DAIRI DALAM KILATAN SEJARAH
(Teks ini dipetik dari buku DAIRI DALAM KILATAN SEJARAH, karangan Jansen Sinamo, Flores Tanjung, dan Hasudungan Sirait).
Setelah melewati perladangan yang penampakannya tak serapi yang di Tanah Karo, hutan sekarang yang membentang. Lae Pondom namanya, dibelah oleh jalan beraspal milik negara. Sampai awal 1980-an penumpang bus sesekali masih bisa melihat harimau melintas di atas aspal tersebut. Masih terjaga, Lae Pondom adalah hutan subtropis khas Indonesia. Mereka yang ingin mengetahui seperti apa gerangan atmosfir hutan Indonesia yang sebagian besar sudah punah sebaiknya datang ke kawasan penyumbang utama air untuk Danau Toba ini[1]. Setelah Lae Pondom kemudian Sumbul yang menjelang. Lantas Sitinjo dan akhirnya Sidikalang.
Kendati Medan-Sidikalang tak jauh dan lintasannya eksotik, tak banyak orang dari ibukota provinsi Sumatera Utara itu yang pernah menjejak bumi Dairi. Biasanya sampai kota wisata Berastagi saja mereka. Yang lanjut hanya sebatas mereka yang berkampung di Tanah Pakpak atau menjalankan urusan dinas ke sana. Satu lagi, yang akan menghadiri pesta adat. Kalau orang Medan saja demikian, bisa dibayangkan mereka yang berasal dari tempat lain yang lebih jauh. Namun, keadaan mulai berubah setelah Taman Wisata Iman (TWI), di Sitinjo, pinggir Sidikalang, berdiri tahun 2005. Sejak itu tanah Dairi mulai dijejak oleh turis termasuk dari Jakarta bahkan mancananegara. Sesungguhnya keterpencilan Dairi sebelum pembukaan TWI ini merupakan ironi. Terutama kalau kita mengingat sejarah lama.
****
Kapurbarus
Tanah Dairi sebenarnya sejak lama telah berhubungan dengan dunia luar, termasuk mancanegara. Kontak itu memang tidak langsung, melainkan lewat Barus, tetangga di selatan. Sudah sejak zaman prasejarah Barus termashyur sebagai bandar internasional. Dan untuk ketersohoran tersebut, Tanah Pakpak punya kontribusi besar. Sayang sampai sekarang andil ini hampir luput dari catatan sejarah. Sebelum membahasnya, kita telaah dulu Barus dengan kebesaran masa lalunya.
Kendati telah banyak disebut, sejauh itu belum jelas yang mana sebenarnya Barus, negeri sumber kamper “yang paling tinggi mutunya dan paling murni sifatnya” itu. Tabir Barus masih saja gelap. Pasalnya pelukisan oleh para penjelajah-penulis tadi tidaklah sama. Ptolemaeus, misalnya, menggambarkan Barrous sebagai kawasan lima pulau. Penulis lain ada yang menyebut lokasinya di Semenanjung Malaka. Di Aceh adanya, tulis yang lain. Perujuk Barus sekarang memang ada juga. Jauh dari sinkron informasi mereka; simpang siur jadinya. Kekarut-marutan penggambaran ini tentu mudah kita pahami. Pada masa I-tsing, Ibnu Chordhadhbeh, Marco Polo, atau Ibnu Batutah pengetahuan geografis orang masih sangat terbatas sebab pelayaran lintas benua masih sangat sedikit dan teknologi navigasi masih begitu sederhana. Apalagi di masa Ptolemaeus.
****
Simpang Siur
Kesimpangsiuran ini berlangsung lama. Bahkan, hingga sekarang pun masih ada ahli yang meragukan bahwa Barus sekaranglah yang dirujuk sebagai sumber kamper “yang paling tinggi mutunya dan paling murni sifatnya” itu. Dasar keraguan mereka ada beberapa. Pertama, sejak dulu kamper tak hanya datang dari Barus sekarang, tapi juga dari Borneo (Kalimantan), Semenanjung Malaka, dan Jepang. Sebagai catatan, kamper—sebuah bahan keras, bisa berupa pasir—merupakan hasil oksidasi minyak yang terdapat dalam sel-sel khusus yg mengeluarkan bahan ini. Sel-sel ini terdapat di semua bagian pohonnya. Terdapat dua jenis kamper dari keluarga berbeda: (1) Dryobalanops aromatica Gaertn dari keluarga Dipterocarpaceae mengasilkan kapur Borneo dan (2) Cinnamonum camphora (L.), Nees, dan Ebern dari keluarga Lauraceae atau kamper Jepang. Jenis pertama ini jauh lebih bernilai secara ekonomis. Hanya setelah kamper hasil pabrikan muncullah nilainya merosot tajam.
