Pages

Saturday, March 10, 2012

Perlawanan Sutan Mangkutur Terhdap Belanda di Mandailing


Perlawanan Sutan Mangkutur Terhdap Belanda di Mandailing
Oleh Nazief Chatib

Wilayah Mandailing Sekarang
Menurut Prapanca di dalam bukunya Nagarakretagama, Mandailing termasuk dalam wilayah kerajaan Majapahit. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa sampai sekarang wilayah Mandailing belum termasuk yang banyak dibicarakan. Demikian juga peristiwa-peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di wilayah bersangkutan.

Pada masa ini Mandailing merupakan bahagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan di Propinsi Sumatra Utara. Di dalam kabupaten tersebut, terdapat pula beberapa wilayah lain, seperti wilayah Angkola Sipirok, Padang Bolak, Natal dan lain-lain.

Wilayah yang bernama Mandailing, ialah kawasan yang disebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Batang Angkola dan Kecamatan Sosopan, di sebelah selatan dengan Kabupaten Pasaman di Propinsi Sumatra Barat, di sebelah barat dengan Kecamatan Natal dan disebelah timur dengan Kecamatan Barumun dan Kecamatan Sosa.

Garis batas antara wilayah Mandailing dan Kecamatan Batang Angkola, di utara terletak di dekat daerah Angkola Jae, tepatnya di Simarongit dekat desa Huta Baru dan Aek Badakl. Dan garis batas antara wilayah Mandailing dengan Kabupaten Pasaman di selatan, terletak di desa Muara Cubadak dekat Muarasipongi.

Dalam kedudukan geografisnya yang demikian, maka di bahagian selatan, wilayah Mandailing langsung berbatasan dengan wilayah Minangkabau di Propinsi Sumatra Barat. Dan Mandailng merupakan daerah yang paling selatan dari kabupaten Tapanuli Selatan di Propinsi Sumatra Utara.
Wilayah Mandailing Tradisional

Secara tradisional, wilayah Mandailing terbagi dalam dua daerah, masing-masing yang disebut Mandailing Godang (Mandailing Besar) dan Mandailing Julu (Upper Mandailing). Garis batas antara keduanya terletak di antara desa Maga dan Laru, dekat Kotanopan.

Kawasan yang termasuk ke dalam daerah Mandailing Godang ialah daerah Payanbungan dan sekitarnya, sampai ke perbatasan dengan daerah Angkola Jae di Kecamatan Batang Angkola. Demikian juga Kecamatan Batang Natal termasuk ke dalam daerah Mandailing Godang di sebelah barat.

Sedangkan kawasan yang termasuk ke dalam daerah Mandailing Julu, ialah daerah Kotanopan dan sekitarnya, sampai ke desa Laru di sebelah utara. Demikian juga daerah Pekantan di sebelah selatan, yang terletak di Kecamatan Muarasipongi.

Kawasan Mandailing Godang pada waktu ini terdiri dari tiga kecamatan, masing-masing Kecamatan Panyabungan, Kecamatan Siabu dan Kecamatan Batang Natal. Dan kawasan Mandailing Julu terdiri dari dua Kecamatan, yaitu Kecamatan Kotanopan dan Kecamatan Muarasipongi.
Lembaga Namora Natoras

Pada masa yang lalu, sebelum Belanda menduduki wilayah Mandailing menjelang pertengahan abad ke 19, di wilayah tersebut terdapat banyak kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh rajanya. Kerajaan-kerajaan kecil itu umumnya hanya terdiri dari beberapa "huta" atau kampung. Dan raja-rajanya memerintah secara demokratis bersama satu lembaga perwakilan yang dikenal sebagai lembaga "Namora Natoras". Di dalam lembaga tersebut duduk "Kepala-kepala Ripe", yaitu pimpinan kelompok orang-orang dari satu marga, ataupun pimpinan komunitas-komunitas lain yang terdapat dalam satu "huta". Di dalam lembaga "Namora Natoras" biasanya duduk pula tokoh-tokoh adat, cerdik-cendekiawan dan tokoh-tokoh yang dituakan di tengah masyarakat. Tokoh-tokoh yang berkedudukan sebagai "Namora Natoras" boleh dikatakan sebagai wakil rakyat.

Bersama merekalah raja menyelenggarakan pemerintahan termasuk di dalam melaksanakan pengadilan terhadap orang-orang yang berbuat kesalahan.
Kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Mandailing pada masa yang lalu, masing-masing berdiri secara otonom, meskipun di antara raja raja kecil itu pada dasarnya terdapat hubungan kekeluargaan berdasarkan adat.


Kerajaan Huta Godang di Ulu Pungkut

Salah satu dari kerajaan (kecil) yang terdapat di Mandailing Julu, sebelum Belanda menduduki daerah tersebut ialah kerajaan Huta Godang di Kawasan Ulu Pungkut. Letaknya kurang lebih 20 kilo meter dari Kotanopan, yang dari sejak dahulu menjadi satu tempat yang terpenting di Mandailing Julu.
Kurang lebih satu setengah abad yang lalu, Sutan Mangkutur berkedudukan sebagai raja di Huta Godang, Ulu Pungkut, untuk menggantikan abang kandungnya Raja Gadombang, yang meninggal dunia pada tahun 1835.

Karena Sutan Mangkutur adalah raja dahulu di Huta Godang, maka sebelum membicarakan perlawanan yang pernah dilakukannya terhadap Belanda, ada baiknya kalau dikemukakan serba sedikit hal-hal yang berkaitan dengan kerajaan Huta Godang.

Kapan berdirinya kerajaan Huta Godang di Ulu Pungkut tidak diketahui dengan pasti. Tetapi menurut keterangan Raja Junjungan Lubis, yaitu raja terakhir dari Huta Godang, kerajaan tersebut didirikan oleh nenek moyang beliau yang berasal dari Manambin. Manambin sendiri adalah salah satu kerajaan tertua di Mandailing Julu, dan tidak jauh letaknya dari Huta Godang.

Menurut "tarombo" atau daftar silsilah keluarga, atau marga, semua raja-raja bermarga Lubis yang pernah berkuasa pada kerajaan-kerajaan yang terdapat di Mandailing Julu, adalah keturunan dari seorang tokoh yang bernama Namora Pande Bosi.

Kapan mulai berkuasanya raja-raja bermarga Lubis pada kerajaan-kerajaan kecil yang dahulu terdapat di daerah Mandailing Julu tidak diketahui dengan pasti. Tetapi menurut kebiasaan, setiap raja yang berkuasa di satu tempat, selalu memberi kesempatan kepada anggota keluarganya untuk pergi "memungka huta" (membuka daerah baru) ke tempat lain. Dan biasanya anggota keluarga raja yang bertindak sebagai "sipamungka Huta" (pembuka daerah baru) di satu tempat akan mendapat kedudukan sebagai pemimpin atau raja di daerah yang dibukanya.

Demikian pulalah awal berdirinya kerajaan Huta Godang di Ulu Pungkut, yang didirikan oleh keluarga raja bermarga Lubis dari Manambin beberapa abad yang lalu.

Namun demikian kerajaan Huta Godang bukan bahagian dari kerajaan Manambin. Tetapi ia merupakan kerajaan yang berdiri sendiri dan terlepas dari kekuasaan raja Manambin.

