Pages

Wednesday, June 13, 2012

Review Buku ADAT ISTIADAT TAPANULI SELATAN Oleh : H.M.D. Harahap SH


Review Buku ADAT ISTIADAT TAPANULI SELATAN Oleh : H.M.D. Harahap SH

Reviewer
Cut Nuraini

PENDAHULUAN
Buku berjudul Adat Istiadat Tapanuli Selatan yang ditulis oleh H.M.D.Harahap SH, terdiri atas delapan bab, yaitu bab pertama tentang membuka kampung (hal.27), bab kedua tentang kelahiran anak (hal.32), bab ketiga tentang masa kanak-kanak (hal.39), bab keempat tentang perkawinan (hal.45), bab kelima tentang memasuki rumah baru (129), bab keenam tentang tutup usia (137), bab ketujuh tentang rompak tutur (156) dan bab kedelapan tentang pemberian marga (hal.158). Pada pendahuluan sebelum memasuki bab pertama, penulisnya menguraikan tentang tutur sapa menurut adat ditapanuli Selatan (hal.13), Istilah-istilah adat Tapanuli Selatan (hal.17) dan cara melaksanakan upacara adat Tapanuli Selatan (hal.23).

RINGKASAN BUKU
Dahulu, di Tapanuli Selatan, untuk mendirikan sebuah kampung didasarkan atas beberapa hal, yaitu pertama karena penduduk sebuah kerajaan telah padat, sehingga raja memerintahkan salah satu anaknya untuk membuka kampung, di luar kampung orang tuanya. Alasan kedua, jika kampung kedudukan raja telah padat, maka anggota marga (klan) penguasa boleh membuka kampung baru di salah satu tempat, tidak jauh dari kampung kedudukan raja. Kampung raja menjadi kampung induk dan kampung baru yang dibuka dinamakan kampung anak (hal.27).

Kerajaan di Mandailing pada masa lalu, tidak mengenal adanya batas wilayah seperti sekarang. Mereka menggunakan istilah “sapanjang banua sadesa”, yang berarti batas-batas kerajaan itu tidak tegas digariskan. Suatu kerajaan yang menguasai kampung-kampung yang mereka duduki, sawah, ladang dan kebun-kebun yang mereka kerjakan, padang rumput tempat mereka menggembalakan ternaknya adalah wilayah yang langsung menjadi kekuasaan kerajaan itu. Sedangkan sungai, hutan dan padang alang-alang di luar itu adalah milik atau wilayah bersama kerajaan-kerajaan bertetangga. Pendiri sebuah kampung baru biasanya terdiri atas seorang anggota marga yang memerintah kampung yang mereka tinggalkan, dan disertai sekurang-kurangnya seorang anggota mora (yang memberi kaum perempuan) dan seorang anggota marga yang menerima kaum perempuan (anak boru). Setelah mereka menemukan suatu tempat yang sesuai, mereka mengambil beberapa gumpal tanah dari tempat itu dan dibawa pulang ke kampung asalnya. Apabila mereka bermimpi yang baik setelah membawa segumpal tanah tersebut, maka itu adalah suatu pertanda bahwa mereka akan mendapat restu dari Debata. Maka, gumpalan tanah tersebut ditinggalkan di kampung asli, dan segera mereka membawa beberapa gumpal tanah dari kampung asal untuk dibawa ke tempat yang baru. Hal ini untuk menandakan bahwa kedua daerah telah dipersatukan secara magis (hal.28)

Tempat perkampungan yang baru biasanya dipilih tempat yang datar dan di pinggir sungai. Pertama, mereka akan menanam bambu di pintu gerbang kampung, pada hulu dan hilirnya sebagai pagar. Rombongan yang membentuk kampung baru tersebut akan terus berkembang dari tiga kelompok yaitu, kahanggi, mora dan anak boru. Di luar kampung, mereka mulai membuka ladang dan sawah. Menjelang panen, barulah mereka mendirikan gubuk-gubuk sementara sebagai tempat tinggal. Setelah panen pertama, dibawalah keluarga mereka ke kampung baru tersebut. Lalu, mereka mulai mendirikan Bagas Godang, Sopo Godang yang di halamannya ditanam pohon beringin. Setelah Bagas Godang dan Sopo Godang selesai dibangun, lalu dibangun pula rumah-rumah untuk masing-masing anggota masyarakat itu (hal.29)

