Batak dan Getah Nangka
Oleh Suhunan Situmorang
SEBAGAIMANA diketahui, leluhur orang Batak banyak sekali membuat aturan menyangkut manusia, tata hubungan sosial, juga pemaknaan atas hampir semua aspek kehidupan yang dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan supranatural, hingga seolah tak ada yang luput dari jangkauan dan pengamatan aturan (uhum, ruhut-ruhut) dan ditampilkan melalui simbol-simbol yang kuat untuk mengikat satu sama lain. Di hadapan masyarakat adat, misalnya, seseorang bukan hanya ditempatkan sebagai individu yang terpisah dan tak punya kaitan atau ikatan apapun dengan yang lain. Person tidaklah seutuhnya terbebas dari pengaruh atau kekuasaan person lain, namun saling kait-mengkait, ikat-mengikat, yang kemudian menonjolkan sifat guyub dan komunalisme yang kuat.
Ambil contoh putra saya, dia tidak hanya anak saya, namun juga jadi putra saudara kandung saya (laki-laki) dan semua kerabat Situmorang Sipitu Ama. Dia tidak saja cucu ayah saya, tetapi juga cucu bagi semua saudara lelaki ayah dan kerabat semarga yang derajat perkerabatannya setara dengan orangtua saya. Karena itulah muncul strata atau lapisan suhut (yang memiliki suatau acara, hajatan, ulaon, horja) dalam tiap kegiatan adat yang disebut suhut tangkas, suhut paduahon, dan seterusnya. Selain dengan sanak-saudara, kerabat-marga bapak (yang jadi marga anak), putra saya pun memiliki kaitan atau ikatan dengan sanak-saudara dan kerabat-marga ibunya. Merekalah pihak yang menjadi tulang dan juga ompung. Selain mereka, anak saya pun akan berhubungan dan memberi kewajiban-menerima hak dari tulang saya, tulang ayah saya, juga tulang ibunya yang kesemuanya disebut bonani ari, bona tulang, dan tulang rorobot.
Dan, begitu putra saya menikah, dia pun akan membuka hubungan serta terikat perkerabatan dengan semua unsur famili (tondong) atau kerabat dari istrinya, bahkan semua famili dari kedua mertuanya; sebaliknya istri anak saya pun demikian. Walau garis bapak yang mengedepan dalam eksistensi manusia Batak, ikatan atau hubungan dari pariban ibu, pariban ompung boru (nenek) malah sering lebih kental dibanding hubungan berdasarkan alur patrinial. Hubungan perkerabatan akan semakin melebar—dan terasa rumit—terutama setelah seseorang menikah, memiliki keturunan, dan keturunannya menikah. Terbukalah hubungan dengan kerabat yang baru, lebih jauh namun tetap dianggap penting, yang disebut hula-hula anak manjae.
Sedemikian berkelindannya hubungan persaudaraan dan perkerabatan masyarakat adat Batak membuat banyak orang, termasuk orang Batak sendiri, sering tak mudah memahami. Memang, bagi yang tak mampu menangkap sisi yang indah, khas, dari hubungan yang sesungguhnya luhur itu, akan menganggap semua itu sebagai perkerabatan yang mengada-ada, dan merepotkan. Tetapi, esensi dari kompleksitasnya ikatan genealogis tersebut sebenarnya tiada lain: penempatan yang tinggi pada holong (cinta-kasih), dan wujud respek pada siapapun yang masih ada hubungan darah. Tiap tetes darah yang mengalir dalam diri seseorang, yang bisa berasal dari pelbagai klan atau marga, begitu berharga memang bagi leluhur orang Batak.
Holong dan penghormatan itu akan lebih ditampilkan pada saat acara adat, terutama ulaon nagok berupa pesta perkawinan (unjuk) dan saat kematian seseorang yang sudah menikah. Pada saat inilah—selain ulaon adat lain yang lebih kecil ruang lingkupnya macam kelahiran, memasuki rumah—disampaikan kewajiban dan hak yang muncul dari aturan adat. Ulos, dengke sitiotio, boras sipirni tondi, tumpak, upa, dan jambar akan dibagi serta diterima oleh pihak-pihak yang berhak. Pemberian dan penerimaan atribut adat tersebut tergantung posisi seseorang dalam suatu hajatan adat, yang pasti akan selalu beda, disertai sikap, cara, dan kata-kata yang bermutu tinggi.
