Pages
▼
Tuesday, May 15, 2012
Tangisan dan seyuman pinggan matio, raninbani, rumintang dan siberru taren berru matanari
Tangisan dan seyuman pinggan matio, raninbani, rumintang dan siberru taren berru matanari
PADA PESTA
KETURUNAN RAJA MATANARI MENGGOHON-GOHONI POMPARAN RAJA SIHALOHO
DI HUTA SIHALOHO DI SILALAHI NABOLAK
SABTU 29 NOPEMBER 2008
Oleh: Ir. Jawaller Matanari, MS.
Pesta Adat Yang Penuh Hikmat dan Makna Symbolik Petunjuk Kebenaran Sejarah Masa Lampau
Menggohon-gohoni (bahasa Suku Pakpak), berarti memberikan makan yang bermakna sakral menurut adat suku Batak Pakpak, dilaksanakan untuk tujuan agar orang yang diberikan makanan tersebut menjadi orang yang sehat, berani, dan kuat dalam berperang melawan musuh (atau dapat bekerja keras mencari nafkah, kuat mental menghadapi masalah, lulus dalam ujian, dan lain lain sejenisnya). Pada mulanya acara ini dilaksanakan terutama untuk tujuan berperang melawan musuh, maka dalam acara ini dilengkapi dengan acara penyerahan pakaian kebesaran menurut adat Pakpak dan alat perang berupa pisau, parang, tombak dan lain lain. Selanjutnya acara ini dilakukan dalam hubungan kasih sayang antara kula-kula dengan anak berru, sehinga diikuti penyerahan bekal, modal, ternak, benih padi, tikar dan bentuk oleh-oleh lainnya dari pihak kula-kula kepada anak berru.
Rombongan Keturunan Raja (marga) Matanari dan Berru-Berre telah mulai berkumpul di Kuta Pernantiin (Pegagan Julu IV) di depan rumah Djos M (mpung Kristiani) Matanari sejak jam 7,00 WIB dengan perasaan yang becambur baur antara gembira, kerinduan dan was-was, selama menunggu kehadian semua anggota rombongan, menunggu persiapan pengadaan luah (oleh-oleh) yang akan dibawa, serta menunggu perwakilan marga pomparan Raja Sihaloho yang menjemput rombongan kula-kula keturunan Raja Matanari. Sekitar jam 8.30 WIB semua yang ditunggu di atas telah hadir dan luah telah tersedia lengkap, sehingga kemudian dilaksanakan Acara Keberangkatan Rombongan keturunan Raja Matanari (mohon Doa Restu) secara singkat. Rombongan dengan jumlah sekitar 500 orang berangkat secara beriringan menuju huta Sihaloho di Silalahi Nabolak, Rombongan kula-kula (Matanari) sampai di pintu gerbang masuk ke kampung/ kecamatan Silalahi sekitar jam 10.00 WIB.dalam keadaan selamat dan sehat walafiat berkat Restu dan Lindungan Tuhan Maha Kuasa dan Penyayang.
Selanjutnya dilakukan pengaturan atau penataan barisan arak-arakan rombongan kula-kula (Matanari) berdasarkan urutan (tahapan) pelaksanakan adat Pakpak yang akan dilaksanakan di Pesta Keturunan Raja Matanari Menggohon-gohoni Pomparan Raja Sihaloho di Huta Sihaloho di Silalahi Nabolak. Persiapan dan penatan barisan rombongan ini membutuhkan waktu cukup lama yakni sekitar satu jam. Barisan rombongan keturunan Raja Matanari mulai begerak bejalan kaki dengan perasaan bersemangat dan gembira diiringi Genderang Suku Pakpak. Barisan terdepan adalah Hulubalang yang dilengkapi senjata Pisau dan Tombak yang dihiasi dengan pucuk tanaman silinjuang. Setelah barisan rombongan ketuunan Raja Matanari berjalan kaki dengan jarak sekitar 500 meter dari gerbang kampung (titik awal keberangkatan), sampailah di jembatan sungai Binanga Simaila (bahasa suku Pakpak disebut: Lae siMela) yang disambut dengan suasana/keadaan cuaca yang berubah dari sebelumnya.