Pemerintahan dalam kerajaan kecil tersebut bersifat monarchistis dengan tata kenegaraan eksekutif oleh raja dibantu mora dan anak boru dan legislatifnya adalah Dalihan Natolu dan orang-orang tua Hatobangon. Ketika tentara Imam Bonjol dari Sumatera Barat memasuki kawasan Tapanuli Selatan, istilah raja tidak ada, yang ada hanyalah Panusunan. Dan sejak tentara Imam Bonjol memasuki Tapanuli Selatan, raja-raja yang berada di kampung induk dinamakan Raja Panusunan, sedangkan raja di anak kampung disebut Raja Pamusuk. Namun, setelah Belanda masuk ke Tapanuli Selatan, tidak ada satu marga pun yang mendirikan kampung baru, karena Belanda telah merusak konsep sapanjang banua sadesa. Kerajaan-kerajaan pun di bagi dalam wilayah kekuriaan yang di dalam banyak hal bertentangan dengan wilayah adat semula. Penempatan para pemimpin kampung, siapa yang menjadi raja ditentukan oleh Belanda sehingga hal tersebut menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat Tapanuli Selatan (hal.31)

Masyarakat Tapanuli Selatan memiliki adat menyambut kelahiran bayi, dan menjenguknya ketika lahir dengan melakukan beberapa ritual adat. Menjelang suatu kelahiran, mereka mempercayai dan menafsirkan arti suatu mimpi pada waktu seorang ibu sedang mengandung, seperti sebuah ramalan yang disebut purba, tentang hari kemudian anak yang akan lahir itu. Contohnya, jika bermimpi diberikan sebuah payung, artinya anak yang akan lahir nanti akan menjadi raja. Kelahiran seorang anak pertama, dianggap sebagai sebuah peristiwa besar, karena dengan adanya seorang anak, berarti kedudukan suami istri itu menjadi anggota masyarakat yang sempurna. Klan bayi itu menyambut kelahirannya dengan berbagai cara untuk menyatakan kegembiraannya dan besar kecilnya cara penyambutan tergantung dari kemampuan orang tua si bayi (hal.33).

Pihak mora (orang tua ibunya bayi) adalah orang-orang pertama yang menjenguk bayi dengan membawa makanan (nasi tungkus) yaitu nasi yang dibungkus dalam daun pisang dan dibuat seperti tumpeng, diatasnya diletakkan tiga butir telur ayam beserta sedikit garam yang dibungkus. Selain itu ada juga gulai ayam, ikan dan lainnya yang dibawa dalam satu atau dua rantang. Dua keluarga, yaitu mora dan keluarga si bayi melakukan ritual upacara menjenguk bai, setelah si ibu dan keluarganya menerima skapur sirih dari pihak mora. Upacara tersebut merupakan bentuk percakapan berbalas, berganti-gantian antara pihak si ibu bayi dan keluarga mora yang isinya ucapan syukur telah dianugerahkan seorang bayi. Bayi laki-laki didoakan agar cepat besar dan berguna bagi masyarakat dan keluarga, dan dapat menjemput boru tulang, bayi perempuan didoakan agar cepat besar, berguna bagi masyarakat dan keluarga dan apabila akan menikah dapat memperoleh upah tulang. (hal.34).