Tak sembarangannya kedudukan seseorang dalam masyarakat adat akhirnya memang menuntut kualitas pribadi dan kemudian jadi ukuran untuk menilai apakah ia paradat, anakni raja, yang oleh leluhur dimodali melalui ajaran tentang tata karma, yang bisa diketahui dari aneka poda, ugari, patik. Termasuk pula ditekankan betapa penting mengetahui posisi (parhundul) dalam suatu kegiatan adat maupun hubungan sehari-hari. Siapa, misalnya, yang berhak duduk di halang ulu (harafiah: pokok tikar) bisa menjadi bukti betapa leluhur orang Batak sangat menekankan etika tanpa pandang bulu, tanpa pengecualian karena alasan kekayaan maupun kekuasaan seseorang.
Kata-kata yang terucap dari seseorang yang bermutu diperhitungkan secara teliti, apalagi bila disampaikan di depan loloan natorop atau simangajana (khalayak ramai). Setiap kata yang terujar harus diketahui di mana diucapkan dan dipikirkan apa dampaknya. Ajaran (ugari atau poda): jolo diseat hata asa diseat raut; Jolo nidilat bibir asa nidok hata, menjadi penegas betapa penting memikirkan sebelum mengucap, sebab omongan bisa mengikat, menyakiti, memfitnah, atau dianggap melecehkan pihak lain.
Andai saja orang Batak sekarang tetap menyadari keterikatannya dengan banyak pihak, klan, marga, maka tentulah akan berusaha hati-hati menentukan langkah, perbuatan, juga menjaga omongan—sebab sedikit atau banyak akan mengimbas pada orang-orang di luar dirinya. Andai saja setiap orang Batak tetap mengingat bahwa dirinya bukan pribadi yang seluruhnya lepas-bebas tanpa tersangkut dengan komunitas besarnya, yakni Batak sebagai etnis yang harus susah-payah menunjukkan diri sebagai bagian dari satu bangsa bernama Indonesia yang sama hak dan kewajiban berdasarkan jaminan konstitusi negara, tentulah stigma-stigma negatif yang terlanjur melekat dalam benak masyarakat lain yang sebangsa setanah air, akan sirna karena tak berdasar.
Dan, keterikatan itu, juga kesadaran pada pentingnya menjaga nama baik bersama, sebetulnya bisa efektif mengendalikan perilaku buruk atau godaan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma sosial dan norma-norma hukum; sebaliknya akan mencipratkan keharuman bila mampu menorehkan perbuatan dan prestasi yang layak dibanggakan. Memang, suatu kemustahilan dan bisa dibilang utopis bila dituntut semua orang Batak yang jumlahnya belasan juta itu harus berperilaku baik, tak bercela, tak jadi terpidana karena kasus apapun. Tapi, kesadaran yang kuat sebagai suku yang terikat dengan yang lain, yang perilaku, perbuatan atau prestasinya akan mengimbas pada etnisnya yang seharusnya tetap dijadikan pedoman.
Suka atau tidak, terima atau tidak, bagi orang Batak sajalah agaknya di negeri ini paling berlaku pepatah: satu yang makan nangka, semua kena getahnya. Lewat marga seseorang dia mudah diidentifikasi, lalu dikaitkan ke sukunya. Tak adil memang, tapi justru dengan kesadaran atas ketidakadilan itu orang Batak bisa menjadi suku yang unik, menarik, dan suri tauladan. Getah nangka itu diobah saja jadi bahan baku parfum yang menebarkan aroma harum, dan sesungguhnya itu tak sulit dilakukan.***
* Dimuat di koran Batakpos, 11 Juni 2011
No comments:
Post a Comment