Pages

Monday, March 5, 2012

“PERJALANAN SIMALUNGUN/DAMANIK DALAM TINJAUAN HABONARON”


“PERJALANAN SIMALUNGUN/DAMANIK DALAM TINJAUAN HABONARON”


Oleh M Muhar Omtatok


Tulisan ini merupakan ringkasan dari Makalah M Muhar Omtatok, salah seorang Pembicara pada SEMINAR SEHARI TUMPUAN DAMANIK SE JABODETABEK, pada 23 Januari 2010 di Anjungan Sumut TMII Jakarta.
Pendahuluan
Di Provinsi Sumatera Utara ada beberapa etnis asli, yaitu Melayu, Batak Toba, Mandailing, Angkola, Simalungun, Karo, Pakpak-Dairi, Melayu Pesisir Barat, Siladang dan Nias.
Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Orang Kampong, begitu biasa mereka menyebut diri mereka. Merupakan bentukan dari beberapa suku karena kesamaan agama, yaitu Islam dan kemudian membentuk bahasa dan resam yang sama pula. Orang Pardembanan yang berakar dari Batak di Tapanuli, menjadi Melayu di wilayah Asahan, Labuhanbatu dan sekitarnya. Orang Simalungun ‘masuk’ Melayu di Tebingtinggi, Tanjung Kasau, Pagurawan, Bandar Khalifah dan beberapa Tempat di Serdang Bedagai, Orang Karo juga ‘masuk’ Melayu di beberapa tempat di Deli, Serdang dan Langkat. Meski Semenanjung Malaysia, Aceh, Siak, Banjar dan lainnya juga berperan dalam pembentukan tamaddun Melayu di Sumatera Utara.
Melayu Pesisir Barat mendiami wilayah Tapian Nauli, yaitu Sibolga dan Tapanuli Tengah hingga ke Natal. Masyarakat Melayu Pesisir Barat ini merupakan masyarakat bekas Kebudayaan Hatorusan yang mempunyai pengaruh Minangkabau serta Aceh.
Mandailing merupakan nama suku bangsa yang mendiami sebagian Kabupaten Tapanuli Selatan yang kini telah mengalami pemekaran dan Kabupaten Mandailing Natal. Beberapa marga yang terdapat pada suku Mandailing adalah Lubis, Nasution, Pulungan, Batubara. Namun ada juga suku bangsa di Malaysia yang menamakan dirinya sebagai suku Mandailing karena leluhurnya berpuak Mandailing dari Sumatera, tepatnya di Kampung. Kerangai, Kampung Lanjut Manis dan Kampung Tambahtin, namun mereka menolak disebut bagian dari suku Batak dan mereka berkeyakinan Mandailing merupakan suku bangsa yang terpisah dari suku Batak. Orang Siladang yang berada disekitar Panyabungan juga kini popular disebut Mandailing.
Angkola Adalah Nama daerah Di Sumatera Utara tepatnya di Tapanuli Bagian Selatan. Kata Angkola  berasal dari nama sungai batang Angkola yag diberi nama seorang penguasa yang berasal dari hindia belakang yang beranama Rajendra Kola (angkola /yang dipertuan kola).masuk melalui padang lawas . dan kemudia berkuasa disaat itu.. disebelah selatan batang angkola diberi nama angkola jae (hilir) dan disebelah utara sungai batang angkola diberi nama Angkola julu (hulu).
Karo adalah etnis asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, sebagian Kabupaten Deli Serdang,Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten DairiKota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara.
Pakpak terdiri atas 5 subsuku, yaitu: Pakpak KlasenPakpak SimsimPakpak BoangPakpak Pegagan dan Pakpak Keppas. Suku Pakpak banyak bermukim di wilayah Kabupaten Dairi danKabupaten Pakpak Bharat. Juga berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah. Suku Pakpak yang tinggal di wilayah tersebut menamakan diri sebagai Pakpak Klasen. Dalam jumlah yang sedikit, suku Pakpak juga bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Singkil yang disebut sebagai Pakpak Boang.
Batak adalah rumpun bangsa yang sering disebut untuk menamakan Batak Toba, Mandailing-Angkola, Simalungun, Karo ataupun Pakpak-Dairi. Walau sebenarnya Cuma orang Batak Toba (termasuk Habinsaran, Silindung, Humbang, Uluan, dan Samosir), saja yang amat popular disebut Batak.
Dulu, penulis asing memakai sebutan Batak untuk pemaknaan suku-suku terpencil dipedalaman- pagans; bahkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) oleh W.J.S. Poerwadarminta, memberi batasan dengan makna perompak – perampok, walau kata ini mungkin bukan diperuntukkan untuk suku Batak.  Niccolò de’ Conti (1385–1469) dari Itali, ada menyebut kata ‘Caníbales Batech’, namun sepertinya itu bukan berada di daerah Tanah Batak sekarang, tetapi wilayah yang kini masuk dalam daerah Aceh. Kata ‘Batta’ ada ditulis Fernão Mendez Pinto (1539), ketika Pinto tiba di Malaka dan mengunjungi Sumatera bagian Utara. Namun kata-kata itu bukan menjelaskan nama sebuah etnis secara terperinci, sehingga kata ‘Batak’ sebagai sebuah etnis, belum dikenal dewasa itu
Dibanyak referensi yang ditulis oleh penulis dari kalangan Batak Toba, Wilayah Batak Toba (termasuk Habinsaran, Silindung, Humbang, Uluan, dan Samosir) lah sebagai muasal dari Mandailing – Angkola, Simalungun, Karo dan Pakpak-Dairi, serta marga-marga dari suku-suku ini selalu dikait-kaitkan ke Batak Toba; sehingga seolah-olah Batak Toba sebagai induk suku, dan yang lainnya sebagai etnis afiliasi.
Peneliti dari Universiteit Leiden – Belanda, Dr Johann Angerler mengemukakan, belum diperoleh data pasti terhadap penamaan ‘Batak’ yang menjadi salah satu suku di Sumut.
Apakah konsep itu sesungguhnya asli orang Batak atau justru penamaan dari luar. Sebab berdasarkan penelitian yang telah dilakukan secara mendalam dan komprehensif, hingga kini nama itu belum ditemukan dari mana asal usulnya, kata Angerler dalam ceramah ilmiahnya dengan tema: “Sistem Sosial Politik Batak Toba Sebelum Kolonial’ di Universitas Negeri Medan , ( 18/11/2009 ).
Jika Batak Toba dan Mandailing-Angkola menyebut kain adatnya dengan istilah Ulos, Suku Simalungun menyebut kain adatnya dengan sebutan Hiou, Uis bagi Suku Karo dan Oles untuk Pakpak. Kata alu aluan atau Salam Horas  dipergunakan untuk Batak Toba, Mandailing-Angkola dan Simalungun. Suku Karo memakai salam Mejuah-juah, Pakpak-dairi dengan Njuah-juah. Suku Melayu Pesisir Barat mencari salam dengan aluan Oi Lamat dan Melayu di pesisir timur memakai kata alu-aluan atau salam keislaman atau menggunakan alu-aluan spirit berupa kata: Ahoi.
Dalihan Natolu adalah sistem kekerabatan di masyarakat Mandailing dan Angkola serta kemudian sejak 1950-an Batak Toba juga turut memakai itu. Dalihan (Tungku), Na ( Nan ), Tolu (Tiga), jadi berarti Tungku Nan Tiga. Di Minangkabau ada “Tigo tungku Sajarangan”.
Pada puak Mandailing & Angkola, sistem kekerabatan ini adalah Kahanggi, anak boru, dan mora. Di Batak Toba, sistem kekerabatan ini meliputi, dongan sabutuha, boru, dan hula-hula. Di Karo disebut Deliken Sitelu, meliputi Senina, Anak Beru, dan Kalimbubu. Sulang Silima pada Puak Pakpak –Dairi, meliputi Perisang-isang(Pembuka Acara), Pertulan tengah (saudara tengah), Perekur-ekur (saudara bungsu), Perbetekan/beru, dan Punca Niadep. Di dalam setiap pesta adat, akan tampak jelas fungsi masing-masing. Disini tampak fungsi, hak dan kewajiban setiap elemen dari sistem kekerabatan ini. Sistem kekerabatan ini merupakan jatidiri yang tahu diri dalam menempatkan sesuai peran dan kedudukannya di tengan saudara sesuku.
Johann Angerler mengemukakan, penggunaan konsep Dalihan Na Tolu yang baru muncul kemudian pada kurun waktu memasuki tahun 1950-an. Sebelumnya, konsep itu telah digunakan pada institusi Bataks Studiensfonds yang merupakan perhimpunan masyarakat di Kotanopan – Mandailing. Tetapi pada saat itu, konsep itu masih kurang akrab dengan orang Toba. Barulah setelah era kemerdekaan konsep itu sangat popular di Batak Toba.
Demikian pula dengan penggunaan konsep Tarombo (silsilah) yang baru muncul pada tahun 1920-an yakni berupa adanya pencatatan silsilah orang Batak Toba. Salut pada nilai juang Orang Batak Toba perlu kita akui. Jika Simalungun punya kata ‘Ahap’, Batak Toba punya perwujudannya.
Batak Toba mampu survive di era kompetitif seperti sekarang ini.
Sikap mereka yg bangga sebagai sebuah etnis besar & ‘mencari kawan’ dengan meng-afiliasi-kan etnis lain ke dalam tubuh etnis mereka, dinilai cukup berhasil.
Buku fiksi karya WH Hutagalung (1926), cukup berhasil mensejarahkan kisah fiksi tentang Batak.  Setelah tulisan  WH Hutagalung inilah, budaya mempadankan marga-marga mulai muncul.
Di Simalungun memakai sistem kekerabatan yang khusus dan cuma ada di Simalungun, yaitu Tolu Sahundulan Lima Saodoraan. Bermakna Tiga sekedudukan, Lima sebarisan, meliputi Tondong yaitu pihak mertua (pemberi anak gadis), Boru yaitu pihak pengambil anak gadis, Sanina yaitu mengandung pengertian golongan semarga dengan seseorang, Tondong ni tondong ialah pihak besan, Boru ni boru atau boru mintori yaitu pihak anak gadis dari pengambil anak gadis. Praktek Tolu Sahundulan Lima Saodoran sudah dikenal di masyarakat yang kelak disebut Simalungun, sejak zaman Animisme sebelum masuknya agama-agama import.
Bahasa purba adalah bahasa hipotesis yang dianggap menurunkan beberapa bahasa yang nyata-nyata ada. Bahasa purba tersebut dapat direkonstruksikan dengan metode komparatif yang dapat menentukan kekerabatan bahasa bahasa dengan membandingkan bentuk dari kata-kata seasal. Setiap Suku-suku dari rumpun Batak ini mempunyai bahasa dan aksara masing-masing.