Kalau saja sosok kejayaan masa lalu masih jelas tampak di Barus, sekarang tabir gelap tadi tak perlu begitu lama menggantung. Realitasnya, Barus sekarang yang tercakup dalam Kabupaten Tapanuli Tengah dalam penampakannya di permukaan begitu bersahaja dan terisolasi. Kecuali makam-makam Islam dari sekitar abad ke-14, kawasan ini hampir tak menyisakan artefak dari sebuah bandar internasional masa kuno. Inilah dasar keraguan kedua. Begitupun, di tengah kesimpangsiuran informasi ihwal Barus yang menjadi sumber kamper terbaik, ada satu hal yang akhirnya disepakati banyak ahli. Yaitu kata ‘kamper’ berasal dari rumpun bahasa Austronesia. Jadi kemungkinan besar asal komoditas ini adalah kawasan di Nusantara.
Sejak abad ke-16 mulai lebih terang sebenarnya bahwa Barus sekaranglah sumber kamper terbaik yang diapresiasi dunia itu. Tapi kawasan ini sendiri ternyata hanya bandar penampung saja, bukan penghasil.
Tom Pires, seorang musafir Portugis, di awal abad ke-16 mendeskripsikan Barus lebih jelas. Ia menyebut negeri ini sangat kaya, kemana pedagang India dan Arab datang langsung untuk mencari damar (kamper dan kemenyan). Barus yang saat itu berhungan dekat dengan Minangkabau, menurut dia, dinamakan juga Panchur atau Pansur. “Orang Gujarat menamakannya Panchur, juga bangsa Parsi, Arab, Bengali, Keling, dst. Di Sumatra namanya Baros (Baruus). Yang dibicarakan ini satu kerajaan, bukan dua,” tulis dia.[3]
Barus, lanjut Tom Pires, telah lama berdagang dengan negeri Pakpak. Hasil bumi berupa kamper dan kemenyan yang dijual di Barus, lanjut dia, didatangkan dari pedalaman. Yang dimaksud dengan pedalaman tentu saja tanah Pakpak yang kala itu setidaknya mencakup Manduamas, Pakkat, dan Parlilitan.
Dalam skala yang lebih kecil Singkil juga penampung kapurbarus dan hasil bumi Dairi lainnya. Di wilayah Singkil, pangkalan di sepanjang aliran sungai yang berhulu di tanah Pakpak menjadi tempat transaksi. Para petani dari pedalaman datang ke sana membawa kamper, kemenyan dan yang lain untuk ditukar dengan garam, kain, tembakau Cina, opium, dan aneka barang dari besi. Pada abad ke-19 terdapat sejumlah pangkalan di Boven Singkel (Singkil Atas) yakni Sinundang, Kumbi, dan Puge di Batang Sinundang; Traju, Pulau Melang, dan Bruntungan Kambing di Batang Sulambi; Panggalan dan Silak di Batang Kumbi, Panuntungan dan Belegen di Batang Belegen, Angkat dan Sarah di Batang Batu-batu, serta Biski di Batang Biski.[5]
Selain ke Barus dan Singkil kamper dan kemenyan dari tanah Pakpak juga masuk ke pelabuhan pantai barat lainnya yakni Tapian Na Uli (Sibolga), Natal dan Air Bangis. Kedua komoditas ini menjadi barang ekspor utama bandar-bandar tersebut hingga pertengahan abad ke-19. Khusus kemenyan sumbernya ada beberapa selain tanah Pakpak. Tanah Toba salah satunya.
Jelaslah, tanah Dairi yang menjadi sumber kamper andalan bandar-bandar pantai barat Sumatera sejak lama. Juga sebagai kemenyan terbaik. Tidak heran kalau di masa Hindia Belanda kawasan di pedalaman Barus dan Singkil ini dinamai Kamfergebied (sentra kamper) dan Benzoegebiet (sentra kemenyan).
