Pages

Wednesday, June 13, 2012

Abas Hutasuhut


Abas Hutasuhut

Hari ini, 82 tahun lalu di Gedung Indonesische Clubgebow milik Sie Kong Liong di Weltervreden Straat 106 (sekarang Jalan Kramat Raya Jakarta Pusat) hampir seratus pemuda berkumpul membulatkan sikap bagi masa depan sebuah bangsa baru. Suasana hening ketika Wage Rudolf Supratman melantunkan biola menyanyikan Indonesia Raya. Dalam keheningan dada mereka begemuruh. Mereka bertepuk tangan ketika lagu tersebut usai. Dan semangat para pemuda itu makin menggumpal ketika ikrar Sumpah Pemuda diucapkan: Bertanah Air Jang Satoe, Tanah Air Indonesia. Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia . Berbahasa Jang Satoe, Bahasa Indonesia. Sejarah besar telah diukirkan untuk satu tujuan: kemerdekaan Indonesia.

Di antara mereka hadir Abas Hutasuhut, pemuda berusia 22 tahun, kelahiran Diski, dekat Binjai, putra seorang kerani perkebunan di Kuala Begumit, Langkat. Abas mahasiswa kedokteran Stovia mewakili Perkoempoelan Peladjar Peladjar Indonesia (PPPI) ikut dalam kepanitian Kongres Pemuda Kedua yang ditutup pada 28 Oktober 1928 hari itu.

Panitia kongres diketuai Soegondo Djojopoespito (PPPI), Wakil Ketua RM Djoko Marsaid (Jong Java), Sekretaris Muhammad Jamin (Jong Sumateranen Bond), Bendahara Amir Sjarifuddin Harahap (Jong Bataks Bond). Panitia dilengkapi pembantu-pembantu. Pada pemuda mewakili dari berbagai organisasi kedaerahaan antara lain dari Pemoeda Kaoem Betawi, Jong Celebes (Sulawesi), Jong Ambon dan lainnya. Selama dua hari mereka berkongres 27 – 28 Oktober 1928 akhirnya melahirkan apa yang kita nikmati sekarang ini: Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Dorongan terbesar kebulatan tekad akan membentuk bangsa baru sebenarnya dimulai ketika istilah Hindia Belanda dihapuskan oleh para mahasiswa Indische Vereeneging (IV) di Belanda dimotori oleh Mohammad Hatta cs dengan mengganti nama menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI) pada 1925 dan secara resmi mencanangkan nama Indonesia sebagai nama negara yang secara politik harus diperjuangkan kemerdekaannya. Beberapa bulan kemudian diperkuat dengan lahirnya buku Tan Malaka dalam pelariannya berjudul Naar een Indonesia Merdeka (Menuju Indonesia Merdeka).

Begitu kuatnya semangat persatuan dan kerinduan akan kemerdekaan Indonesia dalam kongres pemuda tersebut. Sehingga setelah kongres ditutup, para pemuda yang berasal dari berbagai suku dan kelompok itu “membuat sumpah baru” di luar sumpah pemuda tersebut. Termasuk Abas Hutasuhut ikut mengikrarkan sumpah di balik sumpah pemuda itu. Mereka bersumpah tidak akan memakai marga mereka dan tidak akan pulang kampung bila selesai kuliah. Mereka akan berbakti ke daerah lain menyumbangkan darma baktinya untuk kemerdekaan Indonesia .

“Mereka bersumpah menanggalkan marganya dan tidak akan pulang kampung. Itulah yang dilakukan ayah saya termasuk Amir Sjarifuddin yang menanggalkan marga Harahap. Demi mewujudkan bangsa Indonesia,” tutur Dimardi Abas mengenang kisah perjuangan ayahandanya Mr Abas.

Amir Sjarifuddin kemudian dikenal sebagai menteri pertahanan pertama RI yang membentuk Badan Keselamatan Rakyat kemudian bersama Abdul Haris Nasution dan Didi Kartasasmita membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) lalu menjadi TNI sekarang. Amir Sjarifuddin sempat menjadi perdana menteri RI. Kuatnya dorongan akan kemerdekaan Indonesia itu bahkan membuah “sumpah baru” bagi diri Bung Hatta sendiri. Beliau bersumpah tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Barulah setelah Indonesia merdeka, sahabatnya Bung Karno mengingatkan sumpah Hatta tersebut. Bung Karno kemudian menjodohkannya dengan Rahmi Hatta.

