Pages
▼
Friday, May 4, 2012
Tuak dalam Masyarakat Batak Toba
静岡県立大学短期大学部
研究紀要11-3号(1997年度)-5
Annual Report of the University of Shizuoka, Hamamatsu College
No.11-3, 1997, Part 5.
Tuak dalam Masyarakat Batak Toba:
Laporan Singkat tentang Aspek Sosial-budaya
Penggunaan Nira
IKEGAMI, Shigehiro
Tuak in the Toba Batak Society:
A Preliminary Report on the Socio-cultural Aspect
of Palm Wine Consumption
IKEGAMI, Shigehiro
Pendahuluan
Selama enam tahun ini sejak tahun 1992, saya mempelajari dinamika sosial dan
kebudayaan dalam masyarakat Batak Toba, berdasarkan penelitian yang saya
lakukan di propinsi Sumatera Utara. Fokus studi saya selama enam tahun ini adalah
adat kematian dalam masyarakat tersebut [Ikegami 1997].
Selama penelitian tersebut, saya bergaul dengan masyarakat setempat dan
mengikuti beberapa upacara adat secara langsung, sehingga saya menyadari
pentingnya minuman tuak (nira) di kalangan masyarakat tersebut baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara adat. Kebanyakan orang Indonesia
yang beragama Islam tidak minum minuman yang mengandung alkohol berazaskan
ajaran agama tersebut. Akan tetapi tuak berposisi sebagai minuman khas Batak Toba,
karena sebagian besar orang Batak Toba menganut agama Kristen yang tidak
memantang minuman keras.
Walaupun tuak merupakan minuman penting bagi orang Batak Toba, sampai
sekarang studi mengenai tuak yang berfokus pada aspek sosial-budaya boleh
dikatakan masih sedikit saja. Umpamanya Shuji Yoshida, seorang etnolog Jepang,
telah menggambarkan teknik produksi tuak [Yoshida 1991; 1992], tetapi dia tidak
menjelaskan makna tuak dalam masyarakat Batak Toba. Selain itu, terdapat lagi tiga
artikel yang tertulis oleh orang Batak Toba sendiri [Ginzel 1984; Marpaung 1989;
Sirait dan Sihotang 1986]. Ketiga artikel ini terutama berfokus pada fungsi sosial lapo
(kedai) tuak dalam kehidupan sehari-hari.
1)
Kita bisa mendapat garis besar tentang
apa sebenarnya lapo tuak tersebut dari ketiga artikel ini. Namun demikian, makna,
pengertian, dan cara penggunaan tuak dalam masyarakat Batak Toba tidak dibahas
secara luas dalam artikel-artikel ini.
Oleh karena itu, saya merasa perlu dilaksanakan penelitian lapangan mengenai
tuak yang meliputi penggunaan tuak baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam kesempatan tertentu atau upacara adat. Penelitian ini dimaksudkan untuk
menggambarkan penggunaan tuak dalam masyarakat Batak Toba secara sistematis
dengan fokus pada aspek sosial-budaya.
Dengan laporan singkat ini, saya menerangkan dahulu metodologi penelitian.
Kemudian dilaporkan hasil penelitian secara ringkas.
2)
Hal-hal yang tersinggung di
bawah ini adalah sebagai berikut: (1) apa sebenarnya tuak dan pengertian tuak dalam
masyarakat Batak Toba; (2) produksi dan distribusi tuak; (3) kebiasaan minum tuak
dalam kehidupan sehari-hari; (4) pemakaian tuak pada kesempatan tertentu untuk
kaum wanita; dan (5) penggunaan tuak dalam upacara adat.
I. Metodologi
Sejak akhir abad ke19 setelah masuk agama Kristen di tanah Batak, orang Batak
Toba yang mendiami wilayah sekitar danau Toba mulai merantau ke dataran rendah
di bagian timur di Sumatera utara yang biasanya disebut Sumatera Timur. Jumlah
perantau ke daerah perantauan tersebut semakin bertambah sejak tahun 1910an,
setelah Sisingamangaraja XII gugur dan pemerintah Belanda membuka jalan lalu
rintas antara pantai timur dan pantai barat Sumatera yang melewati danau Toba.