****
Prasasti Lobu Tua
Ihwal Barus sekarang sebagai pusat perdagangan masa lalu kian terang setelah sebuah tiang bertulis ditemukan di Lobu Tua, dekat Barus, di masa Kontrolir GJJ Deutz tahun 1873. Prasasti yang sekarang berada di Museum Nasional, Jakarta, tersebut berhasil dibaca oleh gurubesar arkeologi di Madras, India, KA Nilakanta Sastri, tahun 1932. Bertahun 1010 Saka (tahun masehi: Februari-Maret 1088), tiang itu bertuliskan—dalam bahasa Pallawa—ikhtiar perikatan sebuah serikat dagang (merchant guild) Tamil. Menamakan diri Perkumpulan Lima Ratus karena jumlahnya 500 orang, mereka berkiprah di Barus selama abad ke-11.[6]
Bahwa kamper yang diekspor Barus sejak zaman klasik itu bersumber di tanah Dairi atau tanah Pakpak, sayangnya hingga sekarang tak banyak yang tahu. Anggapan umum kamper itu ya hasil bumi Barus; toh sebutan lainnya juga ‘kapurbarus’. Tanah Pakpak sama sekali tidak dipersangkutkan. Orang Medan dari zaman dulu punya sebutan untuk ironi seperti ini: lembu punya susu, Benggali punya nama. Di Medan susu sapi segar dinamai ‘susu Benggali’ sebab orang Benggali-lah yang berkeliling menjajakannya. Kasus salah kaprah susu Benggali ini sama dengan kasus ‘jeruk Medan’. Jeruk asalnya dari tanah Karo, bukan Medan. Sebab itu sebutan yang tepat sebenarnya adalah ‘jeruk Karo’ atau paling tidak ‘jeruk Berastagi’.
****
Kerekatan Dairi dengan kamper melebihi wilayah manapun di Republik ini. Bukti kerekatan ini adalah adanya koleksi cerita orang Pakpak yang berkait dengan kapurbarus. Misalnya hikayat pasangan Pak-Edag-Pak-Edog dan Nan Tartar-Nan Tortor[8] serta hikayat Simbuyak-mbuyak[9].
Hikayat pertama ihwal cekcok suami-isteri. Suatu hari, merasa suaminya ingkar janji Nan Tartar-Nan \Tortor pun minggat dari rumah. Sang suami, Pak-Edag-Pak-Edog, pusing tujuh keliling setelah isterinya raib. Suatu malam ia bermimpi bahwa isterinya bersembunyi di dalam sebatang pohon kapurbarus. Segera ia bertindak. Diambilnya tongkat dan diketoknya setiap pohon kapurbarus yang ia temui di hutan. Benar, Nan Tartar-Nan Tortor ada di dalam pohon. Masalahnya perempuan itu selalu berpindah ke pohon kamper lain saban didekati. Pak-Edag-Pak-Edog tak kenal lelah. Tongkat terus ia pukulkan. Alhasil bunyi ketokan tongkatnya pun menggema di rimba raya: pakpak edag-edog... pakpak edag-edog... pakpak edag-edog... Pendek cerita, hati isterinya kemudian melunak sehingga mereka pulang happy ending. Yang mau dikatakan hikayat ini: sejak bunyi menggema di hutan itulah sebutan ‘orang Pakpak’ diberikan kepada masyarakat yang satu ini yang memang sejak berabad-abad terkenal sebagai pencari ulung kapurbarus.
****
Simbuyak-mbuyak
Hikayat kedua tentang tujuh lelaki bersaudara seibu-seayah dari negeri Urang Julu. Mereka adalah (berturut mulai dari yang sulung) Simbuyak-mbuyak, Turuten, Pinayungen, Maharaja, Tinambunen, Tumangger, dan Anakampun. Sejak lahir Simbuyak-mbuyak tak bisa berdiri karena ruas tulang belakangnya kelewat lemah. Kendati begitu, sesuai ajaran orangtuanya, ia tetap disayang adik-adiknya. Setelah beranjak dewasa, keenam adiknya memutuskan pergi ke rantau untuk mencari kamper yang harganya saat itu setara emas. Simbuyak-mbuyak mohon ikut dan akhirnya disetujui termasuk oleh ibu-ayahnya.