Uli Kozok (1999), menerangkan bahwa para ahli bahasa membedakan sedikitnya dua cabang bahasa-bahasa Batak yang perbedaannya begitu besar sehingga tidak memungkinkan adanya Komunikasi antara Kedua kelompok tersebut. Bahasa Angkola, Mandailing, dan Toba membentuk rumpun selatan, sedangkan bahasa Karo dan Pakpak-Dairi termasuk rumpun utara. Bahasa Simalungun sering digolongkan sebagai kelompok ketiga yang berdiri di antara rumpun utara dan rumpun selatan, namun menurut rumpun bahasa Adelaar (1981) secara historis bahasa Simalungun merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari cabang Batak Selatan sebelum bahasa Toba dan bahasa Angkola – Mandailing terbentuk. Semua dialek bahasa Batak berasal dari satu bahasa purba (proto language) yang sebagian kosa katanya dapat direkonstruksikan. Liguistik historis komparatif adalah bidang linguistik yang menyelidiki perkembangan bahasa dari masa ke masa serta menyelidiki perbandingan satu bahasa dengan bahasa lain.
  1. A. SIMALUNGUN
Jika kita mentelaah tentang objek yang keberadaan (entity), baik berupa orang, benda, tempat, peristiwa, konsep dan lainnya, ditempuh upaya mengkonstruksikan model data konseptual, memodelkan struktur data dan hubungan antar data dan mengimplementasikan data dasar secara logika maupun secara fisik.
Berdasarkan kekunoan karakter yang dimiliki dan diversitas yang begitu tinggi, sering mengajukan hipotesis yang menyatakan bahwasanya wilayah tertentu merupakan tempat muasal/homeland dari induk kelompok tertentu pula. Sehingga ada sebuah wilayah yang menjadi ‘center of origin’ dari wilayah lain.
Jika mengikuti tradisi mentelaah dengan cara demikian. Acapkali kita selalu mencari-cari muasal sesuatu dari wilayah mana sesuatu itu berasal. Sehingga terkesan tidak ada yang asli di wilayah kita, karena segala sesuatunya berasal dari tempat lain.
Gadung (Singkong) adalah makanan cemilan leluhur kita zaman berzaman.
Apa lagi orang  Jawa yang mempunyai beraneka menu makanan dari bahan singkong warisan leluhur mereka, ternyata dibuat penelitian bahwa Singkong berasal dari Timur Laut Brasil dan Meksiko Tenggara. Bahkan disejarahkan singkong baru masuk Indonesia tahun 1852 melalui Kebun Raya Bogor.
Orang Simalungun yang mensakralkan bunga raya, dari zaman leluhur hingga kini, juga tidak perlu berkecil hati karena bunga tersebut bukan ikon Simalungun kini, tapi sejak 1960 telah menjadi bunga nasional Malaysia.
Hampir semua tulisan tentang sejarah peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan ‘pinggiran’. Kawasan yang kebudayaannya dapat subur berkembang hanya karena imbas migrasi manusia atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain, baik yang berpusat di Mesir, Cina, maupun India.
Padahal Stephen Oppenheimer berpendapat lain. Dokter ahli genetik yang belajar banyak tentang sejarah peradaban ini malah melihat kawasan Asia Tenggara sebagai tempat cikal bakal peradaban kuno berasal. Munculnya peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan China justru dipicu oleh kedatangan para migran dari Asia Tenggara. Oppenheimer didukung oleh data yang diramu dari hasil kajian arkeologi, etnografi, linguistik, geologi, maupun genetika.
Hingga Suku Simalungun-pun akan dikatakan datang ke Tanoh Hasusuran melalui 2 gelombang, yaitu : Gelombang pertama (Proto Simalungun), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam danMalaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dariRaja dinasti Damanik. Serta Gelombang kedua (Deutero Simalungun), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang berjiran dengan suku asli Simalungun.
Pada gelombang Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah AcehLangkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Khalifah sampai Batubara.
Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir.
Pustaha Parpandanan Na Bolag (pustaka Simalungun kuno) mengisahkan bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah Simalungun sekitarnya) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau.
Tanoh hasusuran Simalungun meliputi Kabupaten Simalungun, Kota Pematangsiantar, Kota Tebingtinggi, sebagian besar wilayah Kabupaten Serdang Bedagai, sebagian Kabupaten Deli Serdang, bahkan lebih luas lagi jika diikuti wilayah kerajaan-kerajaan Simalungun sejak zaman Nagur dinasti Damanik.
Tidak ada data yang jelas, sejak kapan awal penyebutan nama Simalungun untuk suku Timur ini. Ada yang menganalisa berasal dari “Si Sada Parmaluan Si Sada Lungun” (senasib sepenanggungan), yaitu ikrar raja-raja di Simalungun pada tahun 1367. Pemerintah Belanda yang berkuasa di Sumatera saat itu, sudah memakai kata Simalungun untuk menyebut orang dan daerah yang kini disebut Kabupaten Simalungun.
Walter Lempp (1976:52) menyebutkan watak atau tabiat orang Simalungun yakni: “Orang Simalungun lebih halus dan tingkah lakunya hormat sekali, tidak pernah keras dan meletus, meskipun sakit hati.
J. Tideman (1922:113-114) mengakui bahwa ada sifat yang kurang baik secara rohani maupun jasmani dari suku bangsa Simalungun (Timoer Bataks). Hal ini menurut Tideman disebabkan oleh tekanan yang begitu lama hingga bertahun-tahun antara lain oleh perbudakan (parjabolonan) dan peperangan. Selain itu, Tideman juga mengatakan bahwa praktek perjudian, candu merupakan penghambat kemajuan yang terbesar pada suku bangsa ini, khususnya di kalangan rakyat. Wabah penyakit juga menghambat mereka untuk lebih bersemangat dalam bekerja. Praktek kanibalisme yang banyak didengung-dengungkan oleh orang luar tentang suku-suku bangsa di pedalaman, menurut Tideman sudah tidak dipraktekkan lagi dan sesungguhnyalah bahwa orang Batak bukan kanibal sejati menurut anggapan sebagian orang.
Solidaritas suku bangsa Timur ini lebih rendah bila dibandingkan dengan orang Toba (Nota, 1909:538-539). Pengaruh kaum pendatang dan suku-suku bangsa tetangga juga turut membentuk karakter suku ini. Di dekat perbatasan dengan suku Batak Toba menonjol sifat-sifat Toba, demikian juga di dekat daerah orang Melayu di pesisir terasa adanya pengaruh agama Islam /Melayu (Westenberg, 1904:9). Selain itu orang Simalungun juga kurang mau menonjolkan dirinya. Tentang kejujuran orang Simalungun berpedoman kepada falsafah hidup mereka yaitu “Habonaron do Bona, Hajungkaton do Sapata”. Orang yang tidak konsisten menjunjung tinggi falsafah ini diyakini akan mendapatkan hal-hal yang tidak baik. Falsafah ini juga berdampak pada pola pikir orang Simalungun yang sangat berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan. Sesuatu keputusan barulah diambil setelah dipikirkan masak-masak, dan tidak akan mengingkarinya . Sebagaimana dalam ungkapan Simalungun, “Parlobei idilat bibir ase marsahap, bijak mosor pinggol asal ulang mosor hata”.
Etnis Simalungun yang Patrilineal ini, memiliki beberapa morga (marga, clan). Seperti Damanik, Saragih, Purba, Sinaga, [Purba] Girsang, Sipayung, Lingga, Sitopu, Silalahi atau marga/orang lain yang sudah memiliki ‘ahap hasimalungunan’.
Damanik, Saragih, Purba, Sinaga dan [Purba] Girsang adalah morga para Raja. Meskipun kawulanya tidak mesti semarga dengan rajanya. Pada marga-marga itu juga terdapat sub-clan yang memiliki kisah dan sejarah tersendiri.
Terkadang muncul sub-clan yang terpisah dengan sub-clan lain, padahal mempunyai induk yang sama. Sebut saja sub-clan Garingging pada Saragih. Beberapa kelompok Saragih Garingging dalam sesuatu proses berubah sebutan menjadi sub-clan lain, misalnya menjadi Saragih Dasalak, Saragih Dajawak dan Saragih Permata. Beberapa garis Tuan Raya Huluan di Tambun Marisi yang marga Saragih Garingging awalnya, kini ada yang menyebut dirinya dengan sub-clan Saragih Munthe. Masih turunan yang sama, yaitu turunan Tuan Tarma yang menuju Serdang Bedagai, malah menyebut diri sebagai Saragih Damunthei.
Inilah dinamika indah ala Simalungun dalam bermarga, yang berbeda pola dengan pola tarombo marga tetangganya. Karenanya, cukup arif bagi orang-orang yang bermarga Damanik, yang jarang menyebutkan sub-clan di belakang Damanik, Lambin toguh homa hasadaon ahap Simalungun, Sisada Ahap Sisada Parmaluan, Na Sapangambei Manoktok Hitei, mamajuhon ibagas Habonaron do Bona.
A.1. DINASTI NAGUR
Bangsa Timur yang selanjutnya disebut Simalungun, telah melakukan perjalanan panjang dalam tata nilai kepemerintahan dan civilisasi. Setidaknya sejak era Dinasti Nagur – Dinasti Damanik dan Silau –Tua/Batang Hiou – Dinasti Saragih  (Harajaon na Dua – Kerajaan Nan Dua,Parpandanan Na Bolag, Deisa na Ualuh).
Selanjutnya Kerajaan nan Empat (Harajaon na Opat) yaitu Kerajaan Siantar (morga Damanik), Panai (morga Purba Dasuha), Silau (morga Purba Tambak) dan Tanoh Jawa (morga Sinaga).
Hingga era Kerajaan nan Tujuh (Harajaon na Pitu) yaitu kerajaan Siantar (Morga Damanik), Panai (morga Purba Dasuha), Silau (morga Purba Tambak), Tanoh Jawa (morga Sinaga), Raya (morga Saragih Garingging), Purba (morga Purba Pakpak) dan Silimakuta (morga [Purba] Girsang). Serta kerajaan-kerajaan Simalungun lain, baik yang berada di wilayah Simalungun kini, Serdang Bedagai maupun di wilayah Deli Serdang sekarang.
Perjalanan panjang historical dan tamaddun Hasimalungunan ini, menjadi bukti ketuaan sejarah dan peradaban Simalungun yang bukan sempalan Bangso Simbalog (etnis lain).
Kerajaan Nagur mendominasi wilayah Simalungun dan sepanjang pantai utara, yang terbentang luas dari pantai barat berbatas dengan lautan Hindia, sampai keselah Timur dengan Selat Malaka, dari sebelah Utara berbatas dengan wilayah yang disebut Jayu sampai berpatas dengan Danau Toba di selatan.
