Pages

Tuesday, May 1, 2012

Di Atas Bukit Manja


Di Atas Bukit Manja


by. Ekky Siwabessy
Kami praktis hanya mampu mengayunkan langkah 3 sampai 5  kali, lalu berhenti dengan napas memburu sambil  berpegangan pada batang pinus. Jauh di depan,Bang Marandus Sirait, penerima Kalpataru 2005, berjalan sambil berceloteh tentang keindahan pemandangan di puncak nanti, untuk memompa semangat kami yang tertindas tanjakan. Di belakangnya tiga calon guide muda berjalan dengan langkah pasti. “Kuat sekali mereka,” pikirku dalam hati. Mungkin, bagi Bang Marandus dan ketiga calon guide itu, jalur ini sudah makanan sehari-hari. Tapi buat kami bertiga, melintasi punggungan bukit yang ditumbuhi pinus dengan kemiringan 70 derajat dan medan yang luar biasa licin  itu adalah penyiksaan.
--------
Pagi tadi, sebelum pendakian.
Sebuah seruan membangunkan kami dari buaian mimpi.  “Bangun! Sudah pagi…” Suara itu muncul dari depan pintu kamar sempit dalam pondok sederhana miliknya. Dengan logat Batak yang patah, dialah Bang Marandus Sirait yang menjadi host kami dan sekaligus pengelola Taman Eden 100 di Toba Samosir.

Dengan berat hati, saya, Putra dan Wardi dari Inside Sumatera bangkit berdiri dan mengantri ke kamar mandi. Dinginnya air gunung dalam bak penampungan tak kami pedulikan lagi. Kami harus bergegas karena hari ini akan mendaki Bukit Manja, salah satu puncak dari bagian Gunung Sipangulubao di kawasan Taman Eden 100, Desa Sionggang Utara, Kecamatan Lumban Julu, Toba Samosir, Sumatera Utara.

Bang Marandus yang telah menerima Kalpataru kategori perintis lingkungan hidup atas proyek Taman Eden 100 di kaki Gunung Sipangulubao, bersedia menemani kami langsung dalam pendakian ini. Dia adalah aktifis lingkungan hidup berskala nasional dan mendapat pujian dari jaringan aktifis lingkungan internasional. Marandus dan keluarganya secara sukarela melakukan penghijauan selama bertahun-tahun di kaki Gunung Sipangulubao dengan tanaman-tanaman bermanfaat.
Setelah mandi, kami diajak berjalan mencari sarapan pagi sekaligus berbelanja logistik untuk pendakian nanti. Pondok sederhana yang berfungsi sebagai basecamp Bang Marandus dan kawan-kawannya berada di pinggiran jalan raya lintas Parapat-Balige dan masuk dalam bagian desa percontohan Aek Natolu.

Kabut meripis di atas permukaan aspal ketika kami melangkah keluar pondok mencari warung. Penduduk setempat mulai beraktifitas. Anak-anak sekolah berjalan beriringan di pinggiran aspal, ibu-ibu rumah tangga mulai mengayak beras untuk ditanak, dan kaum pria menikmati kopi hitam di beberapa warung yang telah buka. Adalah keasyikan tersendiri menyaksikan aktifitas pagi di Desa Aek Natolu sambil menyeruput teh manis panas dan menyantap ombus-ombus (sejenis roti tradisional suku Batak Toba) di salah satu warung.

Terlihat jelas dari warung tempat kami bersantap pagi, Gunung Sipangulubao berdiri hijau di pinggiran jalan aspal menuju Balige, berseberangan dengan hamparan Danau Toba di arah sebaliknya bila kita berdiri di atas Jalan Lintas Sumatera. “Lihatlah salah satu puncak yang berteras di atas sana, itu puncak Bukit Manja,” terang Bang Marandus sambil menunjuk ke arah salah satu puncak yang berada sedikit di bawah puncak Gunung Sipangulubao.