Semenjak keberangkatan rombongan keturunan Raja Matanari dari kuta Pernantin (Pegagan Julu-IV) hingga barisan arak-arakan sampai mendekati jembatan sungai Binanga Simaila adalah dalam keadaan cuaca cerah dengan Sinar Matahari yang indah menerangi daerah Silalahi Nabolak. Cuaca/Sinar Matahari yang cerah dapat merupakan Symbol Senyum Kegembiraan bagi sebahagian orang dan mungkin juga bagi Arwah Pinggan Matio, Ranimbani, Rumintang dan Siberru Taren berru Matanari, yang bergembira menunggu kedatangan barisan rombongan keturunan Raja Matanari di sekitar jembatan sungai Binanga Simaila.
Kejadian ini menyimbolkan pengulangan sejarah zaman dahulu, yakni di tempat inilah Raja Silalahisabungan menunggu Raja Matanari mengantarkan putri tunggalnya si Pinggan Matio. Pinggan Matio adalah sebagai upah Raja Silalahisabungan yang telah berhasil mengobati penyakit istri Raja Matanari. Penyerahan Pinggan Matio dilaksanakan Raja Matanari, melaui proses atau tahap pengujian ilmu batin (hadatuan) si Raja Silalahisabungan. Raja Matanari yang dikenal dengan Ilmu Hitamnya, mempertunjukkan 7 gadis, untuk dipilih salah satu oleh si Raja Silalahisabungan. Dengan cerdik dan tanpa mempermalukan calon mertuanya, Datu Raja Silalahisabungan meminta agar 7 gadis tersebut menyeberangi sungai Binanga Simaila. Raja Silalahisabungan memilih/menunjuk gadis yang basah pakaiannya setelah melewati sungai tersebut yaitu Pinggan Matio (putri tunggal Raja Mataanari), sedangkan 6 gadis lainnya bukanlah manusia, melaikan siluman yang dipertunjukkan Raja Matanari melalui Ilmu Hitamnya. Raja Matanari keturunan Raja Api Pakpak Pegagan, dikenal dan ditakuti dengan Ilmu Hitamnya, sedangkan Raja Silalahisabungan terkenal sebagai Datu Pangubati (dukun mengobati orang sakit).
Setelah barisan arak-arakan keturunan Raja Matanari sampai di jembatan sungai Binanga Simaila pada 29 Nopember 2008, suasana atau keadaan berubah secara tiba-tiba (sangat cepat). Penulis memandang ke arah kiri barisan, yaitu arah bukit hutan Lae Pondom. Penulis melihat awan warna gelap di atas bukit itu, dan kemudian keadaan cuara cerah, cepat berubah menjadi sangat mendung dan seterusnya turun hujan gerimis. Suasana atau keadaan mendung diiringi hujan gerimis adalah symbol Tangisan (air mata) kesedihan buat sebagian besar orang dan mungkin juga bagi Arwah Pinggan Matio, Ranimbani, Rumintang dan Siberru Taren berru Matanari yang merasa sangat sedih, karena kehadiran kula-kula mereka tidak diinginkan sebagian keturunan anak yang mereka lahirkan dari rahimnya.
Peserta rombongan barisan arak-arakan keturunan Raja Matanari juga umumnya mengalami perubahan perasaan masing-masing. Perasaan gembira berubah menjadi perasaan was-was, takut basah kuyup oleh air hujan, takut ponselnya terkena air hujan, perasaan sedikit malu atau grogi dan sedih dipandangi bernuansa mengejek dari sebahagian masyarakat yang tampak kurang simpati atas kehadiran rombongan kula-kula marga Matanari di Silalahi Nabolak. Perasaan sedih makin besar, karena selain diguyur hujan gerimis barisan arak-arakan rombongan keturunan Raja Matanari tidak diizinkan berjalan dari jalan raya yang tersedia. Melainkan rombongan harus menempuh sekitar 100 meter jalan setapak yang agak sulit untuk dijalani (setelah beberapa ratus meter dari jembatan sungai Binanga Simaila menuju lokasi dilaksanakan pesta). Padahal sebenanya ada jalan raya menuju lokasi pesta yang pantas dilalui tamu yang hina dina sekalipun. Jalan umum yang dapat dilalui semua bangsa Indonesia di huta Silalahi Nabolak tidak diizinkan dilalui barisan arak-arakan marga Matanari kula-kula yang diakui Sihaloho kelompok Saing Sihaloho keturunan Raja Silalahisabungan.
