Pages

Saturday, March 10, 2012

SiBanggor Julu, Lenyapnya Budaya Markusip dan Tersisanya Gordang Sambilan


SiBanggor Julu, Lenyapnya Budaya Markusip dan Tersisanya Gordang Sambilan


Kisah dari Desa, Kisah tentang Kekalahan…
Tinggal beberapa hari di desa-desa lereng Sorik Merapi, Mandailing Natal aku seperti dikembalikan pada masa kecil. Desa yang permai, dengan gemericik air mengalir dan sawah menghampar luas. Orang-orangnya yang sangat ramah, menyediakan tempat menginap dan makan dengan sangat tulus. Tetapi, menyelami kehidupan warga desa lebih jauh, aku merasakan nafas kekalahan yang menghimpit mereka.

Dan menulis tentang desa, berarti menulis tentang kekalahan. Kekalahan negara dalam melindungi rakyat dari hisapan kapitalisme, dan kekalahanku secara personal yang membuatku meninggalkan kehidupan desa yang permai.Inilah yang menjadi dasar dari dua tulisanku di Kompas (22/5/2005) lalu…


Tulisan ke 1:
DESAKU YANG PERMAI, DESAKU YANG KUTINGGALKAN
HUTA Baringin pagi hari adalah aroma pegunungan yang dingin. Desa di lereng Gunung Sorik Merapi-gunung berapi di Mandailing Natal, Sumatera Utara-itu sudah menggeliat sejak pukul 06.00.
ANAK-anak mandi di pancuran dan perempuan memasak di dapur. Sedangkan para lelaki markombur-bahasa Mandailing yang berarti ngobrol-di kedai kopi sebelum kemudian menuju ke sawah atau ladang.

Di sebuahrumah panggung dari kayu beratap ijuk, Zulkarnain Nasution (23) baru saja terbangun ketika ibunya sibuk menyiapkan sarapan pagi. Aroma ikan asin bercampur harum nasi yang mengepul tercium dari dapur yang tak jauh dari tempat Zulkarnain tidur.

Menunggu masakan siap, Zul, demikian dia dipanggil, mandi di permandian air panas alami di perbatasan desa. Dingin udara pagi itu terusir hangatnya air panas yang selalu mengepulkan asap. Air panas alami adalah berkah alam yang banyak ditemui di desa-desa di lereng Sorik Merapi.
Setelah sarapan, Zul bergegas merapikan diri. “Hari Minggu saatnya pacaran ke kota,” kata Zul setengah berbisik. Zul mengaku masih jengah berduaan dengan pacarnya di desa mereka sendiri.
Pada masa lalu, kegiatan berpacaran antara muda dan mudi dalam masyarakat Mandailing sama sekali tak boleh dilakukan secara terbuka. Jika dua orang muda yang dimabuk asmara hendak berkomunikasi, biasanya mereka menggunakan bahasa daun-daunan atau hata bulung-bullung.

Secara bergiliran muda-mudi tersebut akan mengunjungi tempat rahasia yang sudah disepakati berdua untuk melihat “surat cinta” yang terdiri dari daun-daunan. Kalau, misalnya, daun hadungdung bersama-sama dengan daun sitata, daun sitarak, daun sitanggis, dan daun podom-podom dikirimkan seorang pemuda, sang kekasih akan mengerti bahwa sang pemuda mengatakan, “Dung hita marsarak jolo tangis au anso modom.” Artinya, “Setelah kita berpisah, menangis saya dahulu baru bisa tertidur.”
Dan jika hasrat untuk bercakap-cakap secara langsung kian menggelora, mereka akan melakukannya dengan cara yang disebut markusip (berbisik). Markusip dilakukan pada waktu tengah malam agar tidak diketahui orang lain. Dalam hal ini, pemuda dengan cara sembunyi-sembunyi mendatangi rumah tempat kekasihnya tidur. Untuk membangunkan sang kekasih, biasanya pemuda mengetuk dinding kamar gadis atau memanggilnya secara perlahan-lahan untuk memberi tahu bahwa dia sudah datang.

Kadang-kadang untuk memberi tahu kehadirannya, sang pemuda membunyikan alat musik tiup dari bambu yang dinamakan tulila yang suaranya sangat lembut. Bila sang gadis sudah mengetahui kehadiran kekasihnya di balik dinding atau di kolong rumah, mulailah mereka berdialog secara berbisik-bisik, diselingi pantun percintaan yang romantis.
***

BAGI Zul yang telah mengecap gaya hidup kota, tradisi berkomunikasi dengan daun-daunan atau ber-markusip adalah masa lalu. “Kami hanya mendengar cerita tentang hata bulung-bullung dan markusip. Sekarang tidak ada lagi yang melakukannya. Paling-paling kami pacaran secara sembunyi-sembunyi di luar desa,” katanya.

