KETIKA
BELANDA MENCIPTAKAN SI RAJA BATAK
Membaca Disain Besar Belanda dalam Melebur
Non-Melayu Menjadi Batak
Oleh: Edward Simanungkalit
Toba
Na Sae merupakan
daerah yang didiami Orang Toba sebagaimana dikemukakan oleh Sitor Situmorang di
dalam bukunya: “TOBA NA SAE: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX”
(2009:3-18). Toba Na Sae, yang dimaksudkan oleh Sitor Situmorang tersebut,
meliputi daerah Samosir, Humbang, Toba Holbung, dan Silindung. Toba Na Sae ini
disebut dalam bahasa Melayu: “Negeri
Toba” sebagaimana dapat dilihat pada stempel Raja Singamangaraja XII yang
berbunyi: “Maharaja di Negeri Toba”. Di dalam buku: “SEJARAH RAJA-RAJA BARUS:
Dua Naskah Dari Barus” (Drakard, 1988), mengenai asal-usul Alang Pardosi
pendiri dinasti Pardosi ditulis dengan kata-kata berikut: “Bermula dihikayatkan
suatu raja dalam negeri Toba
sila-silahi lua’ Baligi, kampung Parsoluhan, suku Pohan”. Buku ini merupakan terjemahan
manuskrip kuno yang merupakan buku sejarah dari dinasti Pardosi di Barus. Jadi,
ke Negeri Toba inilah datang misionaris Jerman dari RMG untuk melaksanakan
misi-penginjilan kepada Orang Toba.
Sejak kedatangannya pada tahun 1862,
misionaris Jerman dari RMG telah mengkonstruksi Halak Toba menjadi Halak
Batak dan Negeri Toba atau Toba Na Sae menjadi Tano Batak atau Tanah Batak. Inilah kerisauan HN van der Tuuk yang ditulis
melalui suratnya kepada misionaris Jerman dengan alasan bahwa pengertian dari “Batak” itu negatif dan mereka memang
bukan “Batak”, sehingga lebih baik mereka tetap sebagai Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing.
Setelah Belanda menduduki Negeri Toba atau Toba Na Sae ini berkembanglah upaya
pembatakan ini menjadi lebih luas terhadap etnis-etnis Non-Melayu di Sumatera
Utara. Belakangan Nias dan Gayo mau dibatakkan juga, tetapi mengalami kesulitan
untuk membatakkan mereka ini. Oleh Belanda, kemudian Pakpak, Karo, Simalungun,
Mandailing dibatakkan juga, sehingga dibuatlah etnis non-Melayu ini menjadi
sub-etnis Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun,
dan Batak Mandailing, yang
kesemuanya disebut Bangsa Batak atau
Bangso Batak.
Untuk melebur semua etnis non-Melayu
ini menjadi Batak, maka Belanda merancang Tarombo
Bangso Batak dengan menciptakan Si
Raja Batak sebagai nenek-moyang tunggal dan memanfaatkan tarombo-tarombo
marga sebelumnya sebagai bahan. Penyebutan Si Raja Batak ini sesuai dengan
rencana mereka untuk menjadikan kelompok non-Melayu ini menjadi Batak atau Bangso Batak. Dari Si Raja Batak disusunlah tarombo dengan
menjadikan marga-marga Toba sebagai keturunannya dan dijadikanlah mitologi yang
ada di Samosir merangkai tarombo tersebut. Mitologi tersebut menceritakan
tentang kampung awal mereka adalah Sianjur
Mula-mula yang sebelumnya dibungkus dengan cerita dari Sivaisme menjadi
keturunan dewa-dewi dari langit ketujuh. Kemudian dibuatlah Tarombo Bangso Batak dengan Si Raja
Batak sebagai nenek-moyang tunggal dan menghubung-hubungkan semua marga-marga
dari kelompok non-Melayu sebagai keturunan Si Raja Batak.
Dalam “cerita” itu, sebagian dari Batak
Toba, yang merupakan keturunan Si Raja Batak tadi, kemudian bermigrasi ke tanah
Pakpak dan jadilah mereka menjadi Batak Pakpak, sehingga dihubungkanlah
marga-marga Pakpak menjadi keturunan marga-marga Toba. Di lapangan, prakteknya
dilakukan dengan mengatakan "masuk marga ini dan masuk marga itu". Sebagian lagi
dari Batak Toba, ada yang bermigrasi ke Tanah Karo, ke Tanah Simalungun, dan ke
Tanah Mandailing, sehingga mereka ini menjadi Batak Karo, Batak Simalungun, dan
Batak Mandailing. Kemudian marga-marga dari Karo, Simalungun, dan Mandailing
pun dihubungkan dengan menjadikannya menjadi keturunan marga-marga Toba.
