Pages

Friday, May 4, 2012

Dekonstruksi Utusan Damai di Tanah Batak


Dekonstruksi Utusan Damai di Tanah Batak

Judul : Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba
Penulis : Uli Kozok
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor, Ecole francaise d’Extreme-Orient, Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Unimed, Sekolah Tinggi Teologi Jakarta 2010
Tebal : 219 hlm ISBN : 978-979-461-776-2

Apa jadinya jika seorang tokoh yang dianggap sakral didekonstruksi sehingga bisa mengubah citra yang telah melekat? Apalagi jika tokoh tersebut berkaitan dengan salah satu isu yang sensitif di Indonesia yaitu agama.

Buku Utusan Damai di Kemelut Perang; Peran Zending dalam Perang Toba ini dapat dianggap kontroversial karena mendekonstruksi tokoh Ludwig Ingwer Nommensen, tokoh yang erat kaitannya dengan penyebaran agama Kristen di tanah Batak. Anggapan kontroversial tersebut seperti yang diungkapkan penulisnya,Uli Kozok akan muncul pada sebagian orang karena mengubah pandangan dan citra peran Nommensen yang tanpa cela (hal.14).

Seperti yang diungkapkan oleh Letjen TNI (Purn) TB Silalahi ketika melepas seratusan orang peserta napak tilas di Balige pada 2007 untuk memperingati perjalanan sekaligus penyebaran agama Kristen yang dilakukan Nommensen di Tanah Batak: “Kalau dulu Apostel Nommensen tidak datang ke sini, mungkin kita orang Batak masih memakai cawat sampai sekarang,”

Namun, tambah Kozok, ‘kontroversi’ itu terjadi karena selama ini penulisan sejarah penginjilan di tanah Batak didominasi oleh para penulis yang dekat dengan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sebagai penerus Rheinische Missiongesellschaft (RMG). Penulisan sejarah yang berat sebelah dan tidak kritis terhadap seorang tokoh tentunya dapat membuat kritik dan koreksi pihak lain menjadi kontroversial.

Buku ini tidak hanya mengungkap catatan perjalanan Ludwig Ingwer Nommensen. Selain dirinya ada pula Wilhelm Metzler serta para penginjil lain selama masa Perang Toba. Perang Toba tersebut berlangsung pada 1878 dan 1883 sebagai inti perlawanan Si Singamangaraja XII terhadap pemerintah kolonial.

Pertanyaan yang menarik adalah apakah Nommensen dan Si Singamangaraja XII bermusuhan atau justru bekerja sama dalam kaitannya menentang kolonialisme Belanda seperti yang diakui selama ini. Menurut Kozok dalam buku Ahu Si Singamangaraja (1982) karya Prof. Dr. W.B. Sidjabat tidak disebutkan bahwa Si Singamangaraja XII dan Nommensen bermusuhan (hal.102). Begitupula dengan keterlibatan Nommensen dalam Perang Toba. Hal inilah yang dikritik oleh Kozok.

Dalam buku ini Kozok memberikan fakta baru yang justru bersumber dari surat-surat Nommensen sendiri yang menjelaskan keterlibatannya dalam perang Toba. Adanya ‘kerjasama’ antara pihak zending dan pemerintah tersebut diketahui dari pilihan kata yang digunakan Nommensen dalam laporannya. Sebagai seorang filolog, Kozok mengacu pada kata ‘wir’ (‘kami’) yang menunjukkan identifikasi Nommensen dengan tentara dan ‘die feinde’ (‘musuh’) untuk pihak Sisingamangaraja (hal.106) Hal tersebut menunjukkan bahwa Nommensen tidak menentang kolonialisme melainkan mendukungnya serta posisi zending dan pemerintah yang sejajar.

