Pages

Friday, May 4, 2012

Peran Zending dalam Perang Toba


Peran Zending dalam Perang Toba
Berdasarkan Laporan I.L. Nommensen dan penginjil-RMG lain oleh Uli Kozok


Prakata

Tulisan ini tidaklah bermaksud mendeskritkan golongan,agama dan etnis mana sekalipun, tetapi semata-mata Uli Kocok mencoba memaparkan sejarah dan tentang latar belakang Perang Batak yang sebenarnya, serta tahap-tahapan kejadian dan perjalanan sejarah Batak diabad 19.Kegigihan Sisingamangaraja dengan bansanya (Batak) dijelaskan secara gambling tanpa bermaksud memperindah jalan sejarah dengan hal yang muluk-muluk Ludwig Ingwer Nommensen adalah seorang tokoh yang oleh sebagian orang Batak tidak hanya dihormati atas jasanya menyebarkan agama Kristen di Tanah Batak, tetapi bahkan dianggap sebagai rasul atau apostel Batak. Sumbangan Nommensen dan tokoh-tokoh injil lainnya –yang namanya jarang disebut – berdampak luas pada masyarakat Batak, bukan saja di bidang kerohanian, tetapi juga di bidang pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Tokoh penginjilan dari Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG), lembaga penginjilan asal Jerman, ini hidup di antara orang Batak selama lebih dari 50 tahun. Tentu dapat dipahami bahwa orang Batak yang beragama Kristen Protestan mengenang Nommensen dengan rasa kagum dan bangga. Namun Nommensen sesungguhnya hanya salah satu dari banyak penginjil RMG yang ditugaskan untuk menyebarkan injil di Tanah Batak. Dia bukan pemrakarsa zending Batak dan otoritasnya terbatas. Disiplin dan kepatuhan terhadap atasan sangat diutamakan dalam kalangan RMG. Sebagai pelaksana, para penginjil diwajibkan untuk setiap bulan menulis laporan. Laporan-laporan itu kemudian diolah dan diterbitkan dalam sebuah majalah yang dinamakan Berichte der Rheinische Missions-Gesellschaft, disingkat BRMG. Secara total ada sekitar 10.000 halaman yang ditulis oleh para penginjil RMG di Tanah Batak tentang segala hal yang terjadi di wilayah penginjilannya. Dengan demikian BRMG merupakan sumber histories yang teramat penting. Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Batak adalah Perang Toba yang terjadi pada tahun 1878 dan 1883 sebagai inti perlawanan Si Singamangaraja XII terhadap kekuasaan Belanda. Di dalam buku yang sederhana ini kami sajikan laporan-laporan para zendeling tentang Perang Toba Pertama. Laporan para penginjil itu kami sajikan dalam bentuk edisi facsimile agar secara mudah teks asli yang berbahasa Jerman dapat dibandingkan dengan terjemahan bahasa Indonesia, dan untuk menjaga keakuratan terjemahannya. Makalah ini mengungkap catatan perjalanan para penginjil selama masa Perang Toba, dan tidak bermaksud untuk mencari kontroversi melainkan untuk memberi sumbangan terhadap sejarah Batak di awal zaman penjajahan. Tokoh I.L. Nommensen dan tokoh penginjilan Batak lainnya berbicara sendiri dan dipandang dalam konteks sejarah sebagai anak zaman dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Hal tersebut, menurut hemat saya, perlu agar tidak terjadi pembentukan mitos dan legenda yang berkaitan dengan tokoh sejarah ini. Sesuai dengan perkembangan zaman penilaian terhadap tokoh-tokoh sejarah bisa saja terjadi, dan hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah. Saya menyadari bahwa makalah saya yang sederhana ini oleh sebagian orang dianggap “kontroversial”. Sesungguhnya makalah ini hanya menjadi “kontroversial” karena selama ini penulisan sejarah penginjilan di Tanah Batak didominasi oleh para penulis yang dekat dengan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sebagai penerus RMG. Sayang penulisan sejarah seperti itu sangat sepihak dan tanpa adanya upaya untuk secara kritis mengevaluasi tokoh-tokoh penginjilan serta motivasi lembaga penginjilan yang berdiri di belakangnya. Medan, 23 Juni 2009, Dr. Uli Kozok

Pendahuluan

“Mereka mengatakan secara blak-blakan bahwa kami pelopor pemerintah kolonial yang awalnya berbuat amal dengan cara memberi obat dsb. untuk akhirnya menyerahkan tanah dan rakyat kepada pemerintah.” (BRMG 1864:232. BRMG (Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft) adalah laporan bulanan zending RMG yang diterbitkan sebulan sekali oleh pimpinan RMG. Isinya terutama laporan dari para penginjil dan pimpinan RMG tentang kemajuan di masingmasing wilayah zending serta peristiwa yang terjadi. BRMG diterbitkan khusus untuk kalangan RMG serta para sahabat zending yang sangat penting bagi RMG sebagai salah satu sumber pendanaan yang utama. Artikel BRMG yang berkaitan dengan zending Batak mulai dari hari-hari paling awal hingga tahun 1914 ketika perang dunia pertama pecah dan penerbitan BRMG dihentikan.)

Demikian keluhan I.L. Nommensen ketika baru membuka pos zending di lembah Sipirok. Dugaan orang Sipirok ternyata benar. Tidak lama sesudah pindah ke lembah Silindung, tepatnya pada awal tahun 1878, Nommensen berulang kali meminta kepada pemerintah kolonial agar selekasnya menaklukkan Silindung menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda.

Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen sehingga terbentuk koalisi injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak memiliki musuh yang sama: Singamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen.”2 Bersama-sama mereka berangkat untuk mematahkan perjuangan Singamangaraja. Pihak pemerintah dibekali dengan persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan peperangan modern sementara pihak zending dibekali dengan pengetahuan adat-istiadat dan bahasa. Kedua belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada hakikatnya sama: Memastikan agar orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa”.3

Berkat pengetahuan bahasa dan budaya pihak zending (terutama zendeling4 Nommensen dan Simoneit) berhasil meyakinkan ratusan raja agar berhenti mengadakan perlawanan dan menyerah pada kekuasaan Belanda. Yang tidak mau menyerah didenda dan kampungnya dibakar. Melalui Gubernur Sumatra pemerintah Belanda membalas budi para penginjil dengan mengeluarkan surat penghargaan yang resmi: Pemerintah mengucapkan terima kasih kepada penginjil Rheinische Missions-Gesellschaft di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan Bapak A. Simoneit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang telah diberikan selama ekspedisi melawan Toba. Selain surat penghargaan, para misionaris juga memperoleh 1000 Gulden dari pemerintah yang “dapat diambil setiap saat”. Kerjasama antara para penginjil RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) dan pemerintahan kolonial berlangsung sampai musuh mereka, Singamangharaja XII, tewas dalam pertempuran dengan tentara Belanda pada tahun 1907. Walaupun peran Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) dan penginjilnya, terutama Ludwig Ingwer Nommensen, dalam Perang Toba Pertama6 (1878) terang sekali, ada pihak yang melihat adanya ‘kontroversi’. Ada dua isu yang sering menjadi topik perdebatan yang kontroversial, terutama di kalangan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang merupakan penerus RMG di zaman kemerdekaan:

1. Peran para penginjil dalam menaklukkan Onafhankelijke Bataklanden (Tanah Batak yang Merdeka) dan 2. Hubungan Singamangaraja XII dengan Zending. Butir kedua menjadi persoalan yang memang peka karena sebagian besar orang Batak memeluk agama Kristen dan menganggap I.L. Nommensen sebagai apostel atau rasul sedangkan Singamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah pada 9 November 1961. Bagaimana kalau kedua pahlawan yang dua-duanya dianggap sakral oleh orang Batak ternyata saling bermusuhan? Tentu hal itu akan menimbulkan dilema.

Dr. W.B. Sidjabat yang pada tahun 1982 menulis buku berjudul “Ahu Si Singamangaraja: Arti historis, politis, ekonomis dan religius Si Singamangaraja XII” berusaha keras untuk meluruskan dilema itu dengan ‘mendamaikan’ kedua tokoh sacral tersebut, dan juga berusaha untuk mengesampingkan peran zending dalam penaklukan Tanah Batak yang masih merdeka. Sejarahwan Batak beragama Kristen Protestan ini menggunakan sumber baik primer maupun sekunder, yang tertulis dalam berbagai bahasa termasuk Jerman dan Belanda. Selain mengandalkan sumber tertulis ia juga melengkapinya dengan puluhan wawancara. Di antara sumber primer termasuk bahan arsip Belanda, dan juga bahan dari RMG itu sendiri, terutama laporan tahunan (Jahresbericht) RMG, tetapi ia tidak menggunakan laporan RMG yang lebih terinci dan yang diterbitkan sebulan sekali (Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft). Daripada menggunakan sumber primer, yaitu tulisan I.L.Nommensen sendiri yang terdapat dalam BRMG, khusus untuk Perang Toba I, Sidjabat menggunakan buku yang ditulis oleh J.T. Nommensen (anak I.L. Nommensen) berjudul Porsorion ni L. Nommensen yang diterbitkan pada tahun 1925 di Zendingsdrukkerij Laguboti setelah I.L. Nommensen meninggal (1918) dan menceritakan riwayat hidupnya yang sebagian berdasarkan tulisan Nommensen di BRMG, tetapi tentu sudah disadur dan diringkas.

Dalam BAB VI Pertarungan rakyat Sumatra Utara bersama Si Singamangaraja XII melawan Belanda butir 1–11 (hal. 151–186) membahas Perang Toba I, dan BAB itu sangat diwarnai oleh sumber sekunder Porsorion ni L. Nommensen. Sayang Sidjabat tidak memanfaatkan sumber primernya, yaitu laporan Peran Zending dalam Perang Toba Nommensen dalam RBMG. Padahal BRMG merupakan sumber sejarah Batak yang tak ternilai yang menceritakan sejarah Batak dari sudut pandang zending selama lebih dari 50 tahun di atas sekitar 10.000 halaman. Tampaknya hingga kini laporan lengkap I.L. Nommensen tentang Perang Toba I tidak pernah digunakan untuk penulisan sejarah Batak hingga dirasakan perlu untuk menerbitkan ulang catatan Nommensen tentang perang Toba dalam terjemahan bahasa Indonesia.