Kenyataan pahit (terhina) yang harus dialami rombongan keturunan Raja Matanari harus terjadi (suatu kenyataan). Kenyataan pahit (hinaan) ini mungkin adalah suatu symbol kejadian yang pantas (harus) diterima keturunan Raja Matanari, sebagai ganjaran (hukuman) atas segala dosa-dosa atau kesalahan masa lampau dan sekarang dari keturunan Raja Matanari kepada pihak berru-berre keturunan Raja Silalahisabungan-Pinggan Matio. Harus diakui bahwa sangat besar dosa-dosa atau kekurangan kita keturunan Raja Matanari kepada pihak anak berru keturunan Raja Sillahisabungan pada masa lampau dan sekarang. Hukuman (hinaan) ini masih jauh lebih kecil dibanding dosa-dosa/kesalahan yang telah diperbuat kita keturunan Raja Matanari.. Semoga dengan hinaan (hukuman) ini, maka dosa-dosa dan kesalahan keturunan Raja Matanari menjadi terhapus (diampuni), sehingga mendapat berkat dan rahmat kurnia Tuhan yang besar pada masa depan.
Namun demikian dengan berdasarkan perasaan sedih, berbesar hati dan kerinduan menjenguk keluarga berru, maka rombongan marga Matanari sampai juga di halaman rumah (sibaganding tua) Sihaloho di Huta Sihaloho di Silalahi Nabolak diiringi mendung dan hujan gerimis sebagai symbol perasaan sedih dan tangisan orang umumnya serta mungkin juga bagi Arwah Pinggan Matio, Ranimbani, Rumintang dan Siberru Taren berru Matanari , karena kula-kula mereka dihina atau ditolak oleh sebahagian keturunan anak yang lahir dari rahimnya. Semoga tindakan ini tidak menimbulkan kerugian bagi semua keturunan Raja Silalahisabungan ke masa depan. Pesan “manat mardongan tubu” berarti “ ikut serta manat dan menghormati hula-hula ni dongan tubu” juga bukan….?
Rombongan keturunan Raja Matanari disambut dengan perasaan gembira dan terharu dari keturunan Raja Sihaloho yang dipinpin Maruba Sihaloho, SE (selaku Ketua Panitia Pesta) beserta nyonya boru Sitanggang, yang disemangati oleh nyonya Saing Sihaloho, MA boru Purba yang juga sudah dimargakan sebagai boru Matanari serta semua pendukung pelaksanaan pesta, mereka telah menunggu didepan halaman rumah di huta Sihaloho di Silalahi Nabolak. Rombongan kula-kula marga Matanari yang diiringi genderang suku Pakpak mulai dari kuta Pernantiin hingga didepan rumah Sihaloho, kemudian disambut dengan gendang (gondang) suku Toba, sebagai symbol anak berru menghormati dan menyambut kula-kula. Pada saat ini suasana atau keadaan sedikit berubah dari keadaan mendung diiringi hujan gerimis, berubah menjadi keadaan cuaca agak cerah diiringi hujan gerimis. Keadaan ini dapat menyimbolkan bahwa hadirin dan mungkin juga Arwah Pinggan Matio, Ranimbani, Rumintang dan Siberru Taren berru Matanari dalam suasana menangis dalam kegembiraan. Semua hadirin baik pihak berru (Sihaloho) maupun pihak kula-kula (Matanari) dalam keadaan/ perasaan terharu atau menangis dalam kegembiraan.
Keadaan cuaca agak cerah diiringi hujan gerimis (symbol dari menangis dalam kegembiraan) dan cuaca agak cerah tanpa hujan (symbol dari kegembiraan) terjadi secara silih-berganti selama proses adat berlangsung. Proses adat yang dilaksanakan adalah adat suku Batak Pakpak dan adat suku Batak Toba yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Suara gendang (genderang) suku Pakpak di depan gerbang kuta, sebagai tanda pemberitahuan (mengetuk pintu rumah/gerbang kuta) kepada anak berru (Sihaloho) oleh kula-kula (Matanari), yang diikuti tarian Pakpak dari gadis-gadis berru Matanari beserta orang tuanya ataupun semua hadirin.
2. Suara gendang (gondang) suku Toba dihalaman rumah Sihaloho, sebagai tanda penerimaan (dengan rasa hormat) kedatangan rombongan kula-kula marga Matanari, yang diiringi tarian (tortor somba) dari pihak boru Sihaloho dan tarian (tortor pasu-pasu) dari hula-hula (kula-kula) Matanari.
3. Ucapan Njuah-Njuah (selamat) dari marga Matanari (pihak kula-kula) kepada pihak Sihaloho (anak berru) yang disampaikan oleh Ketua Sulang Silima Pegagan Julu-IV Djos M (mpung Kristiani) Matanari.