Kerajaan Huta Godang, yang pernah di daerah Ulu Pungkut, pada kenyataannya hanyalah sebuah kerajaan tersebut pada masa sebelum abad ke 19 atau sebelum masuknya Kaum Paderi ke Mandailing, hampir sama sekali tidak dapat diperoleh. Hanya diketahui, bahwa sebelum Huta Godang (berarti kampung besar) didirikan, rajanya berkedudukan di satu tempatyang bernama Huta Dolok, yang terletak di atas sebuah bukit tidak begitu jauh dari Huta Godang yang sekarang.

Kemudian, setelah Islam masuk dibawa orang-orang Minangkabau ke Mandailing pada awal abad ke 19, Huta Dolok dipindahkan ke satu tempat yang baru, dan kemudian dinamakan Huta Godang.
Terjadinya perindahan itu alah: "Sewaktu Raja Junjungan yang penghabisan, maka atas perintah Tuanku Rao, Huta Dolok ditinggalkan dan didirikanlah Huta na Godang, agar supaya orang dapat berdiam dekat sungai guna mencuci diri untuk keperluan agama"

Melalui catatan yang demikian, dapatlah diketahui, bahwa Huta Godang didirikan setelah Islam masuk ke Mandailing. Sebab dipindahkannya Huta Dolok, ke tempat yang sekarang bernama Huta Godang, dengan tujuan agar orang dapat berdiam dekat sungai guna mencuci diri untuk keperluan agama, yaitu untuk mengambil air uduk (wuduk, Ed.) untuk sembahyang.

Selanjutnya, kurang lebih satu setengah abad yang lalu, di Huta Godanglah Sutan Mangkutur, yaitu salah seorang raja bermarga Lubis di Mandailing Julu menyesun kekuataannya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.


Sutan Mangkutur

Keterangan biografis tentang Sutan Mangkutur tidak banyak diketahui. Menurut dugaan ia dilahirkan akhir abad ke 18 di Huta Dolok, Ulu Pungkut. Mandailing Julu. Setelah anak kandungnya Raja Gadombang meninggal dunia pada tahun 1835, karena tertembak disatu tempat antara Rao dan Lubuk Sikaping, sewaktu berkecamuknya perang antara kaum Paderi dan Belanda di tempat tersebut, Sutan Mangkutur dinobatkan menjadi raja sebagai penggantinya di Huta Godang.

Kedudukan Sutan Mangkutur sebagai raja di Huta Godang hanya berlangsung beberapa tahun saja, karena akhirnya ia ditangkap dan dibuang oleh Belanda.

Sutan Mangkutur adalah anak Namora Junjungan Lubis. Setelah Namora Junjungan Lubis meninggal dunia, kedudukannya sebagai raja di Huta Godang digantikan oleh anaknya Raja Gadombang yang pernah diangkat Belanda menjadi Regen Mandailing. Kemudian setelah Raja Gadombang meninggal dunia pada tanggal 16 Nopember 1835, kedudukannya sebagai raja di Huta Godang digantikan oleh Sutan Mangkutur.

Kedatangan Belanda ke Mandailing

Dengan adanya surat dari Gubernur Jenderal Van den Bosch di Betawi, yang dikirimkan kepada Komandan Militer Belanda di Padang yaitu Letnan Kolonel Elout, pada tanggal 10 Maret (Mei) 1832, dapatlah diketahui, bahwa Belanda bertujuan untuk menaklukkan seluruh Sumatra.
Surat tersebut antara lain berbunyi: "Tujuan Belanda di Sumatra harus dilaksanaakan, dan oleh pemerintah, penaklukan seluruh Sumatra ke bawah kekuasaan kita telah diterima sebagai satu asas ketatanegaraan, dan tujuan tersebut harus selekas mungkin seandainya keadaan di tanah Eropa dan di dalam negeri mengizinkan".

Demikian juga kedatangan Belanda ke Mandailing, yang dahulu disebutkan sebagai bahagian dari Tanah Batak, adalah untuk tujuan menaklukannya. Hal ini terbukti dengan adanya isi surat Gubernur Jenderal Van den Bosch tersebut di atas, yang antara lain berbunyi: "...setelah Lintau, Bonjol dan XII Koto ditaklukkan, bila mungkin daerah Batak harus ditaklukkan pula, karena selama ini daerah tersebut sebagai sangat menguntungkan perdagangan Paderi".

Namun demikian, masuknya pasukan Belanda ke wilayah Mandailing buat pertama kali, bukan dengan cara terang-terangan untuk menaklukkannya melalui kekuatan senjata. Sebab masuknya pasukan Belanda ke wilayah Mandailing, seakan-akan terbawa oleh keadaan Perang Paderi, yang sedang berkecamuk di daerah Bonjol dan Rao, yang tidak jauh letaknya dari Mandailing.

Pada masa berkecamuknya Perang Paderi di wilayah Minangkabau, di Mandailing sendiri, yang telah ditaklukkan dan ditindas oleh kaum Paderi sejak awal abad ke 19, sedang terjadi perlawanan terhadap kaum Paderi. Terjadinya perlawanan itu, disebabkan kezaliman tindakan kaum Paderi terhadap penduduk Mandailing.

"Di antara pimpinan kaum Paderi, Tuanku Tambusai disebut terlalu lalim (zalim) dan bengis kepada orang Batak".
Pada waktu penduduk Mandailing bangkit melakukan perlawanan terhadap kaum Paderi, Raja Gadombang dari Huta Godang, Ulu Pungkut, yaitu abang kandung Sutan Mangkutur, tampim memimpin perlawanan tersebut. Dan ketika pasukan Belanda yang sedang berperang dengan kaum Paderi di daerah Rao, yang tidak begitu jauh letaknya dari Mandailing, Raja Gadombang membuat satu siasat untuk menjalin kerja sama dengan pasukan Belanda buat melawan kaum Paderi.

Tatkala Letnan Kolonel Elout dan Letnan Englebert van Bevervoorden di Rao, Raja Gadombang dari Huta Godang di Mandailing datang menghadap mereka, dengan rakyat Mandailing yang telah bertahun-tahun diperintah dan dianaiya, diperlakukan sewenang-wenang oleh kaum Paderi, perlakuan yang melanggar perikemanusiaan, seperti merampas harta benda, mengambil gadis-gadis cantik yang dibawa ke Bonjol untuk diperisteri atau diperbudak, menyuruh orang-orang berperang untuk keuntungan dan kemegahan Paderi.

Pertemuan Raja Gadombang dengan Letnan Kolonel Elout di Rao terjadi pada 1832. "Sementara dari Rao dan Mandailing kaum paderi terpaksa menyingkir, karena perlawanan penduduk. Yang dipertuan Rao diangkat jadi regen. Raja Gadombang dari Huta Godang, yang memimpin perlawanan penduduk Mandailing terhadap kaum Paderi mendapat gelar regen pula".

Pukulan yang dilakukan oleh kaum Paderi terhadap pasukan Belanda di Rao, pada bulan Nopember 1833, yaitu kurang lebih setahun setelah terjadinya kerja sama antara pasukan Belanda dan orang-orang Mandailing yang dipimpin oleh Raja Gadombang, ternyata mempercepat proses masuknya pasukan Belanda ke wilayah Mandailing.

