Pages
▼
Wednesday, May 16, 2012
Mandailing Menyangkal Kebatakannya Akibat Emosi Keagamaan
Mandailing Menyangkal Kebatakannya Akibat Emosi Keagamaan
Namun dalam disertasi tersebut Uli selalu menyebut semuanya (Mandailing, Angkola, Toba, Karo, Pakpak dan Dairi) dengan nama Batak — misalnya penyebutan orang di Tanah Mandailing dengan kata “Mandailingbataksch” (Batak Mandailing). Dan, dapat disimpulkan kalau semua daerah itu memiliki akar budaya yang hampir sama, sehingga mempengaruhi aksara Batak yang memiliki banyak kesamaan satu sama lain.
Oleh : Ucok Lubis (Jerman)**
TOPIK seperti ini menarik sekali untuk dibahas, mengingat sebagian orang dari Mandailing masih mempertanyakan identitas kesukuannya.
Tetapi, sebelumnya aku mohon maaf kalau pendapatku ini dianggap tidak relevan, karena tidak bicara dengan bukti-bukti ilmiah seperti dilakukan Amang Zulkifli Lubis (lihat kotak komentar artikel “Ini Satu Lagi Bukti Bahwa Mandailing Adalah Batak“). Latar belakang aku bukan antropologi dan pengetahuan atas keidentitasan sukuku aku dapat dari keluargaku. Komentar yang akan kulontarkan berikut ini berdasarkan logika yang ada.
Aku sendiri tidak pernah ragu atau menolak untuk dibilang orang Batak, begitu pula seluruh keluarga besarku yang marga Lubis, Nasution, Pulungan, Rangkuti, dan lain-lain. Kami semua meyakini Mandailing itu bagian dari “bangsa Batak”. Menurutku, adanya emosi keagamaan yang berlebih saja, yang membuat sebagian orang dari tanah Mandailing menolak dikatakan Batak.
Aku setuju kalau dibilang nama Batak itu muncul belakangan. Awalnya ada suku Toba, Mandailing, Simalungun, Pakpak, Karo. Penamaan beberapa suku tersebut dengan sebutan Batak karena adanya persamaan yang kuat, yang berarti suku-suku tersebut memiliki hubungan sejarah yang kuat di masa lalu. Sehingga Batak dianggap rumpun bangsa, yang sering disebut untuk mewakilkan daerah Toba, Mandailing-Angkola, Simalungun, Karo ataupun Pakpak-Dairi.
Sebenarnya mengambil cerita legenda sebagai barang bukti tidaklah tepat atau tidak akurat karena cerita legenda bersifat fiksi, karena legenda dibuat berdasarkan kepercayaan yang diyakini pada saat itu. Misalnya seperti yang diceritakan pada legenda Si Raja Batak:
“Konon di atas langit (banua ginjang, nagori atas) adalah seekor ayam bernama Manuk Manuk Hulambujati (MMH) berbadan sebesar kupu-kupu besar, namun telurnya sebesar periuk tanah. MMH tidak mengerti bagaimana dia akan mengerami 3 butir telurnya yang demikian besar, sehingga ia bertanya kepada Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta) bagaimana caranya agar ketiga telur tersebut menetas.”
Bagaimana mungkin ada seekor ayam sebesar kupu-kupu besar diatas langit ? Namun, legenda tersebut patut kita hargai sebagai suatu karya sastra yang besar; begitu pula cerita-cerita legenda dari daerah manapun di Indonesia. Menurutku, sangat tidak relevan untuk mempercayainya sebagai barang bukti.
Masyarakat Mandailing yang diceritakan pada kitab Negarakertagama juga bukan leluhurnya orang-orang di Tanah Mandailing sekarang. Candi-candi yang ada di sana bukanlah buatan leluhur masyarakat yang mendiami tanah Mandailing sekarang. Bbahkan tulisan yang tertulis di peninggalan-peninggalan tersebut pun sama sekali bukan tulisan orang Mandailing yang dikenal sekarang (yang dikenal juga dengan aksara Batak Mandailing).
Maka masyarakat Mandailing Kertagama tersebut boleh jadi orang-orang India dan Lubu yang punya tradisi membuat Candi zaman dahulunya. Sedangkan orang-orang yang datang ke tanah Mandailing kemudian adalah perantau yang menggantikan penduduk di wilayah tersebut, yang dapat dilogikakan orang-orang tersebutlah yang kemudian dibilang Batak Mandailing.
