Pages

Saturday, March 10, 2012

Mengenal Gondang Mandailing (1)


Mengenal Gondang Mandailing (1)

Alat-alat musik tradisional Mandailing dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Membranofon : gordang sambilan dan gondang dua
Aerofon : suling, salung, sordam, tulila, katoid, saleot, dan uyup-uyup
Metalofon : ogung, momongan, doal, dan talisasayat
Idiofon : etek, dongung-dongung, pior, gondang aek dan eor-eor
Kordofon : gordang tano dan gondang bulu

Repertoar
Gondang
1 Jolo-jolo Turun; 2 Alap-alap Tondi; 3 Moncak (Kutindik); 4 Raja-raja; 5 Ideng-ideng; 6 Tua; 7 Sampuara Batu Magulang; 8 Roba Na Mosok; 9 Mandailing; 10 Pamulihon; 11 Udan Potir; 12 Porang; 13 Sarama Datu; 14 Sarama ****at; 15 Lima; 16 Roto; 17 Sampedang; 18 Aek Magodang (Touk); 19 Mamele Begu; dan 20 Tortor.
Ende

1 Ungut-ungut; 2 Sitogol; 3 Jeir; 4 Bue-bue; 5 Uyup-uyup; 6 Opat-opat; 7 Ende Panjang.

Masyarakat Mandailing menyebut musik tradisional mereka dengan ungkapan “uning-uningan ni ompunta na jumolo sunduti”. Artinya, seni musik dari para leluhur, yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi musik yang cukup terkenal dari Mandailing adalah gordang sambilan dan gondang boru[4] yang dimainkan pada berbagai upacara adat dan ritual.[5] Dahulu gordang sambilan tidak dapat dibunyikan dengan sembarangan, namun dalam perkembangannya kemudian gordang sambilan telah menjadi musik hiburan (entertainment) seperti ketika dimainkan pada hari-hari terakhir Ramadhan (bulan puasa) dan awal Syawal (hari raya Idul Fitri). Selain itu gordang sambilan juga dimainkan dalam perayaan hari-hari besar seperti pada Hari Proklamasi Kemerdekaan RI, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), dan tidak jarang pula dimainkan untuk menyambut ”tamu-tamu terhormat” pemerintah daerah di Mandailing.

Pada horja siriaon[6] (upacara adat perkawinan) dan horja siluluton (upacara adat kematian yang juga disebut mambulungi), selain gordang sambilan, biasanya gondang boru juga dimainkan untuk mengiringi tortor (tarian adat). Dalam upacara adat ini, pihak-pihak yang menarikan tarian adat tortor antara lain adalah kelompok kekerabatan mora, kahanggi (suhut)[7] dan anak boru. Karena itulah tortor yang ditarikan oleh kelompok-kelompok kekerabatan itu dinamakan tortor mora, tortor suhut dan tortor anak boru. Selain itu, dalam setiap horja godang (pesta adat besar) biasanya kalangan raja-raja juga menarikan tarian adat tortor, sehingga tortor tersebut dinamakan tortor raja-raja, dan tortor yang ditarikan oleh kalangan muda-mudi disebut tortor na poso na uli bulung.

