Pages

Monday, April 30, 2012

Geowisata Toba yang Diabaikan


Geowisata Toba yang Diabaikan


KOMPAS Amir Sodikin | Fikria Hidayat | 2011-10-15 | 09:03:28
Danau Toba terlihat dari Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Senin (25/7/2011). Danau Toba adalah danau terbesar di Indonesia. Danau hasil volcano tektonik terbesar di dunia, dengan panjang danau 87 kilometer dan lebar 27 kilometer, terbentuk dari letusan gunung berapi raksasa (supervolcano) yang terjadi sekitar 74 ribu tahun lalu.

Amir Sodikin & Indira Permanasari
KOMPAS - Toba, danau tropis nan elok di jalur khatulistiwa, dengan udara hangat dan angin semilir. Panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer, menobatkan danau ini sebagai danau vulkanik terluas di dunia.

Ditambah fakta, danau ini adalah kaldera supervolcano yang letusannya terdahsyat di dunia, semestinya cukup menjadikan Danau Toba sebagai daerah tujuan wisata utama.

Daya tarik wisata itu meliputi tiga unsur, yakni keunikan penampilan, latar belakang sejarah, dan fungsi bagi kehidupan. Toba memiliki ketiga-tiganya. Apanya yang kurang dengan gelar yang disandang Toba? Salah satu kekurangannya adalah akses informasi yang terbatas.

Sejauh ini, banyak wisatawan ”tersesat” dan tak tahu bagaimana mengagumi bekas Gunung Toba yang letusannya pernah mengakibatkan dunia memasuki periode enam tahun kegelapan total dan 1.000 tahun musim dingin vulkanik. Di lokasi wisata sekitar Danau Toba, tak ada pamflet atau poster yang bisa memperkaya bagaimana cara menikmati sejarah dan keunikan geologi Danau Toba.
Rajit (22), karyawan swasta dari Jakarta, melancong ke Tomok di Pulau Samosir, hanya bisa melihat kekayaan budaya dan keindahan lanskap.

Andrea Gurau, turis asal Austria, datang dengan alasan serupa. Awalnya dia tak mengetahui kalau Toba merupakan kaldera. Begitu mencari informasi di internet, barulah informasi itu didapat, dahsyat betul. Setelah tahu kebesaran nama Toba, Andrea mengajak pasangannya, Dejaw Petrovic, untuk bertekad mengunjungi Toba. ”Akan tetapi, sayang sekali, di sini sulit mengetahui jejak-jejak letusan. Jika ada informasi seperti itu di lokasi, akan sangat membantu,” ujarya.

Dia menekankan, informasi kebumian di sekitar Toba, apalagi jika ada Museum Letusan Toba, akan memberi makna lebih bagi wisatawan.

Warga lokal pun sedikit yang tahu bahwa Toba adalah kaldera gunung api dan Pulau Samosir merupakan dasar danau yang mengalami pengangkatan. Mereka juga tak tahu jika bukti- bukti geologi bisa ditemukan di sekitar Toba.

Padahal, bukti-bukti geologi dengan mudah bisa dilihat di tepi jalan, yaitu berupa lapisan abu vulkanik, fosil ganggang atau diatomae, misalnya. ”Kami belum pernah mendengar hal itu,” kata Jabalos Simbolon (24), Ketua Karang Taruna Kabupaten Samosir.

Menurut warga Samosir lainnya, Ifi D Sitanggang (25), lebih banyak warga yang memahami Pulau Samosir ataupun Danau Toba dari logika mitos. Hanya sebagian generasi mudanya yang mendapatkan pemahaman ilmiah tentang Toba dan Samosir dari bangku sekolah.
Polesan geowisata

Toba adalah aset wisata bertaraf internasional yang terabaikan dari hal-hal kecil. Di dunia ini, lokasi-lokasi wisata bernilai geologi penting, berlomba-lomba mengelola kawasan wisata dengan serius. Salah satunya mengikuti konsep geopark atau taman bumi yang dikembangkan Organisasi
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unesco).

Kawasan yang mendapat predikat taman bumi Unesco melambung namanya di tingkat internasional dan menjadi rujukan wisatawan dunia. Hingga kini, setidaknya ada 77 taman bumi dari 24 negara. Dari jumlah itu, tak satu pun berasal dari Indonesia. Negara tetangga kita sudah memulainya, yakni Malaysia dengan Langkawi dan Vietnam dengan Dong Van Karst Plateau-nya.

Dengan potensi Toba yang begitu memesona sekaligus megah, tentu tak ada yang bisa menyangkal jika Danau Toba layak menjadi taman bumi. Sayangnya, untuk menjadi taman bumi, terasa sulit karena hingga kini Toba masih bergulat dengan hal-hal sepele, seperti tiadanya informasi berkualitas, kawasan yang tak tertata, dan minimnya akomodasi.

Karena kendala itu, geolog dari Museum Geologi, Indyo Pratomo, mengatakan, kita tak harus memakai konsep taman bumi dari Unesco jika memang belum mampu. Untuk Toba, pendekatan prinsip-prinsip geowisata bisa langsung dipakai daripada pendekatan taman bumi yang justru riskan bagi manajemen yang korup.

”Geopark memang memproteksi sebuah kawasan dari berbagai sisi, mulai dari geologi, biologi, keanekaragaman hayati, hingga budayanya. Namun, hati-hati, status geopark hanya diberikan selama tiga tahun. Setelah itu akan dinilai lagi, betul tidak wisata tersebut juga menyejahterakan masyarakat,” kata Indyo.

Jika ternyata manajemen kesejahteraan masyarakat lokal tak dilaksanakan, status geopark dicabut. ”Itu artinya kita mempromosikan kegagalan Indonesia ke dunia luar,” kata Indyo.
Prinsip geowisata lebih sederhana, yaitu memperkaya atau menambahkan informasi geologi untuk obyek wisata, baik untuk daerah tujuan wisata maupun untuk pengembangan wisata. Dampaknya, pengunjung bisa mendapatkan informasi baru sambil berekreasi. Secara teknis, hal itu bisa dilakukan dengan membuat leaflet, brosur, poster, atau buku wisata yang juga mengurai tentang khazanah geologi Toba. (Mohammad Hilmi Faiq/Ahmad Arif)


Sumber:

No comments:

Post a Comment