Seharian jalan-jalan di kota, Zul pulang ke desa menjelang senja. Dia kemudian ke kedai untuk markombur sambil menikmati kopi panas. Di kedai, Zul lebih banyak diam. Dia kesulitan mengikuti tema obrolan pengunjung kedai yang rata-rata orang tua.

Zul adalah sedikit dari pemuda desa yang bertahan di Huta Baringin. Dia sebenarnya ingin merantau. Tetapi, kedua orangtuanya yang telah renta melarang. Alasannya, Zul satu- satunya anak yang tinggal di desa karena keempat kakaknya telah pergi merantau.


“Di desa sebenarnya enak. Mau mandi air panas gratis. Hasil panen masih cukup untuk dimakan sendiri. Tetapi, yang bikin stres, saya merasa tidak bisa berbuat banyak dan tidak punya uang. Apa gunanya sekolah jika tiap hari kerjanya hanya bergelut dengan lumpur sawah,” kata pemuda yang pernah merasakan hidup di kota ketika duduk di sekolah menengah atas. Zul juga sempat setahun menjadi mahasiswa sebelum putus di tengah jalan karena tak ada biaya.

Bagi Zul dan sebagian besar pemuda desa di lereng Sorik Merapi, semua tawaran kenyamanan di desa tak lagi mampu menambatkan hati untuk tetap berada di sana. Hanya satu-dua pemuda yang masih bertahan di desa.

Kondisi sama juga terjadi di desa tetangganya, yaitu Sibanggor Julu. Seperti Huta Baringin, desa ini pun loyo kekurangan tenaga muda untuk mengolah tanah-tanah subur.
Basaruddin Nasution, Ketua Kelompok Tani Suka Mulia, Sibanggor Julu, mengatakan, sawahnya seluas setengah hektar dan kebun kopinya seluas satu hektar kini terbengkalai. Basaruddin sudah mulai menua. Tangan dan kakinya tak lagi lincah mengolah tanah. Tetapi, putra tunggalnya memilih berwiraswasta di Bogor, Jawa Barat.

“Saya, tidak bisa melarang anak saya pergi. Saya juga pernah muda dan merasakan dorongan kuat untuk merantau. Dan, untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya kembali di desa. Di sini tidak ada pekerjaan untuk orang sekolahan,” kata Basaruddin, mengomentari kepergian anaknya yang tamatan SMEA.

Menurut Basaruddin, tak ada seorang anak muda pun yang sejak semula bercita-cita menjadi petani di desa. Saat umur dirasa cukup, yaitu menginjak usia belasan tahun, anak-anak muda akan pergi ke merantau.

Gambaran tentang tiadanya tenaga-tenaga muda sangat terasa ketika malam itu gordang sembilan, alat musik perkusi tradisional Mandailing yang terdiri dari sembilan gordang (kendang) dengan gordang terbesar sepanjang sekitar dua meter, dimainkan di Sibanggor Julu. Hampir semua pemain gordang malam itu adalah orang tua.

Dalam dingin malam, suara televisi memecah sunyi, bersahut dengan celoteh pengunjung kedai. Namun, dominasi kedai sebagai pusat kegiatan pecah saat selepas isya. Dari ruang terbuka di seberang kedai terdengar suara tabuhan yang mengentak.

Malam teramat dingin. Gerimis menambah dingin. Tetapi, empat lelaki desa tak hirau. Mereka selempangkan sarung dan lengan baju disingsingkan. Lelaki yang tak muda lagi itu memanaskan malam dengan memukul gordang sembilan yang berirama mengentak.


Beberapa lelaki yang semula duduk-duduk di kedai kopi perlahan ikut bergabung, silih berganti memainkan gordang. Di pinggir arena, anak-anak kecil bersorak gembira. Tak lama kemudian beberapa ibu dan gadis tergelitik dengan keramaian. Mereka keluar, menyaksikan kaum pria yang unjuk kebolehan. Malam itu, lelaki Desa Sibanggor Julu tengah berlatih gordang sembilan. “Karena susah cari hiburan, permainan inilah yang menjadi hiburan kami, selain menonton televisi dan markombur di kedai,” kata Hasanuddin Tanjung (42), pemimpin kelompok kesenian Sibanggor Jalu.


Gordang sembilan dalam sejarahnya tidak bisa dimainkan sembarang orang. Ada upacara tertentu untuk membuka selubungnya sebelum dimainkan dalam upacara-upacara adat, seperti kematian ataupun perkawinan. Sebelum masuknya Islam, alat musik ini juga digunakan untuk upacara memanggil roh nenek moyang untuk meminta pertolongan.