Sidjabat tidak berniat menuliskan sejarah secara objektif.Dengan sangat jelas ia memperlihatkan sikap pro zending, pro Singamangaraja, dan anti Belanda. Belanda digambarkan sebagai orang yang “cerdik “(hal. 157), memiliki “tangan kotor” (158), “hendak memanfaatkan Nommensen”, menggunakan “tindakan keganasan” (171), “mengadakan kegiatan ganas” (171), tujuannya “didorong oleh keserakahan ekonomi dan militer”, dan pada pasukan Belanda, demikian ditulisnya, yang menonjol “hanya unsur kebinatangan manusia” (179). Walaupun Nommensen pada Perang Toba I mendampingi pasukan Belanda dari hari pertama sampai hari terakhir, dan walaupun ia sangat berperan dalam pecahnya perang tersebut,Nommensen dan pihak zending jarang sekali disebut oleh Sidjabat, dan kalaupun disebut maka Nommensen dan kawankawannya digambarkan secara serba positif. Sidjabat berusaha keras meyakinkan pembaca bukunya bahwa “kehadirannya [...] bukan dalam rangka penjajahan” (156), Nommensen melakukan “pelbagai usaha untuk mengelakkan pertumpahan darah”(165), “berulang kali mengatakan kesediaannya menempuh jalan damai” (166), “tidak dapat menyetujui tindakan kekerasan yang digunakan oleh Belanda” (159), dan “merasa sedih sekali” melihat kampung-kampung Batak dibakar Belanda: Nommensen akhirnya ‘merasa pusing kepala dan terpaksa membaringkan dirinya di dekat sebatang pohon ara dekat Paindoan’. Hasil pekerjaannya sejak tahun 1876 di Toba pastilah akan mengalami kesulitan akibat tindakan kekerasan Belanda ini. [...] Pihak Nommensen bersama zendeling lain, yang memang terjepit dalam keadaan ini [maksudnya Perang Toba, U.K.], masih berusaha untuk mengelakkan pertumpahan darah. Sidjabat tidak menafikan bahwa Nommensen memanggil Belanda ke Silindung tetapi ia berargumentasi bahwa Belanda bagaimana pun sudah bertekad masuk ke Silindung sehingga “Nommensen hanya bahan pelengkap saja dan bukan merupakan alasan sebenarnya mengirim serdadu ke Silindung.” Kalau pun, di samping laporan Nommensen kepada Belanda tentang rencana Singamangaraja untuk membunuh atau mengusir para penginjil dan semua orang beragama Islam, masih ada alasan lain maka Belanda mau masuk ke Silindung, tetapi kesimpulan Sidjabat “bahwa kedatangan Belanda ke Silindung itu ialah atas permintaan Nommensen, tidak benar” bertolak belakang dengan laporan Nommensen sendiri. Sidjabat lalu meneruskan argumentasinya: Nommensen masih berusaha sekuat tenaga untuk mendekati Residen Boyle dan Kontelir van Hoevel dan mengusulkan, agar jangan sampai mengadakan tindakan kekerasan. Pertumpahan darah dan kekerasan berlebihan memang dapat memojokkan pihak zending, namun para penginjil bukan secara mutlak anti kekerasan. Pasukan bantuan Kristen yang dipersenjatai Belanda, dan yang dikecam keras oleh surat-kabar Hindia Belanda karena tindakan mereka yang “bengis dan keji” dalam Perang Toba I, dibela pihak zending dengan katakata berikut: Memang benar bahwa mereka [pasukan bantuan Kristen, UK] diperintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. Kalau dalam perang memang ada pertumpahan darah, hal itu perlu dimaklumi, di Eropa pun halnya demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada pertumpahan darah yang berlebihan. Sidjabat mengakui bahwa tidak semua orang Batak berpihak pada Singamangaraja: …semangat juang dari pihak rakyat tidak pernah mundur kecuali semangat mereka yang mengkhianati perjuangan10.( Sidjabat op.cit. hal.176. Rupanya Sidjabat enggan menyebut pihak mana yang dimaksud karena terutama orang Batak yang Kristen yang berkolaborasi dengan Belanda.) Namun secara umum timbul kesan seolah-olah para raja secara bahu-membahu melawan Belanda:

Pihak Singamangaraja pun segera pula mengadakan reaksi. Raja-raja dan para panglima diajak bermusyawarah untuk menentukan apakah mereka bersedia melihat daerahnya dipreteli atau mengadakan perlawanan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1877. Mufakat pun tercapai untuk tidak membiarkan politik ekspansi Belanda berjalan terus. Kenyataan yang sebenarnya jauh lebih kompleks sebagaimana yang diceritakan Sidjabat. Pihak zending melaporkan bahwa “banyak daerah yang sudah berulang kali meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya dianeksasi”.12

Raja yang memeluk agama Kristen rata-rata setuju kalau Silindung dimasukkan ke dalam wilayah kolonial Belanda, dan juga di antara raja yang masih berpegang pada agama nenek moyangnya tidak semua anti Belanda. Sangat penting bagi Sidjabat adalah rekonsiliasi zending dengan Singamangaraja dan untuk upaya tersebut ia menyediakan sebuah BAB secara eksklusif: IX Sikap Sisingamangaraja XII terhadap Zending (hal. 395–411). Menurutnya ada kontinuitas sikap dari Singamangaraja X hingga XII terhadap zending yang ditandai oleh rasa persahabatan: “tidak ada sikap permusuhan dari Si Singamangaraja X terhadap pihak zending” (157), melainkan “sejak tibanya pihak zendeling, hubungan dengan Singamangaraja segera dipelihara dengan baik (157), “Si Singamangaraja XI juga malah berkelakar dengan Nommensen” (158).

Menurut Sidjabat Singamangaraja bukan “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen”13 sebagaimana ia dicap oleh pihak zending, melainkan anggapan zending itu hanya merupakan “godogan [sic!] pihak Kolonial Belanda.” Kalau kita percaya pada kesimpulan Sidjabat maka para penginjil terus-menerus diakali dan dimanfaatkan Belanda. Sulit untuk mempercaya bahwa Nommensen dkk., apalagi pihak pimpinan RMG yang selalu memantau pekerjaan mereka dengan sangat seksama, begitu naif.

Pendekatan dikotomi hitam-putih yang sedemikian agaknya tidak sesuai dengan kenyataan, dan jelas tidak didukung oleh catatan para penginjil, terutama Nommensen dalam laporannya di BRMG. Pada tahun 1876 Nommensen masih percaya bahwa pekerjaan zending bisa lebih sukses di daerah yang merdeka: Menurut berita yang kami peroleh dari Sibolga14, tampaknya pemerintahan Belanda untuk sementara tidak ditetapkan di Silindung. Berita itu menggembirakan. Makin lama makin kami sadari bahwa keadaan di daerah merdeka lebih mendukung daripada di daerah pemerintahan betapa pun kejamnya dan liarnya orang Batak merdeka bisa menyusahkan seorang penginjil. Orang Batak merdeka lebih bersemangat dan jiwanya lebih terbuka [daripada mereka di daerah yang dikuasai Belanda].

Namun alasan utama maka zending tidak menginginkan Belanda masuk karena para zendeling khawatir bahwa bersama dengan orang Belanda orang Islam akan masuk ke Tanah Batak: Semoga dengan bantuan Tuhan kami berhasil mengkristenkan semua orang Batak di lembah ini [Silindung] sebelum datang pemerintahan Belanda karena pemerintahan Belanda tentu akan membawa orang Islam ke sini. Sikap ini berubah setelah zending memiliki basis umat Kristen yang lebih kokoh. Pada tahun 1878, setelah keadaan di Silindung menghangat, zending meminta kepada pemerintah Belanda agar Silindung segera dimasukkan ke dalam wilayah Hindia-Belanda: Kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan pemerintahan maka hal ini tentu membawa berkat. [..] Apakah hal itu juga menguntungkan zending, apakah dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk adalah pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah meminta agar Silindung dianeksasi. Kalau hal itu sekarang diminta [...] jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah terkejar.17 Ternyata zending tidak menduga bahwa permintaan mereka agar pemerintah mengirim pasukan ke Silindung akan mendapat kecaman keras. Malahan pihak di Belanda yang bersahabat dengan zending keberatan dengan kenyataan bahwa penginjil kita meminta bantuan pemerintah Belanda.

Menurut penginjil mereka tidak bersalah memanggil bantuan Belanda karena mereka berada di wilayah yang “pada hakikatnya” (eigentlich) berada di bawah kekuasaan Belanda. Masalahnya di sini bahwa mungkin de jure (secara hukum) Silindung sudah termasuk wilayah Hindia-Belanda tetapi tidak de facto (secara nyata) karena pemerintah Belanda tidak ada perwakilan apa-apa di sana dan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan raja. Kalau ada utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut rakyat – yang pada hakikatnya telah berada di bawah kekuasaan Belanda –dan menyerukan agar mereka tunduk pada Aceh,dan kalau penginjil kita mendengar rencana orang Aceh itu untuk mendirikan kekuasaannya di atas kerajaan Singamangaraja, dan berusaha lagi untuk menjatuhkan kekuasaan Belanda di Angkola, Mandailing,dan Padang Bolak, apakah penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan hal itu kepada Residen? Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak melakukan apa-apa? Kalau pemerintah Belanda, berdasarkan laporan penginjil kita, mengirim pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan penginjil kita?”19 Alasan hukum sekali lagi dimanfaatkan ketika zending dikecam bersama dengan pasukan memasuki dan menduduki Bahal Batu yang termasuk wilayah Singamangaraja – hal mana sudah barang tentu merupakan provokasi. Di sini mereka menjawab bahwa 1. Bahal Batu pun sudah termasuk wilayah Belanda, dan 2. Singamangaraja hanya menjadi raja di Bangkara. (Bangkara kini sering salah dieja Bakara atau, sesuai dengan pelafalannya, Bakkara. Ejaan asli dalam bahasa Batak adalah b^kr ‘Bangkara’) Menarik untuk dicatat di sini bahwa hanya setahun sebelumnya, 1877, Gubernur Sumatra menyuruh penginjil untuk meninggalkan Bahal Batu karena menurutnya Bahal Batu tidak termasuk wilayah Hindia-Belanda. Pernyataan itu memang kemudian ditarik kembali, tetapi kisah ini membuktikan bahwa pemerintah Belanda sendiri tidak mengetahui dengan pasti daerah mana yang termasuk wilayahnya dan mana yang tidak karena mereka tidak berminat untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah Silindung.

