Pages

Monday, April 23, 2012

Sejarah Tak Boleh Dipalsukan


Sejarah Tak Boleh Dipalsukan
2008-06-05

Buku Tuanku Rao yang ditulis oleh Mangaradja Onggang Parlindungan (MOP), tak pelak lagi menjadi buku "sejarah" Batak yang paling banyak dibicarakan awal melenium ini. 

Sejak diterbitkan untuk kedua kalinya pertengahan 2007, tercatat sejumlah media berpengaruh telah menempatkannya menjadi isu penting. Disamping itu, juga turut digelar beberapa diskusi yang berkaitan dengan isi buku tersebut oleh beberapa kalangan.

Bagi H. Felix Hendrito Parlindungan Siregar, putra kedua dari alm MOP, penerbitan buku Tuanku Rao kali ini tentunya sarat dengan makna. Betapa tidak, sebagai pewaris dari penulis buku tersebut, dia berkesempatan menyaksikan buku yang semula hanya diperuntukkan bagi dia dan abangnya Dorphi, kini menjadi topik penting bagi banyak orang, khususnya masyarakat Batak,"Ketika papi menulis buku itu saya dan abang saya Dorphi sedang berada di Amerika. Jadi beliau ingin kami anaknya mengerti dan paham tentang sejarah Batak, maka beliau tulislah buku Tuanku Rao," ujar Felix Hendrito Siregar mengisahkan latarbelakang penulisan buku Tu­anku Rao tersebut.

Sebagai putra dari MOP, Felix Hendrito Siregar yang dalam buku Tuanku Rao akrab dipanggil "Sony Boy" tentu paham betul bagaimana proses penerbitan buku tersebut. Kepada Nauli Basa dia mengisahkan, karena kepentingan politik, maka pada masa awal tahun 50-an penulisan buku sejarah lebih banyak didominasi oleh kepentingan penguasa dari etnis tertentu. Oleh karena itu menurutnya, Mangaradja Onggang Parlindungan, yang pada masa itu merupakan Perwira Angkatan Darat lulusan luar negeri, dan merupakan keturunan bangsawan Batak merasa terpanggil untuk menuliskan sejarah tentang leluhurnya sendiri. Kemudian dia tulislah buku Tuanku Rao, "Awalnya diedarkan terbatas, namun atas saran aim TB Simatupang, buku tersebut disebarkan ke kalangan sejarawan Batak lainnya," paparnya.

Pertama kali terbit 1964, buku Tuanku Rao memang mendapat­kan sambutan yang positif dari masyarakat. Namun karena waktu itu terdapat beberapa bagian yang dianggap meresahkan, maka pemerintah mengeluarkan keputusan untuk melarang peredaran buku ini. Barulah 43 tahun kemudian, atau tepatnya 2007, ahli waris MOP, yakni Felix dan Dorphi abangnya memutuskan untuk menerbitkan kembali buku karya legendaris sang papi, "Memang buku ini ada pro dan kontra, tapi sejarah tak boleh dipalsukan. Sejarah harus dituliskan, entah itu yang baik maupun yang buruk. Kenapa harus di tutup-tutupi bila faktanya memang terjadi. Jadi, berpulang kepada pembaca, apa yang yang akan dia petik dari buku ini" jelasnya.

Pada bagian lain, Felix yang lahir di Jakarta dan meraih gelar S2 di Amerika Serikat ini mengungkapkan, keputusan mereka (Felix dan abangnya Dorphi) untuk menerbitkan kembali buku Tuanku Rao ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa sejak tahun 1964 sampai saat ini belum satu pun buku sejarah Batak yang berhasil ditulis oleh orang Batak sendiri. "Karena itulah kami memutuskan untuk menerbitkannya kembali untuk generasi muda saat ini, karena banyak anak-anak kita yang belum tahu tentang isi buku Tuanku Rao ini," tukas pria kelahiran 1954 ini.

Lebih jauh, Felix yang berencana menulis buku Tuanku Rao jilid 11 ini mengatakan prihatin karena semakin banyak orang Batak yang tidak lagi bangga disebut Batak. Bahkan Felix menilai, bagi generasi muda yang lahir dan besar di rantau bukan cuma bahasanya saja yang hilang, budayanya pun sudah turut hilang. Karena itulah dia mengaku merasa terpanggil untuk menuliskan sesuatu yang kelak akan diturunkan pada anak­anaknya,"Kalau papi menulis berdasarkan sejarah, maka saya akan menulis tentang apa artinya dan bagaimana menjadi seorang Batak," ungkap pria yang mahir karate, menembak, dan berkuda ini.

Sementara itu menyangkut kenangan kepada sang papi, Felix yang sudah dikaruniai 4 putra-putri ini mengisahkan bahwa semasa hidupnya Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar adalah sosok yang sangat religius. Karena itulah menurut Felix, walau mereka termasuk keluarga dari ekonomi yang cukup mapan, sang papi tidak tertarik untuk menyekolahkan anak-anakn­ya di sekolah bergengsi. Mereka, sebagaimana dikatakan Felix, justru dimasukkan ke sekolah Muhammadiyah,"Waktu itu papi berkata,kalau kamu mati akan ditanya tiga perkara, yakni, siapa Tuhanmu?; Siapa Nabimu?; dan Apa Kitabmu?" ujar Felix, mengenang. Kepada Nauli Basa, Felix juga menunjukkan pesan sang papi yang dimuat pada halaman terakhir buku Tuanku Rao. Disitu Mangaradja Onggang Parlindungan berpesan kepada anak-anaknya agar jadilah muslim yang baik.

Hal lain yang masih dia ingat dari sang papi adalah sikap tegas serta disiplin,"Papi memberi contoh bukan cuma teori disamping itu papi selalu mengajarkan kepada kami untuk selalu belajar ilmu yang berguna," kata Felix yang fasih berbahasa Inggeris dan Perancis ini.


Sumber:

No comments:

Post a Comment