Menurut Hikayat dalam Pustaha Parpadanan Na Bolag, Kerajaan Nagur digambarkan sebagai satu kerajaan yang kaya dan jaya, dengan Pamatang (ibu negeri) mempunyai benteng yang kuat, berpagar besi, pintu gerbang disebut layar-layar terbuat dari tombaga holing dan gombok (kunci) terbuat dari perak.
Pustaha Parmongmong Bandar Syahkuda, menyatakan bahwa Istana Raja Nagur berada di Tolbak Pargambirian. Pustaha Parpadanan Na Bolag menyebutkan nama seorang Raja, yaitu Sianas Bondailing.
Pada Masa Kerajaan Nagur ini, marga-marga sudah ada dan struktur kekuasaan Simalungun tradisional sudah berkembang. Eksistensi kerajaan ini berlangsung sampai akhir abad XIII khususnya ketika daerah ini menjadi sasaran perluasan pengaruh politik Kerajaan Singosari dari Jawa bagian Timur dengan ekspedisi Pamalayu.
Sepanjang yang padat diketahui melalui catatan (analis) Tiongkok sewaktu Dinasti Sui ( Sui Chao) (581 – 618) adalah sebuah dinasti yang menjadi peletak dasar bagi kejayaan Dinasti Tang sesudahnya. Kerajaan Nagur sebagai Simalungun Tua, telah disebut-sebut.
Pada abad ke V sudah ada Kerajaan Nagur yang sudah mempunyai hubungan dagang dengan bangsa-bangsa lain terutama dengan Tiongkok. (Buku Sejarah Perkembangan Pemerintah Dalam Negeri Kabupaten Daerah Tingkat II Simalungun, 1999)
Sumber lain ialah Buzuruq Bin Syahriar, seorang musafir Parsi pada abad X dalam memori perjalanannya telah mencatat adanya negeri yang bernama Nakus (Nagur).
Selanjutnya MD Purba dalam bukunya berjudul “Mengenal Kepribadian Asli Rakyat Simalungun”, menyatakan bahwa menurut catatan Marcopolo seorang pengembara dari Venesia (Italy) pernah mengunjungi Kerajaan Nagur (tahun 1271-1295) karena pada saat itu ia terpaksa harus terhenti di Kerajaan Pasei untuk memperbaiki kapalnya yang rusak diterpa badai di Selat Malaka. Sambil menunggu perbaikan kapal, ia sempat mengadakan penyelidikan terhadap pedalaman Pulau Perca, dalam catatannya ada tertera Kerajaan Nagur yang disebut Nagore atau Nakur.
Menurut Ibnu Batutah dalam Buku Sejarah Nasional, mencatat bahwa Pemerintah Kerajaan Nagur mulai mengalami kemunduran sejak kedatangan serangan dari Kerajaan Hindu dari India Selatan, yang dipimpin oleh Rajendra Chola (1023 – 1024) sehingga kerajaan Nagur sudah banyak kehilangan daerah taklukan. Sudah mulai timbul perbedaan cara antara pusat kerajaan dengan para Partuhanon yang melepas diri dari pusat kekuasaan Nagur.
Hasil – hasil Kerajaan Nagur yang dapat dijadikan sumber pendapatan kerajaan ialah karet belata (rambung merah), damar, rotan, buah hapesong, umbi hondali dan lain-lain dipertukarkan (barter) dengan barang – barang lain yang dibutuhkan seperti : tembikar, keramik, manik-manik dan lain-lain dari Tiongkok.
Untuk memudahkan pelaksanaan pertemuan dagang antara Nagur dengan Tiongkok, maka Raja Nagur (Morga Damanik Nagur) menyuruh membuatkan “jambur” (dangau) yang dijaga oleh orang-orang dagang (lajang) sehingga tempat itu oleh orang Tiongkok disebutnya “Sang Pang To” (San Pan To) sedang oleh Nagur disebut “perdagangan”. Dari tempat pertemuan dagang inilah asal usul kota “Perdagangan”, yang oleh orang China biasa mereka sebut “ sam Pan To” hingga sekarang.
Agama yang dianut Kerajaan Nagur ialah agama lokal (animisme) yang bisa saja mendapat pengaruh kuat atau saling mengilhami dengan Hinduisme. Menurut E.B. Tylor bahwa animisme adalah bentuk agama yang tertua. Sebagai jabatan Imam disebut Datu Bolon, mereka percaya akan adanya Sang Pencipta alam bersemayam di langit tertinggi, dan mengenal adanya 3 perwujudan Kausa Prima, yaitu :
1. “Naibata na i babou/ i nagori atas” (di Benua Atas)
2. “Naibata na i tongah/ i nagori Tongah” (di Benua Tengah)
3. “Naibata na i toruh/ i nagori toruh” (di Benua Bawah)
Selain dari “naibata – naibata” dan “roh – roh halus” lain yang berhubungan arwah nenek moyang (simagod) yang pada suatu saat dapat dipanggil bila diperlukan.
Pemanggilan arwah nenek moyang disebut “Pahutahon” yaitu melalui upacara ritual, dimana dalam acara itu roh tersebut hadir melalui “Paninggiran” (siaran, kesurupan) salah seorang keturunannya atau seseorang yang mempunyai kemampuan sebagai perantara (paniaran).
Pelaksanaan urusan kepercayaan diserahkan kepada “Datu” yang juga “Guru” (Pimpinan Spiritual). Pimpinan “datu-datu” ini ialah “GURU BOLON”. Acara kepercayaan itu dipegang penuh oleh Datu, baik di istana maupun di tengah-tengah masyarakat umum. Raja-raja dan kaum bangsawan mereka sebut juga “Tuhan” bukan saja disegani tetapi ditakuti masyarakat, tetapi akhirnya sesudah masuknya bahasa Melayu sebutan tersebut berubah menjadi Tuan, karena dalam Bahasa Melayu, Tuhan mempunyai arti yang berbeda, yaitu Allah.
Menurut penilitian G.L. Tichelman dan P. Voorhoeve seperti dimuat dalam bukunya “Steenplastiek Simaloengoen” terbitan Kohler & Co Medan tahun 1936 bahwa Simalungun (kerajaan Nagur) terdapat 156 Pangulubalang (Berhala) yaitu patung-patung batu yang ditempatkan pada tempat yang dikeramatkan (Sinumbah) dan ditempat inilah dilakukan upacara pemujaan.
Kerajaan Kerajaan Nagur mulai terusik sejak datangnya serangan dari kerajaan Hindu (India Selatan) yang dipimpin oleh Rajendra Chola pada tahun 1023 – 1024. hal ini diketahui dari catatan Ibnu Batutah tahun 1345 sehingga pada abad ke XII Kerajaan Nagur telah banyak kehilangan wilayah daerah – daerah takluknya.
Mulai timbul desentralisasi antara pusat kerajaan dengan para partuhanon di wilayah distrik (Raja Goraha). Maka berdiri kerajaan-kerajaan baru seperti Kerajaan Samidora Pasei (Samudra Pasei) dan Kerajaan Haru (Aru).
Pada permulaan abad ke XIII pecah perselisihan dengan Kerajaan Samudra Pasei, Rajanya ialah Sang Ni Alam (sesudah memeluk agama Islam namanya menjadi Malikul Saleh) isterinya bernama Sang Mainim (Putri Raja Nagur) yang tidak bersedia menetap di Samudera Pasei, lalu kembali ke Kerajaan Nagur. Peristiwa itulah yang menimbulkan perang tanding antara Raja Samidora (Sang Ni Alam) dengan Raja Nagur (Sang Ma Jadi) sebagai mana dapat diketahui dari folklore (ceritera rakyat) yang terdapat dalam pustaha Paromongmong Bandar Syahkuda, seperti dituturkan oleh Haji Alep Damanik. Sesudah peristiwa inilah Falsafah Hidup “Haboraon Do Bona” yang tergambar dalam satu ungkapan yang berbunyi “Hajungkaton do sapata, habonaron do bona”, semakin terejawantah.
Disebelah Barat Kerajaan Nagur sudah mulai berdiri Kerajaan Linggar (lingga) yang wilayah kekuasaannya terhampar luas dari Tanah Karo sekarang, sampai ke daerah Gayor Alas. Adapun Raja Kerajaan Lingga adalah saudar sepupu Raja Nagur yang lolos melarikan diri waktu adanya pertempuran dengan Kesultanan Aceh (Samudra Pasei).
Menurut catatan Marco Polo, sekembalinya ia dari perjalanannya ke Tiongkok ia singgah di Perca Utara mengunjungi Kerajaan Samudra Pasei dan sempat juga berkunjung ke Kerajaan Nagur, dimana katanya saat itu Kerajaan Nagur sedang terlibat peperangan dengan pasukan Kerajaan Singosari yang datang dari Pulau Jawa tahun 1275. peristiwa sejarah tersebut dikenal dengan Pamalayu I.
Untuk mengamankan hasil-hasil yang dicapai oleh Ekspedisi Pamalayu I itu dikirim pula pasukan Singosari dibawah pimpinan Panglima Indra Warman yang sudah berada di kerajaan Darmas Raya Jambi (daerah takluk Singosari).
Sesudah pasukan Indra Warman menaklukkan daerah Siak lalu mendirikan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Kemudian pada tahun 1289 terus menyerang ke Andalas (Perca) Utara, berusaha menaklukkan Kerajaan Nagur, Samudra Pasei dan Haru (Aru).
Pada saat yang bersamaan di Pulau Jawa terjadi perebutan kekuasaan, dimana Jayakatwang (Raja Kediri) berhasil membunuh Kartanegara (Raja Singosari) dan disusul dengan kedatangan serangan dari Tiongkok yang mengakibatkan lenyapnya Kerajaan Singosari dan kemudian berdirilah Kerajaan Majapahit.
Sebagai reaksi dari Panglima Indra Warman, dia tidak bersedia tunduk ke kerajaan Majapahit dan tidak mau kembali ke Jawa. Pada tahun 1295 berdirilah Kerajaan Silau Tua dengan ibu negerinya Bah Silau yang bermuara ke selat Malaka (sekarang disebut Tanjung Balai). Kerajaan Nagur yang menguasai wilayah itu sebelumnya sudah memindahkan ibu negerinya ke Nagur Raja (sekarang Nagaraja di perbatasan Kab Serdang Bedagai dan Simalungun).
Dengan berdirinya Kerajaan Silau (Tua) maka diwilayah kerajaan Nagur telah berdiri 4 kerajaan, yaitu : Kerajaan Nagur, Kerajaan Samudra Pasei, Kerajaan Haru(Aru) dan Kerajaan Silau Tua.