Pandangan dan interpretasi Sidjabat tentang sejarah seputar Perang Toba Pertama sekarang secara umum diterima, terutama oleh kalangan HKBP. Di dalam salah satu makalah keluaran HKBP berjudul Pahlawan Nasional Indonesia Si Singamangaraja di mata HKBP oleh Pdt. Rachman Tua Munthe, Praeses HKBP Distrik III Humbang, disebutkan bahwa, …selama timbulnya bentrokan di antara Si Singamangaraja XII dengan pemerintah Belanda, Gereja (Zending) berada pada pihak ketiga yang mencoba mengadakan perjanjian perdamaian. Dengan demikian, pemerintah kolonial Belanda tidak sejajar dengan Zending dan Gereja. Munthe juga mengutip buku berjudul Abastraksi [sic!] Pelayanan DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Tanah Batak: Waktu perang Raja Sisingamangaraja XII melawan Tentara Belanda, Nommensen mengambil sikap bijaksana dan netral. Tentu saja kepentingan zending dan pemerintah berbeda, tetapi di berbagai bidang kepentingan mereka sejajar. Baik zending maupun pemerintah kolonial melihatnya sebagai tugas mereka untuk membawa peradaban pada bangsa Batak yang mereka cap sebagai liar dan biadab.

Para misionaris juga menekankan bahwa Belanda senantiasa dapat mengandalkan Batak Kristen sebagai teman yang setia: Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang, sebagai orang Islam orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda.” [...] memang benar bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa pasukan bantuan merekaberperang bersama pasukan Belanda.” Kesejajaran zending dan pemerintah tampak pada bahasa yang digunakan Nommensen. Ketika ia menceritakan kembali perjalanannya mengikuti ekspedisi Toba ia secara konsisten menggunakan kata ‘kami’. Kata ‘kami’ malahan digunakannya untuk kegiatan yang dilakukan tentara. Dari hal ini ternyata betapa Nommensen mengidentifikasikan diri dengan tentara: • Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan 200 pasukan lagi maka kami mulai menyerang. • Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah di tangan kami. 10–12 laki-laki dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu ditawan. • Di pihak kami dua yang meninggal dan 12 yang cedera. • [...] berpura-pura menjadi teman dan mengatakan takluk pada kami. Sedangkan para pejuang di pihak Singamangaraja disebutnya sebagai musuh: • Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh. • Pihak musuh menyerang dua kali masing-masing sekitar 500–700 orang. Serangan kedua lebih kuat tetapi dua-duanya dapat ditangkis dengan mudah dan tanpa jatuhnya korban di pihak Belanda sementara di pihak musuh ada 20 orang yang cedera dan 2 yang mati. [...] Kalau pasukan di Bahal Batu dapat bertahan sampai pasukan tambahan tiba maka kemungkinan pihak musuh menang sangat tipis karena Belanda unggul dalam hal persenjataan dan disiplin. • Dari Bahal Batu mereka menuju arah barat ke Butar dan menaklukkan kampung-kampung yang berpihak pada musuh. • Hal tersebut diutamakan oleh para zendeling supaya para musuh pun bisa melihat niat baiknya. • Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu musuh kita yang jahat bergerak lagi. • Simoneit dan Israel tinggal di sini untuk membantu kami kalau-kalau pos diserang musuh. • Pada malam hari tanggal 16 Februari musuh menembaki kamp tentara dan meninggalkan tiga surat dari buluh yang mengumumkan perang terhadap kami. • Setiap hari musuh datang, kadang-kadang ribuan orang. • Kebanyakan musuh berasal dari daerah di sekitar Danau Toba, Peran Zending dalam Perang Toba dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya. • Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali musuh berusaha untuk membakarnya. Masih banyak lagi contoh dapat disebut yang menunjukkan bahwa para misionaris jelas berpihak pada Belanda dan menganggap para pejuang yang ingin mempertahankan kemerdekaannya sebagai musuhnya. Nommensen juga memuji perwira dan pegawai administrasi Belanda: „Berkat tangan Tuhan,“ demikianlah tulisnya penginjil Nommensen, „dan hal ini menjadi tanda bahwa Tuhan menghendaki rakyat hidup dalam kedamaian, berkat tangan Tuhan ekspedisi militer dikepalai oleh seorang yang sudah bertahun-tahun mengenal orang Batak, orang yang mengetahui kepentingan rakyat, dan yang didampingi perwira yang merasa belas kasihan dengan musuh, yang disegani musuh karena keberaniannya menyerang, yang dengan lapang hati tidak mengejar mereka yang lari. Dengan demikian orang Batak dapat kesan betapa besar keagungan dan kemuliaan orang Eropa sehingga mereka tidak dapat membenci kita, apalagi karena Tuhan menunjukkannya bahwa mereka sendiri bersalah.” Perlu ditekankan bahwa Nommensen membantu pemerintah dan tentara Belanda dengan rela hati tanpa ada unsur paksaan apa pun. Nommensen melakukannya karena menurut apa yang dipelajarinya di seminaris RMG di Barmen para penginjil berkewajiban untuk selalu bekerjasama dengan pihak pemerintah kolonial dan karena ia percaya bahwa orang Batak hanya bisa menjadi manusia yang beradab bila berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa. Belakangan ini saya membaca sebuah esai di internet yang ditulis oleh Limantina Sihaloho, seorang teolog dari Medan: Secara pribadi, saya juga kagum pada I.L. Nommensen.Masalahnya, kagum saja tidak cukup.Menjadikan seseorang menjadi legenda bahkan mitos juga dapat berbahaya. Sayangnya manusia mempunyai kecenderungan untuk melegendakan dan memitoskan seseorang terutama yang telah lama meninggal. [...] Nommensen adalah anak zamannya,dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Makalah ini tidak bermaksud untuk mengurangi rasa kagum pada laki-laki suku Frisia dari pulau Nordstrand yang bukan saja sebangsa tetapi juga sesuku dengan saya, tetapi sebagai salah satu sumbangan agar I.L. Nommensen dan tokoh penginjilan Batak lainnya dipandang sebagai “anak zaman dengan segala kelebihan dan kekurangannya” dan tidak sebagai tokoh legendaris. Seorang tokoh dari abad ke-19 tidak patut dinilai berdasarkan nilai-nilai abad ke-21. Bila seorang Jerman sekarang mengatakan bahwa bangsa Jerman lebih unggul dari bangsa lain maka orang itu pasti ditertawakan. Konsep keunggulan ras kini dianggap sebagai sesuatu dari zaman yang berlalu yang sama sekali tidak ada tempat dalam masyarakat Jerman modern. Pada awal abad ke-21 paham keunggulan ras Germania dianggap sebagai paham yang sesat sementara pada abad ke-19, zamannya Nommensen, keunggulan ras putih dianggap sebagai kenyataan. Nommensen dilahirkan pada tahun 1834 di pulau Nordstrand (yang bila diterjemahkan berarti Pantai Utara). Ketika ia berumur 14 tahun gerakan demokrasi Jerman memberontak melawan kekaisaran, namun revolusi itu gagal. Waktu Nommensen masuk seminaris RMG pada tahun 1857 Jerman belum bersatu tetapi terdiri atas puluhan negeri kecil yang masing-masing berhak untuk membuat peraturan sendiri.

Poliknilik Pea Raja

Ketika Nommensen pindah ke Pearaja, negeri Jerman (Deutsches Reich) baru berumur dua tahun. Setelah kerajaan-kerajaan kecil akhirnya bersatu dalam Deutsches Reich maka Jerman mengalami perkembangan yang pesat dan barangkali menjadi Negara yang paling maju di dunia. Namun, beda dengan negara Eropa lainnya, Jerman, yang baru menjadi sebuah negara pada tahun 1871, belum memiliki daerah penjajahan.


Nommensen dan penginjil RMG lainnya bukan hanya anak zaman, tetapi juga dipengaruhi oleh aliran teologi yang dominan di seminaris RMG. Makalah ini hanya akan menyentuh saja kerangka teologi yang dimiliki oleh para pemimpin dan guru seminaris RMG, dan pembaca yang ingin mengetahuinya secara lebih spesifik dianjurkan membaca artikel Johann (Hans) Angerler berjudul Mission, Kolonialismus, dan Missionierte: Über die deutsche Batakmission in Sumatra.

Di antara guru seminaris ada dua tokoh yang paling berpengaruh:

G.L. von Rohden (1815–1889) dan F. Fabri (1824–1891). Menurut von Rohden warna kulit suatu bangsa memperlihatkan tingkat dekadensinya. Makin hitam warna kulit

makin parah kemerosotan bangsa itu baik secara moral maupun intelek. (Hans Angerler. Mission, Kolonialismus, dan Missionierte: Über die deutsche Batakmission in Sumatra. Beiträge zur historischenSozialkunde 2. 1993 53–61. Lihat juga Lothar Schreiner, Adat und Evangelium: zur Bedeutung der altvölkischen Lebensordnungen für

Kirche und Mission unter den Batak in Nordsumatra, Gütersloh: Mohn 1972, serta G. Menzel, Aus 150 Jahren Missionsgeschichte: die Rheinische Mission. Wuppertal: Verlag der Vereinigten Evangelischen Mission 1978:209–14)

Menurutnya bangsa yang dipilih Tuhan adalah bangsa Israel, tetapi setelah Yesus Kristus datang ke bumi maka pusat sejarah dunia berpindah, pertama ke barat (Roma), lalu ke utara (Jerman). Bangsa Jerman dan bangsa Germania lain (Belanda, Skandinavia dan Inggris) dilihatnya sebagai bangsa yang unggul yang dikelilingi bangsa yang lebih rendah seperti Perancis dan Rusia yang hendak menghancurkannya dengan membawa “bibit setan yang tumbuh subur di negerinya” untuk memusnahkan bangsa Jerman. Ideologi itu dibawa para penginjil ke Tanah Batak. Di situ pun bangsa terpilih (Batak) dikelilingi oleh bangsa Melayu yang hina, berdosa, dan berada dalam pengaruh “kekelaman agama Islam yang mengerikan” yang hendak menghancurkan bangsa Batak. Tujuan zending ialah untuk “mengubah kanibal yang kasar menjadi manusia bermartabat, mengubah gerombolan pembunuh berdarah dingin menjadi paroki Kristen, mengubah orang liar yang malas, kotor, tak senonoh dan keji menjadi abdi Tuhan yang beriman, rendah hati, dan penuh kasih sayang.” Von Rohden

menjadi guru sejarah, geografi, antropologi, dan sejarah agama, dan mulai 1884 hingga 1889 ia menggantikan Fabri sebagai Direktur RMG. (Setelah 27 tahun mengabdi pada RMG Fabri, yang mempra-2 karsai zending Batak, memutuskan menjadi penulis dan sepenuhnya mengabdikan diri kepada gerakan kolonial Jerman.)