Kozok menjelaskan pula alasan keberpihakan Nommensen serta para penginjil lainnya. Hal tersebut diulas pada bagian Teologi dan Ideologi RMG (hal.47-72). Pada bagian ini dibahas latar belakang teologi di RMG pada pertengahan abad ke-19, serta ideologi yang sedang berkembang di Eropa, dan khususnya di Jerman yang sejalan dengan kepentingan pemerintah kolonial. Selain itu Kozok juga membandingkan aktivitas para penginjil di tanah Batak dengan aktivitas penginjil di Afrika.

Proses penggunaan sumber primer berupa tulisan tangan Nommensen asli dalam buku ini sangat menarik. Sebenarnya buku ini pernah diterbitkan pada 2009 oleh Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan. Seperti yang diungkapkan Dr. Ichwan Azhari dalam kata pengantar buku ini. Ketika buku ini didiskusikan oleh para pakar terjadi perdebatan mengenai kebenaran dokumen Nommensen yang menjadi dasar buku edisi pertama. Prof. Dr. B.A. Simanjuntak yang hadir dalam diskusi itu meragukan otensitas dokumen Nommensen yang dirujuk oleh Uli Kozok. Alasannya, Kozok tidak menggunakan teks asli Nommensen melainkan tulisan Nommensen yang diterbitkan (sumber sekunder) sehingga tidak tertutup kemungkinan pernyataan Nommensen itu telah diedit oleh pihak RMG (hal.9)

Atas saran Dr. Ichwan Azhari, Kozok berupaya menjawab keraguan itu dengan cara menyurati pusat arsip RMG dan menanyakan apakah tulisan asli Nommensen masih disimpan oleh pusat arsip RMG yang berpusat di Barmen (sekarang menjadi bagian kota Wuppertal), Jerman. Ternyata tulisan tangan Nommensen yang asli masih tersimpan.

Dalam edisi buku ini bukti-bukti tulisan tangan Nommensen tersebut dimuat sehingga masalah otensitas sumber yang diragukan oleh Prof. Simanjuntak telah terjawab. Dalam studi sejarah masalah otentisitas memegang peranan penting. Apalagi jika hal tersebut berkaitan dengan sejarah yang sifatnya kontroversial. Dilampirkannya bukti-bukti tulisan tangan Nommensen yang merupakan sumber primer memperkuat analisis Kozok tentang hubungan antara Nommensen dan Si Singamangaraja XII dalam Perang Toba.

Hal lain yang menarik dari buku ini adalah dimuatnya terjemahan laporan dalam bentuk artikel yang dimuat Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft (BRMG) dari bahasa Jerman serta teks aslinya sebagai lampiran. Artikel-artikel terjemahan tersebut dapat dibandingkan dengan teks aslinya dan mungkin kelak mendapat interpretasi baru.

Dalam sejarah bukanlah hal yang mustahil jika ada interpretasi baru terhadap suatu pokok bahasan dari sumber (baru) yang ditemukan. Apalagi jika metode yang digunakan juga tepat. Dalam kasus surat Nommensen ini menurut hemat saya perlu didukung dengan bukti-bukti lain yang kuat baik itu berupa sumber primer maupun sekunder.

Ada baiknya jika kita juga memeriksa arsip-arsip pemerintah Hindia-Belanda yang berkaitan dengan masalah ini, misalnya arsip atau surat resmi yang dikeluarkan baik oleh pemerintah setempat maupun pusat karena segala sesuatu yang dianggap penting oleh pemerintah kolonial biasanya dicatat dengan rapi. Apalagi jika hal itu berkaitan dengan kepentingan mereka.

Walau buku ini dilengkapi dengan ilustrasi menarik, baik foto maupun peta, sayangnya tidak semua sumber ilustrasi dicantumkan. Hanya satu ilustrasi yang dilengkapi dengan sumber yaitu Poliklinik RMG di Pearaja, 1910 yang merupakan koleksi KITLV (hal.78) Terlepas dari kekurangan kecil tersebut buku ini menarik dan penting bagi para pengamat, pencinta sejarah khususnya sejarah misionaris di Indonesia.


Sumber:
http://sunjayadi.com/?p=267

No comments:

Post a Comment