Seekor kerbau jantan harus disembelih sebelum alat musik itu dimainkan. Jika tak terpenuhi, gordang sembilan tidak boleh digunakan.
“Zaman sudah berubah, gordang sembilan bisa dimainkan sebagai hiburan atau pertunjukan dan kami dibayar untuk itu. Sekali pertunjukan biasanya dibayar Rp 400.000. Kalau tidak ada bayaran, rasanya berat memainkan gordang sembilan ini,” kata Hasanuddin.

Malam menua. Sekitar pukul 22.00, irama gordang sembilan kian sayup. Unjuk kebolehan malam itu usai sudah. Para gadis kembali ke dalam rumah, anak-anak pun segera terlelap. Sebagian lelaki kembali ke kedai kopi dan kembali terlibat dalam obrolan hangat sambil melihat tayangan televisi yang ditangkap melalui parabola.


Menurut Hasanuddin, gordang sembilan merupakan satu-satunya warisan masa lalu yang masih tersisa di desa. Itu pun nilai-nilai sakralnya kian luntur dan yang bisa memainkan kebanyakan sudah berumur. “Beberapa tahun lagi gordang sembilan mungkin akan punah, seperti sejumlah tradisi lain yang pernah ada di desa ini,” kata
Hasanuddin.
***


HAMPIR semua lelaki di Sibanggor Julu dan Huta Baringin yang kini tinggal di desa sebenarnya pernah merasakan hidup di perantauan. “Orang-orang yang tinggal di desa adalah orang-orang yang kalah di perantauan. Kalau tidak bodoh, ya, orang-orang yang usahanya di perantauan bangkrut, seperti saya ini. Dari 450 penduduk yang

tinggal di desa ini, hanya seorang yang sarjana dan sekarang jadi guru agama,” kata Rahmad Nasution (38), tokoh masyarakat Huta Baringin.
Pada tahun 1983, Rahmad yang tamat sekolah menengah pertama ini merantau ke Bogor, Jawa Barat. Di sana dia mencoba peruntungan dengan berwiraswasta. Gagal berwiraswasta, dia menjadi sopir truk, buruh bangunan, dan berbagai pekerjaan kasar lain.

Rahmad akhirnya menyerah. Pada tahun 1998 dia kembali ke Huta Baringin, tanpa hasil. Di desa dia menikah dan menjadi petani dengan menggarap sawah warisan orangtuanya seluas seperenam hektar. “Menjadi petani adalah pilihan terakhir jika semua usaha di perantauan gagal,” katanya.

Dulu, orang-orang Mandailing merantau ke luar daerah tak semata masalah uang. Sebagaimana tetangganya, yaitu orang-orang Minang, merantau menjadi ujian untuk meneguhkan citra diri. Namun, berbeda dari orang-orang Minang yang harus sukses di perantauan guna membiayai mamak keponakan di desa, orang-orang Mandailing tidak malu kembali pulang jika gagal merantau. Dalam pandangan orang Minang, perantau yang gagal dikecam secara kultural. Di Mandailing perantau yang gagal bisa diterima dengan ramah. Toh, sawah yang subur masih menghampar.

Tetapi, itu dulu. Kini, tradisi pulang kampung untuk menjadi petani jika kalah di kota kian sulit ditemui di Mandailing. “Sebelum merantau, sejak kecil saya biasa membantu orangtua bertani sehingga ketika gagal di perantauan tidak kesulitan bertani lagi. Tetapi, anak muda sekarang sebelum merantau waktunya habis untuk sekolah dan tidak biasa memegang cangkul. Akhirnya, setelah gagal di perantauan mereka tak mau jadi petani. Bukan malu yang membuat perantau gagal kembali ke desa, tetapi mau bekerja apa lagi di sini. Mereka yang sudah mendapat pendidikan lebih tinggi enggan jadi petani walaupun kota tak juga menjanjikan,” kata Rahmad.


Sekolah justru menjauhkan anak-anak desa dari tradisi dan sumber daya di desa. “Mungkin, perlu sekolah untuk menjadi petani dalam arti sebenarnya. Lulusannya menjadi petani dan kembali ke desa agar bisa membangun kembali sawah-sawah dan ladang. Jangan setelah lulus sekolah pertanian malah jadi buruh pabrik di kota,” kata Rahmad.


(AHMAD ARIF)


Redaksi, Pengiriman Berita,
dan Informasi Pemasangan Iklan:
apakabarsidimpuan[at]gmail.com

No comments:

Post a Comment