Meskipun terlihat lebih rendah dibandingkan puncak utama gunung itu, namun kontur punggungan yang terjal mau tidak mau cukup membuat kami menelan ludah. Maklumlah, kami harus mendaki di saat rasa letih kami setelah menempuh perjalanan dari Kota Medan belum hilang sepenuhnya. Setelah sarapan dan berbelanja logistik, kami pun meninggalkan pondok itu menuju Taman Eden 100.
Tepat pukul 09.10 WIB, kami tiba di Taman Eden 100. Di situ telah menunggu 3 orang lain yang akan bergabung dalam pendakian. Ketiga orang itu adalah Mantun, Rico dan Uli. Mereka sedang melalui masa training. “Dua di antara mereka belum pernah ke puncak Bukit Manja. Kupikir ada baiknya mereka ikut supaya bisa mengenal medan. Jadi lain kali mereka bisa membawa tamu sendiri,” jelas Bang Marandus.

Taman Eden 100
Mengamati keadaan Taman Eden 100 sambil mempersiapkan diri menghadapi pendakian cukup menyenangkan. Taman ini berjarak 18 km dari Parapat. Karena kondisi jalan yang sangat mulus, hanya dibutuhkan waktu sekitar 15 menit dengan kendaraan roda empat dari Kota Parapat untuk sampai ke lokasi ini. Di pintu masuk sebelah kiri badan jalan, pengunjung akan melihat pintu gerbang yang bertuliskan “Taman Eden 100”.

Nilai pelestarian yang dimaknai Marandus, tidak hanya sebatas berteori ataupun berseminar. Akan tetapi diinterpretasikan lewat kreasi bermanfaat. Taman seluas 40 hektar milik keluarganya, dikelola bermodalkan kemampuan dan pengetahuannya. Darah seniman yang dimilikinya sebagai guru musik menyadarkannya bahwa berdasarkan posisi geografis, kawasan Tobasa sebagai daerah tangkapan air yang didominasi lahan kritis, perlu dijaga kelestariannya.

“Umat Kristiani akan teringat bagaimana kisah Adam dan Hawa, menikmati sebuah surga di Taman Eden yang ditumbuhi aneka ragam buah-buahan. Namun sejak manusia dilumuri dosa, keindahan Taman Eden yang disucikan itu kini hanya ada dalam mimpi. Di sini ada lebih dari 100 tanaman yang sudah kami tanami sejak usaha penghijauan tahun 1999 hingga saat peresmian taman ini di tahun 2000. Itulah latar belakang saya memberi nama Taman Eden 100 bagi tempat ini,” ujar Marandus.
Di sekitar areal taman, bertebaran ratusan jenis tanaman yang pada bagian bawahnya diletakkan pamflet yang menerakan nama penanamnya. Untuk membantu perawatan, pengunjung dikenakan biaya ala kadarnya untuk membeli pamflet dan cat. Sementara bibit dapat dipilih dengan bebas oleh pengunjung.

Sejak 29 Desember 2007, Marandus membuat suatu sistem yang diberi nama “Bank Pohon”. Sistem penghijauan ini berguna untuk mensuplai bibit-bibit ke kawasan Danau Toba dalam rangka penghijauan dan peningkatan ekonomi masyarakat. Bank pohon terbuka menerima donor dalam bentuk bibit untuk dirawat secara cuma-cuma di Taman Eden 100. Selanjutnya, Taman Eden 100 membantu penyediaan bibit gratis bagi masyarakat kurang mampu.

Selain paket pendakian Bukit Manja dan Puncak Sipangulubao (2.150 mdpl), taman ini juga memiliki Air Terjun 2 Tingkat, Air Terjun Jantung Rimba (7 tingkat), serta Gua Kelelawar. Dua tempat yang terakhir disebutkan berada jauh di dalam hutan dan memerlukan waktu tempuh 5-6 jam dari posko Taman Eden 100. Kedua lokasi ini juga sangat digemari oleh para petualang rimba. Sementara Air Terjun 2 Tingkat hanya berjarak 20 menit dari posko. Yang tak kalah menarik adalah Rumah Tarzan, sebuah rumah yang dibangun di atas jajaran pohon besar yang berdempetan yang banyak menarik minat pengunjung karena cukup dekat dari posko.