Selain kunjungan-kunjungan keluarga, ada juga upacara khusus sebagai tanda terima kasih kepada Tuhan, yang dilakukan oleh keluarga bangsawan dan golongan mampu yaitu horja (pesta besar), tiga hari tiga malam, bahkan ada juga yang tujuh hari tujuh malam. Bagi golongan menengah, mereka mengadakan pesta dengan menyembelih seekor kambing, dengan mengundang kawan sekampung, sedangkan bagi rakyat biasa, diadakan selamatan sederhana saja (hal.36)

Apabila si bayi sehat dan dianggap kuat untuk bepergian, maka untuk memenuhi janji pihak mora si bayi dibawa oleh ayah ibunya, kaum kerabat dan anak boru menuju kediaman moranya, dengan membawa juga nasi tungkus. Dalam acara ini, mora telah melakukan persiapan sebelumnya dan akan memberikan parompa sadun (kain pengendong) kepada si bayi. Upacara inipun berisikan percakapan berbalas dari kedua pihak yang intinya adalah doa-doa agar si bayi cepat besar, menjadi anggota masyarakat yang baik, taat beragama dan cinta kepada keluarga. Jika upacara ini mengundang hatobangan dan teman sekampung, maka harus disembelih seekor kambing sebagai pengupa dengan menu pendamping dua ekor ikan jurung. Dan dalam upacara yang dihadiri oleh hatobangan dan kawan sekampung, juga dihadiri oleh para undangan lain, seperti raja panusunan bulung, raja pamusuk (hal.37)

Pada masa sekarang, untuk menghemat waktu upacara pemberian parompa sadun ini telah dipersingkat oleh masyarakat Tapanuli Selatan. Pemberian parompa sadun langsung dilakukan ketika keluarga mora datang untuk menjenguk si bayi di rumah orangtuanya (hal.38)

Masa kanak-kanak diisi dengan beragam kegiatan seperti belajar dengan menggunakan bahasa Batak pada guru dengan cara mendatangi rumah gurunya dan setelah perang Paderi, mereka juga belajar dengan menggunakan bahasa Arab. Selain itu, mereka juga belajar Pencak Silat, melihat hari baik dan hari buruk lewat penanggalan yang disebut parkalaan, belajar menjadi datu (dukun), serta membuat ramuan obat-obatan yang disebut mangsi (hal. 39-40)

Dengan masuknya agama Islam ke Tapanuli Selatan, anak-anak dididik di surau-surau terutama tentang ibadahnya. Pusat pengkajian yang sampai saat ini masih ada adalah yang terdapat di kampung Purba, dekat Kotanopan. Di kampung-kampung, dimana terdapat sungai dan lubuknya, anak laki-laki sudah diajarkan berenang, sehingga ketika dewasa mereka telah menjadi perenang dan penyelam yang ulung (hal.42).
Khitanan dilakukan ketika anak berumur 8-10 tahun dan tidak ada perayaannya. Seorang remaja mempergunakan waktunya kira-kira setengah hari untuk belajar dan setengah hari lagi digunakan untuk membantu orang tuanya. Bagi anak-anak perempuan, di waktu-waktu senggang diberikan pelajaran rumah tangga, menganyam tikar, menenun dan membuat barang-barang yang khususnya dipergunakan oleh kaum wanita. (hal.43).

Perkawinan adat di Tapanuli Selatan terikat kepada sistem adat yang berlaku, tidak hanya mengikat suami istri saja tetapi juga kedua keluarganya. Adat Tapanuli Selatan menganut sistem garis kebapakan (Patrilineal), artinya si gadis pindah ke rumah calon suaminya. Perkawinan ini dilakukan menurut sistem perkawinan jujur, yaitu si istri wajib tinggal di tempat keluarga suaminya dan meninggalkan keluarganya. Akibatnya, timbullah suatu hubungan antara keluarga si istri dengan keluarga suaminya, yaitu hubungan antara mora dan anak boru (46).

