Sejarah Muasal Suku Pakpak
Pegunungan Bukit Barisan melintang di sepanjang Pulau Sumatera dengan posisi yang jauh lebih dekat ke pantai barat. Tanah Dairi terletak di lintangan ini. Kedudukannya: di utara berbatasan dengan Karo, di timur laut dengan Karo dan Simalungun, di timur dengan Simalungun dan Samosir, di tenggara dengan Samosir dan Humbang Hasundutan, di selatan dengan Humbang Hasundutan dan Tapanuli Tengah (Manduamas yang sejajar dengan Barus), dan Aceh (termasuk Singkil). Adapun perbatasan mulai dari barat daya hingga barat laut adalah Aceh.
Tanah Dairi biasa juga disebut ”Tanah Pakpak” sebab penduduk aslinya memang orang Pakpak. Sejak tahun 2003 Dairi sebagai kabupaten telah dipecah. Hasilnya adalah Kabupaten Pakpak Bharat di belahan selatan. Dengan begitu wilayah Kabupaten Dairi yang semula sekitar 314.000 hektar kini kurang lebih tinggal separo. Setelah pemecahan ternyata sebutan “Tanah Pakpak” tadi masih saja jamak dipakai. Wajar memang sebab penamaan tersebut sudah sejak dahulukala. Bukankah tak mudah mengubah sebuah kebiasaan lama? Dalam kitab ini pun kedua sebutan masih akan dipakai bergantian untuk mengacu hal yang sama.
Tadi telah disebut Dairi berada di lintangan Bukit Barisan. Konsekuensinya adalah kedudukannya di dataran tinggi dengan posisi lebih dekat ke pantai barat. Beratmosfir pegunungan, itulah Dairi. Konturnya bertakik-takik; di sejumlah kawasan bahkan ekstrim sehingga dinding-dinding bukit terjal dan jurang menjadi pemandangan yang dominan. Rata-rata ketinggian wilayah kawasan ini 700-1.250 meter di atas permukaan laut (dpl). Sebagian kecil kawasan sampai berketinggian 1.600 meter dpl. Sidikalang sendiri, ibukota Dairi, berada di ketinggian 1.066 meter dpl. Iklim Dairi mudah ditebak. Bukan berhawa panas dan lembab alias tropis, melainkan di bawahnya. Bisa disebut subtropis. Hasil alamnya yang khas pun becorak produk hutan pegunungan: kapurbarus, kemenyan, nilam, dan kopi, itu yang paling mashyur sejak dulu. Belakangan ada gambir, kemiri, dan jagung.
Sebenarnya Dairi tak seberapa jauh dari ibukota Sumatera Utara. Jarak Medan-Sidikalang hanya berkisar 150 kilometer. Jarak yang dalam kondisi normal bisa dicapai sekitar tiga jam dengan kendaraan pribadi. Lintasannya eksotik sehingga pasti disukai para penikmat alam. Katakanlah kita akan melawat ke Sidikalang. Setelah meninggalkan Medan kita akan disambut alam Karo yang elok. Jalan menuju Berastagi yang menanjak berkelok-kelok kemungkinan akan kontan mengingatkan kita pada kitaran Cisarua-Puncak-Cipanas, terutama sejak lokasi pemandian Sembahe. Hutan terjaga yang menghampar di sepanjang kedua sisi jalan menuju Sibolangit merupakan kelebihan kawasan ini dibanding jalur Puncak yang tersohor. Sejak dari Berastagi ladang menghampar menjadi penampakan yang umum. Pun selewat Kabanjahe dan Merek yang di sisinya menghampar Tongging dan tepi Danau Toba bagian utara. Nyata betul bahwa agribisnis merupakan penghidup penduduk Karo. Namun, selepas wilayah Karo atmosfirnya menjadi lain.
Setelah melewati perladangan yang penampakannya tak serapi yang di Tanah Karo, hutan sekarang yang membentang. Lae Pondom namanya, dibelah oleh jalan beraspal milik negara. Sampai awal 1980-an penumpang bus sesekali masih bisa melihat harimau melintas di atas aspal tersebut. Masih terjaga, Lae Pondom adalah hutan subtropis khas Indonesia. Mereka yang ingin mengetahui seperti apa gerangan atmosfir hutan Indonesia yang sebagian besar sudah punah sebaiknya datang ke kawasan penyumbang utama air untuk Danau Toba ini[1]. Setelah Lae Pondom kemudian Sumbul yang menjelang. Lantas Sitinjo dan akhirnya Sidikalang.