Menurut Fabri, orang Batak merupakan bangsa yang, bila dibandingkan dengan bangsa lain di Indonesia, relatif lebih unggul, dan jelas tidak serendah bangsa Melayu. Fabri malahan melihat adanya persamaan dengan ras Eropa:

Dibandingkan orang Melayu, mereka [orang Batak,UK] jauh lebih mirip dengan orang Indo-Germania, baik bentuk kepala, tubuh, dan warna kulitnya.

Warna kulitnya sedemikian coklat muda sehingga malahan ada yang pipinya kemerahmerahan.Rambutnya juga lebih lembut dan lebih padat daripada rambut orang Melayu, dan kadang-kadang kecokelat-cokelatan. Tubuhnya tegap dan berotot. Tampaknya mereka merupakan ras menengah antara ras Eropa dan Melayu.

Fabri yang menjadi Direktur RMG dari tahun 1857–1884 memiliki latar belakang ideologi yang mirip dengan von Rohden. Ia juga percaya pada keunggulan ras putih. Peristiwa yang membuat ras putih unggul, menurutnya, adalah pembangunan menara Babel yang melambangkan keangkuhan dan kesombongan manusia. Pembangunan menara ini diprakarsai oleh keturunan Ham maka mereka memikul dosa yang terberat

sementara keturunan Yafet yang paling sedikit berdosa.

Menurut buku Genesis maka Sem, Ham dan Yafet, ketiga Peran Zending dalam Perang Toba anak nabi Nuh, menjadi nenek moyang semua orang di dunia.

Dalam Genesis 9:20-28 anak Ham, Kanaan, dikutuk nabi Nuh: “Terkutuklah Kanaan! Dia akan menjadi budak terhina bagi saudara-saudaranya. Pujilah Tuhan, Allah Sem! Kanaan akan menjadi budak Sem. Semoga Allah menambahkan berkat kepada Yafet dengan meluaskan tempat kediamannya. Semoga keturunannya tinggal bersama-sama dengan keturunan Sem. Kanaan akan menjadi budak Yafet.”

Menurut Genesis 10 maka anak-cucu Yafet menjadi “leluhur bangsa-bangsa yang tinggal di sepanjang pantai dan di pulau-pulau” (Eropa), Sem menjadi leluhur bangsa Ibrani, sementara keturunan keempat anak Ham, yaitu Kus, Mesir, Libia dan Kanaan, tersebar paling jauh.

Dengan demikian, dunia ini terbagi dalam tiga kelompok utama: Eropa atau ras putih (keturunan Yafet), Bangsa Israel (keturunan Sem), sementara semua bangsa yang lain termasuk keturunan Ham yang ditakdirkan menjadi budak keturunan Yafet.



Dengan demikian, menurut ideologi para teolog RMG, maka layak keturunan Yafet (orang Eropa) menjajah tanah keturunan Ham dan membuat penduduknya menjadi budaknya.

Keturunan Ham, terkutuk karena Ham melihat aurat ayahnya,dan berdosa karena mau membangun menara yang bisa mencapai langit – demikianlah ideologi Fabri yang memengaruhi para penginjil termasuk Nommensen – dihukum Tuhan dengan membuat keturunannya menjadi rusak, kekurangan dalam semua hal, rupa, warna kulit, dan intelek. Jadi bangsa putih berhak untuk menjajah dan mengeksploitasi bangsa berwarna. Penjajahan malah merupakan tindakan manusiawi untuk memajukan bangsa berkulit hitam. Salah satu cara untuk mengangkat martabat bangsa terkutuk itu adalah dengan mengkristenkan mereka supaya mereka menjadi lebih beradab.Akan tetapi, kendatipun mereka sudah beragama Kristen, mereka tetap lebih rendah daripada ras Eropa yang keturunan Yafet.

Dengan demikian tidak mengherankan bila para penginjil merasa lebih dekat kepada Belanda daripada kepada orang Batak.

Sidjabat dan pengarang lain sering menekankan adanya jarak antara penginjil RMG dan pihak Belanda karena bangsa mereka berbeda. Para penginjil RMG berbangsa Jerman sementara pemerintah kolonial dijalankan oleh bangsa Belanda.

Dengan demikian, begitu kesimpulannya, penjajahan bukan kepentingan para penginjil. Hal itu keliru karena sebagaimana dijelaskan di atas penjajahan bangsa putih terhadap bangsa yang berwarna adalah hal yang penting demi mengangkat

martabat bangsa keturunan Ham. Pihak penginjil RMG sama sekali tidak anti penjajahan melainkan mendukungnya dengan penuh hati.

Kita juga bisa melihat dari laporan para penginjil bahwa mereka tidak begitu membedakan antara Belanda dan Jerman dan lebih menekankan kepentingan bersama mereka dengan menggunakan istilah Eropa daripada Belanda:

Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa orang Toba membenci orang Eropa setelah Belanda mengalahkan dan membakar kampung mereka. Namun hal itu tidak terjadi.

Perlu juga diingatkan bahwa orang Belanda waktu itu masih menamakan bahasanya ‘Nederduits’ (Jerman Rendah ‘Rendah’ merujuk pada kenyataan bahwa daerahnya datar tidak bergunung, bukan pada status bahasa. ) sementara Nommensen sendiri penutur asli bahasa Frisia yang merupakan salah satu dialek Jerman Rendah yang sangat dekat dengan bahasa Belanda.

Namun yang lebih penting lagi ialah kenyataan bahwa menurut ideologi rasis yang dianut di kalangan RMG, Belanda sebagai salah satu bangsa Germania merupakan bangsa yang sama unggul dengan bangsa Jerman.

Sebagaimana jauh para penginjil mengidentifikasikan diri dengan para penjajah tampak pada kutipan berikut:

Untuk menilai benar salahnya penaklukan Toba yang dilakukan dengan begitu cepat dan dengan sangat sedikit biaya maupun jumlah korban, maka perlu diperhatikan butir-butir berikut: [...]


Rupanya bagi zending jumlah korban di pihak musuh mereka (pejuang Singamangaraja) tidak perlu dihitung. Tidak diketahui dengan pasti berapa banyak orang meninggal di pihak pejuang Singamangaraja dan sekutunya serta di kalangan penduduk sipil. Paling tidak puluhan namun lebih mungkin sampai beberapa ratus korban yang tewas belum lagi yang cedera. Jumlah yang tidak sedikit, tetapi yang diungkapkan zending dalam konteks ini malahan biaya perang.

Kedekatan Nommensen dan para penginjil lain dengan penjajah sebenarnya tidak mengherankan mengingat pendidikan yang mereka peroleh di RMG. Fabri, Direktur RMG, menekankan agar para penginjil senantiasa menjalin kerja sama yang erat dengan pemerintah kolonial karena tujuan zending dan pemerintahan kolonial pada hakikatnya sama.

Kronologi Perang Toba I

Berikut ini urutan peristiwa perang Toba sebagaimana direkonstruksi dari laporan penginjil Nommensen dan Metzler.

Tanggal-tanggal setelah 5 Mei tidak pasti karena tidak disebut berapa lama pasukan Belanda beristirahat di Paranginan.



Akhir 1877
Desas-desus Aceh akan bersekutu dengan Toba

17 Des 1877
Penginjil di Bahal Batu menerima surat dari Silindung bahwa para ulubalang sudah tiba di Bangkara

Jan. 1878
Utusan Singamangaraja datang mengancam misionaris dan orang Kristen

Akhir Jan.78
Para Penginjil minta agar Belanda mengirim Pasukannya

1 Feb 1878
Pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevel menuju Pearaja

6 Feb 1878
Pasukan dengan 80 tentara dan seorang Kontrolir tiba di Pearaja

15 Feb 1878
Pasukan tiba di Bahal Batu bersama dengan penginjil dari Silindung

16 Feb 1878
Pengumuman perang dari pihak SSM

17 Feb 1878
Metzler disuruh membawa istrinya ke Silindung. Ibu Metzler diantar suaminya dan Johannsen ke Pansur na Pitu

19 Feb 1878
Metzler kembali ke Bahal Batu, tetapi tanggal

20 Feb 1878
kembali lagi ke Silindung

Feb. 1878
Pasukan Singamangaraja menyerang Bahal Batu

1 Maret 78
Pasukan tambahan berangkat dari Sibolga

14 Maret 78
Residen Boyle datang bersama 250 tentara dan Kolonel Engels dari Sibolga

15 Maret 1878
Silindung dinyatakan menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda

16 Maret 1878
Pasukan berangkat ke Bahal Batu. Bahal Batu pun dinyatakan menjadi wilayah Hindia-Belanda

17–20 Maret
Butar, Lobu Siregar dan Naga Saribu diserang

Maret
Pasukan tambahan 300 tentara dan 100 narapidana diberangkatkan

30 April 1878
Ekspedisi militer untuk menumpaskan pasukan Singamangaraja dimulai. Penginjil Nommensen dan Simoneit mendampingi pasukan Belanda.Lintong ni Huta ditaklukkan

1 Mei 1878
Bangkara diserang

2 Mei 1878
Kampung-kampung di sekitar Bangkara diserang

3 Mei 1878
Raja-raja di Bangkara dipaksa melakukan sumpah setia mengakui kedaulatan Belanda

4 Mei 1878
Pasukan maju ke Paranginan

5 Mei 1878
Pasukan beristirahat selama beberapa hari di Paranginan

8 Mei 1878
Huta Ginjang, Meat dan Gugur ditaklukkan. Pasukan beristirahat selama beberapa hari di Gurgur

11 Mei 1878
Pasukan menaklukkan Lintong ni Huta Pohan,Panghodia dan Tara Bunga.

12 Mei 1878
Pasukan kembali ke Bahal Batu melalui Onan Geang-Geang, Pintu Bosi, Parik Sabungan dan Lobu Siregar

akhir Mei
Nommensen membantu Residen di Bahal Batu


Benteng untuk 80 tentara dibangun di Sipoholon

27 Desember1878


Nommensen dan Simoneit menerima penghargaan dari pemerintah Belanda



Nommensen dan penginjil RMG lainnya bukan hanya anak zaman, tetapi juga dipengaruhi oleh aliran teologi yang dominan di seminaris RMG. Makalah ini hanya akan menyentuh saja kerangka teologi yang dimiliki oleh para pemimpin dan guru seminaris RMG, dan pembaca yang ingin mengetahuinya secara lebih spesifik dianjurkan membaca artikel Johann (Hans) Angerler berjudul Mission, Kolonialismus, dan Missionierte: Über die deutsche Batakmission in Sumatra.