Proses untuk menjalani suatu pernikahan dilalui oleh beberapa tahap, yaitu martandang (berkunjung), meminang, pertunangan, penyelesaian jujur, melepas anak gadis karena perkawinan, menjemput mempelai perempuan, penyambutan mempelai perempuan dan Mangupa Boru (pesta perkawinan). Setiap proses tersebut memiliki tata cara tersendiri dalam bentuk percakapan berbalas yang sangat panjang. Dalam adat Tapanuli Selatan, pesta pernikahan baru boleh dilakukan jika sepasang muda-mudi telah sah sebagai suami istri. Adapun upacara perkawinan tersebut didasarkan atas permufakatan Dalihan Natolu yang terdiri atas Kahanggi, Mora dan Anak Boru. Pesta perkawinan selalu dilaksanakan di rumah mempelai laki-laki, dengan terlebih dahulu melihat hari dan bulan baik berdasarkan penangggalan Batak. Untuk menentukan hari baik pun, membutuhkan musyawarah yang panjang. Pembukaan pesta diisi dengan tari-tarian oleh semua masyarakat yang diisi dengan nyanyian-nyayian, pada malam hari bahkan sampai subuh. Pagi hari, kedua mempelai akan dibawa ke Tapian Raya Bangunan untuk di upa-upa (hal.87).

Di Tapian Raya Bangunan kembali dilakukan kata-kata sambutan berbalas, yang intinya kedua mempelai dan semua yang hadir di Tapian Raya Bangunan akan mendapat keramas, untuk membuang pergaulan muda-mudi dan segala perbuatan yang kurang baik dan semua yang tidak baik tersebut akan dihanyutkan, dan setelah pulang dari Tapian Raya Bangunan, hanya kebaikanlah yang dibawa, selamat dan bahagia ruh dan badan dan senantiasa dilindungi oleh Yang Maha Kuasa. Setelah selesai ritual di Tapian Raya Bangunan, setiap orang diberikan tanda silang di dahi dengan kapur sirih, dan kembali ke rumah dengan disambut tari-tarian dan nyanyi-nyanyian (hal.88-89).

Setelah itu, disajikan itak gurgur, santan dan umbut enau untuk disantap bersama dan selanjutnya pangupa pun dilakukan tepatnya pada waktu naiknya matahari, dengan harapan rezeki orang yang di upa akan naik pula. Disini, terjadi juga sambutan berbalas, sambil mengupa kedua mempelai, dimulai oleh yang paling tua, para suhut, hatobangan, kahanggi, mora, anak boru. (hal.100).

Upacara adat yang utama di Tapanuli Selatan dikenal tiga jenis upacara bersuka cita, yaitu Tubuan Boru (kelahiran anak), Marharoan Boru (pesta perkawinan) dan Pahoras Tondi (memasuki rumah baru); dan satu upacara duka cita, yaitu Pasidung Ari (tutup usia). Upacara Pahoras Tondi juga didahului oleh musyawarah keluarga, jika telah ada kata sepakat kemudian diadakan musyawarah sekampung yang dihadiri oleh para orang tua kampung dibawah pimpinan Raja Panusunan Bulung. Menjelang dimulainya pesta, diadakanlah musyawarah lengkap dengan disertai Raja-raja Torbing Dolok, yang disebut musyawarah ‘haruaya mardomu bulung’. Pemilik rumah menyembelih kerbau sebagai bahan untuk upa-upa dan santapan tamu serta ada juga yang dibagi-bagikan ke undangan untuk dibawa pulang, sedangkan mora-nya datang membawa makanan pendamping berupa daging kambing. Dalam acara inipun berlangsung kata-kata sambutan berbalas yang sangat panjang (hal.132-136).