Setelah selesai perang kemerdekaan (1945-1949), banyak orang Batak Toba
berdomisili kota-kota besar terutama seperti Medan dan Jakarta.
Oleh karena itu saya memilih dua lokasi untuk penelitinan kali ini, yaitu
kampung halaman dan perantauan. Tempat penelitian yang dipilih di kampung
halaman adalah kecamatan Balige yang terletak di sebelah selatan danau Toba,
khususnya desa Lintong Ni Huta (LNH) yang telah saya laksanakan penelitian dahulu.
Satu lagi saya memilih Kotamadya Medan sebagai tempat penelitian di perantauan
bagi orang Batak Toba.
Penelitian ini dilakukan selama dua bulan mulai Agustus 1997 sampai dengan
Oktober 1997. Setelah mengurus perizinan penelitinan di Jakarta selama satu minggu,
saya mengadakan penelitian di Medan selama dua minggu dan di kecamatan Balige
selama lima minggu.
Dalam penelitian di kecamatan Balige dan Medan, saya menggunakan tiga
metode penelitian, yaitu (1) wawancara bebas dan wawancara berfokus (free interview
and focused interview); (2) metode kajian kasus (case study) mengenai produksi,
distribusi dan konsumsi tuak; serta (3) observasi partisipan (participant observation)
pada kehidupan sehari-hari dan beberapa upacara adat.
Saya bertemu dengan beberapa perantau Batak Toba untuk mengadakan
wawancara tentang pemakaian tuak di kota Medan. Selain itu saya mengunjungi
beberapa lapo tuak untuk melihat secara langsung situasi minum tuak dalam
kehidupan sehari-hari. Saya menghubungi pula beberapa tokoh-tokoh adat di Medan
untuk memperlengkap informasi tentang pemakaian tuak di Medan.
Selama lima minggu di kecamatan Balige, saya bertemu dengan tokoh-tokoh adat
untuk menanyakan pengertian tuak bagi masyarakat Batak Toba dan penggunaan
tuak dalam upacara adat. Saya mewawancarai ibu-ibu yang telah pernah melahirkan
anak mengenai pengalamannya minum tuak waktu melahirkan anak. Sementara itu
saya mengikuti kegiatan penyadap tuak yang biasanya disebut paragat untuk
mengetahui cara produksi tuak dan bertanya kepada pemilik kedai tuak tentang
distribusi serta konsumsi tuak.
II. Apa Sebenarnya Tuak dan Pengertian Tuak dalam Masyarakat Batak Toba
Tuak merupakan sadapan yang diambil dari mayang enau atau aren (Arenga pinnata).
Kalau dalam bahasa Indonesia, sadapan dari enau atau aren disebut nira. Nira
tersebut manis rasanya, sedangkan ada dua jenis tuak sesuai dengan resepnya, yaitu
yang manis dan yang pahit (mengandung alkohol).
Hatta Sunanto [1983:17], seorang Insinyur pertanian, menerangkan: "Di
Indonesia, tanaman aren dapat tumbuh baik dan mampu berproduksi pada daerahdaerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500-800m di atas permukaan laut. Pada
daerah-daerah yang mempunyai ketinggian kurang dari 500m dan lebih dari 800m,
tanaman aren tetap dapat tumbuh namun produksi buanya kurang memuaskan."
Pohon enau atau aren dinamai bagot dalam bahasa Batak Toba. Di kecamatan
Balige yang berketinggian sekitar 900m di atas permukaan laut, banyak bagot tumbuh
sendiri. Dan bagot inilah yang tetap digunakan untuk menyadap tuak. Sedangkan di
Medan yang hampir sama tingginya dengan permukaan laut, bagot tidak bertumbuh.
Oleh karena itu, orang Medan mengambil sadapan dari pohon kelapa. Namun setelah
diproses, minuman itu tetap dinamai tuak dalam masyarakat Batak Toba.