Selanjutnya menurut buku Negara Kartagama karangan Prapanca seorang Pujangga Keraton Majapahit pada masa Raja Hayam Wuruk menyebutkan bahwa pada tahun 1336 Kerajaan Majapahit mengirimkan Ekspedisi Pamalayu ke II ke Sumatera dibawah Pimpinan Patih Gajah Mada sebagai perwujudan Sumpah Palapa. Gajah Mada bersumpah tidak akan memakan Palapa sebelum ia mempersatukan Nusantara, yaitu dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan yang ada pada waktu itu seperti Kerajaan Gurun (Seran), Tanjung Pura, Haru (Aru), Pahang, Dompo, Sunda, Palembang (Sriwijaya) Tumasik dan kerajaan-kerajaan lainnya. Akibat serangan pasukan Gajah Mada itu banyak kerajaan-kerajaan di Sumatera porak poranda. Kerajaan Melayu Jambi yang dipimpin oleh Adytia Warman terpaksa harus evakuasi ke Pagaruyung Sumatera Barat, yang kemudian beralih menjadi kerajaan Minangkabau. Demikian juga kerajaan Siak, Mandailing, Lawas dan Haru (Aru) tidak luput dari serangan. Dalam rangkaian serangan itu termasuk juga Kerajaan Silau Tua dibubarkan dan mengundurkan diri ke pedalaman, yang kelak mendirikan Kerajaan Batangiou ( batangkiou atau Batang Nyiur).
Kerajaan Haru (Aru) yang tadinya ibu negerinya di Bah Tanggiang (Tomiyam) mengundurkan diri ke Deli Tua. Pasukan Gajah Mada menyerbu ke Samudra Pasei, tetapi dapat dipukul mundur oleh Laksamasa Hamdan Tammana (Panglima Armada Laut Kesultanan Pasei). Pada saat itu agaknya Kerajaan Nagur terhindar dari serangan karena belum sempat mereka masuk ke pedalaman wilayah Kerajaan Nagur. Pada tahun 1350 muncul armada laut Kerajaan Haru menggempur Armada Laut Gajah Mada di selat Malaka. Begitu juga Aceh, turut menyerang pasukan Majapahit.
Bekas Pasukan Majapahit itu selanjutnya bergabung dengan mantan pasukan Singosari, dan membaurkan diri menjadi warga Batangiou.
  1. A. KETINGGIAN BUDAYA  DAN PERADABAN
Kebudayaan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan manusia kebudayaan diciptakan untuk mempermudah manusia dalam menjalani kehidupannya. Kebudayaan tidak akan ada tanpa manusia, sebaliknya manusia tanpa kebudayaan tidak akan bisa bertahan dalam mengarungi kehidupan.
Etimologi kebudayaan atau culture berasal dari kata sansekerta yaitu “ buddhayah” yaitu bentuk jamak dari “buddhi” yang berarti budi atau akal . Jadi dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Namun ada sarjana lain yang menyatakan bahwa kebudayaan berasal dari kata budi-daya. Karena itu ia membedakan antara budaya dengan kebudayaan . Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan karsa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa itu sendiri.
Setiap bangsa di dunia memiliki kebudayaan masing-masing yang berbeda dengan kebudayaan bangsa lainnya. Namun, segala bentuk kebudayaan tersebut terdapat beberapa unsur kebudayaan yang selalu dimiliki oleh masing-masing kebudayaan tersebut, yang selanjutnya dikenal dengan istilah “ 7 unsur kebudayaan universal”. Adapun ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah :
1. Bahasa
2. Sistem Pengetahuan
3. Sistem religi
4. Sitem Sosial Kemasyarakatan
5. Sistem Teknologi
6. Sistem Mata Pencaharian
7. Kesenian
Kebudayaan bersifat dinamis, selalu berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Terjadi penyempurnaan yang dilakukan untuk menyesuaikannya dengan perkembangan zaman.Semakin bertambahnya tantangan hidup manusia dari waktu ke waktu maka kebutuhan untuk mengatasi tantangan tersebut akan terus berkembang.
Dalam kehidupan manusia terjadi proses perubahan dari waktu zaman batu- zaman perunggu dan besi – zaman modern. Berkembangnya kebudayaan tidak terlepas dari berkembangnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan kebudayaan.(Koentjaraningrat).
Peradaban (Civilization) sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah “budaya” yang popular dalam kalangan akademis. Peradaban adalah objektifikasi kemauan dan kemampuan sebuah masyarakat dalam konteks ruang dan waktu. Peradaban yang sesungguhnya adalah peradaban yang menghasilkan capaian-capaian. Dari definisi dan ukuran peradaban itu dapat kita pahami hal-hal berikut.
(1) Peradaban adalah produk sebuah masyarakat.
(2) Peradaban memiliki konteks ruang dan waktu. Ada proses kesejarahannya.
(3) Peradaban dinilai dari capaiannya.
Sehingga menggerakkan kembali sebuah peradaban tidak dapat dilakukan hanya sekadar menumpuk-numpuk capaian (produk) peradaban lain. Peradaban adalah sumber, sedangkan produk adalah hasil dari sumber itu, bukan kebalikannya.
Karena nilai rasionalitas tidak sekuat nilai spiritual dalam mengkondisikan diri manusia, naluri pada masa-masa kejayaan peradaban mulai mengalami pelepasan. Pada puncaknya jika naluri mengendalikan diri manusia, secara sosial sebuah peradaban sudah mulai meluncur menuju keruntuhan. Beginilah keruntuhan peradaban bermula, yaitu ketika naluri, insting mulai mengendalikan diri manusia. Kemudian rusakklah jaringan sosial masyarakat. Dengan kerusakan jaringan sosial ini ide, pribadi dan benda menjadi tidak efektif, sehingga dinamika sosial menjadi berhenti, pencapaian menjadi mandul. Kerusakan kemudian menyentuh faktor-faktor ini. Muncullah ide-ide yang beku dan mati bahkan mematikan.( Malik Bennabi).
Nilai spiritual sebuah kebudayaan etnis akan menunjukkan ketuaan sebuah peradabannya. Ditemukan muatan lokal dari sebuah peradaban yang menunjukkan bahwa sebuah etnis tersebut sudah merupakan etnis tua dibanding etnis lain, karena sistem religi, kemasyarakatan, bahasa, kesenian dan lainnya yang magi dan kuat nilai spiritualnya.
Mungkin ada yang berpikir bahwa peradaban kuno itu sangat primitif. Akan tetapi, dari arsitektur bangunan seperti piramida di Mesir, reruntuhan di Amerika Tengah dan Selatan, atau Stonehenge di Inggris Raya, kita mengerti bahwa sungguh tidak mudah membuat bangunan seperti itu; bahkan dengan pengetahuan konstruksi dan teknologi masa kini sekalipun. Pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimana balok-balok besar dari bangunan-bangunan tersebut dipotong, diangkut, dan disusun begitu rapinya? Ada dugaan bahwa batu-batu tersebut dipotong dengan suara ultraelektronik dan diangkut ke atas tanah dengan teknik antigravitasi.
Kebudayaan umat manusia mempunyai unsur-unsur yang bersifat universal. Unsur-unsur kebudayaan tersebut dianggap universal karena dapat ditemukan pada semua kebudayaan bangsa-bangsa di dunia.
Menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu:
a. Sistem religi yang meliputi:
- sistem kepercayaan
- sistem nilai dan pandangan hidup
- komunikasi keagamaan
- upacara keagamaan
b. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi:
- kekerabatan
- asosiasi dan perkumpulan
- sistem kenegaraan
- sistem kesatuan hidup
- perkumpulan
c. Sistem pengetahuan meliputi pengetahuan tentang:
- flora dan fauna
- waktu, ruang dan bilangan
- tubuh manusia dan perilaku antar sesama manusia
d. Bahasa yaitu alat untuk berkomunikasi berbentuk:
- lisan
- tulisan
e. Kesenian yang meliputi:
- seni patung/pahat
- relief
- lukis dan gambar
- rias
- vokal
- musik
- bangunan
- kesusastraan
- drama
f. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi yang meliputi:
- berburu dan mengumpulkan makanan
- bercocok tanam
- peternakan
- perikanan
- perdagangan
Beberapa budaya Simalungun yang menunjukkan ketuaan peradabannya, misalnya:

B.1. Bahasa dan Surat Sappuluh Siah

Suku bangsa Simalungun mempunyai bahasa dan aksara tersendiri yang berbeda dengan suku-suku bangsa lainnya. Menurut penelitian P. Voorhoeve sebagai pejabat taalambtenaar di Simalungun sejak tahun 1937, bahasa Simalungun merupakan bahasa rumpun Austronesia yang lebih dekat dengan bahasa Sansekerta yang banyak mempengaruhi bahasa-bahasa di Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan kekhasan bahasa Simalungun dibanding bahasa-bahasa yang dikategorikan ke dalam rumpun bahasa-bahasa Batak. Voorhoeve (Sinalsal No. 90/September 1938 hlm. 22-23), menyebutkan bahwa kedekatan bahasa Simalungun dengan bahasa Sansekerta ditunjukkan dengan huruf penutup suku mati uy, dalam kata apuy dan babuy, g dalam kata dolog, b dalam kata abad, d dalam kata bagod dan ah dalam kata babah, sabah juga ei dalam kata simbei, dan ou dalam kata sopou, lopou,
Uli Kozok (1999:14), mengatakan bahasa Simalungun ditinjau dari sejarahnya merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari bahasa-bahasa Batak Selatan sebelum bahasa Batak Toba dan Mandailing terbentuk. Dari sini, nyatalah bahwa bahasa Simalungun lebih tua umurnya ketimbang bahasa Batak Toba dan Mandailing. Henry Guntur Tarigan (Saragih, 2000:339), menyebut empat dialek bahasa Simalungun: Silimakuta, Raya, Topi Pasir (Horisan), Jahe-jahe (dekat pesisir pantai timur). Ragam jenis pemakaiannya seperti berikut ini:
a. Bahasa Tingkatan:
* Terhadap raja (kaum bangsawan) contohnya, paramba (hamba), dongan (beta), janami (baginda), modom (mangkat). Bahasa tingkatan ini sering dipakai oleh orang Simalungun dalam komunikasinya sehari-hari dengan raja atau keluarga kerajaan.