4. Ucapan Horas (selamat) atas kedatangan kula-kula Matanari menjumpai anak berru (Sihaloho) di Huta Sihaloho di Silalahi Nabolak, yang disampaikan Ketua Panitia Pesta Maruba Sihaloho, SE.
5. Penyerahan Pakaian Adat Pakpak kepada Sihaloho dan istrinya (pihak berru) oleh pihak kula-kula (Matanari). Pakaian adat pakpak dikenakan kepada Sihaloho, meliputi; pakaian, topi kehormatan, ulos selempang dan pengikat pinggang, dan pisau untuk berperang (bekerja keras) yang dikenakan kepada Maruba Sihaloho, SE. Juga istri Sihaloho (Nyonya Maruba Sihaloho, SE boru Sitanggang) dikenakan pakaian dan topi (tudung) suku Pakpak.
6. Penyerahan luah (oleh-oleh) seekor lembu jantan, untuk berru (Sihaloho) dari kula-kula (Matanari).
7. Penyerahan Pelleng (nasi pedas yang diberi kunyit dan daging yang pedas karena kandungan cabenya relatip banyak), terutama untuk memicu anak berru (Sihaloho) untuk siap dan berani berperang (bekerja keras), penyerahan dari kula-kula (Matanari) kepada anak berru (SIhaloho).
8. Penyerahan Daging Manok Mersendihi (daging ayam masakan khas suku Pakpak) kepada berru (Sihaloho dan istrinya/keluarganya) agar kuat menghadapi rintangan, penyerahan dari kula-kula (Matanari) kepada anak berru (SIhaloho)..
9. Penyerahan Nditak Gabur ( kue dari tepung beras) agar sehat menghadapi tantangan, dimana makanan ini dapat berguna menetralkan cabe dalam sistim pencernaan (usus perut) yang relatip banyak dikandung Pelleng yang dimakan sebelumnya. Dinasehatkan, agar semua keluarga anak berru mencicipi Nditak Gabur agar semua sehat-sehat., penyerahan dari kula-kula (Matanari) kepada anak berru (SIhaloho).
10. Penyerahan Pinahpah ( suku Toba menyebutnya; Sinaok, Tipa-tipa) yaitu padi yang baru dipanen, digongseng dan ditumbuk pakai lumpang dan alu, sehingga berbentuk pipih, menunjukan bahwa mereka (kula-kula) baru panen padi, penyerahan dari kula-kula (Matanari) kepada anak berru (Sihaloho).
11. Penyerahan Baka Kambal yaitu sejenis tikar produk anyaman secara tradisional, penyerahan dari kula-kula (Matanari) kepada anak berru (Sihaloho).
12. Penyerahan ayam hidup untuk dipelihara anak berru, penyerahan dari kula-kula (Matanari) kepada anak berru (Sihaloho).
13. Penyerahan Page (Benih Padi), untuk ditanam di ladang atau sawah, agar hasil panen bagus atau berlimpah-ruah, penyerahan dari kula-kula (Matanari) kepada anak berru (Sihaloho).
14. Penyerahan Bibit Pohon Beringin yang dikembangkan (dibiakkan) dari pohon beringin yang ditanam Pinggan Matio (disebut; eks tongkat Pinggan Matio) atau disebut juga Pohon Beringin (Jabi-Jabi) Sembahan si Raja Onggu Ruma Sondi- si Rumintang berru Matanari) di kuta Balna Sikabeng-kabeng, untuk ditanam anak berru (Sihaloho) sebagai pohon perteduhan, atau symbol kehormatan, penyerahan dari kula-kula (Matanari) kepada anak berru (Sihaloho).
15. Ucapan Mauliate (Terimakasih) dari Sihaloho kepada kula-kula (Matanari) atas semua luah (oleh-oleh) dan kerjasama yang baik selama waktu silam dan waktu yang akan datang, disampaikan Maruba Sihaloho, SE.. Walaupun keadan cuaca mendung diiringi hujan gerimis, namun tidak menyurutkan semangat dan kasih sayang antara kula-kula dengan anak berru.
16. Ucapan Nasehat dan Lias Ate (terimakasih) dari kula-kula (Matanari) kepada anak berru (Sihaloho), disampaikan oleh Djos M (mpung Kristiani) Matanari. Beliau nampak menunjukkan perasaan sedikit kecewa kepada sebagian keturunan Raja Silalahisabungan yang belum menerima Matanari sebagai hula-hulanya. Jika pernyataan beliau kurang berkenan buat anak berru (Sihaloho), mohon maaf dan harap maklum beliau sudah sangat lelah mengatur rombongan barisan keturunan Raja Matanari.