Hal tersebut bisa dibuktikan dengan adanya marga-marga Mandailing yang turun-temurun di bagian Utara sehingga mereka juga turun-temurun menggunakan budaya yang ada di daerah tersebut. Misalnya marga Lubis, Siregar, Harahap,dan lain-lain yang ada di daerah Toba. Apa mereka menggunakan adat istiadat yang digunakan di Tanah Mandailing? Dan, apakah mereka mempercayai kalau nenek moyangnya berasal dari Mandailing?
Menurutku, adanya beberapa perbedaan pada adat dan budaya Mandailing dengan Batak lainnya hanya dikarenakan adanya asimilasi dengan budaya lain. Banyak sekali kesamaan budaya Mandailing dengan budaya Batak lainnya yang bisa ditemukan, seperti adanya akar budaya Dalihan/Dalian Na Tolu, dan atribut kain adat yang hampir sama.
Jika di Toba dan Mandailing-Angkola kain adatnya disebut Ulos, di Simalungun disebut Hiou, Uis bagi orang Karo dan Oles untuk Pakpak. Juga kata salam yaitu Horas yang dipergunakan orang Toba, Mandailing-Angkola dan Simalungun. Suku Karo memakai salam Mejuah-juah, Pakpak-dairi dengan Njuah-juah. Aksara atau tulisan juga hampir sama disemua daerah tersebut, demikian pula bahasa yang hampir sama, dan banyak lagi persamaan-persamaan lainnya.
Apa yang telah kubaca dari disertasi yang ditulis oleh Dr. Uli Kozok; seorang peneliti bahasa, budaya dan sastra Batak warga negara Jerman ; yang berjudul “DIE BATAKSCHE KLAGE: Toten-, Hochzeits- und Liebesklagen in oraler und schriftlicher Tradition” ( http://www.sub.uni-hamburg.de/opus/volltexte/2000/139/html/downloads/Vol_1/bilang.html ) dapat disimpulkan bahwa setiap suku dari rumpun Batak ini mempunyai bahasa dan aksara masing-masing.
Uli membagi dalam rumpun selatan (Angkola-Mandailing & Toba), rumpun utara (Karo & Pakpak-Dairi), serta Simalungun yang terpisah dari rumpun keduanya. Namun dalam disertasi tersebut Uli selalu menyebut semuanya (Mandailing, Angkola, Toba, Karo, Pakpak dan Dairi) dengan nama Batak —misalnya penyebutan orang di Tanah Mandailing dengan kata “Mandailingbataksch” (Batak Mandailing). Dan, dapat disimpulkan kalau semua daerah itu memiliki akar budaya yang hampir sama, sehingga mempengaruhi aksara Batak yang memiliki banyak kesamaan satu sama lain.
Menurutku, pencarian identitas kesukuan bisa dilakukan dengan banyak pendekatan seperti pendekatan antropologi, linguistik bahkan sains; tapi semua itu seharusnya mengacu kepada satu jawaban. Misalnya dalam segi linguistik dikatakan bahwa bahasa Simalungun adalah yang paling tua, dengan mempertimbangkan secara historis bahasa Simalungun merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari Batak Selatan sebelum bahasa Toba dan Angkola-Mandailing terbentuk.
Sedangkan menurut kepercayaan dari Toba, yaitu legenda Si Raja Batak, asal-muasal semua orang Batak berasal dari Pusuk Buhit. Namun, bila digali lebih dalam kedua pendekatan tersebut akan mengacu kepada satu jawaban: bangsa Batak secara keseluruhan memiliki hubungan yang kuat satu sama lain.
Tapi, sangatlah tidak masuk akal kalau dibilang salah satu bagian dari bangsa tersebut memiliki asal-muasal yang bisa total berbeda dengan lainnya, misalnya nenek moyang yang berasal dari Bugis atau dari Planet Mars. Keturunan dari bagian bangsa tersebut memiliki ciri-ciri seperti kepala benjol kebelakang, kulit hitam, rambut gimbal, dan lain-lain.
Aku bangga menjadi bangso Batak.
Horas Batak Mandailing!
Horas Bangso Batak!!
——————————————
**Ucok Lubis, sekarang tinggal di Jerman, kelahiran Jakarta, keluarganya berasal dari Mandailing.
***Tulisan ini adalah komentar Ucok Lubis di artikel “Ini Satu Lagi Bukti Mandailing Adalah Batak“
Sumber:
http://tobadreams.wordpress.com/2008/10/09/mandailing-menyangkal-kebatakannya-akibat-emosi-keagamaan/
No comments:
Post a Comment