Seusai Sumpah Pemuda itu, Abas yang telah menghilangkan marga Hutasuhutnya itu, gagal kuliah di Stovia pada tahun ketiga. Sebagai aktivis pemuda, beliau lebih tertarik kuliah di Rechts Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum -RHS) Jakarta. Di RHS ini, Abas bertemu dengan temannya Amir Sjarifuddin dan Muhammad Jamin yang sebelumnya kuliah di situ.

Sementara itu, aktivitas politik Abas bersama teman-temannya di Stovia dan RHS semakin meningkat terutama di PPPI. Mereka sering berdiskusi politik di Indonesische Clubgebouw (IC) di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta Pusat. Aktivitas politik mereka selalui diintai sering menjadi buronan intel Politike Inlichtingen Dienst (PID). Kelompok PPPI di RHS akhirnya dikenal sebagai mahasiswa radikal termasuk Amir, Abas dan Muhammad Jamin.

Mahasiswa radikal ini sering diinterogasi oleh PID, ada yang sempat ditahan beberapa minggu dan bahkan ada sempat diajukan ke pengadilan. Termasuk beberapa tahun kemudian, Mr Amir Sjarifuddin dihukum mati oleh Belanda, tapi di zaman Jepang atas usul Bung Hatta kepada penguasa Jepang, dibebaskan.

Dalam pertemuan diskusi politik di IC inilah Abas bertemu dengan Ani Manoppo seorang mahasisiwi dari Desa Langowan, Minahasa. Ani masuk IC dibawa temannya Moni Tumbel, anggota PPPI dan pengagum Soekarno. Moni Tumbel juga salah seorang peserta Sumpah Pemuda. Di sinilah Abas dan Ani mendapat jodoh yang kemudian menikah di Kuala Begumit, Langkat.

Namun begitu, walaupun mereka merupakan mahasiswa-mahasiswa radikal yang menentang penjajahan Belanda, para profesor yang mendidik mereka tetap adil (fair). “Mereka sangat streng dan menuntut kerajinan dan ketekunan belajar dari mahasiswa mereka dan tidak akan menekan seorang mahasiswa hanya karena pendirian politik mereka,” kata Prof Mr Ani Abas Manoppo dalam otobiografinya.

Setelah menikah, Ani Manoppo lebih dulu menyelesaikan kuliahnya di RHS dan menjadi sarjana hukum wanita pertama di RHS. Baru beberapa tahun kemudian Abas menyelesaikan kuliahnya dan keduanya melanjutkan sumpahnya bagi Indonesia. Keduanya bersama keluarga kemudian pindah ke Tanjung Karang, Lampung. Mester Abas menjadi advokat membela rakyat kecil sembari terus berjuang dengan mendirikan Partai Indonesia Raya (Parindra) di Lampung.

“Kami dirikan cabang Parindra di sana. Tujuan Parindra adalah untuk meyakinkan suku-suku bangsa Indonesia bahwa mereka pada hakikatnya adalah satu rumpun yang dengan kekuatan bersama pada suatu ketika akan dapat berdiri sendiri,” kata Ani Abas Manoppo.

Tapi kini sudah 81 tahun berlalu dari Sumpah Pemuda dan sudah 64 tahun Indonesia merdeka. Apa yang terjadi sekarang, justru terlihat menjadi kebalikan dari apa yang telah Mr Abas dkk rintis dahulu. Dahulu di awal Kebangkitan Nasional 1908 dimulai dari organisasi kedaerahan kemudian semakin bersatu menjadi nasionalisme yang melahirkan Sumpah Pemuda yang kemudian menjadi pendorong bagi kemerdekaan Indonesia.
Sekarang setelah Indonesia merdeka dan kita sekarang dengan enaknya dapat menikmati kemerdekaan tersebut, justru semakin terjabak pada pragamatisme politik jangka pendek dan materialisme. Akibatnya, muncul ketimpangan sosial dan demokrasi yang telah diperoleh justru hanya ditujukan pada ambisi kekuasaan semata. Dampaknya, nasionalisme Indonesia semakin luntur.

Yang muncul malah sikap primordialisme dan kesukuan yang semakin tajam. Malah mahasiswa Maluku misalnya, berdemonstrasi karena pemerintah tak menempatkan orang Maluku di kabinet. Setiap suku sekarang ingin memecah-memecah keindonesiaan dalam bentuk kabupaten atau provinsi baru. Lalu, di manakah makna Sumpah Pemuda itu sekarang?

Penulis : muchsin lubis

sumber: www.harian-global.com

http://tokohbatak.wordpress.com/2010/10/21/abas-hutasuhut/

No comments:

Post a Comment