Wahana lain adalah kebun pembibitan aneka jenis tanaman sebagai kerjasama antara pihak Taman Eden 100 dan PT Toba Pulp Lestari. Lokasi pembibitan sedikit menjorok ke dalam taman, tepatnya di lintasan jalan setapak menuju rimba. Di tempat ini, Marandus berusaha mengembangkan berbagai jenis bibit tanaman dengan sistem cangkok. Hasilnya, ia telah berhasil mengembangkan pohon andaliman (sebuah tanaman yang buahnya dijadikan bumbu masak untuk makanan khas Batak seperti arsik) dan terong belanda dalam tampilan bonsai.

Wahana paling baru di sorga kecil ini adalah Toba Orchid Park atau Taman Konservasi Anggrek Endemik Toba. Taman yang diresmikan pada tanggal 14 Februari 2009 yang lalu itu merupakan lokasi tempat pengumpulan, identifikasi, penangkaran dan pelestarian jenis-jenis anggrek khas Toba. Pembuatan taman anggrek ini merupakan hasil kerjasama Taman Eden 100 dengan Forum Peduli Anggrek Toba.

Menuju Puncak
Setelah makanan dan perlengkapan pindah ke ransel-ransel kami, pukul 09.30 WIB tim yang terdiri dari 6 orang ini mulai berjalan meninggalkan posko utama Taman Eden 100 memasuki rimba menuju Bukit Manja.

Melewati kebun pembibitan, jalanan setapak mulai menanjak memutari lereng bukit di atas Taman Eden 100. Suara kendaraan yang lalu lalang dari jalan raya di bawah sana, mulai samar terdengar seiring dengan desah napas kami yang mulai tersengal-sengal.

Sekitar pukul 09.45 WIB, tim tiba dan beristirahat sejenak di Pos I. Dari pos ini, jalur pendakian lebih bersahabat dari sebelumnya. Medan yang kami tempuh naik turun dan berliku-liku menembus kerapatan hutan. Kelembaban mulai meningkat. Namun suhu tubuh tetap terasa hangat karena kami terus bergerak. Pada salah satu bagian jalur, terdapat plamfet peringatan agar memakai jasa pemandu jika ingin lebih jauh menembus ke dalam hutan.

Vegetasi sepanjang perjalanan didominasi oleh pinus, rotan, dan berbagai jenis tumbuhan hutan lainnya.Di sisi kanan jalan setapak, tampak jalur pipa berdiameter 4 cm yang berfungsi untuk mengalirkan air dari mata air di Bukit Manja ke beberapa desa di kaki Gunung Sipangulubao. “Dulu air dialirkan dengan cara membuat parit kecil di samping jalan setapak ini. Tapi karena sering tersumbat oleh ranting dan dedaunan, pada tahun 2003 dipasang pipa agar masyarakat tidak harus bolak-balik membersihkan parit yang tersumbat. Jalur pipa ini juga sempat diperbaiki pada tahun 2005,” Bang Marandus menjelaskan. Tidak diragukan lagi, pengelolaan air bersih itu jauh lebih baik dari PDAM Tirtanadi, karena kami diizinkan untuk meminumnya langsung.

Pada pukul 10.10 WIB, kami kembali beristirahat di sebuah persimpangan kecil di tengah hutan. Jika mengambil jalan lurus sejauh 9 kilometer, pengunjung akan tiba di Air Terjun Jantung Rimba setelah terlebih dahulu melewati Gua Kelelawar (4,5 km). Sementara jalur kanan mengarah ke Bukit Manja dan puncak Gunung Sipangulubao.