Akhirnya, jadilah Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing menjadi keturunan Si
Raja Batak melalui marga-marga Toba, sehingga Si Raja Batak menurunkan Batak
Toba dan Batak Toba menurunkan Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan
Batak Mandailing. Demikian isi “cerita” ciptaan Belanda itu.
Sesuai desain di atas, kemudian Belanda mulai menggerakkan orang-orang Toba
bermigrasi ke tanah Simalungun dan tanah Pakpak hingga ke Kutacane, Aceh
Tenggara. Di tanah Pakpak dan Simalungun belum masuk misionaris ke sana
sementara ke tanah Karo dan Angkola sudah ada misionaris dari Belanda ke sana,
sehingga orang-orang Toba hanya digerakkan ke tanah Pakpak dan Simalungun. Tentu
tidak terhindar dari berbagai konflik antara pendatang dengan penduduk asli setempat
dan untuk itu Belanda membela sepenuhnya orang-orang Toba yang digerakkan
bermigrasi ini. Bukan hanya orang Toba yang berangkat bermigrasi, tetapi
misionaris Jerman pun ikut bersama mereka dan mereka mendirikan gereja mereka
di tempat mereka yang baru. Di tanah Pakpak, para raja dan para pejabat yang
akan dilantik oleh Belanda haruslah memenuhi syarat mereka yaitu: sudah dibaptis dan menyatakan menerima
tarombo Bangso Batak tadi. Dapat dimengerti bahwa Belanda menggerakkan
orang-orang Toba yang sudah Kristen diikuti oleh misionaris Jerman adalah dalam
rangka memberikan "image" bahwa Batak itu Kristen. Sementara perlu diingat juga
bahwa Melayu itu Islam, sehingga tampak jelas kontras dari keduanya antara
Melayu dengan Batak. Inilah desain Belanda itu, sehingga kalau ada yang
menggugat soal kebatakan ini, maka biasanya langsung dituduh berkaitan dengan
perbedaan agama. Padahal, persoalannya bukan masalah agama, tetapi karena
memang mereka merasakan berbeda dan hanya bertetangga saja.
Tarombo Bangso Batak dengan Si Raja Batak sebagai nenek-moyangnya
Adapun dengan Mandailing terjadi permasalahan
pada hari berikutnya di mana pihak Mandailing menyatakan bahwa mereka bukan
Batak sebagai keturunan Si Raja Batak. Pihak Mandailing pun menggugatnya di
pengadilan dan pengadilan memenuhi tuntutan mereka, sehingga Mandailing
dinyatakan terpisah dari Batak. Menyikapi putusan pengadilan ini, Belanda pun
menciptakan Keresidenan Tapanuli untuk
tetap menyatukan Toba di Utara dan Mandailing di Selatan, sehingga mulailah
muncul istilah orang Tapanuli. Baik Toba maupun Mandailing disebut orang Tapanuli.
Hal ini dikonstruksi oleh Belanda dengan menggunakan nama teluk kecil di
Sibolga yang bernama Tapian Nauli. Lama-kelamaan Tapian Nauli berubah menjadi
Tapanuli sebagai sebuah nama Keresidenan. Tadinya mau dijadikan orang Batak, tetapi di hari berikutnya
mau dijadikan lagi orang Tapanuli.
Inilah kendala yang dihadapi oleh Belanda dalam usaha membatakkan kelompok non-Melayu
ini.
Setelah dilaksanakan migrasi
orang-orang Toba ke daerah-daerah tadi, maka dibuatlah buku: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni
Bangso Batak” (1926) yang ditulis oleh W.M. Hutagalung, yang merupakan
Asisten Demang di Pangururan. Tarombo-tarombo yang sudah didesain dan dibuat
oleh Belanda sebelumnya, sekarang dibuatlah ceritanya di dalam buku tadi yang
dijadikan sebagai buku pedoman. Di sekolah-sekolah zending yang diselenggarakan
atas subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, tarombo-tarombo ini turut juga
diajarkan, sehingga terutama orang Toba sangat kuat tertanam tarombo yang dirancang
ulang sesuai dengan rencana Belanda ini. Demikianlah desain besar yang
dirancang Belanda untuk meleburkan kelompok non-Melayu dan dijadikan menjadi
“Batak” yang mana semuanya itu bertujuan politis untuk melanggengkan penjajahan
Belanda!
Pada waktu semuanya itu didesain, ilmu
pengetahuan belum secanggih seperti sekarang ini, sehingga Belanda kurang
memperhitungkan akibatnya bagi rancangan yang mereka buat. Kemudian hari di tahun 2013, Balai Arkeologi Medan mengadakan survey dan ekskavasi di seluruh
Kabupaten Samosir dan mereka menemukan bahwa corak budaya yang dominan di sana
adalah peninggalan budaya Dongson
dan mereka memperkirakan usianya sekitar 600 – 1.000 tahun atau tidak lebih
dari 1.000 tahun. Jadi, Sianjur Mulamula
dan Si Raja Batak menurut versi
Belanda tadi tidak lebih dari 1.000 tahun.
