Pages

Friday, April 27, 2012

Mengenal Gondang dalam Ritual Adat Batak


Mengenal Gondang dalam Ritual Adat Batak


Tampahan, Halakhita. Oleh Aristo Panjaitan SS SPd

Bergesernya kosumsi gondang yang digantikan oleh perangkat musik tiup logam (brass) atau organ elektronik yang disebut ‘kibot’ (keyboard-red), jelas merupakan suatu proses pembenaman musik tradisional batak meskipun beberapa pihak sampai sekarang berusaha keras untuk melestarikan gondang dengan melakukan pencangkokan gondang pada perangkat organ elektronik yang orientasinya lebih kepada bisnis, hal ini disampaikan oleh, A Holbung Siahaan (62), ketika ditemui Halakhita belum lama ini pada salah satu acara adat saur matua di desa Tara Bunga.

Gondang sabangunan atau disingkat gondang dalam masyarakat Batak Toba artinya menunjuk seperangkat alat musik (instrumen) tradisional yang dipergunakan pada saat menari (manortor-red) dalamsuatu upacara adat batak. Tetapi istilah gondang juga dipakai untuk komposisi lagu, serta jenis tarian/tortor yang dibawakan kerabat dalam upacara.

Pargonsi adalah para musisi yang memainkan instrumen gondang. Instrumen gondang sabangunan disebut juga ’Parhohas na ualu’ (delapan perangkat-red). Angka delapan memiliki makna penting dalam pemahaman Batak karena merujuk pada delapan mata angin (desa na ualu-red). Instrumen gondang terdiri dari taganing, sarune, gordang, ihutan, oloan, panggora doal dan hesek.

Taganing adalah lima buah gendang berbentuk silinder, yang dipukul dengan kayu. Pemain taganing memiliki peran dan tanggung jawab istimewa karena disamping memberi aba-aba, juga memainkan suatu lagu bersama dengan sarune. Inilah dirigen dan pemberi semangat semua musisi.

Gordang juga gendang yang bentuknya lebih besar yang berfungsi sebagai pelengkap taganing dalam variasi irama. Temponya selalu cepat sehingga tidal dapat diikuti penari. Penari mengikuti ritme ogung. Sarune merupakan instrumen tiup dari kayu berlidah ganda yang memainkan melodi suatu lagu. Pemain sarune juga istimewa karena tanggung jawab penguasaan sama dengan pemain taganing. Alat musik oloan, ihutan, panggora dan doal adalah gong dalam berbagai ukuran. Perannya juga bersifat pengikut. Begitu juga halnya odap.

Ogung oloan yang bernada rendah menyajikan bunyi dengan irama tetap agar dituruti oleh ogung yang lain. Karena itu disebut ‘oloan’ yang artinya diikuti. Ia memimpin semua ritme ritme ogung. Oloan disambut oleh Ogung Ihutan (yang mengikuti-red). Atau disebut ‘pangalusi’ (jawaban-red). Peranan ihutan hampir sama dengan oloan tetapi dengan nada lebih tinggi disambut lagi dengan Ogung Panggora (yang berseru memberi efek kejut-red) dan doal yang memberi variasi irama tambahan.

Hesek kelihatannya seperti tidak penting namun terasa kurang pas tanpa kehadirannya untuk menyempurnakan keseluruhan irama. Dua pukulan hesek berbunyi dalam satu pukulan doal sehingga memberi efek harmonis. Panggora akan berbunyi bersama-sama oloan pada pukulan kedua dan sekali ia berbarengan dengan ihutan.

Suatu rangkaian musik yang berhubungan satu dengan berikutnya, disebut ‘Si Pitu Gondang’ yang terdiri dari tujuh lagu berurutan sehubungan dengan ritual agama Batak purba. Tidak diiringi dengan tarian. Bisa dimainkan keseluruhan tanpa henti tetapi bisa dengan jeda. Beberapa jenis alat musik asli untuk ritual lama sekarang sudah sangat jarang diselenggarakan sehubungan dengan pengaruh agama Kristen.

Kini pada generasi kelima bahkan keenam, kecemasan semacam itu kiranya berlebihan sebab pada umumnya generasi sekarang tidak merasakan lagi aroma agama purba dan semata-mata melihatnya dari segi kesenian belaka. “Gereja agaknya sudah agak melunak dan memperbolehkan dengan syarat dimulai doa oleh pendeta atau pengurus gereja,” ujar A Sintong Gultom, dari kaluarga yang punya hajatan.

Rangkaian ini selalu dimulai oleh yang punya hajat (suhut-red) membuka upacara dengan meminta ‘Tua ni Gondang’ (Introduksi-red) artinya memohon tuah dari Tuhan untuk gondang yang akan diselenggarakan. Dengan ini maka upacara di mulai secara resmi.

Gondang selalu diawali dengan gondang mula-mula yang memulai mohon restu dari Maha Pencipta dan hadirin, dengan menutup kedua telapak tangan didepan dada. Disusul kemudian Gondang Somba-somba untuk memberi hormat takzim dengan menyedekap kedua telapak tangan yang mulai terbuka. Penari berputar dan berdiri di tempat.

Di bagian tengah ada Gondang Pasu-pasu memberi berkat dan restu kepada kelompok boru (pihak kerabat pengambil istri-red). “Dalam kelompok Pasu-pasu termasuk Gondang Sampur Marmeme untuk permohonan agar boru diberi banyak keturunan, dan Gondang Sampur Marorot agar kelompok Boru dapat memelihara dan merawat anak-anaknya agar selalu sehat walafiat. Gondang Saudara termasuk juga pasu-pasu yang mengambarkan permohonan kepada yang Maha Kuasa untuk kemakmuran.” Imbuh Siahaan menimpali.Pada tahap akhir adalah komposisi Gondang Sitio-tio/Hasahatan, menggambarkan kecerahan dan segala permohonan segera terwujud.

“Gondang asli lain memuat Gondang Mulajadi, Gondang Batara Guru, Gondang Mangalabulan dsb sangat jarang diperagakan. Mungkin akan dapat dilihat dalam upacara penganut agama Parmalim yang diselenggarakan pada waktu tertentu di desa Hutatinggi di Laguboti,” lanjutnya.

Semua kerabat dapat meminta gondang untuk menari misalnya ada kelompok tuan rumah disebut gondang Suhut, gondang Boru, gondang Hula-hula dan juga untuk kelompok muda-mudi diberi kesempatan untuk menari disebut gondang Naposo.
Pimpinan gondang, Gultom, mengeluh karena sering merasa dilechkan pihak pengundang yang menawar upah jasa dengan harga sangat dibanding dengan musik keyboard. “Untuk menawar keyboard, orang Batak bersedia membayar diatas Rp 3 juta, tapi untuk gondang dibayar sekitar Rp 2- 2,5 juta, malah ada yang menawar dibawahnya, padahal delapan pemain gondang itu seharian keringatan! Bisa dibayangkan bahwa tanpa ada penghargaan dari orang Batak sendiri maka perlahan-lahan semua pargonsi akan beralih profesi dan punahlah Gondang Sabangunan itu,” ujarnya memelas.


Sumber:
http://halakhita.blogdetik.com/2011/01/04/mengenal-gondang-dalam-ritual-adat-batak-2/

No comments:

Post a Comment