Upacara adat pasidung ari (tutup usia) yang lengkap, umumnya hanya dilakukan terhadap orang-orang yang meningga dunia dalam usia lanjut, sudah mempunyai cucu, yaitu bangsawan, ternama, hartawan dan berjasa pada masyarakat. Setelah seseorang tutup usia, dulu, biasanya raja akan datang untuk melihat. Berita disampaikan ke masyarakat kampung dan segera dilakukan musyawarah adat untuk membicarakan cara pemakamannya, mempertimbangkan kedudukan almarhum dalam masyarakat semasa hayatnya, usia dan lainnnya. Jika diputuskan upacara pemakaman adalah dengan adat penuh, maka biayanya akan diserahkan pada kahanggi, mora dan anak boru karena menurut adat sekurang-kurangnya harus menyembelih seekor kerbau. Alat pengangkut jenazah disebut roto, dan terdiri atas 4 jenis, yaitu (a) Roto Gobak, dipakai untuk orang kebanyakan; (b) Roto Biasa, dipakai untuk sanak keluarga raja, mora, rakyat terkemuka yang berjasa; (c) Roto Payung, ada dua yaitu roto payung empat untuk orang kebanyakan dan orang mampu yang memiliki kedudukan dalam masyarakat dan Roto Payung Enam untuk bangsawan dan orang mampu yang mempunyai kedudukan istimewa dalam masyarakat; (d) Gaya Lumpat, digunakan untuk raja, permaisuri raja, ayah raja, ibunda raja atau salah satu pemegang tampuk negeri yang mangkat (hal. 138-140).

Upacara-upacara dalam pasidung ari diawali dengan upacara menyelimuti jenazah dengan kain kebesaran adat Batak, diikuti dengan pemberitahuan kepada umum melalui gong besar (tawak-tawak) dan mempersiapkan perlengkapan kendaraan jenazah. Lalu dibuatlah roto payung dan hombung (keranda), membangun rompayan (tempat enyebelih kerbau) dan menyembelih kerbau. Tanduk kerbau diikatkan pada suatu tempat di depan rumah sebagai pertanda bahwa adat telah terpenuhi mutlak. Lalu, upacara dilanjutkan dengan memandikan jenazah, memasukkan kedalam keranda dan diusung ke depan rumah dan mempersiapkan untuk diantar ke pemakaman (hal.141-145).

Upacara pelepasan jenazah diisi dengan pidato-pidato dari wakil keluarga, kahanggi/ hombar suhut, anak boru, pisang raut, mora dan pidato penutup dari Raja Panusunan Bulung. Upacara terus dilakukan sampai jenazah dikuburkan dan para pengantar kembali ke rumah duka. Setelah dikuburkan, keluarga almarhum masih mengadakan acara khusus dengan mora-nya yang berisi pidato berbalas penuh keharuan (hal.146-155).
Rompak tutur adalah sebuah lembaga (di luar dalihan natolu) untuk masyarakat Tapanuli Selatan dewasa ini dalam rangka menjembatani permasalahan masyarakat yang agak berbeda dengan adat semestinya, misalnya perkawinan dengan hubungan keluarga yang tidak langsung. Untuk urusan tersebut, ada tata cara adatnya tersendiri dengan membayar denda, yaitu seekor kerbau untuk keperluan rombak tutur tersebut. Namun, untuk kawin semarga tidak dapat dibenarkan oleh lembaga ini (hal.156-157).

Apabila seorang pemuda Tapanuli Selatan (bermarga) akan menikah dengan seorang gadis dari daerah/pulau lain (tidak bermarga), maka sebelum dilakukannnya pernikahan menurut adat, maka si gadis yang berasal dari lain pulau tersebut harus diberikan marga. Marga yang akan diberikan adalah marga calon mertua perempuan yaitu ibu dari calon suaminya. Untuk itu, ada upacara khusus yang dilakukan dalam rangka pemberian marga tersebut yang berbentuk pidato berbalas (hal. 158-159)