Perjalanan mencari kamper sungguh melelahkan, ternyata. Harus menembus hutan turun naik gunung mereka. Apalagi keenam adik juga harus bergantian menggendong si sulung. Akhirnya tiba juga mereka di tempat pepohonan kapurbarus tumbuh. Sesuai arahan sang kakak mereka membuat gubuk persis di pertengahan lereng Gunung Sijagar. Seia-sekata, tak boleh cekcok, memang itulah etos para pencari kamper. Dan dari sini jugalah asal-usul maksim sosial terkenal di Tanah Pakpak: ‘Sada kata dok perteddung’ (Seia-sekata seperti ujaran pencari kapurbarus).
Ketujuh bersaudara pun mematuhinya. Fisiknya yang lemah membuat Simbuyak-mbuyak di gubuk saja sendirian saat adik-adiknya pergi mencari kamper. Kerjanya seharian memintal tali. Kamper yang didapat enam bersaudara sedikit saja dan itu pun, di gubuk, kerap dilahap habis oleh si sulung. Begitu saban hari. Lama-lama kedongkolan empat dari enam bersaudara yang sudah letih itu membuncah, tapi Tinambunen dan Tumangger selalu berusaha meredakan suasana tegang. Simbuyak-mbuyak sadar dirinya sedang disoal tapi ia berlagak tak tahu. Terus saja ia memintal tali tanpa mau mengatakan untuk apa.
Tak ada yang tahu ternyata Simbuyak-mbuyak bukan manusia biasa. Malam, saat keenam adiknya sudah lelap ia sering menjelajah hutan. Ia bisa menandai mana pohon yang berkamper dan mana yang tidak. Bahkan tahu berapa kandungan pohon yang berisi kamper tersebut.
Kekecewaan keempat adik Simbuyak-mbuyak akhirnya memuncak. Mereka memutuskan pulang dan meninggalkan abang sulung di hutan. Suatu hari mereka pamit. Pulang dulu mengambil bekal, itu alasannya. Merasa kasihan, Tinambunen dan Tumangger mengatakan mau tinggal untuk menemani Simbuyak-mbuyak. Ternyata Simbuyak-mbuyak mengatakan lebih suka ditinggal sendiri. Cuma satu pintanya: tolong dijemput kalau pohon durian mereka di kampung sudah berbuah. Tak sembarang pohon durian mereka itu: cuma satu dan buahnya tunggal pula. Tapi sungguh istimewa buah ini: kelewat besar dan rasanya lezat nian. Semuanya mengatakan siap menjemput.
Sesampai di kampung kepada orangtua keempat bersaudara tadi menceritakan kesialan mereka di hutan. Mereka lantas mempersalahkan si abang sulung. Setelah berkisah mereka menguatarakan pinta ke orangtua yaitu menggelar pesta dulu sebelum mereka kembali ke hutan nanti. Sajiannya buah durian mereka serta daging ternak. Pinta diluluskan.
Khawatir terlambat Tinambunen dan Tumangger bergegas menjemput Simbuyak-mbuyak. Saat kedua bersaudara ini masih menapak menuju Gunung Sijagar ternyata pesta di kediaman mereka di Urang Julu sudah mulai. Lewat kemampuan istimewanya Simbuyak-mbuyak tahu itu. Masygul dia. Lantas ia yang sejak kepergian keenam adiknya telah menjelma menjadi pemuda ganteng nan gagah mulai merentangkan tali yang selama ini dipintalnya. Setiap pohon berisi kapurbarus ia pertautkan dengan tali itu. Ia berdoa agar pohon paling besar dan tinggi serta penuh berisi kapurbarus tumbang. Doanya terkabul. Pohon itu terhempas. Juga, batang itu terpotong-potong rapi. Berdoa lagi dia: kayu berpotong itu terbelah dua.