Pada horja godang, misalnya upacara adat markaroan boru (pesta adat perkawinan), seekor kerbau disembelih (disebut longit) sebagai syarat untuk mangampeon gondang (menempatkan gordang ke tempatnya yaitu di bagas godang) dan kemudian meminta izin penggunaannya melalui proses musyawarah adat yang disebut markobar yang dihadiri oleh Namora Natoras dan Raja Panusunan Bulung.[8] Menurut Burhanuddin Lubis dan Makmur Lubis, setelah izin diperoleh melalui musyawarah adat markobar, untuk dapat memainkan gordang sambilan harus terlebih dahulu di-tinggung (semacam ”upacara pemukulan pertama”) oleh Raja Panusunan Bulung, atau Datu Paruning-uningan yaitu pimpinan kelompok pemusik yang bertindak mewakili Raja Panusunan Bulung.[9] Setelah gordang sambilan di-tinggung maka kesempatan margordang (memainkan gordang) terbuka bagi siapa saja, termasuk bagi mereka yang baru belajar sekalipun. Pemain gordang yang senior dan dianggap hebat juga memanfaatkan kesempatan ini untuk mendemonstrasikan kebolehannya. Dalam permainan gordang sambilan, penonton menilai setiap pemain gordang, terutama pemain jangat yang bertindak sebagai pemimpinnya, dengan memperhatikan bagaimana panjangati (master of drum) tersebut membangun dan mengendalikan kesinambungan bangunan ritme gondang secara keseluruhan. Satu hal penting, audiens (penonton) tidak hanya menilai segi bermain gordang semata, melainkan juga kewibawaan dan bakat kepemimpinan pada panjangati. Menurut para tokoh adat, panjangati yang berwibawa dan mampu memimpin kesatuan bangunan ritmis dalam permainan gordang sambilan diyakini mampu pula memimpin masyarakat. Dengan kata lain, Raja Panusunan Bulung yang berkedudukan sebagai pemimpin adat dan masyarakat (raja) haruslah ahli bermain jangat dan menguasai seluk-beluk gordang sambilan sebagai ensembel musik adat Mandailing, sehingga tidak mengherankan dan juga tidak sekedar formalitas belaka apabila dalam upacara meninggung gordang tersebut Raja Panusunan Bulung diberi kehormatan sebagai orang yang pertama sekali memukul gordang.

Di masa lalu, gordang sambilan dimainkan ketika suatu huta atau banua sedang mengalami bencana seperti merebaknya wabah penyakit menular. Upacara ritual ini dinamakan paturun sibaso atau pasusur begu. Melalui perantaraan seorang medium (tokoh shaman) yang disebut sibaso, seorang datu (tokoh supranatural sebagai pemimpin ritus tersebut) melakukan komunikasi dengan sibaso untuk mengetahui penyebab bencana sekaligus solusinya. Selain itu, gordang sambilan atau gordang tano[10] juga dimainkan untuk mangido udan (meminta hujan turun) ketika terjadi kekeringan yang cukup parah, dengan maksud agar aktivitas pertanian dan kehidupan masyarakat dapat pulih kembali.[11]

Ensambel gordang sambilan terdiri dari sembilan buah gendang besar dengan ukuran yang relatif cukup besar dan panjang (drum chime) yang dibuat dari kayu ingul dan dimainkan oleh empat orang. Ukuran dan panjang dari kesembilan gendang tersebut bertingkat mulai dari yang paling kecil sampai kepada yang paling besar. Tabung resonator dibuat dengan cara melobangi kayu, dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu kering (disebut jangat) yang diregangkan dengan rotan sekaligus sebagai alat pengikatnya.

Kesembilan ”gendang” tersebut mempunyai nama sendiri yang tidak sama di semua tempat (huta) di Mandailing. Di Gunungtua-Muarasoro, nama ”gendang” secara berurutan dari yang paling kecil sampai kepada yang paling besar bernama: eneng-eneng, udong-kudong, paniga dan jangat. Selain itu, ada pula sejumlah peralatan musik metalofon yang dinamakan: ogung jantan dan ogung boru-boru yang dimainkan oleh satu orang; mongmongan (tiga buah gong kecil) yang dimainkan satu orang; doal (satu buah gong yang lebih besar sedikit dari mongmongan) yang dimainkan satu orang; dan talisasayat (simbal) yang dimainkan oleh satu orang; dan adakalanya disertai sebuah alat musik tiup dimainkan satu orang yang disebut saleot atau sarune. Gondang (repertoar lagu) yang dimainkan dengan ensambel gordang sambilan ini antara lain: sabe-sabe, horja, sampuara batu magulang, roba na mosok, aek magodang, mamele begu dan sarama ****at.[12]


No comments:

Post a Comment