MARSIUS SITOHANG DAN PENETRASI MUSIK POP
SEPULANG dari Irian dan Jakarta tanggal 14 April 2001, MarsiusSitohang langsung mendapat order tanggapan. Tanggal 15 April, pukul8.00 pagi ia sudah berangkat main musik dan baru pulang kembali pukul02.00 dini hari. Baru pada hari ke empat kepulangannya, Selasa (17/4)Kompas berhasil menemuinya, di sela-sela kesibukan dosen luar biasaini mengajar."Kemarin dari Irian, saya langsung ke Jakarta, mengajar di SMA AlIzhar Pondok Labu, Jakarta, delapan kali pertemuan," katanyamengawali pembicaraan di teras lantai dua, Gedung JurusanEtnomusikologi Universitas Sumatera Utara di Medan.Pemain opera rakyat, yang beralih menjadi tukang becak karenatergusur zaman, dan akhirnya menjadi dosen luar biasa UniversitasSumatera Utara untuk musikologi ini, tampak telah mantap menjalaniperannya sebagai dosen. Mengenakan celana blue jeans dan kausberkerah, ia tampak mengajar dengan santai dan penuh percaya diri.Tidak lagi tegang, seperti ketika awal dia mengajar di tahun 1985.Saat masih menggelinding di jalanan Kota Medan dengan becaknya,tak pernah terpikir di benak ayah enam anak yang tak tamat SD ini,akan menjadi dosen dan bermain musik di berbagai negara di dunia.Berbagai piagam penghargaan dari dalam dan luar negeri pun telahditerimanya. "Amerika, Australia, Jepang, Korea, dan semua kota diEropa pernah saya datangi, sebut saja Swiss, Jerman, Belanda, danBelgia," katanya.***CUKUP mantap di kehidupan saat ini, Marsius masih menyimpankegelisahan juga."Kalau sampai gondang sabangunan punah, di situlah takutnyakita," ujar lelaki kelahiran Tapanuli Utara tahun 1953 ini, ketikaditanyakan apa yang sedang menjadi perhatiannya saat ini. Dari duajenis musik tradisional Batak Toba, yaitu uning-uningan dan gondangsabangunan, hanya yang pertama yang masih banyak mendapat apresiasimasyarakat.Menurut Marsius, uning-uningan relatif lebih bisa bertahan karenamemiliki tujuh tangga nada (diatonis), sehingga bisa digabung denganmusik modern untuk mengiringi lagu-lagu pop. Alat musik uning-unginanterdiri dari garantung (semacam gamelan kayu berukuran kecil),sarunai (seruling kayu berlubang empat), dan seruling bambu.Sedangkan gondang sabangunan hanya memiliki lima tangga nada(pentatonis), sehingga tidak bisa mengadaptasi selera masyarakat akanlagu-lagu pop modern. Akibatnya tidak lagi mendapat apresiasi, bahkandari masyarakat Batak sendiri. "Alasannya, musiknya cuma itu sajadibolak-balik," ujar Marsius.Padahal, sebenarnya ada ratusan repertoir musik yang menggunakantaganing (semacam tifa tetapi memainkannya dipukul dengan stick),gong, dan sarunai besar (seruling kayu dengan empat lubang pengaturnada) itu. Marsius sendiri "hanya" mampu mengingat 60 repertoir.Namun, bagi yang tidak terbiasa, mendengarkan musik gondangsabangunan ini memang sepertinya semua lagu sama saja.Dari ratusan repertoir tersebut, setahu Marsius belum ada yangdidokumentasikan. Ia sendiri tidak mampu menuliskannya, semua hanyaada di kepalanya. "Semuanya ingin saya lakukan, tapi nulis-nulisnyasaya tidak tahu. Saya enggak ngerti teori-teori itu, tapi kalau orangmenyanyi lagu apa saja saya bisa mengiringi," katanya.Begitu kuatnya serbuan musik pop, membuat berbagai tatanantradisi berantakan. "Kini, untuk orang meninggal pun lagunya mintaPoco-Poco," katanya.Padahal, menurut adat Batak, untuk orang meninggal harusnyadengan tari Tor-Tor yang diiringi gondang sabangunan. Antara laindengan iringan gondang Mula-mula dan Mula Jadi, sebuah repertoiryang menggambarkan bahwa semua yang di dunia ada awalnya. Karenanya,setiap orang harus bersujud pada orang tua yang merupakan permulaandari keberadaannya. Kemudian gondang Hasahatan, yang mengungkapkanbahwa segala