"Setelah 40 hari dikepung, ditembaki dan diserbu kaum Paderi, tanggal 28 Nopember 1833, tentara Belanda dan barisan Mandailing berangkat ke luar Rao.
Besoknya, meninggalkan Limau Manis (satu tempat di Mandailing, dekat Muarasipongi), terus mundur ke Taming (yang terletak di Mandailing Julu). Mereka sampai di sana tanggal 2 Disember, dan bertangsi di sebuah mesjid. Di satu tempat di Singengu (yang letaknya lebih kurang 10 kilometer dari Tamiang), dibuatnya sebuah benteng untuk menolak serbuan Paderi dari Rao.
Setelah benteng ini selesai, dibuatnya sebuah lagi di Kotanopan (yang terletak kira-kira 1 kilometer dari Singengu) dekat batas dengan Rao".

Dengan demikian dapatlah diketahui, bahwa pada tanggal 28 Nopember 1833, pasukan Belanda yang mundur dari Rao memasuki wilayah Mandailing, sebab pada waktu itulah mereka sampai di Limau Manis yang tidak begitu jauh letaknya dari Muarasipongi.
Kotanopan tidak makan waktu yang terlalu lama. Sebab pada tahun 1835, kurang lebih satu tahun setelah Belanda memasuki wilayah Belanda, dan mendirikan benteng di Singengu dan Kotanopan, wilayah tersebut telah berada dibawah kekuasaan seorang kontelir.

"Kontelir Mandailing Bonnet, tanggal 19 April 1835, menerima sepucuk surat rahasia dari Residen, yang memintanya akan memberikan bantuan seberapa mungkin kepada Letnan Beethouven yang diperintahkan maju ke Rao. Bonnet lalu menyediakan 1100 orang Mandailing yang bersenjata. Mereka berangkat tanggal 26 April ke batas Rao, dan tengah malam 1 menjelang 2 Mei pasukan-pasukan Belanda itu melanjutkan perjalanan dari Limau Manis ke Rao".

Sampai pada bulan Oktober 1835, di dalam pertempuran antara Belanda dan kaum Paderi di daerah Rao dan sekitarnya, Raja Gadombang, abang kandung Sutan Mangkutur, masih ikut pula terlibat. "Dan di dalam bulan Oktober itu juga, Raja Gadombang yang sedang dalam perjalanan dari Lundar ke Sundatar (yang terletak di antara Rao dan Lubuk Sikaping) dengan anak buahnya, di tengah jalan dihadang oleh sepasukan Paderi. Di dalam pertempuran di sini, seorang Paderi dapat menembak perutnya. Besoknya ia meninggal dunia."

Raja Gadombang yang tertembak dalam perjalanan dari Lundar ke Sundatar, sempat dibawa pulang ke Huta Godang, dan ia meninggal dunia di sana.
Sampai sekrang, baju yang dipakai oleh Raja Gadombang ketika ia tertembak, masih disimpan oleh keturunannya, yaitu Raja Junjungan Lubis di Medan. Menurut bekas tembakan peluru yang terdapat pada bajunya itu, Raja Gadombang tertembak pada dadanya. Dan pada batu nisah Raja Gadombang, yang sekarang disimpan di "Bagas Godang" (istana raja) Huta Godang, tertera, bahwa Raja Gadombang meninggal dunia pada tanggal 16 Nopember 1835.

Setelah Raja Gadombang meninggal dunia, karena ia tidak mempunyai anak, maka diangkatlah adik kandungnya, Sutan Mangkutur, sebagai gantinya menjadi raja di Huta Godang.
Tetapi meskipun Sutan Mangkutur menggantikan abang kandungnya Raja Gadombang menjadi raja di Huta Godang, sampai sekarang belum terdapat catatan yang menunjukkan, bahwa ia pernah bekerja sama dengan Belanda, seperti yang dilakukan oleh abangnya.



Belanda Memperkuat Kedudukannya di Wilayah Mandailing

Pada waktu Sutan Mangkutur mulai menjadi raja di Huta Godang tahun 1835. Belanda telah menduduki wilayah Mandailing kurang lebih setahun lamanya, dan telah mengangkat seorang kontelir, yaitu Bonnet untuk wilayah tersebut.

Pada masa beliau memerintahlah, Gouvernement mengadakan bestuurshervorming di Tapanuli Selatan dan dengan mula-mula berlakunya Sumatrareglement di Luhak itu. Pengadilan anak negeri (inheemscherecht spraak) bertukar dengan pengadilan Goevernement (Gouv. Rechspraak), terasalah kepada raja-raja dengan berjalannya reglement itu kekuasaan mereka kembali hilang.

Sesuai dengan tujuan Belanda, bahwa bila mungkin daerah Batak harus ditaklukkan pula, karena selama ini daerah tersebut sangat menguntungkan perdagangan Paderi, maka dua tahun setelah menduduki wilayah Mandaiing. Belanda pada tahun 1837, mulai memperkuat kedudukannya di wilayah tersebut, dengan melakukan tindakan seperti tersebut di atas. Mandailing, menyampaikan surat kepada raja-raja di Mandailing dan Angkola yang berbunyi sebagai berikut:
Fort van Sevenhouven 17 Agustus 1837

Den Assistent Resident van Mandailing
(W.G) Bonnet

Segala surat pengadilan (kehakiman) yang datang dari Tuan Bonnet, Koomandoor Kepala Pemerintah dari negeri Mandailing ini semua, saya katakan di dalam surat kehakiman ini kepada Sutan Naparas dan Sutan Guru di Pakatan dengan raja-raja dan semua negerinya.

Adapun tentang perkara-perkara, tidak boleh dibawa kepada saya ke Singengu. Sekarang diperintahkan supaya diketahui raja-raja semua, pada penghabisan bulan yang akan datang, disitulah semua raja-raja datang ke Singengu membicarakannya, dihitung hari yang ketiga puluh, yaitu hari berkumpul semua raja-raja ke gedung Singengu, dan mulai sekarang dibawalah dari tiap-tiap negeri raja-raja, kalau ada yang hendak dibicarakan dinantikanlah dahulu sampai pangkal bulan baru, supaya dibawa ke gedung (kantor).

Barang siapa raja-raja yang tidak datang didenda setahun setahil sepaha. Adapun raja-raja tidak boleh berwakil supaya raja-raja ketahui perkataan kita. Kalau raja-raja datang membawa perkara-perkara ke gedung Singengu, bersamalah dibawa dengan orangnya kemari, yaitu orang yang akan diperkara, supaya dapat diadili. Kalau ada perkara yang berat, bawalah segera ke gedung Singengu, jangan lagi ditunggu-tunggu sampai habis bulan supaya raja-raja semua ketahui.

Perintah ini 28 Juli 1837

Surat ini sudah dikirim kepada:
Yang Patuan..........................................................Mandailing
Langgar Laut........................................................Angkola
Baginda, di............................................................Panyabungan
Sutan Paruhum....................................................Singengu
Sutan Naparas.....................................................Tamiang
Sutan Mangkutur..................................................Ulu Pungkut
Sutan Guru............................................................Pakantan
Sutan Naparas.....................................................Pakantan
Yang Patuan.........................................................Lubuk Sikaping
Hendaklah diumumkan perintah ini kepada orang banyak.