* Tingkatan usia, yaitu yang dipakai dalam pergaulan antara seseorang yang posisinya lebih muda dengan yang lebih tua dan sebaliknya atau sesuai dengan tingkatannya dalam partuturan (hubungan kekerabatan). Misalnya: ho dipakai yang lebih tua kepada yang lebih muda, ham dari yang lebih muda kepada yang lebih tua atau kepada yang derajatnya dianggap lebih tinggi, hanima sebutan untuk menyebut sekumpulan orang dalam posisi yang lebih rendah atau nasiam yang ditujukan kepada sekelompok orang yang lebih tua dari pembicara. Bagi orang Simalungun adalah tabu menyebut orang yang lebih tua dan sembahannya dengan kata ho atau hanima.
b. Bahasa ratap tangis, dipakai pada saat berkabung, sesuai dengan hubungan kekerabatannya. Misalnya, inang na umbalos artinya bibi, si humoyon artinya perut, simanohut artinya mata, dan lain-lain.
c. Bahasa simbol dengan memakai medium atau benda-benda tertentu dengan maksud menyampaikan maksud-maksud tertentu. Misalnya dalam permainan onja-onja di mana seorang pemuda memakai benang merah untuk menyatakan bahwa sampai mati akan tetap berjuang mendapatkan cinta gadis idamannya.
d. Bahasa datu atau guru, bahasa yang dipakai para dukun dengan memakai bahasa mantera atau tabas yang merupakan campuran dari berbagai bahasa dengan maksud-maksud tertentu.
Dengan begitu, penelitian Voorhoeve dan peneliti asing itu menegaskan kenyataan bahwa, suku bangsa Simalungun merupakan suku bangsa tersendiri yang memiliki bahasa, adat istiadat, kebudayaan dan aksara sendiri.
Budaya tulisan telah melampaui sejarah yang panjang dengan sekian banyak perubahan. Mulai dari piktogram, yaitu aksara berupa gambar untuk mengungkapkan bahasa tertentu sampai tulisan yang kita akrabi dewasa ini. Dari yang memanfaatkan dinding-dinding gua, lempengan batu-batu, laklak sampai pemanfaatan kertas, hingga SMS.
Menurut Sulastin Sutrisno (1985), awal sejarah sastra tulis Melayu di Nusantara bisa dirunut sejak abad ke-7 M, berdasarkan penemuan prasasti berhuruf Pallawa peninggalan Sriwijaya di Kedukan Bukit (683 M), Talang Tuo (684 M), Kota Kapur dan Karang Berahi (686 M). Jika merujuk pada sejarah Kutai, tentu lebih awal lagi pada abad ke-5 M.
Menurut N. Siahan (1964), Aksara Batak (baca: Toba) diduga sejak abad ke-13, yang berasal dari aksara Jawa Kuno melalui aksara Sumatera Kuno sesudah Singosari mengirimkan tentaranya ke Jambi.
Sejarah Simalungun kerajaan tertua di Sumatera Timur adalah Kerajaan Parpandanan Na Bolag (sekitar abad ke-5 M) yang kemudian disebut Nagur, dalam Pustaha Laklak yang ditulis dengan Aksara Simalungun. Tidak sedikit Pustaha Laklak yang tersimpan di Museum dalam dan luar negeri serta yang dipegang secara turun temurun oleh beberapa keluarga Simalungun, menggunakan Aksara Simalungun.
Jelaslah bahwa Sastra Tulis sudah dikenal jauh oleh Simalungun Meskipun tidak selamanya sejarah bahasa ekuivalen dengan tulisan , namun setidaknya bahasa Simalungun adalah bahasa yang lebih dahulu ada sebelum bahasa Toba dan Angkola-Mandailing terbentuk (Adelaar,1981). Ini sudah membuktikan ketuaan peradaban Simalungun.
Simalungun mengenal aksara sendiri yang disebut Surat Sapuluhsiah. Disebut Sapuluh Siah karena memiliki 19 jenis huruf, walau dewasa ini Aksara rumpun Batak sudah mengalami penyesuaian jumlah huruf berdasarkan bunyi huruf di luar Dialek Batak.
Pada komunitas Batak lainnya, aksara Batak hanya dipergunakan oleh Datu/Guru (ahli metafisika) saja dan teramat jarang difahami oleh orang diluar profesi itu. Namun dalam mobilitas kesimalungunan dahulu, selain datu, masyarakat bangsawan juga diajarkan dan sangat akrab dalam penggunaannya. Hingga di masa Raja Sang na Ualuh Damanik yang sudah memahami aksara Arab Melayu, beliau masih merasa comfort dengan mengirim surat memakai aksara Surat sapuluh Siah.
Seperti halnya Aksara Batak lainnya, Surat Sapuluhsiah Simalungun ditulis dari kiri ke kanan seperti layaknya menulis huruf latin; hanya saja dalam format penulisan Pustaha Laklak, tidak mengenal penulisan spasi dan alinea serta angka ditulis dalam bentuk huruf.
B.2.  KALENDER SIMALUNGUN
Tidak  diketahu pasti, sejak kapan Kalender Simalungun (Parhalaan) mulai dipakai. Bahkan angka tahun juga tidak tertera. Parhalaan justru lebih popular dewasa itu untuk dunia spiritual daripada penanggalan data.
Mirip dengan tahun hijriyah, Almanak Simalungun (Parhalaan), penentuan dimulainya sebuah hari (Ari) pada Almanak Simalungun berbeda dengan Almanak Masehi. Pada sistem Kalender Masehi, sebuah hari/tanggal dimulai pada pukul 00.00 waktu setempat. Namun pada sistem Kalender Simalungun, sebuah ari dimulai ketika terbenamnya matahari. Sistem kalender ini pernah ditemukan juga di sebuah gua di Perancis yang sudah berusia lebih dari 17.000 tahun.
Parhalaan Simalungun dibangun berdasarkan rata-rata silkus sinodik bulan kalender lunar, memiliki 12 bulan dalam setahun. Dengan menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam satu tahunnya adalah (12 x 29,53059 hari = 354,36708 hari).Hal inilah yang menjelaskan 1 tahun Parhalaan Simalungun lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan 1 tahun Kalender Masehi.

B.3. Partuturan Ni Halak Simalungun

Social Stratification sering diterjemahkan dengan Pelapisan Masyarakat. Sejumlah individu yang mempunyai kedudukan (status) yang sama menurut ukuran masyarakatnya dikatakan berada dalam suatu lapisan atau stratum.
Ada beberapa pendapat dari para ahli tentang stratifikasi
  1. Pitirim A. Sorokin
Ia memberikan definisi pelapisan masyarakat sebagai berikut : “Pelapisan masyarakat adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarchis).”
  1. Theodorson
Dalam Dictionary of Sociology, bersama dengan teman-temannya, mereka mengatakan sebagai berikut :
“Pelapisan masyarakat berarti jenjang status dan permanent yang terdapat di dalam system social (dari kelompok kecil sampai ke masyarakat) di dalam hal pembedaan hak, pengaruh, dan kekuasaan.”
Masyarakat yang berstatifikasi sering dilukiskan sebagai suatu kerucut atau piramida, dimana lapisan bawah adalah paling lebar dan lapisan ini menyempit ke atas.
Masyarakat merupakan sekumpulan individu yang membentuk sistem sosial tertentu dan secara bersama-sama memiliki tujuan bersama yang hendak dicapai, dan hidup dalam satu wilayah tertentu (dengan batas daerah tertentu) serta memiliki pemerintahan untuk mengatur tujuan-tujuan kelompoknya atau individu dalam organisasinya. Dalam masyarakat itu kemudian semakin lama terbentuk suatu struktur yang jelas yaitu terbentuknya kebiasaan-kebiasaan, cara (usage), nilai/norma dan adat istiadat. Struktur sosial yang terbentuk ini kemudian lama kelamaan menyebabkan adanya spesialisasi dalam masyarakat yang mengarah terciptanya status sosial yang berbeda antar individu.
Perbedaan status sosial di masyarakat tentunya akan diikuti pula oleh perbedaan peran yang dimiliki sesuai dengan status sosial yang melekat pada diri seseorang.
Pembedaan-pembedaan inilah yang menimbulkan setiap individu dalam suatu masyarakat menimbulkan adanya pelapisan sosial atau yang lebih dikenal dengan stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial pada kenyataannya adalah seperangkat kerangka konseptual bagaimana memahami dan mendefinisikannya sebagai satu aspek dari organisasi sosial. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kelley, “since every individual occupies numerous social position and plays many roles, it is possible to classify persons into status-role categories, which are ranked in terms of the relative position of their roles taken as a whole”. Esensi dari stratifikasi sosial adalah setiap individu memiliki beberapa posisi sosial dan masing-masing orang memerankan beberapa peran, sehingga hal ini memungkinkan untuk mengklasifikasikan individu-individu tersebut ke dalam kategori status-peran, dimana perangkingan didasarkan atas posisi relatif dari peran-peran yang mereka mainkan secara keseluruhan. Stratifikasi sosial didefinisikan secara eksplisit atau implisit sebagai sistem fungsional yang diakui dalam diferensiasi dan posisi rangking dalam kelompok, asosiasi, komunitas dan masyarakat. Dari definisi tersebut dapat dilihat terdapat tiga (3) elemen stratifikasi yaitu: (i) sistem perangkingan posisi sosial individu, (ii) struktur sosial yang dapat diaplikasikan pada segmen yang luas, dan (iii) berlangsung dalam periode waktu yang lama.
Berdasarkan definisi dari stratifikasi sosial di atas, dapat dilihat dengan jelas bentuk dari diferensiasi sosial, tetapi terdapat sebuah perbedaan dari diferensiasi sosial. Bentuk-bentuk lain dari diferensiasi sosial adalah peran kekerabatan/keluarga (kinship roles), peran berdasarkan jenis kelamin (sex roles), atau peran berdasarkan usia (age roles), dimana penentuannya didasarkan atas kualitas masing-masing individu. Karenanya dalam penyebutan sapa akan mengalami perbedaan dan tingkatan pula sesuai budaya dan peradaban sebuah etnis.
Banyak ragam Partuturan ni Halak Simalungun. Dari berbagai ragam partuturan yang jamak adanya, pengaruh etnis lain yang letaknya berbatasan dengan wilayah Simalungun, terasa sulit dielakkan.
Setuju ataupun tidak, nyatanya Batak Toba cukup berhasil mewarnai pemakaian kosa kata di Sumatera Utara. Entah karena kemampuan adaptasi masyarakat Simalungun, mungkin karena malu, ketidak tahuan, atau malah tidak mau tahu, banyak masyarakat Simalungun lebih familiar menggunakan kosa kata Batak Toba ketimbang menggunakan kosa kata Simalungun yang lebih santun. Sortaman Saragih menulis, bahwa Orang Simalungun mempunyai kepribadian Phlegmatis, yaitu  pembimbang, pencuriga, introvert, pasrah, kurang gigih, tertutup dan apatis. Apakah kepribadian tersebut, mungkin bisa membuat kepunahan beberapa ksa kata tutur kekerabatan terdorong kultur tetangga.