Di antara guru seminaris ada dua tokoh yang paling berpengaruh:

G.L. von Rohden (1815–1889) dan F. Fabri (1824–1891). Menurut von Rohden warna kulit suatu bangsa memperlihatkan tingkat dekadensinya. Makin hitam warna kulit

makin parah kemerosotan bangsa itu baik secara moral maupun intelek. (Hans Angerler. Mission, Kolonialismus, dan Missionierte: Über die deutsche Batakmission in Sumatra. Beiträge zur historischenSozialkunde 2. 1993 53–61. Lihat juga Lothar Schreiner, Adat und Evangelium: zur Bedeutung der altvölkischen Lebensordnungen für

Kirche und Mission unter den Batak in Nordsumatra, Gütersloh: Mohn 1972, serta G. Menzel, Aus 150 Jahren Missionsgeschichte: die Rheinische Mission. Wuppertal: Verlag der Vereinigten Evangelischen Mission 1978:209–14)

Menurutnya bangsa yang dipilih Tuhan adalah bangsa Israel, tetapi setelah Yesus Kristus datang ke bumi maka pusat sejarah dunia berpindah, pertama ke barat (Roma), lalu ke utara (Jerman). Bangsa Jerman dan bangsa Germania lain (Belanda, Skandinavia dan Inggris) dilihatnya sebagai bangsa yang unggul yang dikelilingi bangsa yang lebih rendah seperti Perancis dan Rusia yang hendak menghancurkannya dengan membawa “bibit setan yang tumbuh subur di negerinya” untuk memusnahkan bangsa Jerman. Ideologi itu dibawa para penginjil ke Tanah Batak. Di situ pun bangsa terpilih (Batak) dikelilingi oleh bangsa Melayu yang hina, berdosa, dan berada dalam pengaruh “kekelaman agama Islam yang mengerikan” yang hendak menghancurkan bangsa Batak. Tujuan zending ialah untuk “mengubah kanibal yang kasar menjadi manusia bermartabat, mengubah gerombolan pembunuh berdarah dingin menjadi paroki Kristen, mengubah orang liar yang malas, kotor, tak senonoh dan keji menjadi abdi Tuhan yang beriman, rendah hati, dan penuh kasih sayang.” Von Rohden

menjadi guru sejarah, geografi, antropologi, dan sejarah agama, dan mulai 1884 hingga 1889 ia menggantikan Fabri sebagai Direktur RMG. (Setelah 27 tahun mengabdi pada RMG Fabri, yang mempra-2 karsai zending Batak, memutuskan menjadi penulis dan sepenuhnya mengabdikan diri kepada gerakan kolonial Jerman.)

Menurut Fabri, orang Batak merupakan bangsa yang, bila dibandingkan dengan bangsa lain di Indonesia, relatif lebih unggul, dan jelas tidak serendah bangsa Melayu. Fabri malahan melihat adanya persamaan dengan ras Eropa:

Dibandingkan orang Melayu, mereka [orang Batak,UK] jauh lebih mirip dengan orang Indo-Germania, baik bentuk kepala, tubuh, dan warna kulitnya.

Warna kulitnya sedemikian coklat muda sehingga malahan ada yang pipinya kemerahmerahan.Rambutnya juga lebih lembut dan lebih padat daripada rambut orang Melayu, dan kadang-kadang kecokelat-cokelatan. Tubuhnya tegap dan berotot. Tampaknya mereka merupakan ras menengah antara ras Eropa dan Melayu.

Fabri yang menjadi Direktur RMG dari tahun 1857–1884 memiliki latar belakang ideologi yang mirip dengan von Rohden. Ia juga percaya pada keunggulan ras putih. Peristiwa yang membuat ras putih unggul, menurutnya, adalah pembangunan menara Babel yang melambangkan keangkuhan dan kesombongan manusia. Pembangunan menara ini diprakarsai oleh keturunan Ham maka mereka memikul dosa yang terberat

sementara keturunan Yafet yang paling sedikit berdosa.

Menurut buku Genesis maka Sem, Ham dan Yafet, ketiga Peran Zending dalam Perang Toba anak nabi Nuh, menjadi nenek moyang semua orang di dunia.

Dalam Genesis 9:20-28 anak Ham, Kanaan, dikutuk nabi Nuh: “Terkutuklah Kanaan! Dia akan menjadi budak terhina bagi saudara-saudaranya. Pujilah Tuhan, Allah Sem! Kanaan akan menjadi budak Sem. Semoga Allah menambahkan berkat kepada Yafet dengan meluaskan tempat kediamannya. Semoga keturunannya tinggal bersama-sama dengan keturunan Sem. Kanaan akan menjadi budak Yafet.”

Menurut Genesis 10 maka anak-cucu Yafet menjadi “leluhur bangsa-bangsa yang tinggal di sepanjang pantai dan di pulau-pulau” (Eropa), Sem menjadi leluhur bangsa Ibrani, sementara keturunan keempat anak Ham, yaitu Kus, Mesir, Libia dan Kanaan, tersebar paling jauh.

Dengan demikian, dunia ini terbagi dalam tiga kelompok utama: Eropa atau ras putih (keturunan Yafet), Bangsa Israel (keturunan Sem), sementara semua bangsa yang lain termasuk keturunan Ham yang ditakdirkan menjadi budak keturunan Yafet.



Dengan demikian, menurut ideologi para teolog RMG, maka layak keturunan Yafet (orang Eropa) menjajah tanah keturunan Ham dan membuat penduduknya menjadi budaknya.

Keturunan Ham, terkutuk karena Ham melihat aurat ayahnya,dan berdosa karena mau membangun menara yang bisa mencapai langit – demikianlah ideologi Fabri yang memengaruhi para penginjil termasuk Nommensen – dihukum Tuhan dengan membuat keturunannya menjadi rusak, kekurangan dalam semua hal, rupa, warna kulit, dan intelek. Jadi bangsa putih berhak untuk menjajah dan mengeksploitasi bangsa berwarna. Penjajahan malah merupakan tindakan manusiawi untuk memajukan bangsa berkulit hitam. Salah satu cara untuk mengangkat martabat bangsa terkutuk itu adalah dengan mengkristenkan mereka supaya mereka menjadi lebih beradab.Akan tetapi, kendatipun mereka sudah beragama Kristen, mereka tetap lebih rendah daripada ras Eropa yang keturunan Yafet.

Dengan demikian tidak mengherankan bila para penginjil merasa lebih dekat kepada Belanda daripada kepada orang Batak.

Sidjabat dan pengarang lain sering menekankan adanya jarak antara penginjil RMG dan pihak Belanda karena bangsa mereka berbeda. Para penginjil RMG berbangsa Jerman sementara pemerintah kolonial dijalankan oleh bangsa Belanda.

Dengan demikian, begitu kesimpulannya, penjajahan bukan kepentingan para penginjil. Hal itu keliru karena sebagaimana dijelaskan di atas penjajahan bangsa putih terhadap bangsa yang berwarna adalah hal yang penting demi mengangkat

martabat bangsa keturunan Ham. Pihak penginjil RMG sama sekali tidak anti penjajahan melainkan mendukungnya dengan penuh hati.

Kita juga bisa melihat dari laporan para penginjil bahwa mereka tidak begitu membedakan antara Belanda dan Jerman dan lebih menekankan kepentingan bersama mereka dengan menggunakan istilah Eropa daripada Belanda:

Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa orang Toba membenci orang Eropa setelah Belanda mengalahkan dan membakar kampung mereka. Namun hal itu tidak terjadi.

Perlu juga diingatkan bahwa orang Belanda waktu itu masih menamakan bahasanya ‘Nederduits’ (Jerman Rendah ‘Rendah’ merujuk pada kenyataan bahwa daerahnya datar tidak bergunung, bukan pada status bahasa. ) sementara Nommensen sendiri penutur asli bahasa Frisia yang merupakan salah satu dialek Jerman Rendah yang sangat dekat dengan bahasa Belanda.

Namun yang lebih penting lagi ialah kenyataan bahwa menurut ideologi rasis yang dianut di kalangan RMG, Belanda sebagai salah satu bangsa Germania merupakan bangsa yang sama unggul dengan bangsa Jerman.

Sebagaimana jauh para penginjil mengidentifikasikan diri dengan para penjajah tampak pada kutipan berikut:

Untuk menilai benar salahnya penaklukan Toba yang dilakukan dengan begitu cepat dan dengan sangat sedikit biaya maupun jumlah korban, maka perlu diperhatikan butir-butir berikut: [...]


Rupanya bagi zending jumlah korban di pihak musuh mereka (pejuang Singamangaraja) tidak perlu dihitung. Tidak diketahui dengan pasti berapa banyak orang meninggal di pihak pejuang Singamangaraja dan sekutunya serta di kalangan penduduk sipil. Paling tidak puluhan namun lebih mungkin sampai beberapa ratus korban yang tewas belum lagi yang cedera. Jumlah yang tidak sedikit, tetapi yang diungkapkan zending dalam konteks ini malahan biaya perang.

Kedekatan Nommensen dan para penginjil lain dengan penjajah sebenarnya tidak mengherankan mengingat pendidikan yang mereka peroleh di RMG. Fabri, Direktur RMG, menekankan agar para penginjil senantiasa menjalin kerja sama yang erat dengan pemerintah kolonial karena tujuan zending dan pemerintahan kolonial pada hakikatnya sama.

Kronologi Perang Toba I

Berikut ini urutan peristiwa perang Toba sebagaimana direkonstruksi dari laporan penginjil Nommensen dan Metzler.

