Pages
▼
Tuesday, June 12, 2012
Seribu Hektar Lahan di Simalungun Dijadikan Produksi Kopi Arabika
Seribu Hektar Lahan di Simalungun Dijadikan Produksi Kopi Arabika
MEDAN - Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, Aspan Sofian mengungkapkan, kawasan Simalungun akan dijadikan intensifikasi lahan kopi arabika pada tahun 2012 ini. Hal itu dikemukakannya saat disambangi Tribun di kantornya Jalan Williem Iskandar (Pancing) Medan, Kamis (29/3/2012).
Dijelaskannya, intensifikasi kopi nanti akan diakomidir oleh 1.000 hektar lahan. Dipilihnya kawasan Simalungun ketimbang kawasan lain, ia sebut karena potensi produksi kopi arabika di Simalungun kian menunjukkan perkembangan positif selain Langkat, Humban, Tapanuli Utara dan Dairi.
"Kalau ini berhasil kami berharap per hektarnya bisa menyumbang 1,2 ton produksi atau dengan kata lain 1200 ton bisa terproduksi di sana. Pengerjaannya sendiri sudah dimulai dari sekarang dan pada bulan Juni-Juli tahun ini pemerintah pusat akan mulai mendistribusikan pupuk, bahan untuk memberpaiki kualitas tanah, pemberantas hama, dan gunting pangkas," ujarnya.(tribunmedan.com)
DEMAM BERTANAM KOPI ARABIKA
Jatuhnya harga kopi di tingkat dunia dari sekitar Rp 15.000,- per kg. menjadi hanya Rp 3.000,- per kg; ternyata tidak membuat jera para petani untuk bertanam kopi. Hanya saja, sekarang yang mereka kembangkan kopi jenis arabika. Sebab meskipun harganya juga ikut jatuh dari tingkat Rp 60.000,- per kg. menjadi hanya Rp 16.000,- per kg, namun harga tersebut masih cukup menguntungkan bagi para petani.
Berita yang baru-baru ini tersiar adalah, berkembangnya areal kopi arabika di pegunungan Jaya Wijaya di Papua. Saat ini, kawasan yang bisa ditanami kopi arabika hanyalah yang berketinggian di atas 1.000 m. dpl. Padahal dulunya hampir seluruh perkebunan kopi di Jawa ditanami kopi arabika. Hingga kopi Java Arabica sampai saat ini masih sangat terkenal di negara-negara peminum kopi.
Setelah penyakit karat daun menyerang jenis kopi ini, maka areal yang tersisa hanyalah di pegunungan Ijen di Jawa Timur. Perkebunan kopi arabika Kalisat Jampit, milik PTPN inilah satu-satunya perkebunan kopi arabika yang masih tersisa di pulau Jawa. Sementara di luar Jawa, kebun kopi arabika hanya terdapat di Takengon (Nangroe Aceh Darusalam), Sidikalang (Sumut) dan Toraja (Sulsel). Hingga kabar tentang berkembangnya kopi arabika di Kab. Wamena, Papua, sangat menggembirakan bagi dunia perkopian di Indonesia.
Secara fisik, kopi arabika mudah dibedakan dengan kopi rubusta yang saat ini paling banyak ditanam di dunia. Batang kopi arabika lebih ramping, lebih kecil dan lebih pendek dibanding rubusta. Cabangnya lebih banyak, dengan daun yang juga lebih kecil serta lebih ramping.
Namun sebaliknya, buah kopi arabika lebih besar, dengan kulit lebih tebal. Produktivitas buah lebih rendah dibanding rubusta. Kelebihan arabika dibanding robusta adalah, kadar kafeinnya lebih rendah, tetapi aromanya lebih kuat. Selain produktivitasnya yang lebih rendah, kelemahan lain arabika adalah adanya rasa masam yang dominan, yang tidak pernah terdapat pada robusta. Namun rasa masam ini bisa diatasi dengan cara blendid (dicampur) dengan robusta, exelsa maupun liberika.
Dengan pencampuran demikian, akan diperoleh kopi dengan citarasa sempurna. Sebenarnya tanpa pencampuran pun, citarasa arabika tetap lebih unggul dibanding jenis kopi lain. Adanya rasa masam itu, bagi para penikmat kopi sejati justru dijadikan acuan, bahwa kopi yang diminumnya benar-benar arabika asli. Bukan campuran.