Sewaktu Tinambunen dan Tumangger tiba mereka tak menemukan abangnya. Bertambah heran keduanya karena tali-temali berseliweran mulai dari gubuk hingga ke hutan. Tatapan mereka kemudian terbentur pada sebuah pohon besar-tinggi yang rebah di depan gubuk. Saat mendekat mereka melihat sang abang terbaring di belahan kayu itu. Sontak disergap rasa kaget dan haru keduanya. Simbuyak-mbuyak mereka bujuk agar keluar dari sana. Tak berhasil. Simbuyak-buyak mengungkapkan isi hati kepada kedua adik yang sungguh menyayangi dirinya. Ia bilang bahwa seandainya saja ikut dalam pesta buah durian dan daging ternak gemuk di kampung ia akan memohon ke sang pencipta agar dirinya dijelmakan sebagai manusia sehat. Tapi, semuanya sudah terlambat, ucap dia. Ia lantas memberitahu bahwa semua pohon yang ia ikat itu berisi kapur barus. Ia persilakan mereka mengambilnya nanti sebagai pengganti kapurbarus yang telah ia makan selama ini. Setelah memberi pelbagai petunjuk dan bertitip pesan kepada kedua orangtua dan sanak saudara ia pun mohon diri. Suara maha guruh terdengar seketika. Kayu terbelah bersatu menelan tubuh Simbuyak-buyak. Kayu itu lalu meluncur maha kencang dari lereng Gunung Sijagar. Ke samudra arahnya.
Tinambunen dan Tumangger sedih bukan kepalang. Namun duka mereka segera susut setelah melihat kapurbarus berlimpah yang ditinggalkan Simbuyak-buyak. Dengan bawaan yang sarat mereka pun pulang. Di rumah, kepada keempat saudaranya bawan itu mereka bagikan juga. Akhirnya keluarga mereka menjadi makmur. Hikayat pun berujung.
***
Pakpak
Tanah Pakpak terdiri dari lima suak atau kelompok berdasarkan kedekatan wilayah, sosial dan ekonomi. Suak itu adalah: Simsim, di kawasan Salak, Kerajaan, Sitellu Tali Urang Julu, Sitellu Tali Urang Jehe; Keppas, di kitaran Sitellu Nempu, Siempat Nempu, Silima Pungga-pungga, Lae Luhung (Lae Mbereng) dan Perbuluhen; Pegagan dan Karo Kampung, di sekitar Pegagan Jehe, Silalahi, Paropo, Tongging (Sitolu Huta) dan Tanah Pinem; Boang, di lingkup Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang, dan Singkil; dan Kelasan, meliputi wilayah Sienem Koden, Manduamas, dan Barus.
Zaman Pemimpin. Bermula sejak Islam merebak di tanah Pakpak.
Kalau folklor ini mengandung kebenaran faktual memang benar orang Pakpak lebih tua dari orang Toba. Jalan pikirannya, bandingkanlah folklor kedua puak. Menurut tambo (tarombo) orang Toba, manusia Batak pertama adalah Si Raja Batak. Segenap orang Batak sekarang adalah keturunannya. Dari Si Raja Batak hingga angkatan kanak-kanak Toba sekarang paling ada belasan generasi. Satu generasi katakanlah 70 tahun. Jadi masa sejak Si Raja Batak hingga masa sekarang baru paling 1.500 tahun (asumsinya orang Toba telah 20 generasi lebih). Berarti baru setara era Hindu menurut folklor Pakpak tadi. Masih jauh dari zaman Similangilang. Begitulah kalau kita membandingkan folklor. Masalahnya, folklor tidak bisa dijadikan penakar tahun. Namanya juga cerita rakyat atau sahibul hikayat: berbiaknya dari mulut ke mulut.
Jejak kebudayaan Hindu sampai sekarang masih tampak jelas di tanah Pakpak. Mejan salah satunya. Lainnya adalah benda yang tadi disebut dari zaman Sihaji: koden loyang, kalakati, sulapah, pinggan pasu, gabus, dan borgot. Jejak ini menjadi pertanda bahwa sebagai etnik Pakpak memang sudah tua.