Ini menjadi permasalahan, karena situs-situs arkeologi di dekat tanah Karo, Simalungun dan
Mandailing sudah lebih dari 1.000 tahun, sehingga bagaimana mungkin mereka ini
keturunan Si Raja Batak?! Di sini sesungguhnya sudah terbongkar desain Belanda
tadi, karena tidak masuk akal kalau seluruhnya Non-Melayu ini merupakan
keturunan Si Raja Batak, karena sekarang sudah mencapai sekitar 13 juta jiwa
yang hanya tidak lebih dari 1.000 tahun. Kerajaan Kutai yang sudah berdiri
1.500 tahun lalu tidak ada jumlahnya sampai belasan juta orang Kutai, apalagi
Si Raja Batak yang belum sampai 1.000 tahun. Demikian juga dengan Gayo yang sudah
ada 8.430 tahun lalu, tetapi hingga kini jumlahnya belum mencapai sepuluh juta
orang. Tadi sudah dijelaskan bahwa peninggalan di Samosir itu merupakan
peninggalan budaya Dongson, sedang Pakpak, Karo, Simalungun, Mandailing, dan
Nias bila mau dimasukkan juga jelas bukan budaya Dongson. Selain budaya,
bahasanya pun sangat besar perbedaannya, sehingga masing-masing tidak saling
mengerti bahasa kalau belum belajar sebelumnya.
Lembaga
Biologi Molekuler Eijkman merupakan lembaga negara yang ditugaskan
pemerintah untuk melakukan penelitian DNA setiap populasi di Indonesia. Toba, Karo
dan Nias sudah dites DNAnya, tetapi Pakpak, Simalungun, dan Mandailing masih
akan diteliti lagi, karena mereka banyak terkonsentrasi di Indonesia Timur yang
populasinya sangat banyak. Dari hasil test DNA ini terbukti bahwa Karo dan Nias
bukanlah keturunan Toba, apalagi keturunan Si Raja Batak yang berlatarbelakang
budaya Dongson itu sama sekali bukan. Sangat jelas bahwa Karo dan Nias bukanlah
keturunan Si Raja Batak!
Y-DNA Haplogroups dari Toba, yaitu: K-M526*, O-M95, O-M110, O-P203, O-P201, dan R-M124. K-M526* ini
adalah orang hitam dengan rambut kriwil seperti Papua sudah ada sejak awal di
Negeri Toba/Toba Na Sae sejak tenggelamnya Sundaland sekitar 8.000 tahun lalu. K-M526* inilah nenek-moyang Toba yang
pertama berdiam di Negeri Toba bahkan O-M95, O-M110, O-P203, O-P201, dan R-M124
adalah keturunan dari K-M526 yang keluar dari Sundaland ke Asia Daratan. O-M95 sudah terdeteksi banyak di
Humbang dari Silaban Rura hingga Siborong-borong pada sekitar 6.500 tahun lalu.
O-M95 ini adalah pendukung budaya
Hoabinh atau disebut juga Hoabinhian dengan kulit hitam dan rambut keriting
(bukan kriwil) seperti orang-orang dari Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masuk
dari pantai Timur dan datang dari Teluk Tonkin, Vietnam bagian Selatan. O-M110 dan O-P203 datang dari Taiwan dan mereka ini kelihatannya masuk dari
pantai Barat di sekitar 4.000 – 5.000 tahun lalu. O-P201 datang dari Dongson di dekat Teluk Tonkin, Vietnam dan
mereka ini merupakan pendukung budaya Dongson. Adapun O-M110, O-P203, dan O-P201 adalah orang-orang berkulit putih. Kelima rombongan inilah yang
datang ke Negeri Toba pada masa prasejarah, sehingga jelas bukan keturunan Si
Raja Batak. Kemudian R-M124 yang
paling sedikit datang ke Negeri Toba pada millennium kedua Masehi dan mereka
ini datang dari India Barat. R-M124 ini berkulit hitam dengan rambut cenderung lurus. Jadi, jelas bahwa orang Toba merupakan keturunan
campuran dari keenam rombongan tadi, sehingga bukan keturunan tunggal dari
seorang manusia yang bernama Si Raja Batak, yang diperkirakan tidak lebih dari
1.000 tahun. Sekarang jelas bahwa Si Raja Batak bukanlah nenek-moyang Orang
Toba. Si Raja Batak hanyalah figur tunggal ciptaan Belanda, yang tidak pernah
hidup di dalam sejarah dan namanya dibuat Si Raja Batak adalah dalam rangka
mengkonstruksi non-Melayu menjadi Batak atau Bangso Batak.