Kaum tualah yang mengajarkan perusakkan ini kepada generasi muda Simalungun. Jika tidak segera disikapi, saya berkeyakinan, tutur kekerabatan Simalungun akan tinggal dalam tulisan-tulisan saja.
B.4.   RAGAM HIAS ORNAMEN
Peninggalan-peninggalan prasejarah memperlihatkan bahwa sejak ribuan tahun yang lalu, nenek moyang manusia telah mulai membuat gambar pada dinding-dinding gua untuk mencitrakan bagian-bagian penting dari kehidupan. Salah satu teknik terkenal gambar prasejarah yang dilakukan orang-orang gua adalah dengan menempelkan tangan di dinding gua, lalu menyemburnya dengan kunyahan daun-daunan atau batu mineral berwarna.
Seni Ragam Hias Ornamen zaman klasik, sebenarnya bukanlah ragam hias. Karena kebanyakan dimaksudkan untuk tujuan: Mistisme (sebagai akibat belum berkembangnya agama) dan Propaganda (sebagai contoh grafiti di reruntuhan kota Pompeii).
Di zaman ini lukisan dimaksudkan untuk meniru semirip mungkin bentuk-bentuk yang ada di alam. Hal ini sebagai akibat berkembangnya ilmu pengetahuan dan dimulainya kesadaran bahwa seni  mampu berkomunikasi lebih baik daripada kata-kata dalam banyak hal.
Di Simalungun, Ragam hias atau juga disebut Gorga atau uhir berfungsi sebagai rajah magi, serta perkembangan selanjutnya menjadi penunjuk strata serta pemenuh rasa keindahan, selain ditemukan pada bangunan juga ditemukan pada alat-alat keperluan, seperti pada Hiou (Kain), Sonduk (Senduk), Bajut Hundul (Anyaman tempat Sirih), Hopuk (Peti penyimpan hiou), Tuldak (Alat tenun), Parborasan (Tempat beras), Parpangiran (Tempat keramas), pada alat-alat musik dan lainnya.
B.5.  DEMBAN DAN BATU NI DEMBAN
Tradisi makan sirih merupakan warisan budaya masa silam, lebih dari 3000 tahun yang lampau atau dizaman Neolitik, hingga saat ini. Budaya makan sirih hidup di Asia Tenggara.
Di masyarakat Simalungun klasik, demban (sirih) diperuntukkan sebagai Partambaran (obat), Hapuran (kudapan yang dicampur bahan pelengkapnya), serta sebagai sesajen bagi ritual mistis.
Jika gual (musik) berawal dari dunia super natural, maka demban juga berfungsi sama. Hingga seikat sirih sering pula disebut dalam bahasa Simalungun dengan istilah ‘Sagual demban’
Di mayarakat Simalungun, kelengkapan Sirih diklasifikasikan dalam beberapa penyajian. Misalnya:
  • Demban Sayur: Daun sirih yang tidak dilipat, namun diisi gambir, kapur dan pinang.
  • Demban Gunringan: daun sirih bersusun 5, kemudian disatukan diletakkan dalam daun taruk (Janur Enau) yang sebelumnya berjumlah 5, masing-masing diikat. Untuk iringan Mahar (Partading maupun boli).
  • Demban Tasakan: Sirih lengkap ditambah tembakau. Diserahkan kepada orang-orang tua, dengan sebelumnya tangkainya dipotong.
  • Demban Pinarbuhulan/Panurungi: Sirih, kapur, gambir, lada atau menurut saran Datu untuk bahan pengobatan.
  • Demban Tugah-Tugah: Daun irih sebagai maklumat kepada orangtua gadis yang lari kawin dengan pemuda idamannnya. Daun Sirih diletakkan dalam piring dan ditutup dengan daun pisang tinapak, diiringi dengan duit. Jumlah sirih untuk Bapa adalah empat empat dan Inang adalah berjumlah tiga tiga. Kedua piring berisi duit. Duit tersebut dinamakan Panindih Demban.
  • Demban Tangan-Tangan: Sirih yang berisi kelengkapannya yang disuguhkan langsung kepada seseorang, tanpa   Panindih Demban.
  • Demban Borkasani: Disuun sedemikian rupa dan diikat dengan pandan yang dipilih.
  • Demban Gualan: Disusun sedemikian rupa dibuat seberkas ebanyak 10 lembar dan disatukan dengan berkas lainnya ebanyak 5 dan diikat dengan pandan terpilih.
Dalam tradisi masyarakat Simalungun, mengenal adanya Bilangan tertentu untuk memberikan upah, cendera hati ataupun gaji. Ini berlaku baik untuk imbalan hasil sebuah kerja, ‘uang capek/uang rokok/uang kopi/bonus’, atau dalam tradisi adat lainnya dalam keseharian, dari dulu hingga kini.
Bilangan adat ini disebut Batu Ni Apuran. Ada pula yang menyebutnya dengan istilah Batu Ni Demban, Duit Partadingan atau Batu Ni Namalum.
Sudah menjadi adat turun temurun, Batu Ni Demban memakai bilangan genap.
Kita contohkan saja, misalnya:
Paruma (Kawula, Rakyat) : 2, 4, 6, 8
Raja/Sipukah Huta: 12, 24, 48, 60, 120
Dewasa ini, tidak mungkin kita memberikan Rp. 2, Rp. 4 atau seterusnya. Karenanya, bilangan genap itu bisa kita bulatkan keatas sesuai kurs mata uang yang berlaku; misalnya: Rp. 2.000, Rp. 20.000.
Bilangan Ganjil
Sebenarnya, Orang Simalungun sangat mensakralkan bilangan ganjil. Angka tiga, contohnya. Konsep ini hampir berlaku untuk seluruh komunitas yang sering disebut Batak. Bilangan tiga mengambil peranan sentral dalam pandangan hidup, karena menyangkut keyakinan dan kepercayaan.
Bilangan ganjil lebih dianggap sebagai bilangan keberuntungan dan simbol harmoni, karena bilangan tersebut melambangkan kehidupan dan kerap diasosiasikan dengan hal-hal yang tidak kelihatan (seng taridah). Maka tidaklah mengherankan bahwa bilangan ganjil mempengaruhi kehidupan harian dan budaya Hasimalungunan.
Di Sisi lain, bilangan genap dimaknai sebagi bilangan penyeimbang. Manusia mempunyai dua tangan, dua telinga, dua mata, dua kaki, dua lobang hidung dan seterusnya. Hewan-hewan pun mempunyai organ-organ tubuh yang berjumlah genap. Tapi Bilangan genap, dimanai pula sebagai simbol pemborosan, disharmoni dan pembawa hangalan.
Tiga warna sakral, yaitu Putih, Merah dan Hitam. Tiga dimensi spiritual, yaitu Nagori Atas, Tongah dan Toruh. Filsafat kekerabatan, yaitu Tolu Sahundulan, Lima saodoran. Merupakan contoh klasik dalam penggunaan Bilangan Ganjil. Ini merupakan contoh kuno dari budaya imalungun yang masih terpakai hingga kini.
Mengapa Batu Ni Demban Berbilangan Genap
Pada jumlah bilangan Batu Ni Apuran, kegenapan dijadikan penyeimbang dari hasil jerih payah. Kondisi ini merupakan simbol penghargaan si pemberi Batu Ni Demban, bahwa si pemberi menghargai peran orang yang diberi Batu Ni Demban karena telah totalitas menggunakan mata, telinga, tangan, kaki dan lainnya, untuk membantu hingga upayanya berbuah kebaikkan.
Namun, pada saat pemberian sejumlah uang tersebut, belum disebut Batu Ni Demban, Batu Ni Apuran, Duit Partadingan atau Batu Ni Namalum, jika pada saat transasi; uang diberi begitu saja. Justru akan dianggap penghinaan si pemberi kepada orang yang diberikan.
Pada saat pemberian uang yang berjumlah genap itu, akan bermakna Batu Ni Apuran jika saat pemberian, uang diselipkan di dalam sirih dengan kelengkapannya. Sirih inilah yang turut dihitung sehingga Batu Ni Demban berjumlah ganjil.
B.6. TABAS
Orang Simalungun klasik, menyebut mantra dengan sebutan beragam, salah satu jenisnya adalah Tabas. Mantra sebagai ujar-ujaran religi dan magi, sebenarnya berarti Pesona.
Keduaa kata ini sering muncul dalam membicarakan mantra. Secara sederhana perbedaan dua kata ini adalah bahwa religi berarti agama sedangkan magi berarti ilmu gaib.
Dr.H.Th. Fischer menganggap lahirnya konsep religi dan magi berasal dari timbulnya kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme. Animisme dimaksudkan sebagai kepercayaan terhadap adanya roh. Orang yang percaya kepada roh merasa terikat dan bersikap menghamba kepada roh itu. Sementara dinamisme dimaksudkan sebagai kepercayaan terhadap adanya tenaga tidak berpribadi di dalam diri manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda-benda. Tenaga atau kekuatan itu dapat juga terdapat pada kata-kata  yang diucapkan atau dituliskan atau direkamkan (dimasukan) pada objek lainnya. Kepercayaan terhadap tenaga tidak berpribadi atau dinamisme ini menjadi magi (lihat Fischer, 1980:153).
Perbedaan kepercayaan yang mendasari timbulnya dua konsep itu akibatnya adanya perbedaan sikap orang yang memiliki kepercayaan tadi. Pada religi manusia bersikap mengabdi atau menghamba kepada kekuasaan atas alami. Pengabdian atau penghambatan menjadikan manusia melakuakan sembahyang dan penyerahan, penghambatan, pemuja, permohonan, dan terima kasih. Upacara religius juga merupakan ungkapan pengabdian manusia kekuasaan luhur yang menggembang kehidupan manusia.
Sementara itu, pada magi, manusia bersikap mempengaruhi kekuasaan atas alam untuk menggenggam nasibnya sendiri atau mungkin nasibnya orang lain. Upacara magis di maksudkan untuk mendapatkan pengaruh yang dilaksanakan menurut aturan-aturan yang tertentu. Cara yang betul, perlengkapanyang sesuai dengan aturan, pemilihan waktu dan tempat yang benar, pembawa atau pelaku yang berwenang akan membawa keberhasilan dalam dapatkan pengaruh. ( lihat Fischer, 1980:142-143 ).
B.6.1. Pemilik Tabas/Mantra
Hubungan antara manusia dengan dunia gaib sebagaimana dalam praktek perbuatan religius dan magis, dapat dilaksakan oleh siapa pun namun, jika urusan berkomunikasi dengan dunia gaib itu berkenaan dengan urusan yang penting, orang akan meminta bantuan kepada orang yang di anggap ahli, berwenang,atau professional. Di masyarakat Simalungun klasik, orang yang dianggap ahli tersebut disebut datu atau juga guru.