Islam sudah lama hadir di tanah Pakpak. Kemungkin besar imbas dari kebertetanggaannya dengan Aceh di utara dan Barus di selatan. Orang Pakpak yang pertama mendalami Islam secara intens adalah Sjech Abdurrauf al-Singkili. Dia pernah belajar agama di Pasai (Aceh) dan tanah Arab. Namun pengislaman secara serius dan sistematis barulah oleh Tengku Telaga Mekar dari Gayo. Pengikutnya menjadi unsur pasukan Slimin yang berjuang melawan Belanda kelak. Gelombang pengislaman berikutnya mengalun di masa Guru Gindo. Sekitar tahun 1926 sang guru bertolak dari kampungnya di Sumatera Barat untuk mengembangkan siar Islam. Lewat Singkil dan Runding akhirnya ia tiba Sidikalang. Di ibukota ini sejumlah pertaki berhasil ia Islam-kan termasuk dari marga Bintang dan Ujung.[14] Dengan begitu Guru Gindo berlomba dengan zending yang juga berhasil mengkristenkan beberapa pertaki.
****
Toba
Migrasi orang Toba (sebutan orang Pakpak: Tebba) ke tanah Dairi sudah sejak lama dan berlangsung beberapa gelombang. Mereka yang pertama berpindah kemungkinan besar adalah penduduk kawasan yang berbatasan atau dekat dengan Dairi. Dalam hal ini mereka yang bermukim di kedua pesisir yang diperantarai jembatan Tano Ponggol, Pangururan, P. Samosir sekarang (penguasa Belanda mengeruk tanah di bawah jembatan ini untuk menjadikan Samosir pulau di Tengah Danau Toba), serta mereka yang berdiam di kitaran Humbang Hasundutan sekarang persisnya di selatan garis imajiner Parlilitan-Pakkat. Mereka yang berasal dari pesisir barat Samosir bisa berjalan kaki lewat Pangururan dan Tele di seberang Gunung Pusuk Buhit kalau mau ke tanah Dairi. Bisa juga naik sampan (solu) dari Samosir sebelum melanjut lewat jalur darat. Sedangkan mereka yang datang dari arah Balige-Muara-Bakara bisa berjalan kaki melewati daerah Humbang. Lintasan alternatif yang lebih mudah ada bagi mereka yakni naik solu ke Sagala atau Pangururan lalu menapaki jalur darat.
Ada pula yang bermula dari hubungan dagang. Marga Limbong misalnya ada yang awalnya datang dari Samosir dengan mambawa ulos sebagai dagangan. Ia kemudian dipermantukan pertaki dan diberi rading tanoh (tanah pemberian orangtua kepada putrinya yang menikah).
Kisah sekelompok marga Sigalingging lain lagi. Semula seorang kakek moyang mereka datang ke Dairi untuk belajar membuat koden (periuk). Setelah beroleh ilmu ia pulang kampung dan di sana ia bergiat membuat periuk tanah. Hasil kriya tersebut ia bawa ke Dairi untuk dijual. Bisnisnya ternyata berhasil dan ia kemudian dipermantukan marga Ujung yang menjadi penguasa lokal. Sebagai menantu ia kemudian diberi rading tanoh. Turunannya kemudian beranak pinak di sana sampai sekarang.
Marga Sidabutar ada juga yang mendapatkan tanah dari raja marga Angkat dengan cara yang kurang lebih sama.[16] Diberi tanah oleh penguasa setempat dan turunannya lantas beranak pinak. Itulah proses mendairi yang umum ditempuh kaum migran Toba. Perlu diingat di zaman rintisan itu penduduk masih sedikit sementara tanah di Dairi masih maha luas. Sesuai hukum ekonomi paradoks yang terjadi: sesuatu yang berlimpah nilainya kecil saja kendati manfaatnya sangat besar. Contoh: udara dan air. Tanah di Dairi pun kala itu sama. Pada sisi lain para penguasa lokal (pertaki) secara alami bersaing kekuasaan atau berebut pengaruh satu sama lain. Agar kedudukan kokoh maka basis dukungan harus diperbesar. Orang luar merupakan sumber dukungan tambahan yang bisa diharapkan. Agar orang luar ini sudi bergabung harus ada kompensasinya. Tanah peruntukan adalah kompensasi yang paling menarik bagi mereka setelah beru (putri) keturunan sang penguasa. Adapun putri atau keponakan perempuan dari sang pertaki tentulah tak banyak jumlahnya, karena itu tanahlah kompensasi yang paling tersedia.
