Kiprah Alumni ENERGI MASA LALU SRI HARTINI |
AUFRIDA WISMI WARASTRI Tak banyak orang yang bisa membuat benda mati yang menyimpan sejarah masa lalu bicara dan menjadi pijakan pada masa kini. Kalau seorang kepala museum dipilih bukan karena kecintaannya pada sejarah, sulit untuk membuat benda-benda mati pada masa lalu itu memberi semangat pada kehidupan masa kini. Pernyataan itu dilontarkan Sri Hartini, Kepala Museum Negeri Sumatera Utara. Jabatan kepala museum yang diemban selama sembilan tahun membuat ia paham, menjadi pegawai museum adalah pengabdian. Terutama karena apresiasi masyarakat Indonesia pada museum yang menyimpan sejarah peradaban bangsa ini sangat rendah. ”Museum hanya dianggap kumpulan barang kuno. Pemahaman akan sejarah dan kebudayaan belum menjadi kebutuhan,” tutur ibu dua anak itu. Kadang ekonomi dijadikan alasan mengapa orang enggan berapresiasi pada sejarah dan museum. Namun, mereka yang mempunyai tingkat ekonomi yang mapan pun enggan pergi ke museum. Ia pun melakukan otokritik. Secara internal pengelolaan museum belum profesional. Pertama, tampilan pameran memang kurang menarik. Kedua, sering kali sumber daya manusia yang dimiliki museum justru kurang paham soal museum, apalagi mencintai isinya. ”Masih banyak orang yang menganggap kalau dipindah tugas ke museum itu dibuang,” tutur Sri. Padahal, justru museum membutuhkan mereka yang punya keahlian khusus dan bersemangat untuk memelihara aset kebudayaan sebuah bangsa. Dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia dan Singapura, misalnya, pengelolaan museum di dalam negeri, khususnya di luar Jawa, memprihatinkan. ”Kalau kami sendiri tidak bergerak dan terus menyosialisasikan (museum) kepada masyarakat, siapa lagi yang akan mengenalkan sejarah kepada mereka, khususnya generasi muda?” katanya. Dua tahun belakangan ini Sri membuat program mengubah wajah lantai satu Museum Sumut dengan tampilan lebih modern. Dinding ruang pajang akan memuat cerita sejarah dalam cetak digital. Interior museum diubah dalam warna-warna cerah. Etalase pajangan koleksi ditempatkan di tengah ruangan dalam kaca bening dan lampu yang mengenakkan mata memandang. Satu ruangan pajang museum sudah diselesaikan. Ia juga membuat komunitas Sahabat Museum di Sumatera Utara.Program yang dilontarkan beberapa bulan lalu itu hingga kini baru menarik puluhan orang anggota. Dalam beberapa kali percakapan, Sri sering mengeluhkan susahnya mengajak orang untuk bergerak ”maju” bersama. ”Dulu membuat supaya bohlam lampu di pojok museum tidak hilang saja sulit. Sebab, diam-diam setiap kali bohlam dipasang, benda itu diambil orang dalam,” tuturnya. Komunitas Kesadaran untuk merasa ikut memiliki belakangan tumbuh kembali. Sri menyadari, bekerja di bidang kebudayaan tak bisa sendirian. Ia menjalin relasi dengan komunitas-komunitas kebudayaan di Sumut supaya banyak kegiatan berlangsung di museum. Baru-baru ini misalnya Ikatan Sarjana Melayu Sumatera Utara bersama komunitas lain, seperti Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, menggelar Pesta Budaya Melayu di Museum Sumut. Puluhan mahasiswa keturunan Melayu asal Thailand selatan yang banyak menempuh studi di Sumut juga ikut terlibat. ”Ada banyak etnis di Sumut. Coba ya kalau setiap etnis membuat pesta budaya, museum akan ramai setiap saat,” tuturnya. ”Kalau tidak demikian, orang tidak akan datang ke museum. Bahkan, ada pejabat pemerintah yang baru datang ke museum karena ada pesta budaya, kemudian berkomentar bahwa ternyata museum menarik juga untuk