Kendati Medan-Sidikalang tak jauh dan lintasannya eksotik, tak banyak orang dari ibukota provinsi Sumatera Utara itu yang pernah menjejak bumi Dairi. Biasanya sampai kota wisata Berastagi saja mereka. Yang lanjut hanya sebatas mereka yang berkampung di Tanah Pakpak atau menjalankan urusan dinas ke sana. Satu lagi, yang akan menghadiri pesta adat. Kalau orang Medan saja demikian, bisa dibayangkan mereka yang berasal dari tempat lain yang lebih jauh. Namun, keadaan mulai berubah setelah Taman Wisata Iman (TWI), di Sitinjo, pinggir Sidikalang, berdiri tahun 2005. Sejak itu tanah Dairi mulai dijejak oleh turis termasuk dari Jakarta bahkan mancananegara. Sesungguhnya keterpencilan Dairi sebelum pembukaan TWI ini merupakan ironi. Terutama kalau kita mengingat sejarah lama.
****
Kapurbarus
Tanah Dairi sebenarnya sejak lama telah berhubungan dengan dunia luar, termasuk mancanegara. Kontak itu memang tidak langsung, melainkan lewat Barus, tetangga di selatan. Sudah sejak zaman prasejarah Barus termashyur sebagai bandar internasional. Dan untuk ketersohoran tersebut, Tanah Pakpak punya kontribusi besar. Sayang sampai sekarang andil ini hampir luput dari catatan sejarah. Sebelum membahasnya, kita telaah dulu Barus dengan kebesaran masa lalunya.
Barus masa lalu—sebutan lainnya Fansur (Arab) dan Pansur (Batak)—identik dengan dua hal, yakni kamper atau kapur barus dan penyair mistik Hamzah Fansuri yang memang lama tinggal di sana. Di antara keduanya kamperlah yang paling lekat dengan nama tempat ini. Dalam pengetahuan umum kota kecil di pantai barat Sumatera inilah penghasil kamper yang paling tinggi mutunya dan paling murni sifatnya.
Sejak lama, sebelum tarikh Masehi, kamper yang di negeri kita bersebutan “kapurbarus” telah menjadi komoditas dunia. Barang ini dahulu bernilai tinggi, setara emas. Maksudnya satu kilogram kamper bernilai tukar sekilogram emas. Mahal karena faedah atau khasiatnya banyak. Penggunaannya yang jamak adalah di dunia pengobatan (ketabiban dan kedokteran) serta keobatan (farmasi). Menurut kisah lawas, champor (kapurbarus) menjadi salah satu unsur ramuan yang dipakai dalam mengawetkan jasad penguasa Mesir (firaun) terkemuka, Ramses II. Mummi raja yang berkuasa pada kurun tahun 1279-1213 sebelum Masehi tersebut telah dibawa ke Paris tahun 1974 untuk diperiksa. Masalahnya hasil pembalseman tersebut (kini berada di Meseum Mesir) kian rusak saja digerogoti jamur. Cerita lain menyebut salah satu wewangian yang dibawa kaum Majus sebagai persembahan untuk bayi Yesus yang baru lahir di Betlehem kapurbarus juga. Kemenyan disebut juga bagian dari seserahan mereka kala itu; hanya saja tak disebut dari mana asalnya.
Ihwal kapur dari Barus sudah ada catatannya di awal tarikh Masehi. Salah satunya dibuat Claudius Ptolemaeus (90-168) seorang Yunani Alexandria (Mesir) yang merupakan ahli astronomi, astrologi, dan geografi terkemuka. Dalam karya akbarnya, Geographia, ia menyebut Barousai penghasil kamper. Kalaupun tak dicatat, di masa itu ihwal kapurbarus setidaknya sudah dipercakapkan dalam pelbagai bahasa, termasuk Yunani, Syria, Cina, Tamil, Arab, Armenia, Jawa, dan Melayu.[2]
Sejak abad ke-6 kapur dari Barus dikenal di berbagai kawasan yang terbentang dari Cina ke Laut Tengah yang memisahkan Eopa dengan Afrika. Sebab itu, catatan tentang komoditas ini pun makin banyak. Tersebutlah catatan dari Dinasti Liang dari Cina selatan (abad ke-6), I-tsing (tahun 692), Ibnu Chordhadhbeh (tahun 846), Marco Polo (tahun 1292), dan Ibnu Batutah (tahun 1345), misalnya. I-tsing adalah seorang rahib Buddha yang sempat tinggal bertahun-tahun di Sriwijaya saat berziarah dari Cina ke India. Marco Polo seorang pengelana Italia yang sempat singgah di Pasai (Aceh). Ibnu Batutah orang Berber dari Tangier (Afrika Utara). Dia kemungkinan telah menjejak tanah Barus dalam perjalanan ke pantai barat Sumatera.