III. Produksi dan Distribusi Tuak
Saya menggambarkan dahulu mengenai produksi dan distribusi tuak di kampung
halaman Batak Toba. Sebagaimana telah disinggung di atas, penyadap tuak disebut
paragat (agat = semacam pisau yang dipakai waktu menyadap tuak) dalam bahasa
Batak Toba. Setelah dipukul tandan berulang-ulang dengan alat dari kayu yang
disebut balbal-balbal selama beberapa minggu, baru dipotong mayangnya. Kemudian
membungkus ujung tandan tersebut dengan obat (kapur sirih atau keladi yang
ditumbuk) selama dua-tiga hari. Dengan prosedur ini barulah milai datang airnya
dengan lancar. Seorang paragat menyadap tuak dua kali sehari, yaitu pagi dan sore.
Tuak yang ditampung pagi hari dikumpulkan di rumah paragat. Setelah ujicoba
rasanya, paragat memasukkan ke dalam bak tuak sejenis kulit kayu yang disebut raru
supaya cocok rasanya dan alkoholnya. Raru inilah yang mengakibatkan peragian.
Resep membuat tuak berbeda-beda sedikit demi sedikit tergantung para paragat.
Resep masing-masing boleh dikatakan ìrahasia perusahaan,î maka tidak tentu siapa
pun bisa berhasil sebagai paragat. Paragat harus belajar dahulu cara kerjanya.
Biasanya anak seorang paragat mengikuti orang tuanya untuk belajar ìrahasiaî
tersebut. Sepanjang saya ketahui, tidak ada paragat perempuan, mungkin karena
kegiatan paragat sehari-hari yang turun ke jurang, menaiki pohon bagot dan
membawa tuak yang tertampung ke kampung sangat keras untuk perempuan. Di desa
LNH yang berjumlah kurang lebih 1,000 orang penduduknya, terdapat delapan orang
paragat yang aktif. Semuanya ini laki-laki saja.
Sebagian paragat membuka kedai tuak sendiri, tetapi pada umumnya sebagian
besar paragat menjual tuak kepada kedai atau agen tuak. Dengan dekimian paragat
mendapat uang tunai setiap hari, maka taraf kehidupan paragat lebih tinggi daripada
standar di desa LNH.
Di Medan tuak dibawa dari Percut, wilayah yang terletak di luar kota Medan. Di
situ ada kebun kelapa khusus untuk mengambil tuak. Cara produksi tuak dari pohon
kelapa hampir sama dengan tuak dari bagot.
IV. Kebiasaan Minum Tuak dalam Kehidupan Sehari-hari
Di daerah Tapanuli Utara, biasanya laki-laki yang menyelesaikan kerjanya
berkumpul di kedai pada sore hari. Mereka berbincang-bincang, menyanyi, memain
kartu, bercatur dan menonton televisi, sambil minum tuak. Pada umumnya seorang
petani biasa minum tuak beberapa gelas sehari. Pada tahun 1997 segelas tuak
berharga Rp. 300 di desa LNH. Kalau laki-laki, baik yang muda maupun yang tua
minum tuak di kedai, tetapi jarang terdapat perempuan yang minum tuak di kedai
bersama laki-laki, kecuali pemilik kedai atau isterinya. Ada juga laki-laki yang
membeli tuak di kedai dan membawa botol yang terisi tuak ke rumahnya atau ke
rumah kawannya untuk minum tuak di situ.
Sedangkan di kota Medan, laki-laki Batak Toba tidak tentu mempunyai
kebiasaan minum tuak. Menurut informasi dari beberapa perantau Batak Toba dan
observasi serta wawancara di lapo tuak, kebiasaan minum tuak tidak berhubungan
dengan status sosial-ekonominya, melainkan berkaitan dengan tahap generasi migran.