Tabas/Mantra dapat di pakai oleh siapa saja. Namun, dalam hal-hal khusus atau luar biasa, pada saat seseorang merasa tidak mampu melakukannya,misalnya karena ‘Bin-Bin’ yaitu sesuatu yang menghalangi, maka urusan menggunakan mantra diserahkan kepada ‘Si Botoh Surat’ atau Datu yang berfungsi sebagai perantara ‘Botan’ atau seorang yang memilik maksud tertentu atau menderita penyakit dengan dunia gaib.
Koentjaraningrat membedakan pemilik mantra profesional sesuai dengan karakteristik tugasnya menjadi tiga yaitu pendeta, dukun, dan syaman. Sementara itu Fischer membedakan pemilik mantra sesuai dengan efek positif dengan efek negatif dari hasil pekerjaannya itu menjadi dua yaitu pawang dan tukang sihir. Pendeta, dukun, dan syaman ini jika dikorelasikan ke Simalungun maka disamakan dengan ‘Si Botoh Surat’, ‘Datu’ dan ‘Guru’.
B.6.2. Diksi dan Strukturalisme
Penelitian ini mengkaji kekhasan diksi mantra. Oleh karena itu berikut ini di bicarakan pengertian diksi.
Scott menyebutkan kata diction berasal dari kata latin dicere, dictum, yang berasal mengatakan. Secara singkat diksi didefinisi sebagai pilihan dan penyusunan kata-kata di dalam pidato dan karangan tertulis ( Scott, 1997: 77 ). Sementara itu, Abrams mendefinisikan diksi sebagai pilihan kata-kata, fase dan kiasan. Diksi dapat di analisis dengan menggunakan beberapa kategori sesuai dengan tingkat kosa kata dan frasenya, misalnya abstrak atau konkret, keseharian atau formal, teknis atau umum, liberal atau figurati, asing atau kedaerahan, dan kuno atau kontemporer( Abrams, 1981: 140 ).
Mantra memiliki bahasa yang khas, yang dapat disebut sebagai diksi mantra. Misalnya penggunaan dan pemanfaatan potensi bunyi, kata-kata, frase, tipe-tipe kiasan dan simbolisme, masuknya kata-kata tabu atau sacral, serta sejumlah pilihan kata lainnya yang berbeda dan berlainan dari ungkapan verbal di luar mantra. Kekhasan diksi mantra bertolak dan efek khusus yang ingin di capai atau referensi khusus yang ditunjuk. Mantra menunjuk pada dunia gaib dan ingin mendapatkan efek magis dari dunia itu.
Jika kita berpandangan sempit, mungkin kita akan berfikir bahwa pembahasan ini akan mengembalikan Halak Simalungun ke era kegelapan simalam.Namun Tabas/mantra sebagai karya sastra, merupakan bahan kajian, sebagai salah satu poin pengungkap zaman dimana tabas/mantra itu dipergunakan.
Robet Scholes mengatakan bahwa strukturalisme menempati kedudukan yang istimewa dalam studi sastra karena berusaha membangun suatu model system sastra sebagai referensi eksternal bagi karya individual yang dikaji.
Jantung ide structural adalah gagasan tentang system (the idea of system), suatu realitas yang lengkap memiliki aturan sendiri, yang disesuaikan dengan kondisi baru dengan mentransformasikan ciri-ciri utamanya sejauh mempertahankan struktur sistemnya. Setiap nilai sastra mulai dari kalimat individual sampai pada keseluruhan urutan kata dapat dipandang dalam hubungannya dengan konsep system. Secara khusus dapat dilihat karya individual, genre sastra, dan keseluruhan sastra sebagai system yang berhubungan, serta kesusastraan sebagai suatu system di dalam system yang lebih luas dari kultur manusia (Scholes, 1976 : 10-11).
Konsep dan gagasan strukturalisme, sebagaimana diterangkan oleh Abrams dan Scholes di atas, dijadikan titik tolak dalam menyikapi objek kajian. Dengan pendekatan structural maka operasional kajian diarahkan pada elemen-elemen mantra sebagai struktur verbal yang otonom, yang meliputi diksi, kalimat, dan komposisi seutuhnya. Dengan cara kerja ini dapat dideskripsikan ciri-ciri wujud komposisi mantra beserta seperangkat aturan estetikanya.
Memahami mantra sebagai suatu system yang tersangkut di dalam system yang lebih luas dari kultur manusia, dapat pula dideskripsikan keseluruhan resitasi mantra yang juga melibatkan komponen-komponen lain di luar mantra, sebagaimana tampak dalam praktek upacara magis sebagai satu keutuhan penyajian.
Konsep pendekatan fungsional dalam penelitian ini mengambil konsep pendekatan fungsional dalam studi antropologi. Di bawah ini merupakan kutipan tentang fungsionallisme yang oleh Malinowski.
“Malinowski mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Menurut Malinowski fungsi dari satu unsure budaya adalah kemampuan untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat”. (Ihromi,ed. 1981:59-60.).
Berbeda dari Malinowski, A.R. Radcliffe-Brown memandang timbulnya bebagai aspek perilaku sosial didorong untuk mempertahankan struktur social masyarakat. Struktur social dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada (Ihromi, ed. 1981: 61). Teori fungsionalsme Redcliffe Brown ini lazim disebut teori fungsionalisme struktural.
Dalam bukunya Struktur dan Fungsi Masyarakat Primitif (terjemahan Ab. Rajak Yahya), Redcliffe-Brown menyebutkan bahwa konsep fungsi melibatkan struktur yang terjadi dari satu rangkaian hubungan di antara unit entity. Dengan kata lain, konsep fungsi berkaitan dengan peranan dan sumbangan suatu unit entity pada keseluruhan yang lebih luas. Penerapan konsep itu akan menghadapkan tiga masalah yang saling berkaitan. Ketiga masalah itu adalh sebagai berikut.
(a)     Masalah Morfologi
Bagaimanakah jenis struktur yang ada? Apakah perbedaan dan Persamaannya? Bagaimanakah klasifikasinya?
(b)     Masalah Fisiologi
Bagaimanakah struktur itu menjalankan fungsinya?
(c)     Masalah Evolusi
Bagaimanakah jenis yang baru daoat terjadi? (Redcliffe-Brown, 1980: 208-209).
Bertolak dari metode ethnografi berintegrasi secara fungsional, Kaberry (1957) membagi fungsi sosial adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial ke dalam tiga tingkatan abstraksi.
(a)  Tingkatan Abstraksi I
Fungsi sosial dari adat, pranata sosial atau unsure kebudayaan, pengaruh atau efeknya terhadap adapt, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat.
(b)  Tingkatan Abstraksi II
Fungsi sosial dari adat, pranata sosial atau unsure kebudayaan, pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang sikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
(c)  Tingkatan Abstraksi III
Fungsi social dari adapt atau pranata sosial, pengaruh efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu (Koentjaraningrat, 1982: 167).
Dalam penelitian yang termasuk ke dalam ruang lingkup kajian bahasa dan sastra ini, teori fungsional dalam lapangan kajian antropologi tidak akan diambil secara utuh, tetapi akan dipilih deduai dengan tujuan yang hendak dicapainya.
Berdasarkan gagasan aliran fungsionalisme yang tertera di atas, Tabas dapat dianggap sebagai suatu lembaga dari suatu masyarakat tertentu. Tabas memiliki bentuk dan teknik tertentu, sementara itu juga memiliki kegunaan dan pemakaian dalam masyarakat. Lebih jauh Tabas dapat dikaji kaitannya dari sudut ekonomi, sosiologi, religi, dan magi. Namun, kajian Tabas dalam penelitian ini tidak akan masuk sejauh itu.
“haum Sidayang Mangilei mambahen bohi-bohi i lopou ai…”
Penggalan Tabas tersebut menyiratkan dan mengungkap bahwa disaat ‘Sidayang Mangilei’ – sore menjelang pukul 17.00 (Bod), orang Simalungun saat itu membuat ‘Bohi-Bohi’ – Topeng kayu berukir, di Lopou –teras. Atas kajian ini bisa lebih dikembangkan atau malah dilihat sisi lainnya.
‘ale simagod….maningon marsahap do hanami…’
Kalimat pada tabas ini bisa kita telaah dari sisi modalitas epistemik ’keharusan’ dalam berbahasa. Dinyatakan dengan keterangan menjelaskan verba, atau inti dari predikat, seperti kata maningon yang berarti ’harus’ patut dan porlu yang berarti mestinya. Kata maningon lebih keras dari pada kata patut dan porlu. ‘Kami harus berbicara’, sehingga bisa dilihat bahwa Orang Simalungun saat itu telah mempunyai ketegasan dalam berbicara.
Ada pula beberapa kosa kata yang kita temukan dalam beberapa tabas yang membuat pemahaman bahwa sezamannya telah atau ada sesuatu itu. Misalnya saja, ada kata: ‘mandabuhkon’ – aborsi, berarti sezaman itu sudah dikenal aborsi. ‘bursik ma judi’ – pantang berjudi, ‘Bunrung’ – penyakit sejenis pest, ‘mamohom’ – berbekam, ‘pupus’ –luluran balita, ‘Indahan ni dippu’ – nasi bungku, ‘birasuk’ – sejenis kanker dan sebagainya.
Dalam tabas kita bisa menemukan bahwa masyarakat Simalungun sudah bersentuhan dengan masyarakat luar (Halak Simbalog) di zaman itu. Misalnya kita menemukan koa kata Melayu, Arab, Batak Toba dan sebagainya.
‘Bitsumirlah, irah manirahim, borkat Tuwan, dijaga ahu Tuwan basurou, jinkah Allah na mampariarahon badan diringku, jangan sahit….’
Tabas diatas jelas memunjulkan kosa kata-kosa kata non-Simalungun, yang bisa kita prediksi bahwa sudah ada hubungan personal Simalungun ke luar atau personal Simalungun tersebut telah melakukan perjalanan ke negeri orang dan kembali lagi ke Simalungun.
  1. A. DAMANIK
Jika dirunut dari Dinasti Nagur, Damanik merupakan turunan dari Raja Nagur, yaitu Marah Silau– yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar, Soro Tilu – yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola, serta Timo Raya – yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok)
Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang mengaku sub-clan Damanik di Simalungun.
Damanik merupakan morga (marga) asli dan tertua di Simalungun. Jika Damanik diberi artiSimada Manik (pemilik manik), maka Damanik berarti Pemilik Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).
Sejak  zaman Nagur, Damanik telah menjadi leader bagi tamadun marga lainnya. Sebagai marga bangsawan awal, Damanik  mengatur tatanan kesimalungunan.