17. Makan Siang Bersama (kula-kula dan anak berru dan undangan) yang dijamu oleh anak berru (Sihaloho) dengan makanan kehormatan sesuai dengan adat suku Batak Toba (yaitu makan diikuti acara penyerahan Tudu-tudu ni sipanganon juhut ni horbo nabolon jala natabo, diserahkan kepada hula-hula (Matanari).
18. Acara Selingan berupa Hiburan, yaitu nyanyian dengan judul “Marsinggang Ho Inang” dan “Berngin en lang ter peddem mata ngku, merninget ko sambaing turang” yang dibawakan salah seorang boru Sihaloho, dan pakpak tentang ibu dengan calon menantu perempuannya (parumaen), yang dibawakan penyanyi duet yaitu berru Matanari bersama marga Simanjorang (berre Matanari). Wah………… cantik juga itu berru Matanari…..?.jika ada paribannya berminat datanglah ke kuta tulang.
19. Acara Penyerahan Ulos, (sesuai adat suku Toba) dari hula-hula (Matanari) kepada boru (Sihaloho). Adat suku Pakpak justru kula-kula (hula-hula) yang mendapat ulos dan emas dari anak berru. Penyerahan ulos dari kula-kula kepada anak berru pada pesta ini adalah adapt suku Batak Toba. Dengan demikian dalam acara pesta ini terjadi toleransi saling menghargai (melaksanakan) adapt budaya Batak Pakpak dan Batak Toba. Penyerahan ulos (symbol pasu-pasu/berkat dari Tuhan) dilakukan kula-kula kepada anak berru, yang diikuti tarian (tortor) dan diiringi alunan suara gendang (Gengerang Pakpak dan Gondang Toba). Acara ini berlangsung dalam suasana gembira, yang membutuhkan waktu cukup lama, karena cukup banyak pihak boru yang harus diulosi.
20. Penyampaian luah (oleh-oleh Baka Kambal dan Ayam Hidup) dari keturunan Raja (marga) Bintang (Pakpak Keppas) kepada keturunan Raja Sihaloho.. Ranimbani berru Matanari (istri Raja Sihaloho) mempunyai 2 orang adik perempuan (pariban) yaitu yang kawin ke marga (Raja) Bintang dan marga (Raja) Maha. Selain hubungan marpariban (istri bersaudara), terdapat hubungan khusus (tidak boleh kawin antar keturunan mereka, disebut marpadan) antara Raja Sihaloho dan Raja Bintang, karena mereka saling menolong dalam perang melawan musuh pada zaman dahulu.
21. Ucapan Horas Mauliate (Terimakasih) dari Nyonya Saing Sihaloho, MA boru Purba-Matanari, yang sangat mulia, rendah hati, menyejukkan perasaan, menimbulkan perasaan terharu, atas ucapan dan perbuatan nyata beliau dan keluarganya, dalam mewujutkan terlaksananya pesta ini. Walaupun beliau harus memakai Kursi Roda, namun beliau dipapah untuk berdiri untuk mengucapkan pernyataan “Horas dan Mauliate Kepada Hula-hula Matanari” dan “Rasa dan Ucapan Syukur kepada Tuhan Maha Kuasa” atas terselenggaranya pesta tersebut.
22. Acara Penyampaikan Ucapan Berkat Tuhan (Pasu-Pasu), dari pihak hula- hula Matanari yang didukung lagu berpesan Nasehat, yang dibawakan oleh Kismer Matanari, dengan Vokal suara yang merdu dan berenergi, sehingg memimbulkan kesan dan pesan yang bagus kepada semua orang, terlebih-lebih kepada pihak berru (Sihaloho) tersampaikan pesan “Jangan Melupakan Ibu” dan “Bapa” selaku orang tua. Perasaan Terharu yang timbul pada setiap orang akibat lagu yang dibawakan Kismer Matanari, membuat banyak orang menyumbang, baik dari pihak Matanari maupun Sihaloho. Pemberian uang oleh keluarga (pihak) Sihaloho umumnya dilakukan dengan perasaan hormat, terharu, menangis sambil manortor somba (menari memberi hormat kepada pihak hula-hula Matanari), adalah suatu kejadian yang tidak terlintas dalam pikiran waktu sebelumnya.