Dengan kata lain, perantau generasi pertama yang berasal dari Tapanuli Utara lebih
cenderung minum tuak di Medan: bukan hanya orang-orang yang berstatus rendah
sosial-ekonominya seperti tukang becah, tetapi yang agak tinggi stasus sosialekonominya seperti pegawai negeri juga minum tuak. Segelas tuak di Medan harganya
kurang lebih Rp. 300 juga.
V. Pemakaian Tuak pada Kesempatan Tertentu untuk Kaum Wanita
Biasanya kaum wanita Batak Toba tidak minum tuak. Namun demikian, menurut
tradisi Batak Toba, wanita yang baru melahirkan anak minum tuak untuk
memperlancar air susunya dan berkeringat banyak guna mengeluarkan kotorankotoran dari badannya.
Selama saya berada di desa LNH, seorang wanita muda melahirkan anak.
Mertuanya menyediakan tuak untuk wanita tersebut, dan dia minum tuak setiap kali
merasa haus. Dia minum tuak sebagai gantinya air minum, selama paling sedikit satu
minggu setelah melahirkan anak.
Tetapi tidak tentu semua wanita Batak Toba yang baru melahirkan anak minum
tuak. Wanita-wanita yang tinggal di kota-kota di perantauan seperti Medan biasanya
tidak minum tuak, walaupun melahirkan anak. Mereka lebih cenderung minum bir
hitam, susu atau obat sesuai dengan kemampuannya dan kesukaannya untuk
memperlancar air susunya.
Wanita tua pada umumnya mengakui bahwa mereka minum tuak ketika
melahirkan anak semasa mudanya. Tetapi sebagian wanita muda yang tinggal di
kampung tidak pernah minum tuak selama menyusui anaknya. Mereka menjelaskan
alasan tidak minum tuak bahwa mereka merasa pening kalau minum tuak.
VI. Penggunaan Tuak dalam Upacara Adat
Tuak yang ada hubungannya dengan adat adalah tuak tangkasan: tuak yang tidak
bercampur dengan raru. Tuak aslinya manis. Tuak yang manis disebut tuak na tonggi
dalam bahasa Batak Toba. Karena tuak itu berasal dari mayang bagot, maka perlu
diketahui legenda keberadaan batang bagot. Seorang tokoh adat yang tinggal di Balige
memberitahukan legenda tersebut sebagai berikut:
Putri si boru Sorbajati dipaksa orang tuanya kawin dengan seorang laki-laki cacat
yang tidak disukainya. Tetapi karena tekanan orang tua yang sudah menerima uang
mahal, si boru Sorbajati meminta agar dibunyikan gendang di mana dia menari dan
akan menentukan sikap. Sewaktu menari di rumah, tiba-tiba dia melompat ke
halaman sehingga terbenam ke dalam tanah. Kemudian dia menjelma tumbuh sebagai
pohon bagot, sehingga tuak itu disebut aek (air) Sorbajati.
Karena perbuatan yang membunuh diri itu dianggap sebagai perbuatan terlarang,
maka tuak tidak dimasukkan pada sajian untuk Dewata. Tuak hanya menjadi sajian
untuk roh-roh nenek moyang, orang yang sudah meninggal dan sebagainya. Tuak
bermasuk sebagai minuman adat pada dua upacara adat resmi, yaitu (1) upacara
manuan ompu-ompu dan (2) upacara manulangi.
Ketika orang yang sudah bercucu meninggal, ditanam beberapa jenis tanaman di
atas tambak. Tambak pada aslinya merupakan kuburan dari tanah yang terlapis,
tetapi kuburan modern yang terbentuk dari semen pula disebut tambak. Menurut
aturan adat, air dan tuak harus dituangkan pada tanaman di atas tambak. Tetapi
sekarang ini biasanya yang dituangkan hanya air saja, atau paling-paling tuak yang
mengandung alkohol.
Dalam upacara manulangi, para keturunan dari seseorang nenek memberikan
makanan secara resmi kepada orang tua tersebut yang sudah bercucu, dimana
turunannya meminta restu, nasehat dan pembagian harta, disaksikan oleh pengetuapengetua adat. Pada waktu memberikan makanan harus disajikan air minum serta
tuak. Menurut informasi dari tokoh-tokoh adat dan observasi secara langsung, air
minum dan tuak dua-duanya tetap disajikan kepada orang tua yang disulangi.
