai juga dimanfaatkan sebagai ladang yang merupakan tempat aktivitas kerja manusia untuk tetap melanjutkan kehidupannya. Dalam hal ini , lobu tentu berada pada zona Banua Partonga, daerah pusat aktivitas manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
Hal ini juga menimbulkan pertanyaan baru mengenai adanya konsep abstrak dalam pemikiran masyarakat Mandailing tentang huta yang menerapkan konsep kosmologi tiga Banua dan selalu dibawa oleh mereka ketika akan mencari lahan baru perkampungan. Kemungkinannya adalah masyarakat Mandailing telah memetakan konsep tersebut dalam pikirannya dan wujud dari konsep tersebut akan dapat terlihat secara bertahap dengan jelas jika sebuah huta telah benar-benar berdiri. Namun demikian hal tersebut tentu saja masih merupakan dugaan-dugaan yang membutuhkan konfirmasi dan penelitian lebih mendalam, karena belum ditemukan adanya data-data dan fakta yang dapat menjelaskan fenomena tersebut.

Ulasan terakhir pada buku ini saya lakukan langsung pada topik terakhir, yaitu aplikasi aspek perilaku, karena pembahasan Oloan Situmorang tentang struktur dan ornamen sama persis dengan yang dilakukan oleh M. Dolok lubis. Kajian tentang aplikasi aspek perilaku ini, seakan semakin menegaskan isu yang selalu membuat hati masyarakat Mandailing menjadi sensitif, yaitu bahwa Mandailing bukan Batak. Isu ini sampai sekarang sudah bukan lagi menjadi rahasia umum, tetapi terus diperbincangkan oleh masyarakat Mandailing, yang sejak awal tidak ingin dikatakan sebagai ‘orang Batak’. Menurut cerita-cerita suci orang Batak terutama dari masyarakat Batak Toba, semua sub suku-suku bangsa Batak tersebut mempunyai nenek moyang yang sama, yaitu Si Raja Batak. Namun demikian, masyarakat Mandailing menyatakan bahwa kelompok masyarakat mereka bukan ‘Batak’ seperti yang selama ini diketahui banyak orang. Sejak lama masyarakat Mandailing tidak mau disebut sebagai orang Batak. Mereka banyak mengumpulkan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang Mandailing berbeda dengan orang Batak. Beberapa bukti berupa data dan penelitian tentang asal usul Mandailing semakin memperkuat kepercayaan tersebut dan melahirkan pernyataan baru yang mengatakan bahwa sebenarnya orang-orang Batak yang ada sekarang ini justru berasal dari Mandailing. Data yang dijadikan bukti ketidakbenaran informasi bahwa orang Mandailing termasuk orang Batak adalah (1) Tonggo-tonggo Siboru Deak Parujar dari orang Toba; (2) Pupuh Negarakertagama syair ke-13 oleh Mpu Prapanca; (3) Adat Dalihan Na Tolu; (4) Bahasa dan Aksara Mandailing; (5) Perkataan Gordang. Terlepas dari kenyataan mengenai benar atau tidaknya perbedaan pendapat tentang masyarakat Mandailing yang tidak mau disebut sebagai orang Batak, Mandailing menarik untuk diteliti karena masih banyak budayanya yang sangat syarat makna belum terungkap, salah satunya adalah tentang sungai sebagai salah satu elemen huta yang diduga memiliki andil besar dalam pola penataan struktur ruang huta secara keseluruhan.
Pada akhirnya, kepribadian yang kuat pada masyarakat Mandailing telah menjadikan mereka memiliki pandangan hidup berwawasan ke depan. Implementasinya dapat dilihat pada kemajuan yang di capai Mandailing dalam segala bidang, yaitu pembangunan daerah, pembangunan spiritual, pendidikan dan pengajaran maupun pariwisata. Demikian juga halnya dengan bidang seni dan budaya. Misi budaya kemajuan merupakan salah satu tuntutan masyarakat Mandailing, sehingga budaya daerah Mandailing tetap hidup sepanjang jaman.


Sumber:
http://arsitektursiana.blogspot.com/2009/12/review-buku-mengenali-bangunan-serta.html

No comments:

Post a Comment