Pages
▼
Thursday, May 17, 2012
Sisa Kerajaan Buddha di Tapanuli Selatan
Sisa Kerajaan Buddha di Tapanuli Selatan
Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) di Sumatera Utara (Sumut), dikenal sebagai daerah dengan mayoritas penduduknya muslim. Tak tanggung, dari sekitar 728.799 ribu penduduknya, sebanyak 90 persen beragama Islam. Nuansa Islam terakumulasi sebagai adat, mulai dari adat perkawinan, masuk rumah, khitanan hingga mengantar jemaah haji.
Kebanyakan masyarakatnya, selalu menggunakan pakaian yang juga mencerminkan nilai-nilai Islam. Lelaki mengenakan peci, atau sekedar lebai saat duduk di warung-warung kopi, bahkan hingga ke Padang Sidempuan, ibukota Tapsel. Sementara kaum ibu mengenakan kebaya atau kain terusan berikut mengenakan selendang. Padahal, arus modrenisasi juga mendera salah satu dari 25 kabupaten dan kota di Sumut ini.
Di setiap sudut, gampang dijumpai bangunan musholla atau mesjid dengan air untuk wuduk yang berasal dari air pancuran gunung. Maklum saja, sebagian besar dari 11.677 kilometer persegi luas wilayah Tapsel merupakan dataran tinggi.
Keidentikannya dengan budaya Islam membuat banyak yang yang tak percaya ketika mengetahui ternyata di kabupaten ini terdapat peninggalan Candi Budha! Tidak main-main, ada 16 candi di kabupaten ini. Keseluruhannya di Situs Purbakala Padang Lawas yang tersebar di empat kecamatan, Barumun, Barumun Tengah, Sosa dan Padang Bolak.
Candi Bahal I
Jangan membayangkan candi-candi itu seperti candi Prambanan atau Borobudur yang masih dipergunakan hingga sekarang. Candi-candi di Situs Padang Lawas masa kini hanya sebagai monumen sejarah dan sudah tidak dipergunakan lagi sebagai sarana beribadat. Misalnya Candi Bahal I.
Candi Bahal I yang berada di Desa Bahal, Kec. Padang Bolak, sekitar 450 kilometer barat daya Medan, ibukota Sumut, merupakan candi terbesar yang telah dipugar. Dikitari ilalang, Candi Bahal I terlihat bagai tugu batas desa. Beberapa pohon rimbun serta sebuah pos jaga di depannya sedikit menutupi papan nama candi di dekat gapura. Bangunan purbakala dari bata merah itu semakin memerah disengat matahari.
Walau berdiri di bukit kecil dan dikelilingi lembah berupa lahan persawahan, Candi Bahal I tidak selalu sepi. Masyarakat sekitar, memang tahu kalau di situ ada komplek percandian. Namun, tiap harinya bisa dikatakan tidak ada pengunjung.
Candi itu memang sepi pengunjung. Bisa dimaklumi sebab angkutan umum ke komplek candi ini relatif jarang dan memakan waktu. Dari Medan, terpaksa tiga kali naik angkutan, Medan – Padang Sidempuan, Padang Sidempuan – Padang Bolak serta Padang Bolak - Desa Bahal, dengan jarak tempuh sekitar 12 jam.
"Candi ini hanya ramai saat Lebaran atau Tahun Baru, itupun karena ada hiburan keyboard, biasanya dikutip Rp 2 ribu per orang. Kalau hari biasa, paling anak-anak muda sekitar kampung, pacaran. Pengunjung dalam sebulan paling banyak 20 orang saja. Kalau turis asing sudah lama tidak ada,” tutur Nashiruddin (28), seorang penduduk setempat.
Kendati merupakan kawasan wisata sejarah, tidak terlihat jejeran kios penjual makanan atau souvenir. Di luar hari libur besar, Candi Bahal I hanya berupa bangunan rapuh setinggi 12,8 meter dengan bayangan hitamnya di siang hari serta aliran Sungai Batang Panai sekitar 50 meter di bawahnya.
Menghadap Tenggara
Berbeda dengan posisi menghadap barat pada candi-candi di Jawa Timur atau menghadap timur pada candi-candi di Jawa Tengah, Bahal I justru dibangun menghadap Tenggara dengan sudut 135 derajat. Tidak diketahui alasannya.
Selain kawat berduri pemagar komplek candi seluas 2.744 meter persegi, di dalam masih ada pagar sepanjang 59 meter berupa susunan bata, mulai dari empat hingga 22 lapis. Dengan begitu, Bahal I merupakan candi terluas yang telah selesai dipugar bersama empat perwara-nya, yakni candi kecil di samping kiri dan depannya berbentuk bujur sangkar, menyerupai altar.
Perwara pertama luasnya 4,9 x 4,9 m dengan tinggi 1,5 m, berada enam meter sebelah timur laut bangunan induk. Perwara kedua merupakan perwara terluas, berada enam meter sebelah tenggara atau berhadapan dengan candi induk. Ukurannya 9,5 x 9,5 m dengan tinggi dua meter. Perwara ketiga terletak 2,20 m sebelah barat daya perwara kedua. Ukurannya 4,65 x 4,65 m dengan tinggi dua meter. Sedangkan perwara keempat ada di barat daya perwara ketiga, tinggi 1,5 meter dengan ukuran paling kecil, yakni 4 x 4 meter.
