Pages

Monday, April 30, 2012

Ekspedisi Cincin Api: Menciptakan Berita dan Menguak Sejarah


Ekspedisi Cincin Api: Menciptakan Berita dan Menguak Sejarah


OPINI | 11 October 2011 | 
kompas.com
Menakjubkan. Luar Biasa. Saya benar – benar merasa surprise saat membaca Laporan Tim Ekspedisi Cincin Api tentang Gunung Tambora beberapa waktu lalu di Harian Kompas. Ditengah hiruk pikuknya pemberitaan mengenai korupsi, KPK, tertangkapnya Nazaruddin dari pelariannya, kasus surat palsu MK serta carut marutnya sosial politik dan hukum negeri ini, Harian Kompas mampu menciptakan mainstream pemberitaan sendiri tentang Indonesia sebagai negeri yang rawan bencana dengan tetap tak meninggalkan fokus terhadap berita ramai tentang korupsi dan praktek mafia anggaran.

Wartawan dan media yang mencari dan menaikkan berita yang terjadi adalah hal biasa. Yang tidak biasa adalah jika wartawan dan media melakukan suatu kegiatan terencana untuk menciptakan suatu berita dan menguak sejarah. Saya kira dengan Ekspedisi Cincin Api Harian Kompas dengan model liputan Cross Media Coverage selama 12 bulan adalah satu hal yang sangat luar biasa, apalagi kemudian Ekspedisi tersebut didukung penuh KOMPASTV, KOMPAS.com, dan Kompasiana : Bertolak dari Tambora, mengarungi Kaldera Toba, Sinabung dan Sibayak, Krakatau, Agung dan Rinjani, Semeru - Bromo, Merapi - Merbabu, Galunggung, Kerinci-Dempo, Egon-Lawu, hingga Sangihe-Ambon. Kemudian menyusuri lempeng Benua Sesar Darat Sumatera dan berakhir di Mentawai.

Sebagai Negara kepulauan terbesar dengan 17.000 pulau, panjang pantainya yang sepanjang 81.000 m diakui sebagai kedua terpanjang dunia, Indonesia terbukti sebagai negeri yang rawan bencana karena berada di garis depan pertemuan antara Lempeng Austronesia, Asia, dan Pasifik. Gesekan antar lempeng itu-terutama antara Australia dan Asia membuat bawah bumi Indonesia selalu bergejolak dan mendidih. Indonesia juga berada dalam lingkaran “Pacific Ring of Fire” membuat lempeng bebatuan di bawah bumi Indonesia, kecuali Kalimantan, termasuk yang paling retas di dunia. Hal ini dicirikan dengan banyaknya gempa bumi, dan gunung api yang berjajar mulai dari Aceh hingga Papua.

Liputan Ekspedisi Cincin Api dengan sendirinya membangkitkan kembali ingatan masyarakat Indonesia tentang potensi bencana geologi yang nyaris bahkan sudah dilupakan, padahal bencana tersebut dalam bentuk gempa, banjir banding, gunung meletus, dan tsunami tersebut sebenarnya telah pernah terjadi dalam sejarah panjang Nusantara. Gunung Tambora (yang berada di ketinggian 2.850 mdpl) di Dompu, Nusa Tenggara Barat misalnya, gunung yang pernah meletus pada April 1815 dikenal sebagai “The Largest Volcanic Eruption in History”. Dampaknya sangat luar biasa, lebih dari 71.000 orang meninggal, terjadi perubahan iklim dalam skala luas dan masa itu disebut juga tahun tanpa musim panas. Tiga kerajaan lokal yang berada dibawahnya juga terkubur bersama peradabannya.

Iklan
Kita tentu berharap Ekspedisi Cincin Api Kompas dalam rangkaian memetakan masalah geografi, sejarah dan masyarakat yang hidup di sekitar kawasan gunung berapi selama setahun ini, setidaknya mampu menyadarkan kita bahwa dibalik berkah kesuburan tanah dan keragaman hayati, nusantara ternyata “sangat rawan bencana kegunung-apian”. Jalur ‘Cincin Api Pasifik’ yang melingkar dari Amerika Selatan, Kanada, Jepang, Pilipina membuat simpul Indonesia hingga ke Kepulauan Pasifik adalah rumah bagi 90 persen gempa di bumi. Dari pengetahuan yang ada tentang negeri ‘Cincin Api Pasifik’ ini, paling tidak Kompas telah memberikan pencerdasan bagaimana seharusnya kita menyiapkan diri untuk siaga dan waspada hidup di negeri rawan bencana. (***)


Sumber:

No comments:

Post a Comment