Tanggal-tanggal setelah 5 Mei tidak pasti karena tidak disebut berapa lama pasukan Belanda beristirahat di Paranginan.



Akhir 1877
Desas-desus Aceh akan bersekutu dengan Toba

17 Des 1877
Penginjil di Bahal Batu menerima surat dari Silindung bahwa para ulubalang sudah tiba di Bangkara

Jan. 1878
Utusan Singamangaraja datang mengancam misionaris dan orang Kristen

Akhir Jan.78
Para Penginjil minta agar Belanda mengirim Pasukannya

1 Feb 1878
Pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevel menuju Pearaja

6 Feb 1878
Pasukan dengan 80 tentara dan seorang Kontrolir tiba di Pearaja

15 Feb 1878
Pasukan tiba di Bahal Batu bersama dengan penginjil dari Silindung

16 Feb 1878
Pengumuman perang dari pihak SSM

17 Feb 1878
Metzler disuruh membawa istrinya ke Silindung. Ibu Metzler diantar suaminya dan Johannsen ke Pansur na Pitu

19 Feb 1878
Metzler kembali ke Bahal Batu, tetapi tanggal

20 Feb 1878
kembali lagi ke Silindung

Feb. 1878
Pasukan Singamangaraja menyerang Bahal Batu

1 Maret 78
Pasukan tambahan berangkat dari Sibolga

14 Maret 78
Residen Boyle datang bersama 250 tentara dan Kolonel Engels dari Sibolga

15 Maret 1878
Silindung dinyatakan menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda

16 Maret 1878
Pasukan berangkat ke Bahal Batu. Bahal Batu pun dinyatakan menjadi wilayah Hindia-Belanda

17–20 Maret
Butar, Lobu Siregar dan Naga Saribu diserang

Maret
Pasukan tambahan 300 tentara dan 100 narapidana diberangkatkan

30 April 1878
Ekspedisi militer untuk menumpaskan pasukan Singamangaraja dimulai. Penginjil Nommensen dan Simoneit mendampingi pasukan Belanda.Lintong ni Huta ditaklukkan

1 Mei 1878
Bangkara diserang

2 Mei 1878
Kampung-kampung di sekitar Bangkara diserang

3 Mei 1878
Raja-raja di Bangkara dipaksa melakukan sumpah setia mengakui kedaulatan Belanda

4 Mei 1878
Pasukan maju ke Paranginan

5 Mei 1878
Pasukan beristirahat selama beberapa hari di Paranginan

8 Mei 1878
Huta Ginjang, Meat dan Gugur ditaklukkan. Pasukan beristirahat selama beberapa hari di Gurgur

11 Mei 1878
Pasukan menaklukkan Lintong ni Huta Pohan,Panghodia dan Tara Bunga.

12 Mei 1878
Pasukan kembali ke Bahal Batu melalui Onan Geang-Geang, Pintu Bosi, Parik Sabungan dan Lobu Siregar

akhir Mei
Nommensen membantu Residen di Bahal Batu


Benteng untuk 80 tentara dibangun di Sipoholon

27 Desember1878


Nommensen dan Simoneit menerima penghargaan dari pemerintah Belanda



Terjemahan Artikel BRMG
Berikut kami sajikan secara kronologis terjemahan enam artikel dari Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft (BRMG) yang berkaitan dengan Perang Toba I, termasuk artikel dari dua saksi mata. Artikel BRMG 1878 (7) hal. 193-202 yang pertama berjudul Perang di Toba memuat laporan penginjil Metzler dari Bahal Batu dan Silindung.
Artikel di BRMG 1878 (12): 361-381 yang berjudul Laporan Terakhir tentang Perang di Toba (Endgültiger Bericht über den Krieg auf Sumatra) mengandung laporan I.L. Nommensen ketika ia mendampingi tentara Belanda dalam Perang Toba I dari Bahal Batu sampai ke Bangkara dan Balige.
Kedua artikel pokok itu diawali
Terjemahan artikel BRMG dilengkapi dengan catatan kaki dari U. Kozok.
Teks asli dalam bahasa Jerman dapat diunduh di http://ulikozok.com
Sumber primer dan sekunder: Catatan Metodologi
 Artikel-artikel yang kami terjemahkan berasal dari majalah Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft (BRMG). Sebagian dari artikel BRMG merupakan sumber primer karena ditulis langsung oleh pihak RMG di Barmen namun nama pengarang
biasanya tidak disebut. Di antara keenam artikel yang diterjemahkan terdapat dua yang bisa dianggap sebagai sumber sekunder yaitu “Perang di Toba” yang merupakan salinan dari sepucuk surat yang ditulis oleh penginjil Metzler (15/3/1878 Nomor arsip RMG 1.937 Bd.1), dan “Laporan Terakhir tentang Perang di Toba” yang ditulis berdasarkan surat Nommensen (20/6/1878, No. arsip RMG 1.926 Bd.1).
Penulis buku ini telah membaca kedua surat yang asli yang kini berada di arsip RMG di Wuppertal dan membandingkannya dengan salinannya di BRMG. Nommensen dan Metzler menulis suratnya dengan tangan dan tentu terdapat beberapa kesalahan dalam ejaan atau tata bahasa. Oleh sebab itu semua surat diperiksa dulu untuk memastikan tiada kesalahan yang sempat masuk ke edisi cetakan. Proses penyuntingan yang dilakukan oleh staff RMG sama sekali tidak mengubah arti surat asli melainkan hanya meralat kesalahan atau menambahkan informasi waktu bilamana dianggap perlu.
Berikut ini foto halaman pertama surat Nommensen yang ditujukan kepada “Lieber Herr Inspektor” (Tuan Inspektor yang terhormat). Tampaknya surat Nommensen dicetak ulang dalam BRMG dengan sangat akurat. Satu-satunya perbaikan yang dibuat oleh para pengedit ialah penambahan “im Juni 1877” (pada bulan 1877)
Demikian pula pada halaman-halaman berikut pihak RMG hampir tidak melakukan penyuntingan apa-apa melainkan menyalin teks tanpa mengubahnya sama sekali.
Surat Nommensen 20/6/1878; RMG 1.926 Bd.1 Hal. 5
  Berikut ini kami sajikan halaman 5 surat Nommensen yang dicetak di BRMG 1878 (12) pada halaman 364:
Bila dibandingkan dengan surat asli hanya terdapat satu perbedaan kecil. Para editor di RMG menambahkan kata “natūrlich” (tentu saja) pada baris ke-10 (kata terakhir pada baris ke-7 pada edisi cetakan):
“Mereka bertanya kepada kami apakah pemerintah akan membantu mereka sekiranya mereka diserang oleh kaum kafir Silindung. Tentu saja kami tidak bisa menjaminnya.”
Desas-desus yang Memprihatinkan
BRMG 1878 115-118
Sudah di bulan Januari kami mendengar dari Belanda desas- desus yang memprihatinkan dari Sumatra, yang awalnya tidak begitu jelas, tetapi di kemudian hari menjadi semakin jelas. Terdengar orang Aceh telah menjalin persekutuan dengan
orang Toba melawan pemerintahan Belanda, dan semua penginjil beserta keluarganya berada dalam keadaan bahaya, atau bahkan telah dibunuh. Setelah kami melacak asal-usul desasdesus itu, ternyata bersumber dari surat seorang sahabat kita yang bermukim di Padang. Karena itu kami yakin bahwa desas-desus itu bukan khayalan belaka. Kami sendiri sudah mengetahui dari surat-surat penginjil kami yang dikirim pada bulan November [tahun 1877] bahwa ada kabar angin tentang adanya persiapan perang, namun penginjil kita tidak menganggapnya dengan serius. Oleh sebab itu kami percaya bahwa desas-desus itu –sebagaimana layak terjadi– semakin jauh dari
tempat asalnya, menjadi semakin heboh.
Selain itu kami yakin bahwa apabila terjadi hal yang paling buruk, atau apabila penginjil kita terpaksa meninggalkan posnya maka kami pasti telah dikabari melalui telegram dari Sibolga. Selain itu tampaknya mustahil bahwa orang Aceh akan bersekutu dengan orang Toba, dan untuk apa pula Aceh memutuskan untuk menyerang Silindung dan bukan Deli yang jauh lebih kaya kalau memang mereka berniat untuk menyerang wilayah pemerintah. Mempertimbangkan hal itu maka kami tidak merasa terlalu cemas, tetap percaya pada Tuhan dan menunggu adanya berita selanjutnya. Berita baru kini sudah tiba di sini –yang terakhir kami menerima pada tanggal 15 Januari [1878]– sehingga keadaan menjadi semakin jelas, dan ada harapan bahwa masalah ini tidak menjadi lebih daripada sekadar berita angin.
Ceritanya begini: Di Toba, tepatnya di daerah Bangkara di pantai Danau Toba, berdiam seorang tokoh yang bergelar Singamangaraja, yang berarti, bila diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, raja singa. Namun orang itu bukan seorang raja melainkan seorang raja-imam. Raja imam yang pertama diangkat oleh Melayu Muslim (Padri) yang datang ke sini 40 tahun yang lalu.   (Uraian keliru ini menunjukkan betapa sedikit para penginjil memahami lembaga raja imam pada orang Batak itu.)Jadi raja imam yang awalnya Islam kini menjadi kafir. Kekuasaan, atau, lebih tepat, kewibawaan Singamangaraja – yang diperolehnya berkat adanya cerita-cerita yang tolol, misalnya bahwa lidahnya berbulu – dahulu kala terasa sampai di Silindung. Tata acara serta waktu pelaksanaan sajian yang setiap tahun harus diberi kepada roh-roh juga dituruti di Silindung. Dengan masuknya injil ke Silindung maka pengaruh Singamangaraja tentu merosot, hal mana juga disadarinya sehingga berulang kali ia mencoba untuk mengusir atau membunuh para misionaris.
Namun upaya itu selalu gagal karena selalu ada sesuatu yang menghalanginya, entah wabah cacar atau perang di Toba, sehingga lama-kelamaan ia tampak pasrah dengan berkurangnya kewibawaan dan pengaruhnya di Silindung. Suatu hari dia malahan mengunjungi penginjil Nommensen dan dijamu di rumahnya. Akan tetapi kini ia tidak begitu dihormati lagi di Silindung karena dia membawa lari istri seorang raja. Sejak itu tiada lagi berita darinya.
Konon terdengar berita adanya Singamangaraja baru yang dengan sungguh-sungguh berusaha untuk mengembalikan pengaruhnya yang dulu – tentu saja dengan cara mengusir para misionaris. Demi mencapai cita-cita itu maka ia mendatangkan sejumlah ulubalang, menurut berita orang antara 40 hingga 50 laskar dari Singkel atau Terumon yang di antaranya termasuk sejumlah orang Aceh. Adanya orang Aceh di antaranya membuatnya menjadi berita karena paling laku ulubalang yang berasal dari tempat yang jauh. Hal ini disebabkan karena ulubalang dari tempat yang jauh tentu tidak terikat hubungan kekerabatan dengan musuhnya yang dapat menjadi penghalang
dalam pekerjaan berdarah mereka.
Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh atau upaya untuk menyerang Silindung atau Bahal Batu. Namun demikian pemerintah Belanda sudah bersiap-siap mendatangkan senjata dan amunisi ke Silindung, dan di Sibolga pasukan
sudah siap siaga untuk segera naik ke Silindung apabila ada serangan dari pihak musuh.
Jika hal itu terjadi maka kemungkinan Silindung berikut Sigompulan dan Pangaloan dianeksasi menjadi bagian daerah jajahan Belanda.
 HKBP Pagar Beringin Resort Pagar Beringin Distrik II Silindung)
Bagi para pembaca yang mungkin keberatan dengan hal yang tadi kami sebut perlu kami mengemukakan kenyataan bahwa;
1) Silindung secara hukum bagaimana pun sudah termasuk wilayah jajahan Belanda. Namun penyelenggaraan pemerintahan tidak pernah dilaksanakan dan perjanjian -perjanjian yang telah dijalin dengan para raja yang, antara lain, melarang adanya perang di antara mereka, tidak pernah ditindaklanjuti.
2) Banyak daerah yang sudah berulang kali meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya dianeksasi – maka tuduhan penindasan dari pihak zending tidak beralasan sama sekali.
Daerah-daerah itu [Silindung] secara hukum sebelum kedatangan zending sudah menjadi bagian jajahan Belanda, dan kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan pemerintahan maka hal ini tentu membawa berkat bagi rakyat dan negeri-negeri [yang ada di tanah Batak].
Apakah hal itu juga menguntungkan zending, apakah dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk [di tanah Batak] adalah pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah meminta agar Silindung dianeksasi.
Kalau hal itu sekarang diminta – Tuhan tentu akan menolong kita; jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah terkejar.