PEMBAHASAN
Tentang kampung atau huta menurut bahasa Tapanuli Selatan, dalam penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa huta-huta di Tapanuli Selatan terkategori atas dua kelompok besar, yaitu huta induk dan huta anak. Kelompok Huta Induk merupakan huta-huta yang pada masa pemerintahan dulu dipimpin oleh seorang Raja Panusunan Bulung. Huta induk memiliki beberapa huta anak yang letaknya tersebar. Huta anak merupakan huta yang di pimpin oleh seorang Raja Pamusuk dan tunduk dibawah Raja Panusunan Bulung yang berkedudukan di huta induk. huta induk tidak dapat memutuskan perkara adat secara sepihak tanpa persetujuan dari Raja Panusunan Bulung. Setiap perangkat adat yang ada di huta induk seperti Kahanggi, Mora dan Anak Boru sama kedudukannya dengan yang ada di desa anak. Perbedaannya hanya pada pelaksanaan adat. Huta anak tidak dapat memutuskan sendiri perkara atau segala hal yang berhubungan dengan adat tanpa persetujuan dari Raja Panusunan Bulung yang ada di Huta induk. Dalam penelitan ebelumnya juga ditemukan, bahwa sebuah huta anak dapat berkembang menjadi sebuah huta induk. Dalam hal ini, perubahan tersebut sangat tergantung dari kesiapan sebuah huta ditinjau dari beberapa hal, seperti kelengkapan adat dan kemampuan pemimpinnya. Di sini terlihat, bahwa setiap daerah boleh mengembangkan sendiri daerahnya, tanpa tergantung dari daerah asalnya atau pusatnya. Dengan demikian, sejak dulu, Tapanuli Selatan telah mengenal sistem otonomi.

Proses terbentuknya sebuah huta adat di Tapanuli Selatan mempunyai dua tahapan penting, yaitu pagaran menjadi huta dan huta menjadi huta adat.
a. Pagaran menjadi huta, yaitu tahap dibukanya sebuah kampung yang ditandai dengan dibangunnya rumah-rumah penduduk secara bergotong royong dengan menempatkan bangunan-bangunan hunian tersebut pada zona Banua Partonga. Perkembangan bangunan-bangunan hunian di pagaran menjadi banjar dan selanjutnya membentuk sebuah huta tetap mengikuti kelompok bangunan yang sudah ada pada zona tersebut.
b. Huta menjadi huta adat, yaitu tahap diresmikannya huta yang sudah memiliki perangkat adat yang lengkap menjadi huta adat melalui horja. Perkembangan huta selanjutnya diawali dengan menentukan letak Alaman Bolak dan bangunan-bangunan utama. Alaman dan Sopo Godang ditempatkan pada Banua Partonga sedangkan Bagas Godang ditempatkan di zona Banua Partonga, dekat dengan Banua Parginjang. Orientasi Bagas Godang diupayakan tidak membelakangi matahari, tetapi posisi membelakangi matahari lebih baik dari pada harus berada pada zona Banua Partoru.
Disini, jelas terdapat perbedaan bahwa menurut H.M.D Harahap, SH dalam bukunya (hal.29), sebuah kampung atau huta diawali dengan pendirian bangunan Bagas Godang dan Sopo Godang sedangkan menurut beberapa narasumber terpercaya, dan penelitian yang pernah dilakukan, Bagas Godang dan Sopo Godang justru dibangun ketika rumah-rumah penduduk selesai di bangun.

Seperti yang dijelaskan Harahap (hal.29) tentang proses penanaman pohon bambu di sebuah huta atau kampung yang baru dibuka, pohon bambu ditanam sebagai pagar (memunculkan istilah pagaran) secara eksplisit telah menyiratkan adanya proses terbentuknya sebuah huta di Tapanuli Selatan, yaitu pagaran menjadi huta dan huta menjadi huta adat. Di sini juga disinggung peran sungai sebagai bagian dari sebuah kampung, bahwa tempat untuk membuka kampung adalah tempat yang datar dan terletak di pinggir sungai. Dalam penelitian yang pernah dilakukan, sungai memang memiliki arti tersendiri bagi terciptanya sebuah kampung di Tapanuli Selatan, yaitu berkaitan dengan konsepsi banua. Hal ini juga semakin mempertegas pentingnya penelitian tentang sungai di Tapanuli Selatan.