23. Acara Penyampaian Ulos dan Parsituak Natonggi tu Hula-hula Matanari (mengikuti Adat Pakpak) dari anak berru (Sihaloho), yang dipimpin Maruba Sihaloho, SE.
24. Acara Penyampaian Silua (oleh-oleh) Dekke Jair tu hula-hula Matanari, dari boru (Sihaloho) tu hula-hula (Matanari), yang penyerahannya diikuti oleh tarian dan gondang Toba.
25. Gondang Sitio-tio, adalah gendang (gondang) Penutupan Acara, yang ditutup ucapan kata HORAS/NJUAH-NJUAH tiga (3) kali,dipinpin Maruba Sihaloho, SE (Ketua Panitia Pesta).
Sejak acara point nomor 19 di atas dilangsungkan sampai acara pesta selesai, keadaan cuaca dan suasana mulai berubah secara bertahap, pelan tapi pasti, yaitu cuaca berubah menjadi cerah dan hujan gerimis pun berhenti. Bahkan selama kula-kula maraga Matanari diperjalan pulang dari huta Sihaloho di Silalahi Nabolak, keadaan hujan berhenti dan cuaca cerah.. Keadaan cuaca cerah tanpa hujan merupakan symbol harapan masa depan yang cerah {sejalan dengan munculnya perasaan terharu dan gembira baik pada pihak kula-kula (Matanari) maupun pihak berru (Sihaloho) serta mungkin juga Arwah Pinggan Matio, Ranimbani, Rumintang dan Siberru Taren berru Matanari, Raja Matanari beserta keturunannya}.
Semoga Harapan ini di Rhidoi Tuhan.
Pesta Silima Tali di Sumbul Pegagan dan di Balna Sikabeng- Kabeng Kuta Gugung, adalah Momen Kuat Penyebab sebahagian marga Matanari Pakpak Pegagan mengaku dan menarik Tarombo anak Op Sanggapulo Martua Tinggi anak Op. Borsak Sihotang Pardabuan Uruk,…. dan selanjutnya menjadi awal penyebab Pinggan Matio, Ranimbani, Rumintang dan Siberru Taren berru Matanari di lupakan keturunan anak yang lahir dari rahimnya……..,,,,,,,,,,,,? dan juga dilupakan kula-kulanya marga Matanari…………..?,
Apakah arwah mereka menangis dan tersenyum menyambut kedatangan kula-kula “Keturunan Raja Matanari Menggohon-gohoni Pomparan Raja Sihaloho di huta Sihaloho di Silalahi Nabolak”,……. setelah sekian lama tidak lagi berlangsung …..?
==================================================
Hubungan kekerabatan (persaudaran yang erat) yang sudah lama terjalin baik antara marga Sihotang, Matanari, Manik, Lingga dan Berru/Boru, dan semakin kuat setelah dilaksanakan Pesta Silima Tali di Sumbul Pegagan (sekitar tahun 1957) dan Pesta Silima Tali di Balna Sikabeng-kabeng Kuta Gugung (sekitar tahun 1960). Silima Tali adalah ikatan kesatuan 5 unsur di Pegagan, yakni (1) Sihotang, (2) Matanari, (3) Manik, (4) Lingga dan (5) Berru-Berre dari 4 marga tersebut di atas. Ikatan Silima Tali dibentuk untuk tujuan mulia, yakni ikatan kesatuan (SADA) antara 4 marga tersebut beserta berru-berre dari 4 marga tersebut, bertujuan untuk memperkecil terjadi perselisihan, memperkuat pengaruh (eksistensi) dari 4 marga dan anak berrunya terhadap gangguan atau serangan marga lain yang masuk ke daerah Pegagan. Ikatan Silima Tali makin kuat eksistensinya karena menyerupai (mirip) dengan Struktur Adat Pakapak yang dikenal dengan nama Silima Sulang, yakni terdiri dari 5 kelompok yaitu (1) Perisang-isang (anak/keturunan putra tertua), (2) Pertulan Tengah (anak/keturunan putra tengah), (3) Perekur-ekur (anak/keturunan putra si bungsu), (4) Puncani Adop (anak.keturunan saudara se marga/ kakek/bapak kakak-beradik), dan (5) anak berru-berre.