Sebab dibandingkan dengan keunggulan aromanya, rasa masam arabika itu masih bisa ditolerir oleh penggemarnya. hanya karena produktivitasnya yang rendah, maka permintaan pasar tidak pernah bisa diimbangi oleh pasokan. Itulah yang menyebabkan harga biji kopi arabika selalu lebih tinggi dibanding robusta atau jenis kopi lainnya.
Vietnam, sebagai negara pendatang baru penghasil kopi, konon telah berhasil mengebangkan arabika pada ketinggian 300 m. dpl. Keberhasilan Vietnam ini, terutama karena didukung oleh faktor agroklimat. Negara ini terketak pada 10 sd. 20 ° lintang utara. Sementara posisi Indonesia yang tepat di equator berada kurang dari 10 ° lintang utara maupun selatan.
Hingga iklim di Vietnam relatif kering dibanding dengan Indonesia pada umumnya. Habitat asli kopi yang asal-usulnya dari sekitar Somalia, memang antara 0 sd. 10 ° lintang utara. Tetapi varietas arabika yang berkembang di bagian selatan jazirah Arab, posisinya terletak pada 10 sd. 20 ° lintang utara yang juga sangat kering. Kondisi serupa juga terdapat di Brasil. Hingga secara agroklimat, kita memang tidak mungkin bersaing dengan Vietnam maupun Brasil.
Arabika yang dicoba dikembangkan pada ketinggian 700 m. dpl, hasilnya tetap sangat jelek. Pengembangannya di Cisarua, kab. Bogor misalnya, mendapatkan gangguan karat daun yang cukup serius. Sementara di perkebunan Kaliklatak di Banyuwangi, arabika sulit untuk berbuah optimal pada ketinggian 700 m. dpl. Meskipun tanaman dapat tumbuh subur dengan daun yang sangat lebat, sementara intensitas serangan karat daun sangat terbatas.
Pengembangan kopi arabika di pegunungan Jaya Wijaya merupakan fenomena yang sangat menarik, mengingat ketinggian kawasan ini mencapai 4.000 m. dpl. Di kawasan tropis, lahan dengan ketinggian 4.000 meter termasuk katagori iklim alpina. Vegetasi tanaman keras yang bisa tumbuh hanyalah santigi gunung, rododendron, gaultheria dan perdu lainnya yang cenderung kerdil mirip bonsai.
Varietas arabika modern yang banyak dikembangkan oleh negara-negara penghasil kopi memang cenderung kerdil. Misalnya Katimor dan Andungsari. Ketinggian optimal hanya sekitar 2 m. tanpa toping (pemangkasan pucuk). Pada umur 2 tahun saat pertamakali berbuah, ketinggiannya kurang dari 1 m. Beda dengan arabika klasik seperti varietas USDA yang ketinggiannya bisa mencapai lebih dari 3 m.
Kekerdilan varietas arabika modern ini memang disengaja untuk memudahkan pemanenan tanpa harus terus-menerus melakukan pemangkasan. Di Jaya Wijaya, ketinggian kopi arabika ini kurang dari 0,5 m. Bahkan ketika pertamakali ditanam dari biji, ketinggiannya kurang dari 30 cm, dengan jumlah buah kurang dari 10 butir dalam satu tanaman.
Namun pengembangan secara terus-menerus melalui perbanyakan generatif, telah menghasilkan varietas asli yang mampu mencapai ketinggian di atas 0,5 m, dengan tingkat produktivitas yang layak untuk dikembangkan secara komersial. Varietas asli yang dihasilkan oleh Kab. Wamena ini layak untuk diteliti dan dikembangkan lebih lanjut. Sebab daya tahan serta adaptasinya terhadap iklim yang ekstrem tinggi sudah terbukti. Kalau benih yang akan dikembangkan di sana didatangkan dari kawasan yang lebih rendah, masih memerlukan adaptasi dengan suhu yang ekstrem tersebut. Yang jelas, di kawasan ini penyakit karat daun dijamin sulit untuk menjadi ganjalan.
Varietas Katimor saat ini masih sangat populer di masyarakat. Terutama di kalangan pemerintah daerah. Tercatat misalnya Kab. Temanggung yang menanamnya secara besar-besaran di lereng gunung Sindoro, bekerjasama dengan PT Perhutani. Kab. Boyolali juga mengembangkannya di celah antara gunung Merbabu dengan Merapi. Mereka menanam ratusan ribu bahkan jutaan batang benih Katimor. Padahal varietas ini telah ditarik kembali oleh Menteri Pertanian.
