Filosofi Gondang dan Tortor
Oleh Suhunan Situmorang
PADA mulanya, gondang sabangunan hanya digelar pada acara yang bersifat sakral. Ia memang bukan sekadar seperangkat taganing, gordang, ogung, dan sarune yang melahirkan bebunyian bernada-nada yang menciptakan harmoni serta estetika. Bukan pula instrumen musik untuk menghibur jiwa-jiwa yang memainkan (pargonsi) dan yang mendengar serta menarikan. Gerakan tubuh yang dibangkitkan nada dan melodi gondang sabangunan yang disebut tortor punya arti tersendiri pula, maka kelirulah bila dianggap jenis tari belaka milik satu etnis yang bermukim di jantung Sumatera Utara.
Tak ada yang tahu kapan persisnya instrumen musik yang unik itu diciptakan leluhur orang Batak. Ada pula yang bilang bahwa sebelum gondang sabangunan dikenal, orang Batak telah memiliki gondang hasapi. Tak ada bukti yang sahih atau manuskrip yang bisa menguatkan pendapat tersebut. Yang pasti, derajat gondang hasapi dianggap di bawah gondang sabangunan, dan karenanya pada zaman dahulu tak dipakai dalam acara yang bersifat pemujaan, syukuran, atau untuk mengiringi ritus adat saurmatua-maulibulung.
Gondang sabangunan lazim diperdengarkan saat pembukaan huta, menyambut musim tanam, merayakan panen (pesta gotilon), pertemuan para raja marga dan pemimpin huta dalam upacara keagamaan dan adat horja-bius. Gondang jenis ini bersifat masif, menyertakan banyak pihak. Suhut (pengada hajatan) mengundang berbagai lapisan. Gondang saurmatua-maulibulung sendiri, yang juga menyertakan berbagai unsur dalam masayarakat adat, tak memerlukan undangan—melainkan cukup pemberitahuan atau informasi dari mulut ke mulut bahwa Ompu Dangsina, misalnya, telah tiba di akhir perjalanan saurmatua-maulibulung, dan akan dibuat upacara adat kematian dengan mamalu gondang sabangunan.
Sanak-saudara, kerabat, dan tetangga pun akan mafhum. Mereka kemudian datang untuk mananti, memberi penghormatan dengan cara manortor pada hari puncak upacara. Para pananti terdiri dari berbagai lapisan, selain lingkungan Dalihan Natolu. Pihak suhut akan menerima rombongan pananti dan terjadi pertukaran hak serta kewajiban adat yang disampaikan sambil manortor.
Dalam lingkup yang lebih kecil, gondang pun acap dipakai untuk acara yang bersifat penyucian, pengobatan, atau pencegahan bala. Gondang jenis ini disebut mandudu, namun biasanya pihak suhut tak mengundang pihak lain selain keluarga inti dan medium untuk memimpin upacara, dan tak menyertakan tetabuhan (taganing).
Gondang sabangunan terikat dengan ritus dan tata aturan yang harus dipenuhi. Intinya ialah penghormatan. Kata-kata pembuka dari pemimpin pananti: “Ale amang pardoal pargonsi, alu-aluhon damang ma jolo tu…” harus dimaknai sebagai sikap menghargai. Dengan kata lain, sebelum merayakan sesuatu dengan membuat keramaian, ada yang tak boleh dilupakan dan terlebih dahulu minta izin, permisi, permakluman, dari Sang Pencipta yang menguasai jagad raya, juga pada penguasa huta/raja, dan hadirin.
Pargonsi menjadi sentrum upacara yang menyertakan gondang sabangunan. Karenanya, mereka tak boleh ditempatkan sekadar pemain musik. Polah tingkah dan ucapan mereka tak boleh sembarangan. Mereka adalah orang-orang pilihan yang disebut pande, dan perlakuan pada mereka tak boleh serampangan supaya tak kesal hati. Bila pargonsi kesal karena perlakuan suhut atau pananti yang dinilai tak patut, maka bunyi taganing, ogung, sarune bisa tak nyaring—dan itu dianggap kegagalan perhelatan sebab pananti telah manortor disertai keluh atau sungut-sungut.
Gondang sabangunan adalah alunan musik untuk memuja Yang Maha Kuasa sekaligus pengiring rasa hormat pada orang-orang yang disayangi. Tortor yang diiringinya merupakan ekspresi jiwa yang diwujudkan lewat gerakan tubuh, terutama kepala, bahu, tangan, jemari, dan hentakan kaki. Tortor tak terlalu memerlukan banyak gerak—kecuali saat mangembas. Karena tekanannya adalah puja, hormat, kasih-sayang, gerakan tortor harus santun, berwibawa (bagi laki-laki) dan anggun (bagi perempuan). Pandangan mata tak sepatutnya ke mana-mana, idealnya menatap ke bawah. Gerakan tangan dan jemari itu bermakna simbolik, menandakan posisi dan peran yang dibawa, sebagai hula-hula, dongan tubu, boru-bere, tulang, bona tulang, bonani ari, ale-ale atau dongan sahuta.
Gerak tubuh, tangan, jemari, dan pandangan saat manortor, diyakini pula menjadi cerminan kepribadian seseorang, selain untuk mengetahui hal yang hendak disampaikan. Tortor yang santun menabukan gerakan pinggul ke kiri dan kanan (terutama wanita), apalagi dibarengi pandangan ke mana-mana. Itu dianggap murahan, kurang sopan; bukan tortor boruni raja. Lelaki yang manortor dengan gerakan semau-maunya dan pandangan jelajatan pun bukan tortor anakni raja, yang tak layak diberi penghargaan.
Pakem-pakem tortor dan gondang sabangunan sudah semakin memudar belakangan ini. Perobahan zaman dan masuknya pandangan-pandangan baru (terutama agama samawi) disinyalir sebagai penyebab. Untuk upacara saurmatua-maulibulung, misalnya, selain sempat digusur musik tiup karena dianggap tak ada roh gelap di dalamnya, kini dibuat campursari: taganing, hasapi, sulim, keyboard, kadang ditambah saksofon.
Repertoar yang dimainkan pun demikian, mulai dari lagu Batak, lagu rohani, hingga lagu Latin. Tak ada lagi prosesi mangalap tuani gondang, sudah langka tortor yang berwibawa dan anggun. Yang kini jamak tersaksikan adalah gerakan yang mengadopsi tortor, ronggeng, serampang, disko, cha-cha, hingga jadi terlihat ecek-ecek dan seolah meledek yang diupacarai. Tortor, gondang, memang kian mengalami distorsi dan manipulasi karena ditindas zaman serta ajaran-ajaran yang menghakimi tanpa mampu memahami filosofi yang terkandung di dalamnya—apalagi mengharap argumentasi yang memadai.
Kenapa bisa begitu mudah budaya adiluhung peninggalan leluhur yang penuh arti itu menyisih dari diri dan wilayah asal orang Batak? Kenapa hal semacam tak terjadi pada masyarakat Bali (setidaknya sampai saat ini), misalnya, toh sama-sama menghadapi zaman yang sama dan bahkan lebih sering berinteraksi dengan orang asing? Coba sama-sama kita pikirkan.***
Dimuat di koran Batakpos, Sabtu, 16 Juli 2011
No comments:
Post a Comment