Pembahasan tentang sistem pemerintahan di Tapanuli Selatan (hal.31) menunjukkan bahwa dalam kehidupannya, masyarakat Tapanuli Selatan selalu menjunjung tinggi musyawarah mufakat dengan seluruh anggota masyarakat yang ada. Raja sebagai pemimpin hanyalah simbol bagi berdirinya sebuah kampung yang beradat. Raja tidak pernah memutuskan sebuah perkara menurutnya pemikiran dan pendapatnya sendiri tetapi harus berdasarkan Dalihan Natolu. Kekuasaan sejatinya adalah milik masyarakat.
Upacara kelahiran bayi (hal.33) menunjukkan bahwa betapa berartinya kelahiran seorang anak manusia di bumi Tapanuli Selatan, sehingga sejak dikandungpun selalu diingat melalui mimpi-mimpi yang dapat ibunya. Dari dulu hingga sekarang, seorang anak begitu dipuja kedatangannya, sehingga semua orang tua menggantungkan harapannya pada anak. Tak jarang, mereka rela hidup seadanya agar dapat memberikan yang terbaik bagi anaknya, seperti misalnya pendidikan. Beberapa contoh kemajuan yang telah dicapai oleh masyarakat Tapanuli Selatan adalah peningkatan sumber daya manusia di bidang pendidikan. Bagi masyarakat Tapanuli Selatan, anak adalah harta yang paling berharga. Walaupun hidup seadanya, kelahiran anak tetap harus disambut dengan acara adat, meskipun hanya sederhana.

Masa kanak-kanak di Tapanuli Selatan (hal 39-43) juga dibekali dengan berbagai pengetahuan, tidak saja pengetahuan agama tetapi juga adat, budaya dan keahlian khusus. Hal ini menunjukkan bahwa setiap anak diharapkan mampu berdiri sendiri setelah dewasa dan dapat berguna bagi masyarakat dan agama melalui apa yang dipelajarinya sejak kecil. Nilai-nilai moral, sosial dan adat telah ditanamkan sejak kanak-kanak di Tapanuli Selatan, agar semua kekayaan lokal mereka tetap ada dan berkembang. Keahlian tersebut sampai sekarang dapat dilihat pada pameran-pameran produk lokal Tapanuli Selatan , bahkan menarik minat asing untuk di ekspor keluar negeri. Yang menarik, anak-anak Tapanuli Selatan sejak kecil telah mahir berenang dan latihannya hanya di sungai-sungai yang ada di kampung mereka. Tak heran, salah satu atlit renang putri Indonesia terlahir dari daerah ini.

Buku ini sangat banyak (bahkan setengah isi buku : hal.44-128, total halaman 160) menyajikan tentang tata cara pelaksanaan adat pernikahan di Tapanuli Selatan. Tata adat istiadat tersebut menunjukkan bahwa betapa tingginya posisi Dalihan Natolu sebagai tolok ukur bagi kelangsungan kehidupan masyarakat disana. Setiap sesi acara, selalu diisi dengan sambutan-sambutan dari unsur-unsur Dalihan Natolu (kahanggi, mora dan anak boru). Sequence yang sangat banyak menuju ke pernikahan dengan disertai sambutan-sambutan yang halus dan bersahaja dari unsur-unsur Dalihan Natolu seakan menjadi benteng bagi tegaknya sebuah rumah tangga/keluarga. Hal ini juga berpengaruh pada keberlanjutan dan keutuhan rumah tangga di Tapanuli Selatan, karena sedikit sekali ditemukan adanya kasus perceraian di sana.

Hal menarik lain yang mengarah ke tema sungai adalah proses upa-upa pengantin dan para pengantarnya di Tapian Raya Bangunan (hal. 88-89). Pada salah satu sambutannya terdapat kalimat : “… segala perbuatan yang kurang baik dan semua yang tidak baik tersebut akan dihanyutkan, dan setelah pulang dari Tapian Raya Bangunan, hanya kebaikanlah yang dibawa, selamat dan bahagia ruh dan badan dan senantiasa dilindungi oleh Yang Maha Kuasa…” Tapian Raya Bangunan yang dimaksud bisa jadi merupakan sungai utama atau sungai besar di kampung tersebut, karena ada kata ‘dihanyutkan’ dalam dialognya. Namun, hal ini tentu saja masih merupakan dugaan-dugaan sementara. Perlu penelitian lebih lanjut untuk membuktikan hal tersebut.