Jika direnungkan bahwa tiap-tiap raja goraha non Damanik adalah menantu Damanik sebagai Raja kala itu. Bukan sebuah ungkapan berlebihan jika Damanik mempengaruhi dan mewarnai etnografi, linguistik, sosiokultur maupun genetika marga lain.
Jika sebagian saudara kita, mengaitkan Damanik dengan Manik. Tentu Damanik boleh berbangga atas tawaran persaudaraan tersebut. Namun jika dilihat dari perjalanan panjang morga Damanik dalam tinjauan habonaron, maka sebuah kebenaran tidaklah boleh ditiadakan.
Justru kata ‘Damanik’ dan ‘Manik’ yang hanya dibedakan suku kata ‘Da’ menjadi menarik untuk dikaji.
Jika didengar bunyi-bunyi lingual condong berubah karena lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut bisa berdampak pada dua kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai membedakan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama. Dengan kata lain. perubahan itu masih dalam lingkup perubahan fonetis. Tetapi, apabila perubahan bunyi itu sudah sampai berdampak pada pembedaan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan itu disebut sebagai perubahan fonemis.
Penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan disebut Zeroisasi dalam ilmu bahasa. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa-bahasa di Indonesia.
Dalam bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu, kita menemukan banyak kata yang berubah dari aslinya. Misalnya, kata Sahaya menjadi Saya, Dahulu menjadi Dulu, Tetapi menjadi Tapi, dan lainnya.
Jika di Simalungun, kata Danau disebut Laut, sebutan yang diperuntukkan untuk sumber kumparan air yang besar, yang juga diperuntukkan untuk menyebut kata laut seperti dalam Bahasa Indonesia. Kata ‘Laut’ tersebut mengalami perubahan ketika disebutkan dalam bahasa Karo, menjadi ‘Lau’, dan terus bergeser pada bahasa Batak Toba menjadi ‘ Tao”. Sehingga keasliannya bisa kita urutkan menjadi: Laut (Simalungun) – Lau (Karo) – Tao (Batak Toba).
Jika diklasifikasikan zeroisasi,   paling tidak ada tiga jenis, yaitu aferesis, apokop, dan sinkop. Kata Damanik dan Manik masuk dalam Aferesis, yaitu proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada awal kata. Misalnya: tetapi menjadi tapipeperment menjadi permen,upawasa menjadi puasa. Pada kata-kata itu tampak jelas yang mana kata terdahulu dan kata berikutnya. Kata Tetapi, Pepermint dan Upawasa adalah lebih tua ketimbang kata Tapi, Permen maupun Puasa.
Begitu halnya dengan Damanik dan Manik,yang tampak terjawab kini. Yaitu Damanik adalah lebih tua atau terdahulu ketimbang Manik.
Disini dikatakan bahwa Damanik bukanlah afiliasi atau sub-clan dari marga lain, baik yang ada di Simalungun maupun di luar Simalungun.
C.1. DAMANIK DAN RANJI SERAT TUBUH
Ranji Serat Tubuh merupakan keilmuan kuno di masa animisme dan dinamisme. Ilmu ini memuasalkan huruf dengan titik-titik maya di tubuh manusia. Huruf atau carakan Jawa yakni ha na ca ra ka dan seterusnya diyakini penghayatnya sebagai sabda pangandikanipun dari Tuhan di Tanah Jawa.
Ketika agama-agama berikutnya masuk ke Nusantara, Keilmuan kuno ini mengalami adaptasi. Huruf Hijaiyah dalam Bahasa Arab yang masuk ke Nusantara bersama masuknya Islam. Dianggap juga memiliki kharisma mistis, sehingga Ilmu Ranji Tubuh-pun menggunakan huruf-huruf import tersebut.
Keilmuan warisan leluhur ini sering pula dikaitkan dengan elemen-elemen tertentu, misalnya Bumi, Air, Api, Udara, dan Ether. Filsuf Yunani, Empedocles (492-432 SM) menyebutnya sebagai 4 ‘akar‘ atau 4 ‘dasar‘. Hippocrates (460~377 SM), Bapak Kedokteran, juga menggunakan konsep keempat elemen ini untuk pengobatan, yaitu teori bahwa penyakit timbul akibat ketidakseimbangan 4 cairan dalam tubuh (Humorism). Di India, kelima elemen ini sudah dikenal sejak dari munculnya kebudayaan atau filsafat Hindu dan Buddha. Begitu juga di China dan Jepang.
Di India, Ilmu Ranji Tubuh hingga kini sangat popular. Diyakini bahwa pada tubuh memiliki titik-titik maya yang mereka sebut dengan Chakra. Maka Aura sebagai manifestasi warna tubuh, dikatakan muncul dari chakra tersebut.
Di Simalungun, Ranji Serat Tubuh sudah teramat lama ada, sebelum Islam, Kristen dan lainnya masuk ke Tanoh Namadear ini. Keilmuan sejenis di Simalungun disebut  Adjion Rahoet Mahoerei. Keilmuan ini Dipergunakan sebagai ‘Bohal Manggoluh’ bagi Pandihar (Pesilat) serta penghayat keilmuan Hadatuan (Pengobatan Tradisi). Di Simalungun klasik, keilmuan ini menggunakan huruf-huruf dari Surat sappuluh Siah yang dikolaborasikan dengan titik-titik tubuh serta langkah tubuh.
Bagi pemuda-pemuda yang belajar Mandihar (bersilat) dan Hadatuan di Simalungun kala itu, dianjurkan untuk menghormati pimpinan-pimpinan gaib dari abjad diatas, dengan ritual khusus yang menyediakan sesaji berupa Ayam Merah yang disusun diatas daun dan diletakkan di tikar yang masih baru, sira pege yaitu cocolan garam, lada dan jahe 7 iris, bunga kembang sepatu 7 tangkai. Semua bahan ini dilingkari dengan benang putih.Dalam sebuah pustaha laklak diterangkan, bahan diatas dilengkapi dengan nira, air, rudang, minyak saloh, beras sangrai yang dibuat tepung, 19 lembar sirih, kue nitak (tepung beras dicampur gula aren) serta huruf-huruf dari Aksara Simalungun yang telah disediakan.
Seluruh murid mengelilingi tikar tempat sesaji dan huruf yang diletakkan, lalu sang Datu membacai mantra. Berikut contoh mantra yang saya yakini sudah mendapat pengaruh unsur luar, yaitu:
“Borkat ma hamu RAJA I DABIYA, Borkat ma hamu TUAN DIBORAKU, Borkat ma hamu ASAL NABU, Borkat ma hamu SITUNAGORI, Borkat ma hamu TUWAN NABI ALLI, Borkat ma hamu si ALAM SADIYA, Borkat ma hamu si ALAM SADIA SAH, Borkat ma hamu si ALAM JAHARI, Borkat ma hamu TUWAN MARJANDIHI, Borkat ma hamu RAJA SIPORAT NANGGAR, Borkat ma hamu RAJA ENDAH DUNIYA, Borkat ma hamu RAJA DI PUSUK SUNGEI, Borkat ma hamu TUWAN NABI ALI MUHAMMAD, Borkat ma hamu TUWAN SI NAHAR NANGKIR, Borkat ma hamu OMPUNG ANGLAH TAALA, Borkat ma hamu PUWANG AJI BORAIL, harannya ham Puwang ni Surat Sapuluh Siyah, na mannaikhon hosah, iya Tuwanku Jungjunganku” .
Lalu murid disuruh memilih huruf yang disukainya secara intuitif. huruf inilah yang bisa dijadikannya sebagai pegangan berupa jimat dan sebagainya untuk menyatukan diri dengan alam gaib. huruf yang dipilih bisa di jadikan mantra handalan. Dalam Pustaha Laklak, ada beberapa mantra yang digunakan dengan membaca huruf yang dipilih tadi, membacanya dengan mandoding yaitu bersenandung; misalnya untuk Pagar Pertahanan.
Kembali ke Adjion Rahoet Mahoerei atau Ilmu Ranji Serat Tubuh ala Simalungun. Dalam keilmuan yang dalam tulisan ini sekadar sebagai bahan kajian saja,  ada disebutkan 4 huruf inti sebagai pusat Tonduy, Sumangat yang mampu melahirkan kekuatan tenagadalam. Empat huruf itu adalah ‘Da – Ma – Na – K’.
‘Da – Ma – Na – K’ disebutkan mempunyai tempat khusus di tubuh.   (Da) berfungsi sebagai ‘Daoh-daoh’, yaitu memukul dari posisi tidak langsung namun bisa melumpuhkan lawan. Da ini terletak pada titik di kening diantara dua alis dan beberapa tempat lain dengan jurus dihar tertentu pula.
 (Ma) berfungsi sebagai ‘Magang’, yaitu membuat tubuh berkharisma dan disegani lawan maupun kawan.  Ma ini terletak pada titik di atas mata sebelah atas alis dan tempat lain pada tubuh.
 (Na) berfungsi sebagai ‘Nae’, yaitu kaki yang mampu melangkah gesit dan melangkah ke sasaran yang tepat. Na terletak pada titik di bawah kemaluan serta di beberapa titik lain pada tubuh.
Sedangkan (K) tidak berhuruf karena ia adalah ‘Kurusani’, yaitu elemen induk besi yang diyakini sudah diberikan ‘Naibata’ sejak lahir di dalam tubuh. Jika dilatih dan dihidupkan, Kurusani atau indung ni bosi ini mampu membuat kebal, kekuatan dan ketahanan tubuh.
Dari uraian ini, saya menarik hipotesa bahwa selain berasal dari Simada Manik yaitu yang memiliki kharisma spiritualDamanik adalah sebutan yang berasal dari urutan huruf ‘Da – Ma – Na – K’ tersebut, hingga selanjutnya disebut ‘Da – Ma – Ni – K’.
Kelebihan yang terkandung dari serat ranji tubuh ‘Da – Ma – Na – K’, yang mampu melumpuhkan lawan, memiliki tubuh berkharisma dan disegani lawan maupun kawan, mampu melangkah gesit dan melangkah ke sasaran yang tepat serta terlahir kebal, kuat dan memiliki ketahanan tubuh, adalah ejawantah dari Marga Damanik, sejak masa awal, Nagur, Siantar dan kiranya sampai kini.
Inilah bukti “PERJALANAN SIMALUNGUN/DAMANIK DALAM TINJAUAN HABONARON”,  sebagai etnis/marga tua yang berbudaya dan memiliki peradaban yang tinggi.

Penulis Oleh : M Muhar Omtatok
Sumber : http://halibitonganomtatok.wordpress.com


Sumber:
http://simalungunonline.com/%E2%80%9Cperjalanan-simalungundamanik-dalam-tinjauan-habonaron%E2%80%9D.html

No comments:

Post a Comment