Dari isi surat yang demikian ini, dapatlah diketahui, bahwa Belanda telah mendudukkan diri sebagai penguasa penjajah di Mandailing, yang dapat 'memernitah' raja-raja di wilayah tersebut untuk memenuhi kehendaknya. Malahan akan menjatuhkan denda, apabila perintahnya tidak dijalankan oleh raja-raja yang bersangkutan.
Sedangkan sebelum Belanda menduduki Mandailing, raja-raja yang berkuasa di wilayah tersebut masing-masing berdaulat penuh di negerinya.

Langkah-langkah Belanda untuk memperkuat kedudukannya di wilayah Mandailing, yang dimulaikan dengan "mengambil alih" kekuasaan pengadilan dari tangan raja-raja di wilayah tersebut mulai tanggal 28 Juli 1837, yaitu sejak berlakunya surat perintah seperti yang dikemukakan di atas, nampaknya bukan hanya sesuatu yang kebetulan dijalankan serentak dengan semakin berhasilnya Belanda mendesak kekuatan kaum Paderi di Bonjol dan Rao. Dan kemudian ternyata pula, bahwa tidak lama setelah Belanda mulai memaksakan kehendaknya kepada raja-raja di Mandailing. Bonjol akhirnya jatuh ke tangan Belanda, pada tanggal 16 Agustus 1837, jam 8 pagi yaitu sembilan hari setelah Belanda mengirimkan surat perintah tersebut di atas kepada raja-raja di Mandailing.

Dengan demikian, nampaknya usaha Belanda untuk lebih memperdalam kekuasaannya di Mandailing, dibuat melalui perencanaan yang matang, dengan perhitungan bahwa kalau seandainya timbul reaksi sebagai akibat perbuatannya itu, Belanda sudah punya kekuatan yang cukup untuk menghadapinya.


Sutan Mangkutur Tidak Mematuhi Perintah Belanda
Sebelum Belanda menduduki Mandailing, Sutan Mangkutur tentu sudah dapat melihat betapa besarnya penderitaan rakyat berada dibawah kekuasaan dan penindasan orang asing. Sebab lama sebelum Belanda menduduki Mandailing, kaum Paderi sudah lebih dahulu menguasai daerah tersebut dan menindas rakyatnya. Sehingga akhirnya abang kandung Sutan Mangkutur, yaitu Raja Gadombang bangkit melakukan perlawanan terhadap kaum Paderi.

Oleh sebab itu, dapatlah dipahami mengapa ketika Belanda mengambil oleh kekuasaan pengadilan dari tangan raja-raja di Mandailing, seperti yang telah diuraikan di atas, Sutan Mangkutur tidak mematuhi perintah Belanda untuk membawa perkara anak negerinya ke Singengu buat diadili oleh Belanda.
Sikap Sutan Mangkutur yang tidak mematuhi perintahnya itu, ternyata tidak membuat Belanda mengambil tindakan terhadap Sutan Mangkutur.

Kemungkinan sekali, Belanda memang terpaksa menahan diri menghadapi sikap Sutan Mangkutur yang membangkang itu, karena ia adalah adik kandung Raja Gadombang, Regen Mandailing, yang telah banyak berjasa menolong Belanda ketika dalam kesulitan menghadapi kaum Paderi di Rao beberapa tahun sebelumnya.


Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Perlawanan Sutan Mangkutur
Pengalaman masa lalu Sutan Mangkutur, seperti yang dikemukakan di atas, kiranya telah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Sutan Mangkutur tidak mau memberikan dirinya berada dibawah kekuasaan orang asing. Sehingga ia mengambil sikap untuk melawan, meskipun pada mula-mulanya perlawanannya itu hanya dalam bentuk tidak mematuhi perintah Belanda.

Dalam proses selanjutnya, kemungkinan sekali Sutan Mangkutur makin merasakan dan menyadari, bahwa dengan tindakannya mengambil alih kekuasaan pengadilan dari tangan raja-raja di Mandailing, Belanda makin memperdalam kekuasaannya di Mandailing. Sementara itu tindakan Belanda yang demikian, dirasakan pula mengurang kekuasaan tradisionalnya.

Tindakan Belanda itu, pada gilirannya tentu dapat ia rasakan pula sebagai intervensi yang berbahaya terhadap persoalan intern di negerinya.
Faktor-faktor yang demikianlah kiranya yang menyebabkan Sutan Mangkutur, melalui suatu proses yang cukup lama, akhirnya bangkit melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Di atas telah dikemukakan, bahwa tindakan Belanda mengambil alih kekuasaan pengadilan dari tangan raja-raja di Mandailing dirasakan oleh Sutan Mangkutur mengurangi kekuasaan tradisionalnya.
Alasannya untuk itu ialah, bahwa sebelum Belanda menduduki Mandailing, secara tradisional atau menurut adat yang berlaku di daerah tersebut. Sutan Mangkutur sebagai seorang raja, mempunyai kekuasaan untuk mengadili sendiri anak negerinya yang bersalah, bersama-sama dengan tokoh-tkoh "Namora Natoras". Yaitu tokoh-tokoh terkemuka yang dituakan dan dihormati sepanjang adat, sebagai wakil rakyat dengan fungsi untuk bersama-sama dengan raja melakukan kegiatan pemerintahan secara demokratis dan juga ikut serta melakukan kekuasaan pengadilan menurut adat.
Menurut adat atau tradisi yang dahulu berlaku di Mandailing, pengadilan terhadap anak negeri yang melakukan kesalahan, diselenggarakan oleh raja bersama "Namora Natoras" di satu tempat yang bernama "Sopo Godang". Yaitu balai sidang kerajaan, yang biasanya selalu terdapat disetiap negeri tempat kedudukan raja.

Dengan adanya cara pengadilan tradisional yang demikian itu, dapatlah dikatakan, bahwa sebelum Belanda datang rakyat dan raja-raja di wilayah Mandailing menentukan hukumnya sendiri. Dan raja bersama "Namora Natoras" mendapat kekuasaan dan kemuliaan untuk menjalan pengadilan, menurut norma-norma adat yang berlaku.
Ternyata kemudian, dihadapan Sutan Mangkutur Belanda bertindak mengabadikan nilai-nilai budaya tradisional yang demikian itu, yang sekaligus berarti pula mengurangi kekuasaan tradisional Sutan Mangkutur sebagi salah seorang raja di Mandailing.

Lebih jauh lagi, tindakan Belanda seperti yang telah dikemukakan di atas, tentu dapat dirasakan dan dipandang oleh Sutan Mangkutur sebagai gangguan terhadap kedaulatannya sebagai seorang raja, adik bekas Regen Mandailing (Raja Gadombang) yang telah banyak jasanya terhadap Belanda. Tambahan pula, tindakan Belanda itu, cukup beralasan untuk dapat dirasakan Sutan Mangkutur sebagai "tuntutan untuk mengakui souvereinitas asing di Negerinya.
Dan hal tersebut dapat pula ditempatkan sebagai faktor penting yang menyebabkan Sutan Mangkutur melakukan terhadap Belanda di Mandailing.