Pembahasan tentang upacara kematian (hal.137-155) memberikan penegasan bahwa, walaupun raja hanya sebagai simbol (karena kekuasaan sepenuhnya adalah di tangan Dalihan Natolu), tetapi pada akhir hayatnya seorang raja tetap mendapatkan perlakuan berbeda dari masyarakat biasa. Hal ini dapat dilihat dari berbedanya jenis roto (angkutan jenazah) untuk raja dan keluarganya dengan roto untuk orang biasa dan bangsawan berjasa. Di sini, kembali terlihat perbedaan kelas sosial masyarakat di Tapanuli Selatan antara Raja dan rakyat biasa, setelah sebelumnya diketahui bahwa perbedaan juga muncul pada wujud dan dimensi rumah tinggal, serta luas halaman di depan rumah.

Seiring dengan perkembangan jaman, Tapanuli Selatan juga berbenah dalam hal adat dan istiadatnya. Jika dulu perkawinan dilakukan hanya dengan boru tulang, tetapi sekarang ini banyak pemuda-pemudi di sana yang tidak tertarik dengan boru tulangnya, tetapi tertarik pada boru namboru-nya. Hal ini tentu saja tidak lazim bagi adat mereka, tetapi karena tuntutan kebutuhan masyarakatnya, dibentuklah sebuah lembaga adat yang menjembatani permasalahan tersebut, yaitu Rombak Tutur. Ini menunjukkan bahwa adat istiadat Tapanuli Selatan tidak kaku dan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman dan kebutuhan masyarakatnya, sepanjang hal tersebut di atur dalam suatu susunan adat tertentu yang disepakati bersama. Demikian juga halnya dengan kawin campur (bermarga dengan tidak bermarga) dapat diselesaikan dengan baik oleh mereka dengan cara memberikan marga kepada calon pengantin yang tidak memiliki marga, agar dapat dilakukan pernikahan secara adat, tanpa mengurangi nilai adat itu sendiri.

PENUTUP
Buku Adat Istiadat Tapanuli Selatan tersebut secara tidak langsung telah mempertegas peran penting sungai bagi sebuah kampung di Tapanuli Selatan, dan hal ini tentu saja menjadi entry point yang baik untuk meneliti tentang fenomena tersebut. Berdasarkan buku ini, fenomena penting sungai dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu pertama pada saat pendirian kampung (harus daerah datar dan di pinggir sungai); kedua pada saat akan menikah (di upa-upa di Tapian Raya Bangunan, dan menurut saya hal ini mengarah ke sungai, karena ada kalimat : “…segala perbuatan yang kurang baik dan semua yang tidak baik tersebut akan dihanyutkan, dan setelah pulang dari Tapian Raya Bangunan, hanya kebaikanlah yang dibawa, selamat dan bahagia ruh dan badan dan senantiasa dilindungi oleh Yang Maha Kuasa…”) dan ketiga berdasarkan sumber lain yang pernah ada bahwa setiap anak yang baru lahir, akan dibawa ke sungai dan dimandikan dengan air sungai.

Selain itu, tata cata adat istiadatnya menunjukkan bahwa adat merupakan faktor yang menentukan kemuliaan dan harga diri serta memiliki pengaruh yang besar dan dominan dalam kehidupan masyarakatnya. Pembahasan tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat Mandailing terbiasa dengan sikap yang lemah lembut, bertutur sapa santun, diplomatis dan tidak to the point (tidak langsung pada pokok pembicaraan) sehingga bagi orang yang tidak terbiasa mengikuti pembicaraan mereka, akan terasa bosan dan sukar ditangkap maknanya. Memahami suatu pembicaraan memerlukan suatu kesabaran, apalagi pembicaraan tersebut dilakukan dalam suatu acara adat. Semua itu ditunjukkan pada semua upacara adat di daerah ini, dan hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Tapanuli Selatan memiliki kesabaran yang cukup tinggi.


Sumber:
http://arsitektursiana.blogspot.com/2009/12/review-buku-adat-istiadat-tapanuli.html

No comments:

Post a Comment