dilihat,” ujarnya. Setelah pesta budaya Melayu, beberapa kelompok budaya lalu menyatakan akan melakukan pesta budaya serupa, seperti dari Batak Karo dan Simalungun. Sri berharap etnis lain di Sumut, seperti Nias, Jawa, Batak Toba, Tionghoa, India, Mandailing, dan Pakpak, juga berminat menggelar pesta budaya. Perempuan kelahiran Magetan, Jawa Timur, itu tertarik pada benda-benda masa lalu karena diterima di Jurusan Arkeologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Relasi antarmahasiswa arkeologi yang menyenangkan, nilai studi yang bagus, dan perjalanan ke situs-situs budaya membuat Sri mencintai arkeologi. Ia pindah ke Sumut pada 1988. Waktu itu ia bekerja di Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan Dirjen Kebudayaan, kemudian menjadi staf di Kanwil Depdiknas Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Sumut, lalu menjadi Kepala Museum Sumut sejak tahun 1999. Kuburan keluarga Batak Studi pascasarjana ia jalani pada Program Studi Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan, tahun 2006, menghasilkan tesis tentang tambak atau kuburan keluarga masyarakat Batak, khususnya Batak Toba yang tersebar di Samosir, Toba Samosir, Tapanuli Utara, dan Humbang Hasundutan. Ada dua tahap penguburan yang dilakukan masyarakat Batak. Pertama, penguburan jenazah ke dalam tanah sesaat setelah seorang Batak meninggal. Kedua, penguburan tulang belulang yang dilakukan beberapa tahun kemudian. Tulang ditempatkan dalam peti, disebut batu sada, yang berbentuk sarkofagus, tempayan batu, kubus batu, dan pahatan batu. Hanya kaum bangsawan yang mampu membuat batu sada karena biaya upacara yang begitu mahal. Sri menemukan, tambak pada masyarakat Batak Toba sudah berlangsung sebelum masuknya agama Kristen di Toba. Ditemukannya bangunan kubur sarkofagus, tempayan batu, kubus batu, dan pahatan batu mengindikasikan, tradisi kubur ini merupakan hasil budaya masyarakat megalitik yang berasal dari masa 3.000 tahun sebelum Masehi. ”Banyak cerita menarik dari masa lalu yang perlu diketahui generasi kini,” kata Sri. Museum Sumut memiliki 6.942 koleksi yang terbagi dalam 10 jenis, yaitu geologika, biologika, etnografika, arkeologika, historika, numismatika, filologika, keramilogika, seni rupa, dan teknologika. Berapa tiket masuk ke Museum Sumut? Rp 750 per orang, lebih murah dibandingkan dengan ongkos parkir sepeda motor di Medan yang rata-rata Rp 1.000 sekali parkir. Dengan kunjungan ke museum rata-rata 70.000 orang per tahun, penghasilan museum sekitar Rp 52,5 juta per tahun. Lalu, bagaimana membiayai museum yang tagihan listriknya per bulan Rp 8 juta (setahun sekitar Rp 96 juta) dan air Rp 1,5 juta (setahun Rp 18 juta)? ”Kami sepenuhnya mengandalkan APBD. Pendapatan dari tiket masuk tak cukup untuk pemeliharaan koleksi yang menghabiskan dana terbanyak,” tuturnya. Jumlah pengunjung museum bergantung pada kegiatan yang ada. Saat banyak kegiatan, seperti pada tahun 2005, pengunjung mencapai 81.000 orang. Jumlah itu menurun ketika kegiatan berkurang, seperti pada 2006 sebanyak 75.000 orang dan 2007 menjadi 51.000 orang. Meski begitu, ia tetap optimistis. Dengan menggandeng berbagai komunitas, Sri berharap kepedulian masyarakat, terutama kaum muda, terhadap sejarah bangsa akan membaik. ”Jumlah pengunjung mulai naik dengan adanya kegiatan. Tahun ini (2008) sampai Agustus, ada sekitar 40.000 pengunjung,” katanya. Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/03/01105810/ energi.masa.lalu.sri.hartini |
Pages
▼
No comments:
Post a Comment