Perlawanan Sutan Mangkutur Menurut keterangan Raja Junjungan Lubis, sebagai salah seorang keturunan Sutan Mangkutur, sebelum perlawanan bersenjata dilakukan oleh Sutan Mangkutur terhadap Belanda yang telah menduduki Mandailing, dan membuat benteng di Singengu, Kotanopan, Sutan Mangkutur terlebih dahulu melakukan pendekatan kepada raja-raja di Mandailing, yang dianggapnya dapat diajak bekerja sama untuk memerangi Belanda yang berkedudukan di Kotanopan.
Sebagai hasil pendekatan itu, pada satu waktu, Sutan Mangkutur bersama beberapa orang raja di Mandailing menyelenggarakan pertemuan rahasia di Huta Godang. Di dalam pertemuan itu, ikut hadir Yang Dipertuan, yaitu raja dari Huta Siantar, Panyabungan, yang masih punya hubungan keluarga yang dekat dengan Sutan Mangkutur.

Pada kesempatan tersebut, mereka membicarakan berbagai hal menyangkut perlawanan yang akan dilakukan terhadap Belanda, yang memusatkan kekuataannya di Singengu, Kotanopan, yang terletak kurang lebih 20 kilometer dari Huta Godang.
Selanjutnya, untuk mengingat janji setia di antara raja-raja di Mandailing yang akan memerangi Belanda, dilakukan persumpahan. Upacara persumpahan itu diselenggarakan menurut cara tradisional yang berlaku pada waktu itu, dengan mengambil tempat di bawah serumpun bambu.

Pada upcara tersebut, semua raja-raja yang hadir, masing-masing menyerahkan beberapa butir peluru, yang kemudian dicampur dengan beras kuning atua "dahanon na niunikan", yaitu beras yang dicampur dengan kunyit. Setelah itu peluru dan beras kuning diadu dengan mempergunakan sebilah keris pusaka. Raja-raja yang ikut di dalam upacara persumpahan itu masing-masing menyatakan dengan sumpah, bahwa mereka tidak akan menembakkan pelurunya untuk membunuh sesama kawan. Peluru mereka hanya dipergunakan untuk membunuh "Si Bontar Mata" (si mata putih) yaitu Belanda.
Untuk upacara persumpahan itu, disediakan pula seekor ayam yang dijahit mata dan lobang duburnya. Gunanya ialah untuk memperkuat lagi isi persumpahan, agar barang siapa melakukan pelanggaran atas sumpahnya akan mengalami nasih seperti ayam tersebut.

Kemudian "Datu" sakti yang memimpin upacara persumpahan itu mengupas kulit bambu yang tumbuh di tempat penyelenggaraan upacara sumpah. Tujuannya ialah agar bambu itu mati secara perlahan-lahan dan daunnya jatuh berguguran. Selesai mengupas kulit batang bambu itu, sang "Datu" mengucapkan kata-kata: "Sanga ise memangaluari tingon persumpaan on, membelut, songon bulu on ma ia tu pudi ni ari, tu toru inda marurat, tu ginjang inda marpusuk, rurus songon parrurus ni bulung ni bulu on. Dung i muse, sange ise ma manguluari tingon persumpahan on, nangkan songon manuk na dijait mata dohot mata muarana, tu julu inda mar ulu, tu jae inda marmara". (artnya: "Barang siapa mengingkari persumpahan ini, membelot, maka ia akan mengalami nasih seperti bambu ini di kemudian hari, ke bawah tidak berakar, ke atas tidak berpucuk, gugur seperti gugurnya daun bambu ini. Selain itu, barang siapa mengingkari sumpah ini, ia akan mengalami nasib seperti ayam yang dijahit mat dan lobang duburnya ini, ke hulu tidak berbulu, ke hilir tidak bermuara").

Melalui persumpahan yang dilakukan di bawah rumpun bambu itu, Sutan Mangkutur dan raja-raja yang lain, mengikat diri mereka untuk selalu setia satu sama lain dan bersama-sama melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dengan demikian, diharapkan tidak akan terjadi pengkhianatan di antara sesama mereka, apabila sudah tiba waktunya mereka mengangkat senjata untuk memerangi Belanda di Mandailing.

Di dalam pertemuan rahasia yang diselenggarakan di Huta Godang itu, diputuskan pula, bahwa pada waktu yang telah ditentukan, Sutan Mangkutur, bersama-sama dengan beberapa orang raja dari Mandailing Julu, akan membawa pasukan mereka menyerang Belanda di Singengu, Kotanopan, yang letaknya tidak begitu jauh dari Huta Godang. Dan pada waktu yang sama, yang Dipertuan Huta Siantar, bersama pasukannya akan melakukan serangan pula dari arah Penyabungan. Dengan serangan yang demikian itu, yakni dengan serentak datang dari dua arah yang berlawanan, diharapkan Belanda akan terjepit dan hancur di tengah-tengah, yaitu Singengu, Kotanopan, yang terletak di antara Huta Godang dan Penyabungan.

Yang Dipertuan Huta Siantar, yang ikut di dalam pertemuan rahasia di Huta Godang itu, dan telah berjanji akan melakukan serangan dari arah Penyabungan pada waktu Sutan Mangkutur dari Huta Godang menyerang Belanda di Singengu, Kotanopan, sebenarnya adalah seorang raja yang sejak lama telah bekerja sama dengan Belanda.

Pada tahun 1837, yakni dua tahun sebelum serangan yang pertama oleh Sutan Mangkutur terhadap Belanda, Yang Dipertuan Huta Siantar, ikut membantu pasukan Belanda yang diperintah gubernur militer Belanda, Michiels, melakukan serangan terhadap Tuanku Tambusi di Padang Lawas (Dalu-dalu).
Yang Dipertuan Huta Siantar, mengepalai pasukan Mandailing membantu pasukan Belanda di dalam penyerangan tersebut, yang akhirnya berhasil mengalahkan Tuanku Tambusai.

Di samping itu, menurut keterangan Jenderal van Damme (Jenderal Michiels) kepada seorang komisaris pemerintah (Belanda di Batavia) yang datang ke Sumatra, ia dapat mengandalkan kesetiaan dan kepatuhan Yang Dipertuan. Dan juga ia mengatakan, bahwa ia privadi menjamin kesetiaan Yang Dipertuan.

Dan ternyata pula, "ia (Yang Dipertuan) seorang yang punya rasa lebih tinggi derajat kedudukannya dari orang lain. Sehingga pernah menimbulkan pemusahan antara Yang Dipertuan dengan kepala negeri Natal".
Pantas diperkirakan, bahwa latar belakang yang demikian bisa saja membuat Yang Dipertuan ingkar terhadap sumpah yang pernah ia buat dalam pertemuan rahasia di Huta Godang, sebelum Sutan Mangkutur mulai menyerang Belanda.

Setelah berproses selama kurang lebih dua tahun, yaitu sejak Belanda bertindak mengambil alih kekuasaan pengadilan dari tangan raja-raja di Mandailing pad atahun 1837, maka sesudah pertemuan rahasia di Huta Godang di tahun 1839, Sutan Mangkutur mulai mempersiapkan pasukan untuk menyerang Belanda di Kotanopan yang terletak lebih 20 kilo meter dari Huta Godang.
Menurut keputusan pertemuan rahasia di Huta Godang itu, pada saat Sutan Mangkutur melakukan serangan terhadap Belanda di Kotanopan, Yang Dipertua Huta Siantar akan melakukan serangan pula dari arah Penyabungan.