Sebagai gantinya telah dilepas varietas baru yakni Andongsari 1 dan 2 yang lebih unggul dibanding Katimor. Varietas Katimor terpaksa ditarik lagi oleh Mentari Pertanian karena mengalami hiper produksi pada sekitar tahun kelima setelah tanam. Hiper produksi ini terutama akan terjadi apabila naungan dan bahan organik dalam tanah kurang. Akibatnya pada tahun-tahun berikutnya produktivitas akan menurun bahkan terhenti sama sekali. Tanaman juga akan tumbuh kerdil.
Selain itu, daya tahan Katimor terhadap penyakit karat daun juga tidak sebaik pada proses penelitian dan aklimatisasi. Meskipun telah ditarik oleh Menteri Pertanian, bukan berarti Katimor tidak boleh dikembangkan. Sebab apabila naungan dan bahan organik cukup, Katimor tidak akan mengalami hiper produksi pada tahun-tahun awalnya. Hingga produktivitasnya akan terus baik, pertumbuhan tanaman pun berjalan normal.
Di Kusuma Agrowisata, Batu; Katimor yang mendapatkan naungan serta bahan organik cukup, produktivitasnya normal meskipun tetap tinggi. Sebaliknya di lokasi yang naungan serta bahan organiknya kurang, beberapa tanaman menjadi hiper produksi.
Pengembangan Katimor yang dilakukan oleh beberapa Pemkab. dengan PT Perhutani, akan berhasil cukup baik apabila disertai dengan pemberian tanaman peneduh seperti kaliandra, akasia serta albisia gunung. Selain berfungsi sebagai tanaman pelindung, kaliandra, akasia serta albisia gunung ini akan menghasilkan bahan organik yang cukup bagi tanaman kopi.
Hingga bahaya hiper produksi akan dapat dihindari. Kalau Katimor ditanam di areal terbuka, kemungkinan hiper produksi akan tinggi. Atau tanaman justru akan tumbuh kerdil semenjak awal. Di kawasan Junggo, Kab. Malang misalnya, Katimor ditanam di areal terbuka bekas tanaman kentang tanpa naungan. Hasilnya, kopi tersebut tumbuh kerdil dan sulit berbuah.
Pertumbuhan daun yang terlalu lebat pada kopi arabika di perkebunan Kaliklatak, masih belum diketahui penyebabnya. Sebab di lokasi tersebut, naungannya cukup, bahan organiknya juga kaya. Diduga ketinggian yang hanya sekitar 700 m. dpl. yang telah menjadi penyebabnya. Sebab kebun-kebun arabika yang selama ini mengembangkan Katimor, ketinggiannya selalu di atas 1.000 m. dpl. Baik di Takengon, Sidikalang, Ijen maupun Toraja. Di lokasi-lokasi ini, Katimor yang memperoleh naungan serta bahan organik cukup, kondisi pertumbuhan serta produktivitasnya cukup baik.
Di perkebunan Kalisat Jampit, varietas USDA yang sebelumnya telah diremajakan dan disambung Katimor, akan dikembalikan lagi ke USDA. Hingga batang bawah yang sudah cukup tua dan produktiv itu akan tetap bisa dipakai. Meskipun produktivitas USDA tidak sehebat Katimor maupun Andongsari, namun varietas ini relatif stabil pertumbuhan maupun produktivitasnya. Daya tahannya terhadap karat daun juga sudah terbukti lama.
Sebenarnya sudah sejak tahun 1980an, pemerintah melalui Direktorat Jenderar Perkebunan, Departemen Pertanian (Ditjenbun Deptan) maupun melalui Dinas-dinas perkebunan di tingkat provinsi maupun kabupaten menganjurkan pengembangan kopi hanya jenis arabika.
Bukan robusta atau jenis-jenis lain. Sebab pasar arabikalah yang selama ini masih cukup longgar persaingannya. Beda dengan jenis robusta, arabika merupakan jenis kopi dengan pasar khusus, dengan konsumen khusus pula. Itulah sebabnya harga arabika selalu lebih tinggi dibanding rubusta. Namun himbauan pemerintah ini kurang bergaung di masyarakat.
Hingga yang dikembangkan tetap saja jenis robusta. Kendala utama pengembangan arabika adalah faktor lahan yang terbatas. Di Indonesia, terutama di Jawa, lahan dengan ketinggian di atas 1.000 m. dpl. kebanyakan dikelola olah Perhutani atau PTPN. Hingga pengembangan arabika oleh beberapa Pemkab, dilakukan bekerjasama dengan Perhutani. (R) * * *(http://foragri.blogsome.com/demam-bertanam-kopi-arabika)
Sumber:
http://beritasimalungun.blogspot.com/2012_03_01_archive.html
No comments:
Post a Comment