Untuk mendapatkan tanah di masa itu proses yang dijalani kaum migran sama sekali tak rumit atau berbelit. Mudah dimengerti karena hubungan mereka simbiosis mutualistis (saling menguntungkan: pertaki perlu basis dukungan sementara kaum migran perlu tanah).
Abner Togatorop memberi sebuah gambaran. Waktu masih berusia sekitar tiga tahun (ia lahir tahun 1926) kakeknya berniat meminta tanah kepada Pertaki Batu Empat. Syarat lalu disiapkan sesuai adat sulang silima. Syarat itu berupa satu tumba (2 liter) beras, sebutir telor yang ditaruh di tengah beras tadi, seekor ayam jantan, serta uang seringgit. Saat menghadap seserahan disampaikan dan permintaan diutarakan. Pertaki saat itu juga meluluskan. Ia menunjuk begitu saja tanah untuk keluarga Togatorop[17].
Migrasi yang dipaparkan barusan bisa disebut bersifat alami. Artinya kedekatan jarak yang kemudian merangsang interaksi lebih merupakan pemicunya. Gelombang migrasi bercorak lain selanjutnya mengalun di awal abad ke-20.
****
Migrasi orang Toba berpuncak di masa Orde Baru. Dairi membangun. Orang-orang berpendidikan datang mengisi pelbagai lowongan birokrasi kabupaten, guru, dan tenaga kesehatan hingga ke desa-desa. Mereka yang tak berpendidikan juga tak mau kalah. Mereka berkiprah di sektor informal. Alhasil, setelah migrasi yang berlangsung lama Dairi pun menjadi salah satu daerah rantau utama orang Toba sampai kini. Dan secara statistik, jumlah mereka kini sudah jauh melampaui orang Pakpak.
****
Karo
Tanah Karo berbatasan langsung dengan Tanah Dairi. Laubalang, Juhar, dan Tongging antara lain menjadi titik di dekat garis batas kedua wilayah. Kebertetanggaan langsung ini dengan sendirinya membuat kedua wilayah bersinggungan secara kultur. Bahasa yang mirip menjadi salah satu pertandanya.
Di Dairi masyarakat petani yang paling intens mengikuti jejak Karo di bidang pertanian adalah mereka yang bermukim di Karo Kampung (sekarang tiga kecamatan: Tanah Pinem, Tigalingga, dan Gunung Sitember). Wajar: Kedekatan secara geografis dan kultural telah membuat mereka senantiasa rapat. Ketika mekanisasi pertanian meraja di tanah Karo tahun 1960-an misalnya, Karo Kampung yang pertama terimbas di Dairi. Alhasil sampai sekarang kawasan ini masih penyumbang pendapatan asli daerah (PAD) terbesar Dairi dari sektor pertanian.
****
Simalungun
Diperantarai Tao Silalahi, pesisir Silalahi-Paropo (Dairi) yang panjangnya sekitar 30 kilometer berhadapan dengan Tigaras-Haranggaol (Simalungun). Yang membuat wilayah Dairi dan Simalungun ini tak berbatasan langsung hanyalah pengkolan tempat Tongging dan semenanjung Sibaulangit (keduanya masuk Karo) berada.
Kendati berdekatan, relasi Dairi-Simalungun tidak istimewa. Adanya wilayah Karo sebagai bemper atau penyangga kemungkinan besar merupakan penyebabnya. Karo budayanya dominan[21] sehingga meredam pengaruh Simalungun di kawasan itu. Apalagi orang Simalungun sendiri tidak agresif dan cenderung inward-looking.[22] Alhasil tak banyak mereka yang bermigrasi ke negeri seberang, ke Dairi. Hanya karena agresi Belanda tahun 1949-lah mereka mulai masuk ke sana. Begitu pun, selama ini masih lebih banyak orang Dairi yang bermigrasi ke Simalungun daripada sebaliknya. Seribudolok menjadi tujuan utama mereka. [23]
****
Etnik lain
Dairi berpenduduk multi-etnik, terutama Sidikalang. Ibukota ini sendiri sejak dijadikan Belanda basis untuk memerangi Si Singamangaraja XII telah menjadi titik baur berbagai etnis (melting pot). Orang Jawa, Minang, Mandailing-Angkola, dan Cina antara lain unsurnya.http://www.facebook.com/groups/ForumKomuikasiBatak/docs/
No comments:
Post a Comment