Tetapi ternyata kemudian, sebelum Sutan Mangkutur bersama pasukannya bergerak dari Huta Godang untuk melakukan serangan bersenjata ke Kotanopan, Belanda sudah lebih dahulu mengetahui rencana penyerangan Sutan Mangkutur itu. Oleh sebab itu, Belanda bergerak dari Kotanopan menuju Huta Godang untuk lebih dahulu menyerang Sutan Mangkutur.

Sebelum pasukan Belanda tiba di Huta Godang, kedatangan mereka telah diketahui pula oleh Sutan Mangkutur, yang segera membawa pasukannya menghadapi kedatangan Belanda. Dan akhirnya bertemulah pasukan Belanda dan pasukan Sutan Mangkutur di satu tempat yang bernama Batu Godang (Batu Besar) di dekat kampung Sipalupuk, yang tidak begitu jauh dari Huta Godang.
Maka terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Sutan Mangkutur dan pasukan Belanda di tempat itu, yang mengakibatkan matinya beberapa orang perwira Belanda dan puluhan orang anggota pasukannya.

Dalam pertempuran yang pertama itu, pasukan Belanda dapat dikalahkan pasukan Sutan Mangkutur, sehingga mereka terpaksa mundur kembali ke Kotanopan, sambil dikejar terus oleh pasukan Sutan Mangkutur yang mengharapkan kedatangan pasukan Yang Dipertuan Huta Siantar dari Penyabungan untuk bersama-sama menyerang Belanda.

Oleh karena itu, timbul dugaan, bahwa yang memberitahukan rencana penyerangan Sutan Mangkutur terhadap Belanda, adalah Yang Dipertuan Huta Siantar, meskipun ia telah ikut di dalam persumpahan yang dilakukan di Huta Godang.

Di dalam pertempuran-pertempuran selanjutnya, Sutan Mangkutur selalu didampingi oleh beberapa orang hulu balangnya yang setia, mereka adalah Ja Layang, Sampuran Tolang, Balang Garang, Langka Salupak dan Manimba Laut.

Pada suatu saat, ketika pasukan Sutan Mangkutur melakukan serangan lagi ke Kotanopan, terjadilah pertempuran sengit di satu tempat bernama Paya Ombur, di seberang Sungai Batang Gadis yang tidak begitu jauh letaknya dari Kotanopan. Di dalam pertempuan tersebut, hulu balang Ja Layang mati tertembak, yang dirasakan sebagai pukulan berat oleh Sutan Mangkutur. Karena Ja Layang adalah hulu balang Sutan Mangkutur yang terpenting, dan dikenal sebagai hulu balang yang sangat berani.
Selanjutnya, karena pasukan Belanda bertambah kuat dengan bantuan orang-orang Mandailing sendiri, maka Sutan Mangkutur bersama pasukannya terpaksa mundur ke Huta Godang dan bertahan sambil bersembunyi di satu tempat rahasia di luar Huta Godang.

"Sungguh menyedihkan bagi beliau, sebab sebahagian dari raja-raja yang disangkanya semula sehaluan, dan bersetia di dalam menjalankan maksudnya itu (bertempur melawan Belanda), telah berkhianat menyebelah kepada Gouvernement".


Sutan Mangkutur Ditangkap Belanda
Ketika Sutan Mangkutur dan pasukannya terpaksa mundur dan bertahan sambil bersembunyi di satu tempat rahasia di luar Huta Godang datanglah pasukan Belanda untuk menyerangnya. Dan ternyata Yang Dipertuan Huta Siantar ikut bersama pasukan Belanda itu. Kenyataan yang demikian itu, kiranya membuktikan bahwa Yang Dipertuan Huta Siantar, lebih suka berpihak kepada Belanda daripada ikut bersama Sutan Mangkutur untuk melepaskan negerinya dari kekuasaan penjajah.

Setibanya pasukan Belanda di Huta Godang, bersama-sama dengan Yang Dipertuan Huta Siantar, mereka langsung hendak membakar rumah-rumah dan "Bagas Godang" (istana raja) di tempat tersebut.

Melihat tindakan Belanda yang demikian itu isteri Sutan Mangkutur yang kebetulan sedang berada di "alaman Bolak" (halaman istana), segera pergi mendapatkan Yang Dipertuan Huta Siantar sambil menangis meminta agar Yang Dipertuan Huta Siantar (yang masih punya hubungan keluarga dengan Sutan Mangkutur) mencegah pasukan Belanda membakar Huta Godang.

Atas jasa-jasa baik Yang Dipertuan Huta Siantar, terhindarlah Huta Godang dari kemusnahan dimakan api. Dan atas jasa-jasa baiknya itu, Yang Dipertuan Huta Siantar, sebagai orang yang masih mempunyai hubungan dekat dengan Sutan Mangkutur, meminta agar isteri Sutan Mangkutur memberitahukan kepadanya di mana Sutan Mangkutur dan pasukannya bersembunyi.

Permintaan Yang Dipertuan itu pada mulanya ditolak oleh isteri Sutan Mangkutur. Tetapi akhirnya Yang Dipertuan berhasil membujuk isteri Sutan Mangkutur untuk menunjukkan tempat persembunyian suaminya, dengan alasan bahwa kedatangan bersama Belanda adalah untuk melakukan perdamaian dengan Sutan Mangkutur. Dan sebagai orang yang masih punya hubungan keluarga dengan Sutan Mangkutur, Yang Dipertuan memberi janji dan menjamin, bahwa Sutan Mangkutur tidak akan diapa-apakan oleh Belanda.

Di balik peranan Yang Dipertuan Huta Siantar yang dilakukannya dengan sangat menyakinkan itu, rupa-rupanya telah direncanakan siasat dan tipuan licik seperti yang sudah biasa dilakukan Belanda untuk menangkap musuhnya.

Kemudian, setelah dapat diyakinkan oleh Yang Dipertuan bahwa kedatangannya bersama Belanda ke Huta Godang adalah untuk mengadakan perdamaian dengan Sutan Mangkutur, dikirimkan utusan oleh isteri Sutan Mangkutur untuk menjemput suaminya dari tempat persembunyiannya yang dirahasiakan.
Ketika Sutan Mangkutur berada dalam perjalan dari tempat persembunyiannya menuju Huta Godang, pasukan Belanda yang telah diperintahkan atasannya untuk mengikuti utusan yang menghubungi Sutan Mangkutur secara sembunyi-sembunyi, berhasil menangkap Sutan Mangkutur.

Keberhasilan Belanda menangkap Sutan Mangkutur dengan cara licik itu, tentu tidak terlepas dari kelihaisan Yang Dipertuan Hutan Siantar menjalankan peranannya dengan cara yang amat menyakinkan, sehingga Sutan Mangkutur tidak berdaya menghadapi tipuan Belanda.
Dan atas prestasi gemilang yang demikian itulah kiranya maka dikemudian hari Jenderal Michiels secara pribadi "menjamin kesetiaan Yang Dipertuan, dan dapat pula mengandalikan kepatuhannya".
Sutan Mangkutur Dibuang Oleh Belanda

Setelah Sutan Mangkutur dapat ditangkap Belanda cara tipuan yang licik itu, maka iapun dibawa ke Huta Godang. Kemudian dihadapkan "Namora Natoras" dan rakyatnya sendiri di Huta Godang, dengan cara yang amat menghinakan. Belanda mengumumkan diturunkannya Sutan Mangkutur dari tahta kerajaannya di Huta Godang, Ulu Pungkut, di Mandailing Julu.