Silima Tali dapat diartikan 5 (lima) kelompok diikat dalam satu kesatuan yakni 4 marga kula-kula (hula-hula) dan satu kelompok Berru-Berre dari 4 marga tersebut. Pada mulanya Silima Tali adalah sebatas kesatuan (SADA) 4 marga di Pegagan yang terdiri dari 3 suku Pakpak Pegagan (Matanari, Manik dan Lingga) dan satu suku Batak Toba (Sihotang) beserta Berru-Berre dari 4 marga tersebut, tetapi lambat laun terjadi perubahan dari kata satu kesatuan (Sada) menjadi Anak (Keturunan). Kenapa demikian….?, adakah faktor penyebabnya….?
Dasar kepentingan (alasan) dibentuk ikatan dan dilaksanakan pesta SILIMA TALI di Sumbul Pegagan adalah Kepentingan Saling Menguntungkan antara Pakpak Pegagan (Matanari, Manik dan Lingga) dengan Sihotang (Batak Toba) yakni antara lain adalah:
Upaya memperkuat eksistensi Sihotang di Tanah Pakpak Pegagan dan sekitarnya, menjaga hal-hal/kejadian buruk yang dapat terjadi dikemudian hari (perang antar suku, seperti yang pernah terjadi di daerah lain, pada waktu sebelumnya). Mengantisipasi {agar tidak terjadi pengingkaran janji atas pemberian tanah dari suku Pakpak Pegagan kepada marga Sihotang, misalnya marga Sihotang telah mendapat tanah dan kuta di sekitar Balna Sikabeng-kabeng dari marga Matanari (disebut huta Sihotang)}.
Pada waktu itu, Pusat Pemerintahan Daerah adalah di Tarutung (daerah suku Batak Toba). Dengan demikian untuk berbagai kepentingan oknum Pakpak Pegagan (Matanari, Manik dan Lingga) dalam berbagai urusan, terutama yang berkaitan dengan Pemerintah, maka mereka mencari marga suku Toba yang dapat sebagai saudara yakni marga Sihotang yang mempunyai ikatan luas dalam marga Batak Toba (yakni Sihotang berkaitan dengan semua keturunan Siraja Oloan, marpadan dengan marga Marbun dan mempunyai bere na burju Simanjuntak Sitolu Sada Ina)
Peranan dan pengaruh marga Sihotang adalah sangat besar dan kuat terhadap Pakpak Pegagan (Matanari, Manik dan Linga) dan demikian juga pada Pakpak Keppas (Raja Udjung, Raja Angkat, Raja Raja Bintang, Raja Capah, Raja Raja Gajah Manik, Raja Kudadiri, dan Raja Sinamo). Pada umumnya semua marga di atas mengaku satu (SADA) dengan marga Sihotang. Pada mulanya mereka hanya sebatas memiliki perasaan satu kesatuan (sada), tetapi lebih lanjut ada marga yang menarik Tarombo nya sebagai keturunan Sihotang, yakni misalnya sebahagian marga Matanari mengaku dan menarik Tarombonya dari keturunan Op..Sanggapulo Martua Tinggi, anak Op Borsak Sihotang Pardabuan Uruk (generasi ke-5 dari Sihotang atau generasi ke-6 dari Siraja Oloan).
Sebenarnya marga Matanari adalah keturunan Pakpak Pegagan atau Raja Gagan atau disebut si Raja Api., karena memiliki ilmu kebatinan yang menyerupai nyala api, yang dapat terbang atau i-kabeng-kabeng ken (artinya diterbang-terbangkan) dan membakar atau membunuh musuh. Kesalahan menarik Tarombo Matanari akibat pengaruh Pesta Silima Tali tersebut di atas, menyebabkan marga Matanari disebut keturunan Sihotang. Hal ini akhirnya menyebabkan keturunan Raja Silalahisabungan memutuskan Pinggan Matio bukan marga Matanari (sebab marga ini adalah marga keturunan suku Toba yakni Siraja Oloan adek dari Raja Silalahisabungan), dan Pinggan Matio adalah putri suku Batak Pakpak. Kenyataan ini menyebabkan seolah-olah tidak ada lagi Pinggan Matio, Ranimbani, Rumintang dan Siberru Taren berru Matanari. Keempat (4) tokoh berru ini adalah putri Raja Matanari dan keturunannya generasi ke-2, ke-3 dan ke-4 marga Matanari.