Perjalanan kembali dilanjutkan. Perlahan tapi pasti, jalur mulai menanjak menembus kerapatan pinus hingga kami tiba di kaki punggungan yang terjal. Di sinilah penyiksaan itu bermula. Punggungan dengan kemiringan 70 derajat itu memaksa kami berulangkali berhenti mengambil napas panjang. Belum lagi pijakan yang tertutup oleh daun pinus basah karena intensitas hujan yang tinggi beberapa hari terakhir.

Wajah kami yangmulai berubah pucat dan pertanyaan-pertanyaan aneh seperti “Masih jauh Bang?” atau “Sedikit lagi kan Bang?’ mulai terlontar ke arah Bang Marandus. Ia hanya bisa tersenyum dan menjawab dengan sabar, “Iya, sedikit lagi”. Meskipun singkat, tapi jawaban itu sudah cukup membuat kami nyaman.

Pukul 11.15 WIB kami beristirahat di bawah pohon pinus yang terakhir yang kami dapati di jalur pendakian. Vegetasi mulai berganti dengan jenis tumbuhan dataran tinggi yang praktis lebih rendah dibandingkan pinus yang tinggi menjulang. Beberapa genus Nepenthes (kantung semar) mulai bertebaran di pinggiran jalan setapak. Pemandangan Danau Toba mulai terlihat mengintip di balik pepohonan.

Semangat kami bangkit kembali melihat keindahan pemandangan di sekitar kawasan itu. Apalagi perut telah dimanjakan dengan roti basah yang kami bawa dari Medan. “Sedikit lagi sudah puncak,” ujar Bang Marandus sambil kembali melangkah menuju puncak. Kami pun bergegas menyusul di belakangnya. Perlahan tapi pasti akhirnya pada pukul 12.30 WIB, kami tiba di puncak Bukit Manja.
Menapakkan kaki di puncak adalah tahap akhir dari pendakian yang selalu dinanti. Rasa bahagia, lega dan syukur membuncah keluar melalui ekspresi wajah dan gerak. Selaras dengan tatapan kagum mengarah pada keindahan panorama di bawah kami yang benar-benar misty dan ajaib. Jauh lebih indah dari penuturan Bang Marandus sendiri.

Ah, Danau Toba memang selalu menggetarkan dipandang dari sudut manapun. Birunya air danau berkilau di sela sisa kabut yang tertimpa sinar mentari. Di sisi kanan, perbukitan dan lembah nan hijau memonopoli pandangan. Di bagian belakang kami, tampak gelap dan terselubung misteri puncak Gunung Sipangulubao.

Menurut Bang Marandus, dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam lagi dari puncak Bukit Manja ke puncak Gunung Sipangulubao jika kami ingin melanjutkan perjalanan. Namun karena hal itu di luar perencanaan dan waktu yang terbatas, akhirnya kami memutuskan untuk tetap menghabiskan waktu di atas Bukit Manja sambil menyantap makan siang kami.

Namun baru saja menyelesaikan makan siang, hujan kembali turun dengan begitu tiba-tiba. View yang begitu indah mendadak hilang berganti kabut yang tebal. Kami pun mulai sibuk berlindung dengan plastik dan payung yang kami bawa.

Untungnya kondisi ini tidak berlangsung lama. Setengah jam kemudian hujan mereda. Kabut pun memudar. Pemandangan di depan kami seakan jauh lebih indah dari sebelumnya. Apalagi ketika uap-uap air dari rimbunan rimba di bawah kami mulai terangkat ke atas. Bagaikan peri-peri hutan yang terbang melayang menuju awan.

Sungguh sebuah pemandangan eksotis yang memukau. Perlahan terdengar kicauan burung-burung penghuni hutan serta teriakan lantang siamang yang menyajikan nada-nada ganjil yang tidak diajarkan dalam teori bermusik. Sungguh sebuah konser alam yang memukau. Sore itu dengan pakaian setengah basah kami berenam duduk di atas Bukit Manja. Terdiam mematung seribu bahasa menikmati lukisan dan nyanyian alam karunia-Nya.


Sumber:

No comments:

Post a Comment