Akhirnya, misionaris Jerman mengkonstruksi etnis Toba menjadi Batak dan Negeri Toba/Toba
Na Sae menjadi Tano Batak. Atas
tindakan mengkonstruksi ini, maka HN van der Tuuk menulis surat bernada protes
kepada misionaris Jerman, karena kata “Batak” itu mengandung gambaran negatif,
sehingga biarlah mereka itu (non-Melayu) tetap disebut Toba, Pakpak, Karo,
Simalungun, dan Mandailing. Kemudian Belanda mengkonstruksi lanjutannya setelah
Perang Toba kedua pada tahun 1883 dan Raja Singamangaraja XII bergerilya di
tempat Raja Lintong dekat Tele. Dikonstruksilah Toba, Pakpak, Karo, Simalungun,
dan Mandailing menjadi Bangso Batak
dengan sub-etniknya: Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun,
dan Batak Mandailing. Kemudian
dibuatlah Tarombo Bangso Batak dengan
menciptakan nenek-moyang tunggalnya untuk mempersatukannya menjadi Bangso Batak dan diberikan namanya Si Raja Batak, karena Belanda ingin
menjadikan “keturunannya” menjadi Batak
atau Bangso Batak. Tarombo Bangso
Batak ini dibuat dengan menghubung-hubungkan semua marga dan menjalinkan
menjadi keturunan marga-marga Toba dan kemudian tarombo ini dilukis sedemikian
rupa. Kemudian diciptakanlah “cerita” bahwa keturunan Si Raja Batak, yaitu
Batak Toba bermigrasi ke tanah Pakpak menjadi Batak Pakpak, bermigrasi ke tanah
Karo menjadi Batak Karo, bermigrasi ke tanah Simalungun menjadi Batak
Simalungun, dan bermigrasi ke tanah Mandailing menjadi Batak Mandailing.
“Cerita” ini kemudian dituliskan dalam sebuah buku berjudul: “PUSTAHA BATAK:
Tarombo dohot Turiturian Bangso Batak” (1926) dan inilah dijadikan sebagai
sumber sejarah. Sekarang sudah terbukti bahwa Si Raja Batak bukanlah
nenek-moyang tunggal Bangso Batak dan Si Raja Batak hanyalah ciptaan Belanda
yang tidak pernah ada di dalam sejarah dalam rangka pembatakan non-Melayu.
Dengan demikian, mempertahankan istilah “Batak” dengan gambaran negatif itu
hanyalah mempertahankan desain Belanda ini dan akan meleburkan Toba, Pakpak,
Karo, Simalungun, dan Mandailing melalui Tarombo Bangso Batak dan Si Raja Batak
tadi. Bagi Toba sendiri tidak melihat dirinya dengan tepat, karena tidak
berdiri pada tempatnya akibat dari Si Raja Batak dan Tarombo Bangso Batak tadi.
Selanjutnya, sejarah harus ditulis ulang!
Catatan Kaki:
Tulisan
di atas dirangkum dari seluruhnya buku-buku yang pernah penulis baca sehubungan
dengan “Batak” ditambah buku-buku khusus seperti:
·
Prof.
Dr. Uli Kozok, UTUSAN DAMAI DI KEMELUT
PERANG: Peran Zending dalam Perang Singamangaraja 1878, (2009) (https://nommensen.wordpress.com)
·
Sitor
Situmorang, TOBA NA SAE: Sejarah Lembaga Politik Abad XIII-XX, (2009).
Kemudian
semuanya “cerita” desain besar Belanda itu penulis uji dan telah ditulis di
dalam beberapa tulisan hingga sampailah pada tulisan ini, antara lain:
·
BENARKAH
SI RAJA BATAK NENEK-MOYANG BANGSO BATAK DAN TOBA INDUK BANGSO BATAK? (6 - Habis) - klik ( V )
·
BENARKAH
SI RAJA BATAK NENEK-MOYANG BANGSO BATAK DAN TOBA INDUK BANGSO BATAK? (5) - klik ( V )
·
HALAK
TOBA – ORANG TOBA - klik ( V )
·
KARO
DAN NIAS BUKAN KETURUNAN SI RAJA BATAK; INI BUKTINYA! - klik ( V )
·
DARI
SUNDALAND HINGGA DI NEGERI TOBA - klik ( V )
·
DARI
ASIA DARATAN HINGGA DI TANAH KARO - klik ( V )
·
MEMBONGKAR
MITOS SI RAJA BATAK: Sebuah Strategi Belanda dalam Pembatakan Non-Melayu - klik ( V )
(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban
No comments:
Post a Comment