Kesimpulan Sementara
Tuak masih tetap berposisi sebagai minuman sehari-hari bagi laki-laki Batak Toba
yang tinggal di kampung halaman dan bagi perantau yang berasal dari Tapanuli
Utara. Namun sekarang ini, wanita Batak Toba yang baru melahirkan anak tidak
tentu minum tuak. Atau boleh dikatakan bahwa wanita Batak Toba tidak harus lagi
minum tuak selama menyusui anaknya.
Sebagai minuman tradisi Batak Toba, sebetulnya tuak harus digunakan pada
upacara-upacara tertentu seperti manuan ompu-ompu dan manulangi. Tetapi ternyata
makin hilang penggunaan tuak dalam upacara-upacara tersebut. Karena tuak manis
yang tidak bercampur dengan raru susah terdapat.
Dari hasil penelitian yang saya terangkan di atas ini, saya menarik kesimpulan
bahwa fungsi tuak dalam masyarakat Batak Toba sebagai minuman sehari-hari lebih
menonjol pada saat sekarang ini daripada fungsi dalam upacara adat.
Catatan
1) Istilah lapo dipakai biasanya hanya di kota-kota yang di luar Tapanuli Utara. Di
kampung halaman di Tapanuli Utara kata lapo jarang dipakai. Kata yang sering
dipakai di situ adalah kata kedai dari bahasa Indonesia. Mungkin karena di kotakota di perantauan kata lapo dari bahasa Batak Toba perlu digunakan dengan
sengaja untuk menentukan kedai yang diusahakan oleh orang Batak Toba.
2) Saya ucapkan banyak terima kasih atas kerjasamanya kepada LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia) dan Prof. Dr. Usman Pelly, MA di KOPERTIS Wilayah I.
Lagi pula ucapan terima kasih sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada
Ajinomoto Foundation for Dietary Culture atas bantuan dalam pembiayaan.
Artikel ini berdasarkan laporan sementara terakhir yang saya ajukan kepada LIPI
pada Oktober 1997 dengan judul ìThe Socio-cultural Aspect of Palm Wine
Consumption among Toba Batak Villagers and Migrants.î Artikel ini merupakan
versi yang diperbaiki daripada laporan tersebut. Saya akan membuat artikel lain
dalam bahasa Jepang untuk melaporkan hasil penelitian dengan lengkap.
Bibliografi
Ginzel, L.S. 1984. Lapo Tuak, Arena Interaksi Sosial bagi Masyarakat Batak Toba.
Skripsi (S1), Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
Ikegami, S. 1997. Historical Changes of Toba Batak Reburial Tombs: A Case Study of a
Rural Community in the Central Highland of North Sumatra. Southeast Asian
Studies (Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University), 34(4): 643-675.
Marpaung, P. 1989. Fungsi Sosial Minuman Tuak pada Masyarakat Urban Suku
Bangsa Batak Toba di Pematang Siantar. Skripsi (S1), Jurusan Antropologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Sirait, W. dan O. Sihotang. 1986. Berbagai Fungsi Kedai Tuak. In Pemikiran tentang
Batak, edited by B.A. Simanjuntak, pp.343-346. Medan: Pusat Dokumentasi dan
Pengkajian Kebudayaan Batak, Universitas HKBP Nommensen.
Sunanto, H. 1993. Aren: Budidaya dan Multigunanya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Yoshida, S. 1991. Indonesia no Sake [Alchoholic Drinks in Indonesia]. Ethnological
Quaterly (Kikan Minzokugaku) 15(2): 96-103.
. 1992. Indonesia no Yashizake [Palm Wine in Indonesia]. The Stasus.
15(5): 58-59.
Sumber:
http://bambi.u-shizuoka-ken.ac.jp/~kiyou4228021/11_3/11_3_5.pdf
No comments:
Post a Comment