Dan selajutnya, Sutan Mangkutur ditempatkan sebagai penjahat yang telah melawan terhadap Belanda, sehingga ia diwajibkan membayar denda dengan sejumlah mas kepada Belanda. Akhirnya "pada tahun itu juga (1839) diasingkan ke pulau Ambon dengan tiga orang saudaranya bernama: Sutan Naga, Sapala Raja, Raja Mangatas. Di tempat pengasingan itulah masing-masing menempuh ajalnya, cuma seorang yang sempat pulang ke negerinya, yaitu Sutan Mangatas. Beliau ini seroang budiman yang banyak beroleh pengetahuan selama berada di tempat pengasingan. Diterbarkannya penuntutan itu dan lama lagi hidup menceritakan semua kejadian dan pengalaman yang sudah-sudah, yaitu zaman yang penuh dengan pengorbanan, penderitaan, masa yang sudah lama silam".

Sebelum Belanda membawa Sutan Mangkutur dari Huta Godang ia lebih dahulu harus membayar denda emas yang telah dijatuhkan ke atas dirinya. Tetapi ternyata ia tidak mempunyai cukup mas untuk membayar denda tersebut.

Untuk mengatasi hal itu, tujuh orang raja dari Mandailing Julu semufakat untuk ikut bersama-sama membantu Sutan Mangkutur membayar denda itu kepada Belanda. Dan akhirnya delapan orang raja termasuk Sutan Mangkutur sendiri membayar denda tersebut, dengan memberikan masing-masing seperdelapan bahagian.

Pembahagian beban secara merata yang demikian itu, dikemudian hari dikenal sebagai solidaritas delapan raja di Mandailing Julu, dan dinamakan "Dandang na saparwaluan", yang dapat diartikan, masing-masing didenda seperdelapan bahagian.


Kedelapan raja di Mandailing Julu yang dikenal sebagai "Dandang na saparwaluan" itu terdiri dari:
1. Raja Huta Godang (Sutan Mangkutur sendiri)
2. Raja Patahajang
3. Raja Tolang
4. Raja Hutapungkut
5. Raja Tamiang
6. Raja Muarasipongi
7. Raja Pakantan Dolok
8. Raja Pakantan Lombang
Setelah pembayaran denda itu selesai, dibawalah Sutan Mangkutur dari Huta Godang, untuk selanjutnya dibuang oleh Belanda ke Ambon.

Pembuangan Sutan Mangkutur bersama tiga orang saudaranya itu, menimbulkan duka yang amat dalam bagi rakyat Mandailing yang bersimpati kepada mereka, terutama bagi penduduk di Huta Godang dan seluruh kawasan Ulu Pungkut. Rakyatnya sangat mencintai Sutan Mangkutur yang mereka kenal sebagai seorang raja "parbatu mamang di Indora" (raja yang mempunyai pendirian yang sangat teguh). Oleh sebab itu, ketika Belanda membawa Sutan Mangkutur dari Huta Godang, penduduk "mengandungi" atau meratapi kepergiannya dengan cara tradisional yang biasa dilakukan apabila raja meninggal dunia.

Meskipun kejadian menyedihkan itu terjadi hampir satu setengah abad yang lalu, hingga sekarang di Huta Godang masih ada orang yang ingat bahwa dahulu di negeri itu dalam kehidupan masyarakat pernah terdapat ratapan sedih yang bernama "Andung-andung ni Sutan Mangkutur na langka buat tu pambuangan" (ratapan untuk Sutan Mangkutur yang berangkat ke pembuangan).

Sejak Sutan Mangkutur dibawa Belandar dari Huta Godang hampir satu setengah abad yang lalu untuk dibuang ke Ambon karena telah melakukan perlawanan terhadap Belanda di Mandailing, ia tidak pernah kembali lagi, karena jiwanya melayang dalam pembuangan Belanda. Sampai sekarang tidak diketahui di mana letak pusaranya. Oleh sebab itu, kiranya tidak berlebihan kalau Sutan Mangkutur disebut sebagai "pahlawan yang dilupakan" selama ini.


Mandailing Setelah Perlawanan Sutan Mangkutur
Bagaimana lanjutan perlawanan rakyat Mandailing yang dibangkitkan dan dipimpin oleh Sutan Mangkutur, setelah ia dibuang oleh Belanda, keadaannya tidak jelas.
Tetapi beberapa keterangan di dalam Buku Max Havelaar yang dapat dipercayai, kiranya dapat dipergunakan sebagai sumber informasi oleh karena fakta fakta di dalam itu benar dan teks dokumen-dokumennya yang diterbitkan itu asli.

Di dalam buku tersebut yang ditulis oleh Multatuli atau Eduard Dowes Dekker, yang pernah menjadi kontelir di Natal yang tidak jauh letaknya dari Mandailing, terdapat beberapa petunjuk tentang adanya pemberontakan terhadap Belanda di Mandailing.

Mengingat, bahwa kejadian pemberontakan di Mandailing yang dikemukakan oleh Multatuli di dalam bukunya Max Havelaar, terjadi ketika ia sedang bertugas di Natal pada tahun 1842, yaitu kurang lebih tiga tahun setelah perlawanan Sutan Mangkutur, dapatlah ditafsirkan, bahwa kemungkinan pemberontakan yang diceritakan oleh Multatuli itu, ada hubungannya dengan perlawanan yang pernah dipimpin oleh Sutan Mangkutur.

Pada masa Multatuli bertugas sebagai kontelir di Natal tahun 1842, ternyata Tanah Batak sedang bergolak, segala yang terjadi di negeri Betak, selalu berpengaruh ke Natal.
"Tanah tanah Mandailing dan Angkola inilah - nama daerah asisten residen yang dibentuk dari tanah Batak yang baru saaja diamankan belum lagi bersih dari pengaruh Aceh - sebab di mana telah berakar semangat fanatik sukar sekali menghilangkannya - tapi orang Aceh tidak ada lagi, namun ini tidak cukup bagi gubernur".

Melalui catatan demikian, dapatlah diketahui bahwa pada sekitar tahun 1842, ketika Multatuli bertugas sebagai kontelir di Natal, yakni kira-kira tiga tahun setelah perlawanan Sutan Mangkutur, (1839), "tanah Mandailing dan Angkola baru saja diamankan" oleh Belanda. Tidaklah mungkin bahwa yang diamankah oleh Belanda pada waktu itu adalah perlawanan Sutan Mangkutur atau "follow up" dari perlawanannya. Sebab Multatuli memberi keterangan pula, bahwa "di mana telah berakar semangat fanatik, sukar sekali menghilangkannya". Yang dimaksud dengan semangat fanatik dalam hal ini tentunya semangat fanatik Islam. Dan Sutan Mangkutur serta sebahagian besar penduduk Mandailing adalah penganut Islam, yang mungkin memang fanatik, sebab mereka cukup lama berada dibawah pengaruh kaum Paderi.

Kalau memang pada waktu itu Belanda mengalami kesukaran menghilangkan semangat fanatik Islam dari penduduk Mandailing, keadaan itu sendiri dapat mengandungi indikasi, bahwa par pengikut Sutan Mangkutur, masih meneruskan perlawanan terhadap Belanda, sekalipun Sutan Mangkutur sendiri sudah ditangkap Belanda. Dan kalau sekiranya memang demikian halnya, maka dapat pula diambil suatu kesimpulan, bahwa perlawanan Sutan Mangkutur yang terjadi pada tahun 1839, berlangsung sampai sekitar tahun 1842, yaitu sampai pada waktu Multatuli atau Eduard Douwes Dekeer, bertugas sebagai kontelir di Natal.