Perang di Toba
BRMG 1878 (7) hal. 193-202
Berkaitan dengan perang yang sedang berlangsung di Toba maka sejumlah surat kabar Hindia-Belanda melontarkan berbagai tuduhan kepada penginjil kita. Tuduhan bahwa kita memilih
wilayah penginjilan ini untuk memperkaya diri sendiri tidak perlu dihiraukan sama sekali. Namun tuduhan yang lain perlu kita tanggapi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Malahan pihak di Belanda yang bersahabat dengan zending keberatan dengan kenyataan bahwa penginjil kita meminta bantuan pemerintah Belanda. Akan tetapi penginjil kita di Silindung berada di kawasan Belanda dengan izin dari pemerintah.
Jadi apa salahnya kalau mereka dalam keadaan terjepit meminta perlindungan pemerintah? Penginjil kita diberi tahu Residen Sibolga bahwa sejumlah orang Aceh dari Barus dan Singkil datang ke Toba, dan supaya mereka memperhatikan tindak-tanduknya. Kalau ada utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut rakyat – yang pada hakekatnya
telah berada di bawah kekuasaan Belanda – dan menyerukan [194] agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil kita mendengar rencana orang Aceh itu untuk mendirikan kekuasaannya di atas kerajaan Singamangaraja, dan berusaha lagi untuk menjatuhkan kekuasaan Belanda di Angkola, Mandailing, dan Padang Bolak, apakah penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan hal itu kepada Residen?
Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak melakukan apa-apa? Kalau pemerintah Belanda, berdasarkan laporan penginjil kita, mengirim pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan penginjil kita?
 
 Pada surat kabar yang lain diberitakan bahwa penginjil kita mendukung kependudukan Bahal Batu dan penyerangan terhadap kerajaan Singamangaraja. Mereka mengabsahkan bantuan
Belanda terhadap penginjil kita, tetapi mereka tidak setuju bahwa pasukan maju sampai ke Bahal Batu karena hal itu merupakan provokasi sehingga Singamangaraja memang punya alasan untuk membela kerajaannya dengan mengumumkan perang karena Bahal Batu merupakan bagian dari kerajaannya.Namun tuduhan itu tidak beralasan karena Bahal Batu berada di dalam kawasan yang sudah menjadi milik pemerintahan Belanda. Jelas Bahal Batu bukan bagian kerajaan Singamangaraja karena Singamangaraja hanya berkuasa di Bangkara. Di luarnya, di Toba, Silindung, dan Bahal Batu Singamangaraja hanya diakui sebagai raja imam. Memang benar bahwa penginjil kita menghancurkan dasar wibawa Singamangaraja dengan menyebarkan ajaran injil sehingga ia marah dan memusuhi kita. Dari segi itu penginjil kita memang memikul tanggung jawab atas perang itu. Selain itu diberitakan bahwa pasukan bantuan Kristen49 bertindak secara bengis dan
keji yang menunjukkan bahwa tidak ada pun nilai Kristen pada orang-orang Silindung itu. Dalam hal itu perlu kita jawab bahwa memang benar bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda. Memang benar bahwa mereka diperintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. [195]
 
Kalau dalam perang memang ada pertumpahan darah, hal itu perlu dimaklumi, di Eropa pun halnya demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada pertumpahan darah
yang berlebihan, dan supaya manusia maupun harta benda sedapat-dapatnya dilindungi. Hal tersebut diutamakan oleh para zendeling supaya para musuh pun bisa melihat niat baiknya.
Tidak ada seorang tahanan pun yang dibunuh, melainkan semua dilepaskan setelah sanak saudaranya datang membayar tebusannya.

Pihak Belanda sekarang sudah sangat maju dan tampaknya seolah-olah mereka hendak menaklukkan seluruh Toba sampai pada pantai Danau Toba. Hal itu memang sangat penting
demi mengukuhkan kekuasaan mereka di Sibolga dan Deli.

Menurut berita terakhir selain Bahal Batu, Butar dan Lobu Siregar kini Sianjur, Pintu Bai50 dan Lintong ni Huta sudah dapat ditaklukkan. Suatu hal yang sangat menguntungkan bagi zending kita adalah bahwa baik Residen Sibolga maupun Gubernur Pantai Barat Sumatra adalah orang yang mengenal zending kita secara langsung dan selalu bersikap ramah terhadap kita.

Berikut ini surat penginjil Metzler dari Bahal Batu, yang beberapa bulan yang lalu membawa istrinya yang masih muda ke pos zending. Surat yang dikirim pada bulan Maret51 berbunyi
sebagai berikut:
Pada saat saya menulis surat terakhir saya orang Bahal Batu masih bersikap baik setelah kedatangan istri saya. Namun sikapnya berubah ketika harapan mereka akan mendapatkan
uang dan busana tidak terpenuhi. Hal itu membuat kami cemas sekaligus sedih. Banyak yang dulu menghadiri misa kini tidak datang lagi. Para raja yang paling parah karena baju hadiah
istri saya ternyata tidak cukup bagus bagi mereka, dan yang selalu minta uang saja. Malahan Portaon Angin, kepala raja, sampai melarang kami mengambil air dan kayu bakar, membeli beras, susu, dsb. [196]

yang tentu sangat merepotkan kami. Selain itu saya juga sakit dan tidak bisa keluar rumah setelah saya mengalami kecelakaan ketika sedang bertukang. Waktu itu penginjil dari Silindung
datang untuk mencari pos buat penginjil Püse di Butar.

Walaupun orang Butar minta supaya kami datang mereka menyambut kami dengan tidak ramah dan malahan menembaki kami sehingga upaya itu gagal. Tetapi orang dari Lobu Siregar sudah mendesak agar penginjil Püse ditempatkan di situ sehingga hal itu langsung dikonfirmasikan. Lalu para penginjil dari Silindung memanggil Portaon Angin bertanya mengapa ia menunjukkan sikap yang begitu buruk, dan bila sikapnya tidak berubah maka pos zending ditarik kembali dan hanya seorang guru sekolah ditempatkan di kampungnya. Mendengar ini ia menyesal dan meminta maaf.

Hari berikut kami ke Silindung, dan hanya Püse yang tinggal di Bahal Batu. Pedoman kami untuk hari ini adalah Kejadian 45:5 “Jangan takut atau menyesali dirimu karena kalian telah menjual saya. Sebenarnya Allah sendiri yang membawa saya ke sini mendahului kalian untuk menyelamatkan banyak orang.” Di Silindung kami berada selama sekitar enam minggu,dan keadaan kesehatan saya pulih sepenuhnya. Kami sangat berterima kasih atas kasih sayang saudara kami di sana.

Kepergian kami ternyata berdampak baik pada Portaon Angin dan raja lainnya. Mereka sering menulis surat dan minta supaya kami kembali.Tanggal 19 November tahun yang lalu kami kembali ke Bahal Batu dan disambut hangat oleh saudara Püse. Portaon Angin beserta anak laki-lakinya dan raja-raja lain menyalami kami dan berjanji akan bersikap lebih ramah terhadap kami.
 
[197] Sampai sekarang raja tua itu menepati janjinya dansetiap hari Minggu ia datang menghadiri misa bersama dengan keluarganya. Hari kedua setelah kedatangan kami dikejutkan dengan kisah di bawah ini: Seorang anak raja yang saya berikan baju minta supaya diberi celana. Karena saya tidak punya celana yang bisa saya berikan padanya maka ia menyuluti atap rumah
kami. Kami sedang makan siang ketika kami mendengar jeritan anak kecil dan salah satu di antara anak buah kami memanggil kami. Bersama dengan bantuan orang kampung kami
naik ke atap. Püse dan istri saya membawa air cuci pakaian dan anak-anak lain membawa air dari sawah. Dengan bantuan Tuhan Allah kami berhasil memadamkan api walaupun angin bertiup kencang dari timur. Pelaku yang melarikan diri ditangkap dan para raja mau langsung memotong orang itu. Atas permohonan kami dia tidak dibunuh tetapi didenda seekor babi yang mereka makan bersama pada malam hari. Pada kesempatan itu mereka bersumpah akan mendenda barang siapa yang hendak berbuat jahat pada kami. Tanpa bantuan Tuhan rumah kami sekarang tinggal abu saja.

Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu musuh kita yang jahat bergerak lagi. Kami dikabari Tuan Residen adanya 40 ulubalang (laskar) asal Aceh dari Singkel menuju ke sini, dan supaya kami waspada. Beberapa minggu yang lalu raja imam Batak52 datang ke Lobu Siregar melarang penduduk menampung para zendeling dan menyuruh mereka mengusir kami dari Bahal Batu dan dari Silindung karena masa kekafiran akan berakhir kalau mereka menjadi Kristen. Mulai saat itu orang Lobu Siregar menunjukkan sikap bermusuhan.
Kala itu Singamangaraja [198] telah diam-diam menjalin perjanjian dengan raja Lobu Siregar yang memanggil ulubalang, dan sekarang nyata bahwa dialah biang keladi kerusuhan.
Desas-desus makin menjadi. Tanggal 17 Desember kami menerima surat dari Silindung bahwa para ulubalang sudah tiba di Bangkara yang berjarak hanya satu hari jalan kaki dari sini, dan kami disuruh untuk segera berangkat. Maka kami berangkat setelah membungkus pakaian dan pos zending kami serahkan kepada raja tua. Sedang di perjalanan kami dapat surat dari Silindung supaya untuk sementara kami tetap tinggal di Bahal Batu. Raja tua itu senang bahwa kami kembali dan pada hari-hari mendatang terpaksa kami ganti-gantian jaga pada malam hari. Kian hari kian mencemaskan desas-desus yang kami dengar. Lalu datanglah penginjil Nommensen, Püse, Simoneit, dan Israel. Sebagian besar Silindung berjanji untuk membela para penginjil dan melawan jika diserang. Para raja Bahal Batu pun menyatakan akan membela kami, dan Portaon Angin53 malahan mengatakan musuh terlebih dahulu harus membunuh kalau mau mengancam kami. Simoneit dan Israel tinggal di sini untuk membantu kami kalau-kalau pos diserang musuh.
Minggu-minggu yang akan datang penuh dengan kecemasan dan keresahan. Namun dalam kesengsaraan ini berkat Tuhan kami menikmati suasana hangat saling mendukung satu sama lain.
Sementara ini dan khusus untuk orang Kristen dan raja yang berpihak pada zending pemerintah menyediakan 50 bedil beserta amunisi serta menjamin adanya bantuan tentara karena pemerintah khawatir akan timbul musibah sebagaimana yang terjadi tahun 1859 di Kalimantan.54 Penginjil Nommensen menyuruh orang bertanya pada raja imam Singamangaraja mengapa ia memusuhi para penginjil, namun ia menyangkal memiliki sikap bermusuhan, demikian juga raja yang memanggil ulubalang itu.
 
[199] Namun demikian tetap ada surat dan berita dari Danau Toba ke Silindung dan Bahal Batu menyuruh kami untuk pergi sementara Singamangaraja menghasut orang untuk memusuhi kami. Di bawah rasa kecemasan tetapi percaya akan pertolongan Tuhan kami merayakan Natal dan memasuki Tahun Baru. Delapan hari setelah hari Tahun Baru para penginjil meninggalkan
kami. Desas-desus yang mencemaskan itu masih tetap tidak reda. Dari Barus pun datang berita perkara itu ke Sibolga sehingga Residen di Sibolga menyuruh beberapa raja untuk menyelidikinya. Awal Februari datang 80 tentara Belanda dengan seorang Komisaris (Kontrolir) untuk menyelidiki lebih lanjut perkara itu. Selama tentara berada di Silindung suasana menjadi tenang. Lalu datang surat dari Singamangaraja. Katanya kalau tentara pergi dia akan datang mengusir kami bersama dengan raja dari Bahal Batu. Raja-raja lain dari arah pegunungan secara umum memberitahu di pasar-pasar akan menyembilih kami. Lalu Residen mengirim surat kepada Singamangaraja menanyakan apa tujuan dia yang sebenarnya.
Dia membalas dia tidak keberatan dengan keberadaan zending,dia hanya ingin agar pasukan Belanda kembali, dan setelah itu ia bersedia untuk datang dan berbicara dengan kami.
Surat balasan Residen dirobeknya dan mau memakan pengantar surat itu, namun ada seorang raja menghalanginya.
Tanggal 15 Februari [1878] pasukan tiba di Bahal Batu bersama dengan penginjil dari Silindung. Selama dua hari keadaan tenang. Pada malam hari tanggal 16 Februari musuh menembaki kamp tentara dan meninggalkan tiga surat dari buluh yang mengumumkan perang terhadap kami dan bahwa mereka tidak tinggal diam sampai kepala-kepala Tuan Belanda itu ada di tangan mereka. Pada surat bambu itu mereka ikat ubi rambat yang ditusuk sebagai tanda akan menusuk serdadu dan tuan-tuan dan memakannya seperti ubi. [200]
 
Pada pagi hari tanggal 17 Tuan Kontrolir menjelaskan bahwa saya harus segera membawa istri saya ke Silindung karena dia tidak bisa tinggal di sini kalau perang sudah pecah. Raja tua hendak menghalanginya tetapi Kontrolir memerintah seorang perwira berpangkat letnan untuk mengawal kami sampai pertengahan jalan ke Silindung. Pada jam 10:00 kami berangkat dengan saudara Johannsen dan menjelang malam hari kami tiba, dalam hujan deras, di Pansur na Pitu.
Pada hari Selasa tanggal 19 saya sendirian kembali ke Bahal Batu. Tuan-tuan sudah tinggal di kamp dan mendesak kami agar meninggalkan pos zendingnya. Pada tanggal 20 Tuan Kontrolir menyuruh kami meninggalkan pos zending. Penginjil lain pun mendesak agar saya pergi dari sana sehingga saya kembali ke Silindung. Atas keputusan para penginjil dan atas permintaan saudara Simoneit yang baik hati maka saya menempati pos Simorangkir hingga penginjil Simoneit kembali dari Toba.56 Dia secara rela memutuskan mendampingi penginjil Püse hingga perang selesai dan saya bisa kembali ke Bahal Batu bersama istri saya.
Sementara itu pertempuran di Bahal Batu telah dimulai.Setiap hari musuh datang, kadang-kadang ribuan orang, tetapi setiap kali hanya sebagian dari ulubalangikut berperang dan
selalu serangan mereka dapat ditangkis dengan berjatuhan korban di pihak mereka. Kebanyakan musuh berasal dari daerah di sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya. Seorang yang tertangkap dalam keadaan cedera langsung mau dibunuh dan dimakan oleh penduduk Bahal Batu, tetapi mereka dihalangi oleh Simoneit dan Püse dan beberapa orang serdadu. Orang itu dibawa ke pos zending dan kemudian ke huta [kampung] Portaon Angin lalu ia ditebus oleh keluarga dengan sekitar 300 Gulden57. Setelah kami tinggalkan pos zending dijaga oleh orang Bahal Batu.
 
Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari,dua kali musuh berusaha untuk membakarnya, namun cukup cepat diketahui dan para pelaku diusir. Raja Angin Solobean menawarkan 300 dolar Spanyol58 yang kira-kira sama dengan 900 Gulden bagi barang siapa yang berhasil membakar pos zending. Hal itu dilakukan karena balas dendam untuk keponakannya yang gugur di Bahal Batu. Berkat pertolongan Allah pos zending hingga kini selamat, dan di Bahal Batu belum ada seorang serdadu pun yang gugur, yang cedera pun belum ada.
Pada 14 Maret Bapak Residen datang sendiri dari Sibolga bersama 250 tentara dan Kolonel Engels yang telah membuktikan keberaniannya di Aceh. Tanggal 15 Silindung dinyatakan
menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda, dan pada tanggal 16 para Tuan beserta dengan pasukan berangkat ke Bahal Batu. Sekali lagi Tuan Residen berusaha untuk, bersama dengan
para penginjil, meyakinkan musuh untuk menyerah, akan tetapi usaha tersebut ditolak. Setelah itu Bahal Batu pun dinyatakan menjadi wilayah Hindia-Belanda dan para raja harus melakukan sumpah setia. Lalu pasukan berangkat ke Butar dengan para penginjil sebagai penerjemah. Orang Butar pun disuruh menyerah bila mau selamat. Setelah penawaran itu mereka tolak maka tentara menyerbu kelima kampung dan membakarnya. Penduduknya tidak ditangkap tetapi ada beberapa
orang yang mati dan cedera di antaranya. Di pihak tentara ada seorang bintara yang luka berat dan beberapa hari kemudian meninggal di Bahal Batu. Kampung-kampung lain di Butar lalu menyerah; 11 raja ditangkap dan dibawa ke Bahal Batu, dan masing-masing diwajibkan membayar pampasan perang sebanyak 200–300 dolar Spanyol atau 600–900 Gulden.
Kini mereka sudah dilepaskan. Atas permintaan para penginjil maka Butar diperlakukan dengan lunak sehingga tidak terlalu banyak kampung yang dibakar. Sayang sekali raja yang dulu pernah menyelamatkan jiwa para penginjil yang ditahan di Butar kini menjadi pemimpin musuh.
 
Atas permintaan penginjil [202] kampungnya tidak dibakar,hal mana semoga akan membuat dia merenungkan peristiwa yang berlalu.
Semua perundingan dengan Lobu Siregar gagal, dan tentara yang masuk ke situ diserang. Lima kampung dibakar kecuali kampung seorang raja yang bersikap netral. Raja-raja yang lain semua harus membayar pampasan perang. Semoga Tuhan melimpahkan berkatNya kepada rakyat supaya mereka mau menyerah saja dan tidak menuruti pemimpinnya yang hanya mencelakakan mereka. Bagaimana pun mereka akan kalah. Barangkali seluruh Toba sekarang bisa menjadi wilayah Hindia-Belanda. Residen telah memperoleh izin untuk aneksasi dari Batavia. Bagaimana pun jadinya, zending Toba kini berada dalam krisis berat, dan bagaimana akibat perang yang tragis ini untuk zending kita masih belum diketahui. Semoga Tuhan senantiasa menolong dan memberkati kita demi berhasilnya pembangunan kerajaannya.






No comments:

Post a Comment