Pages

Sunday, April 22, 2012

RESENSI BUKU TUANKU RAO: “PRAHARA DI TANAH BATAK”

RESENSI BUKU TUANKU RAO: “PRAHARA DI TANAH BATAK”

Judul Buku: Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak.
Penulis: Mangaradja Onggang Parlindungan
Editor: Ahmad Fikri A.F.
Penerbit: LKiS, Jogjakarta Cetakan I, Juni 2007
Isi buku: iv + 691 halaman-Hardcover
Harga: Rp 135.000

“Tak ada fakta, yang ada hanyalah tafsir,” begitu kata Nietzsche berkenaan dengan masalah kebenaran dan pengetahuan. Katakata itu tampaknya berlaku juga untuk sejarah, sebab sejarah erat kaitannya dengan serpihan-serpihan kebenaran dan pengetahuan, yang supaya bermakna perlu ditata dan ditafsir kembali. Karena itu, sejarah juga merupakan tafsir, dan sebuah tafsir bukanlah segumpal kebenaran mutlak. Ia baru merupakan upaya untuk mendekati kebenaran. Buku Tuanku Rao karya M.O. Parlindungan ini merupakan salah satu upaya menggali dan menafsirkan kembali serpihan-serpihan pengalaman masa lalu itu, terutama yang terkait dengan Perang Paderi. Melalui buku ini, penulis mengajak kita mengunjungi kembali ke masa lalu Tanah Batak secara gamblang dengan berupaya memahami proses-proses yang terjadi di balik teror kekerasan penyebaran agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak pada 1816-1833. Berbeda dengan sejarawan lain, penulis memilih untuk menuliskan sejarah Batak dengan gaya bertutur (story telling style), yang semula memang ditujukan kepada anak-anaknya. Di sinilah sesungguhnya letak daya tarik buku ini. Ia muncul orisinal karena fokusnya lebih diletakkan pada praktik penciptaan sejarah Batak itu sendiri ketimbang menjajarkan peristiwa-peristiwa kesejarahan naratif seperti praktik sejarawan konvensional selama ini. Menurut penulis, setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke Tanah Batak tersebut dilakukan dengan kekerasan. Selain menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan itu juga dipicu oleh dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, pun sampai mengucapkan sumpah yang diikuti seluruh marga Siregar, akan kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya. Agama Islam Mazhab Hambali yang masuk ke Mandailing dinamakan penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol, meski dipimpin orang-orang Batak sendiri, seperti Pongkinangolngolan Sinambela (Tuanku Rao), Idris Nasution (Tuanku Nelo), dan Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti). Dalam silsilah yang terlampir di buku ini, disebutkan bahwa Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Gana Sinambela (putri Singamangaraja IX) dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela (adik Singamangaraja IX). Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra Singamangaraja VIII, sedangkan Gana Sinambela adalah kakak Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya (hlm. 355). Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin Datu Amantagor Manurung. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati kepada keponakan yang disayanginya dengan menenggelamkandi Danau Toba. Tapi, bukannya mati tenggelam, Pongkinangolngolan terselamatkan arus hingga mencapai Sungai Asahan dan ditolong seorang nelayan bernama Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan pergi ke Minangkabau karena takut dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak. Di Minangkabau, pada 1804, Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku Nan Renceh, lalu dikirim ke Makkah dan Syria serta sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri Janitsar Turki. Sekembalinya, pada 1815, Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan mendapat gelar Tuanku Rao. Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak. Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadan 1231 H (1816 M) terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. Muarasipongi berhasil diluluhlantakkan dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorang pun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukan guna penyebaran agama Islam Mazhab Hambali. Setelah itu, penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara dilaksanakan 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang untuk memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding satu lawan satu. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi. Penyerbuan pasukan Paderi terhenti pada 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak pada 1818, hanya tersisa sekitar 30.000orang. Sebagian terbesar bukan tewas di medan pertempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, pada 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengislaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Sementara itu, Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Akhirnya, Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo tewas dipenggal kepalanya, sedangkan tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya. Akhirnya, buku yang terbagi dalam tiga bagian besar dan berisi 34 lampiran ini jelas memiliki tempat khusus di dalam penulisan sejarah berdasarkan fakta dan representasi historiografi sebagai interpretasi yang tidak mutlak. Penulis telah menunjukkan adanya kekuatan pada naskah tertulis dalam merekonstruksi visi sejarah Batak bagi perkembangan politik, sosial, dan budaya. Tak dapat disangkal, kontribusi utama buku ini terletak pada temuannya atas faktor lain di luar domain historiografi konvensional. Hal itu jelas akan berdampak luas dalam perdebatan mengenai historiografi Indonesia. (*)


Oleh: TASYRIQ HIFZHILLAH Peminat sejarah asal Probolinggo, bergiat di Lembaga Studi Pembebasan (LSP), Jogjakarta. Sumber: Kiriman dari AHMAD ALI AFANDI (DI JAWA POS, MINGGU, 24 JUNI 2007)

http://grelovejogja.wordpress.com/2007/07/27/resensi-buku-tuanku-rao/

No comments:

Post a Comment