Catatan lain di dalam buku Max Havelaar, karya Multatuli, terjemahan H.B. Jassin, yang kemungkinan sekali berkaitan dengan perlawanan Sutan Mangkutur, adalah yang menyangkut diri Yang Dipertuan.
Catatan tersebut berasal dari keterangan kontelir yang digantikan oleh Multatuli atu Eduard Douwes Dekker, di Natal. Oleh sebabi itu, peristiwa yang menyangkut diri Yang Dipertuan itu terjadi pada masa dinas kontelir yang kemudian digantikan oleh Multatuli atau Eduard Douwes Dekker, yaitu sebelum tahun 1842.

"Sekonyong-konyong tersiar desas-desus bahwa telah ditemukan komplotan di Mandailing, di mana Yang Dipertuan terlibat, dan yang dimaksud dengan mengadakan pembertontakan, dan membunuh semua orang Eropa" demikian keterangan yang diperoleh Multatuli, dari kontelir yang bertugas di Natal, sebelum Multatuli sendiri menggantikannya pada tahun 1842.

Melihat, bahwa peristiwa yang demikian itu terjadi sebelum Multatuli bertugas di Natal, atau sebelum 1842, maka kemungkinan sekali, bahwa "komplotan di Mandailing", yang dimaksukan mengadakan pemberontakan itu, adalah komplotan Sutan Mangkutur, di mana pada mulanya Yang Dipertuan ikut di dalamnya, dan kemudian komplotan perlawanan Sutan Mangkutur melakukan serangan ke Kotanopan, seperti yang telah dikemukakan terdahulu.

Selanjutkan terdapat pula keterangan di dalam buku Max Havellar yang menjelaskan, bahwa: "menurut keterangan saksi saksi yang didengar kontelir Natal (yaitu yang bertugas di tempat sebelum Multatuli menggantikannya pada tahun 1842), ia (Yang Dipertuan) bersama-sama dengan saudaranya Sutan Adam telah mengumpulkan kepala-kepala Batak dalam sebuah hutan keramat di mana mereka bersumpah tidak akan berhenti sebelum kekuasaan anjing Kristen di Mandailing hancur binasa".
Keterangan yang demikian ini, seakan-akan suatu ungkapan versi lain dari "pertemuan rahasia dan persumpahan" yang dilakukan oleh Sutan Mangkutur di Huta Godang sebelum memulai serangannya terhadap Belanda. Di dalam pertemuan rahasia dan persumpahan di Huta Godang itu, Yang Dipertuan Huta Siantar memang ikut ambil bagian.

Hal lain yang kiranya perlu pula diperhatikan ialah, kalau keterangan tersebut diatas mengatakan "ia (Yang Dipertuan) bersama-sama dengan saudaranya Sutan Adam telah mengumpulkan kepala-kepala Batak dalam sebuah hutan keramat, di mana mereka bersumpah..." dalam kenyataannya Yang Dipertuan memang punya hubungan saudara yang masih dekat dengan Sutan Mangkutur.
Di bagian lain dalam buku Max Havelaar, dituliskan pula oleh Multatuli, bahwa Yang Dipertuan pernah ditangkap, dan dibawa ke Padang. Tetapi ternyata setelah tiba di Padang, Yang Dipertuan dinyatakan bebas, malahan disambut dengan hormat dan Jenderal (Michiels) mengundang Yang Dipertuan ke rumahnya dan menyediakan penginapan baginya. Yang Dipertuan ditangkap, karena ada tuduhan ia terlibat dalam komplotan yang hendak memberontak terhadap Belanda. Tetapi, sesuai dengan yang diterangkan di atas, setibanya di Padang Yang Dipertuan dinyatakan bebas, malahan disambut secara hormat oleh Jenderal (Michiels).

Kalau keterangan ini dikaitkan dengan keberhasilan Belanda menangkap Sutan Mangkutur di Huta Godang dengan bantuan Yang Dipertuan Huta Siantar, seperti yang telah dikemukakan terdahulu, wajarlah kalau ia kemudian dibereskan begitu saja setelah ia ditangkap, seperti yang diceritakan oleh Multatuli di dalam bukunya Max Havellar itu. Karena Yang Dipertuan adalah orang yang berjasa besar membantu Belanda dalam penangkapan secara licik terhadap Sutan Mangkutur di Huta Godang.
Selain daripada itu, kemungkinan besar pula, bahwa sebelumnya Yang Dipertuan juga sudah berjasa memberitahukan kepada Belanda rencana penyerangan yang akan dilakukan oleh Sutan Mangkutur.
Dalam hal ini, perlu diingat kembali, bahwa pada waktu Sutan Mangkutur pertama kali menyerang Belanda, sampai kepada pertempuran-pertempuran selanjutnya, Yang Dipertuan tidak pernah muncul membantu Sutan Mangkutur, meskipun di dalam pertemuan rahasia di Huta Godang Yang Dipertuan sudah berjanji akan menyerang secara serentak dengan Sutan Mangkutur, agar Belanda terjepit di Kotanopan.

Hal lain yang perlu diingat lagi, ialah bahwa Jenderal (Michiels) pada sukut ketika. "secara pribadi menjamin kesetiaan yang Dipertuan, dan dapat mengandalkan kepatuhannya".
Demikianlah keterangan-keterangan yang terdapat di dalam karya Multatuli, Max Havelaar, turut memberikan garis perspektip, dalam memandang peranan Sutan Mangkutur pada abad yang lalu, dan peranan Yang Dipertuan Huta Siantar, sebagai tokoh antagonist dalam kisah perlawanan tersebut.

Dan meskipun perlawanan Sutan Mangkutur belum berhasil mengusir Belanda dari wilayah Mandaling pada abad yang lalu, kiranya perlawanan itu telah menjadi ilham besar bagi rakyat di daerah tersebut untuk senantiasa bersikap anti Belanda "alak Ulando" (orang Belanda), sehingga pada gilirannya rakyat Mandailing pernah menampilkan sikap yang demikian itu melalui pantun-pantu protest, seperti yang berbunyi:

Intap kuligi Tano Bato
Anta marmombng kare-kare
Intap mula alak Ulando
Anta sumonang ate-ate

Isinya berarti:
Asalkan pulang orang Belanda
Hati di dalam bersuka ria

Betapa mendalamnya sikap anti Belanda dalam jiwa rakyat Mandailing, dapat pula dilihat dari keterangan J.G. Fraser yang mengatakan" "The Mandailings of Sumatra endeavour to lay the blame of all suchs misdeeds at the door of the Dutch authorities. Thus when a man is cutting a road through a forest and has to fall tree which blocks the way, he will not begin to ply his axe until he said.
"Spirit who lodgest in this tree, take it not ill that I cut down thy dwelling, for it is done at no wish of mine but by order of the Controller.''

Seminar Sejarah Nasional III Seksi Sejarah Perlawanan Terhadap Belanda, Departemen Pendidikan and Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Projek Inventarisasi dan Dokumentasi, Sejarah Nasional, 1982


Sumber:

No comments:

Post a Comment