Sementara bangunan induk candi itu sendiri berdenah bujur sangkar. Di pintu masuk terdapat delapan anak selebar 2,25 meter. Sepasang arca singa terlihat mengapit tangga. Pada bagian tengah bangunan utama terdapat ruang kosong seluas 2,5 m x 2,5 m yang fungsi awalnya diperkirakan sebagai tempat pemujaan.
Kilasan Sejarah
Arkeolog asal Jerman F.M Schnitger yang berkunjung tahun 1935 menyimpulkan, candi itu peninggalan Kerajaan Pannai. Sumber sejarahnya berasal dari prasasti berbahasa Tamil berangka tahun 1025 dan 1030 Saka yang dibuat Raja Rajendra Cola I, di India Selatan. Rajendra berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya dan beberapa kerajaan lainnya temasuk Kerajaan Pannai. Keberadaan Kerajaan Pannai tercatat dalam Kitab Nagarakertagama, naskah kuno Kerajaan Majapahit tulisan Empu Prapanca tahun 1365 Saka.
Dari temuan sejumlah artefak, analisa konstruksi bangunan beserta materialnya yang dominan bata merah dengan ukuran beragam, batuan tuff (batuan sungai) untuk arca dan batuan kapur, memunculkan dugaan kuat bahwa candi ini berkaitan dengan agama Budha beraliran Wajrayana.
“Diperkirakan pembangunan Candi Bahal I beserta candi-candi di sekitarnya, sejaman dengan pembangunan Candi Muara Takus di Riau sekitar abad ke XII Masehi. Bahkan mungkin sama juga dengan sebuah Komplek Candi Mahligai dan Candi Putri Sangkar Bulan di Kab. Pariaman, Sumatera Barat yang sampai sekarang masih belum direnovasi,” kata Kepala Bidang Muskala, Kanwil Depdikbud Sumut, Syaiful A Tanjung.
Alasannya, kata Tanjung, karena proses pemugaran Candi Bahal masih mengikutsertakan arkeolog saja, sedangkan ahli sejarah tidak. Sehingga belum bisa disimpulkan kapan waktu berdirinya. Proses pemugaran masih berlangsung sampai sekarang.
Penulis yang sempat berkunjung ke Candi Muara Takus di Kabupaten Kampar, Riau, memang melihat ada kemiripan dari segi konstruksi maupun penggunaan batu bata sebagai bahan utama bangunan. Bata juga menjadi bahan bangunan dominan 61 candi di Komplek Situs Kepurbakalaan Muarajambi di Jambi.
Sebenarnya di Nanggroe Aceh Darusslam (NAD) masih berdiri satu candi bata, yakni Candi Indrapuri. Candi Hindu ini berada di Indrapuri, sekitar 25 kilometer arah timur Banda Aceh, ibukota NAD. Setelah berubah jadi Masjid Jami’ Indrapuri, terjadi beberapa perubahan bentuk.
Tembok tebal pemagar masjid merupakan bagian asli candi yang masih tersisa. Candi Indrapuri awalnya merupakan sebuah candi khusus untuk peribadatan kaum wanita. Kerajaan Lamori membangun Candi Indrapuri sekitar abad XII bersama Candi Indrapatra dan Indrapurwa. Namun dua candi terakhir sudah tidak terlihat lagi.
Relief tak Utuh
Satu hal yang agak memprihatinkan mengenai Candi Bahal I adalah pemugarannya, karena tidak begitu berhasil menunjukkan bagaimana ujud candi itu sebelumnya. Misalnya renovasi terhadap relief Yaksa dalam posisi sedang menari, di sebelah kiri pipi tangga candi. Bagian kepalanya sudah hilang.
Batu bata baru terlihat dipasang rata seperti membangun rumah! Tak ada ukiran baru mengikuti garis kepala Yaksa yang telah hilang! Untungnya 3 relief Yaksa di pipi kanan tangga masih asli. Kendati ada sedikit perbedaan pada tatahannya, namun dapatlah menjadi bahan perbandingan.
Sebenarnya relief terdapat pada setiap sisi candi. Ada enam relief singa pada dinding-dinding candi. Namun kini hanya beberapa bagian saja yang masih terlihat. Selebihnya berupa susunan batu bata baru. Ketika diresmikan Gubernur Raja Inal Siregar pada 26 Desember 1991, pemugaran itu tidak berhasil meniru aslinya.
Pemugaran terlihat lebih baik pada bagian dalam atas (atap) candi. Bentuknya lapik tiga lapis berupa susunan 21 batu bata. Berdenah bujur sangkar pada beberapa puluh centimeter pertama dan mengkerucut di bagian dalam. Sedangkan dari luar, atap berbentuk lingkaran. Renovasi keempat perwara tampak lebih baik, mungkin karena tak ada relief yang harus direkonstruksi.
http://khairulid.multiply.com/journal/item/23
No comments:
Post a Comment