sesuatu ada akhirnya. Atau juga, gondang Sitiotio, yangberarti bersih, di mana semua kata-kata yang diungkapkan tentangorang meninggal keluar dari hati yang bersih dan tulus.Namun, di Medan semua tatanan adat itu rupanya mulai tergeser.Sekalipun acara orang meninggal, Marsius harus ngepop untuk mengikutipermintaan. Ia pun menyesuaikan, main Uning-uningan campur band."Kalau permintaan tidak diiyakan, kita dianggap bodo. Padahal kalaudituruti, kita keluar jalur," tuturnya.Ironisnya, sementara orang Batak sendiri menyingkiri, banyakmahasiswa dari luar negeri yang justru tertarik pada gondang, dantelah menguasai permainan musik tersebut. Selain itu, beberapa konsulseperti dari Amerika dan Australia pun pernah belajar uning-uninganmaupun gondang padanya.Lantaran kecintaannya pada musik tradisional Batak, khususnyagondang sabangunan yang tidak mampu beradaptasi dengan musik pop, iapernah bertahan hanya memainkan musik tradisional. Akibatnya, dalamsatu bulan paling banyak mendapat dua tanggapan. Ia pun menyerah."Enggak makan," katanya.Belajar dari pengalamannya sendiri, mencintai gondang sabangunankarena sejak kecil terbiasa mendengarkannya, Marsius berkesimpulanbahwa masalahnya seperti kata pepatah, "Tak kenal maka tak sayang".Namun, untuk bisa menikmati dan mencintai musik ini tidak cukupsekadar kenal, tapi harus akrab di telinga. "Dari SD saya dengar,
makanya saya sayang sama gondang itu," katanya.Karenanya, sedikit demi sedikit ia berusaha mengakrabkan gondangdi telinga masyarakat. Sejak setahun yang lalu, setiap kali grupmusiknya Sopo Nauli diundang main, di sela-sela pertunjukan selaludimainkannya gondang, sekalipun tidak diminta. "Sekarang beberapapengundang sudah minta supaya gondang juga dimainkan, sekalipunbayarnya masih hanya untuk uning-uningan," katanya.Oleh karena itu, Marsius juga berharap, suatu saat gondangdiajarkan di SD, paling tidak di SMP-SMP. Sehingga nantinya bisadihayati kembali oleh masyarakat.Apakah Marsius sempat menularkan keterampilannya bermain musikpada masyarakat kampung sekitarnya? "Tidak ada yang mau, cem manakita menyodorkan. Sementara awak pun cari makan dari pagi habissore," katanya.***SEKALIPUN gajinya sebagai dosen luar biasa hanya Rp 170.000setiap bulan, tetapi dari bermain musik penghasilan Marsius sekarangsudah lumayan. Istrinya pun tinggal di rumah saja, tidak lagiberjualan.Sejak menjadi dosen tahun 1985 ia menjadi dikenal orang. Kuranglebih setelah setahun mengajar, mulai banyak panggilan bermain musik.Ia, setiap bulannya minimal main 20 kali di Medan, yang kebanyakanuntuk acara perkawinan dan orang meninggal. Itu belum termasukpermintaan ke luar daerah. "Satu bulan pernah main 60 kali,siang-malam," katanya.Untuk satu kali pertunjukan di Medan, ia dibayar Rp 900.000dengan pemain sembilan orang. Rata-rata setiap pemusik mendapat Rp75.000 sekali main. Namun, kalau mengiringi koor gereja atau maindi hotel bisa mendapat bayaran Rp 200.000 setiap pemain. "Yang sayasyukuri, saya sekarang tidak pernah berutang, tidak apa-apa setiapkali harus jalan kaki ke kampus ini," ujar ayah dari enam anak ini.Ia begitu berharap, ada anaknya yang meneruskan bermusik. Rupanyaanaknya yang bungsu, Anto Sitohang-lah yang menerima warisankecintaan pada gondang sabangunan. Kalau ada tanggapan musik dangondang akan dimainkan, si bungsu yang masih kelas empat SD iniharus ikut. "Kalau tidak nangis, sekolah pun maunya bolos. Ia memangsejak kelas satu sudah tahu pegang gong, pegang tempo (ketukan), tapijangan sampai seperti kakaknya, tidak mau sekolah, "katanya.(Ardhian Novianto)Foto:Kompas/ardhian noviantoMarsius SitohangSumber:http://ardh14n.multiply.com/journal/item/14
Pages
▼
No comments:
Post a Comment