Harus diakui marga Matanari mau kembali menggali sejarah yang benar setelah sejarah hubungan parboruon dengan Raja Silalahisabungan dan keturunanya berhenti sejak tahun 1981, yakni setelah marga Matanari diundang dan kemudian diusir dari Pesta Peresmian Tugu Silalahisabungan tahun 1981. Kemungkinan, juga Arwah berru Matanari (Pinggan Matio, Ranimbani, Rumintang dan Siberru Taren) ikut serta mengingatkan marga Matanari untuk bergerak memperbaiki Tarombonya, agar berru yang mereka sayangi jangan dilupakan. Hal ini terjadi melalui upaya keturunan Raja Sihaloho menelusuri dan mencari (patotahon) marga tulang dan hula-hulanya yang sebenarnya, yakni dipromotori oleh Saing Sihaloho, MA.
Hasil upaya dan kerja keras keturunan Raja Sihaloho tersebut di atas, akhirnya melalui proses dan jalan yang pajang penuh liku-liku, marga Matanari tergerak hatinya untuk kembali dapat menjalin hubungan batin dengan keturunan Raja Silalahisabungan- Pinggan Matio berru Matanari, keturunan Raja Sihaloho-Ranimbani berru Matanari, akan tetapi belum dapat menjalin hubungan baik seperti masa lampau dengan keturunan Raja Onggu Rumah Sondi- Rumintang berru Matanari dan keturunan Raja Manungkun Batu Raja- Siberru Taren berru Matanari. Kenyataan ini menyebabkan terjadi tangisan (karena belum lengkap) dan kegembiraan (karena sudah ada permulaan kembali ke sejarah lama hubungan baik dan saling mengunjungi antara kula-kula dengan anak berru) antara Matanari dengan Sihaloho keturunan Raja Silalahisabungan. Mendung diiringi hujan gerimis, cuaca terang diiringi hujan gerimis, dan cuaca cerah tanpa hujan berturut-turut adalah symbol air mata kesedihan, air mata kegembiaan dan kegembiraan kula-kula (Matanari) dan anak berru (Sihaloho) serta mungkin juga Arwah Pinggan Matio, Ranimbani, Rumintang dan Siberru Taren berru Matanari, yang berlangsung silih berganti selama Pesta Keturunan Raja Matanari Mengohon-gohoni Pomparan Raja Sihaloho di Huta Sihaloho di Silalahi Nabolak, Sabtu 29 Nopember 2008,
Maaf dari penulis, bahwa tulisan ini bernuasan batin, Roh, dengan alasan:
Kehidupan dan Kematian Manusia adalah Misteri.
Manusia Hidup mempunyai Tubuh (Daging) dan Roh,
Eksistensi Tubuh ditentukan oleh keadaan (jenis) Roh yang mendiaminya, misalnya ada manusia dapat memakan atau mengunyah api, kaca, paku, makan dedak, dll, karena berubah (berganti) Roh yang mendiami tubuhnya.
Jika Tubuh secara biology sudah mati, maka Roh akan pergi(keluar dari tubuh)
Manusia kemudian setelah meninggal akan kembali menjadi tanah, tetapi dalam dunia Roh, dia mempunyai Arwah
Ada hubungan manusia hidup dengan manusia yang telah meningal dunia melalui hubungan batin, iman atau kepercayaan.
Jadi ada hubungan arwah Pinggan Matio, Ranimbani, Rumintang dan Siberru Taren berru Matanari dengan keturunan anak yang lahir dari rahim mereka, dan juga dengan pihak Matanari selaku kula-kula mereka .
Jangan lupakan mereka.
Jangan buat arwah mereka bersedih……!!!
Jika ada dalam tulisan ini yang tidak berkenan dan tidak tepat, untuk itu penulis mohon maaf, dan penulis dengan senang hati menunggu kritik yang terutama bersifat membangun demi penegakan sejarah yang benar sebagaimana mestinya.
NJUAH-NJUAH ……….HORAS
Salam dan hormat dari Penulis
Jawaller Matanari, Ir. MS.
Ketua PERMANA (Perpulungen Matanari-Berru-Berre Kodya Medan dan Sekitarnya).
Putra Pendeta Ds Josep (mpung Sich Jerry) Matanari, Kuta Gerat Pegagan
Mobile: 081361149346
Sumber:
http://silahisabungan.idweblink.com/index.php/silalahi/detail/127/TANGISAN-DAN-SEYUMAN-PINGGAN-MATIO-RANINBANI-RUMINTANG-DAN-SIBERRU-TAREN-BERRU-MATANARIPADA-PESTAKETURUNAN-RAJA-MATANAR
No comments:
Post a Comment