Kendati telah banyak disebut, sejauh itu belum jelas yang mana sebenarnya Barus, negeri sumber kamper “yang paling tinggi mutunya dan paling murni sifatnya” itu. Tabir Barus masih saja gelap. Pasalnya pelukisan oleh para penjelajah-penulis tadi tidaklah sama. Ptolemaeus, misalnya, menggambarkan Barrous sebagai kawasan lima pulau. Penulis lain ada yang menyebut lokasinya di Semenanjung Malaka. Di Aceh adanya, tulis yang lain. Perujuk Barus sekarang memang ada juga.
Jauh dari sinkron informasi mereka; simpang siur jadinya. Kekarut-marutan penggambaran ini tentu mudah kita pahami. Pada masa I-tsing, Ibnu Chordhadhbeh, Marco Polo, atau Ibnu Batutah pengetahuan geografis orang masih sangat terbatas sebab pelayaran lintas benua masih sangat sedikit dan teknologi navigasi masih begitu sederhana. Apalagi di masa Ptolemaeus.
****
Simpang Siur
Kesimpangsiuran ini berlangsung lama. Bahkan, hingga sekarang pun masih ada ahli yang meragukan bahwa Barus sekaranglah yang dirujuk sebagai sumber kamper “yang paling tinggi mutunya dan paling murni sifatnya” itu. Dasar keraguan mereka ada beberapa. Pertama, sejak dulu kamper tak hanya datang dari Barus sekarang, tapi juga dari Borneo (Kalimantan), Semenanjung Malaka, dan Jepang. Sebagai catatan, kamper—sebuah bahan keras, bisa berupa pasir—merupakan hasil oksidasi minyak yang terdapat dalam sel-sel khusus yg mengeluarkan bahan ini. Sel-sel ini terdapat di semua bagian pohonnya. Terdapat dua jenis kamper dari keluarga berbeda: (1) Dryobalanops aromatica Gaertn dari keluarga Dipterocarpaceae mengasilkan kapur Borneo dan (2) Cinnamonum camphora (L.), Nees, dan Ebern dari keluarga Lauraceae atau kamper Jepang. Jenis pertama ini jauh lebih bernilai secara ekonomis. Hanya setelah kamper hasil pabrikan muncullah nilainya merosot tajam.
Kalau saja sosok kejayaan masa lalu masih jelas tampak di Barus, sekarang tabir gelap tadi tak perlu begitu lama menggantung. Realitasnya, Barus sekarang yang tercakup dalam Kabupaten Tapanuli Tengah dalam penampakannya di permukaan begitu bersahaja dan terisolasi. Kecuali makam-makam Islam dari sekitar abad ke-14, kawasan ini hampir tak menyisakan artefak dari sebuah bandar internasional masa kuno. Inilah dasar keraguan kedua. Begitupun, di tengah kesimpangsiuran informasi ihwal Barus yang menjadi sumber kamper terbaik, ada satu hal yang akhirnya disepakati banyak ahli. Yaitu kata ‘kamper’ berasal dari rumpun bahasa Austronesia. Jadi kemungkinan besar asal komoditas ini adalah kawasan di Nusantara.
Sejak abad ke-16 mulai lebih terang sebenarnya bahwa Barus sekaranglah sumber kamper terbaik yang diapresiasi dunia itu. Tapi kawasan ini sendiri ternyata hanya bandar penampung saja, bukan penghasil.
Tom Pires, seorang musafir Portugis, di awal abad ke-16 mendeskripsikan Barus lebih jelas. Ia menyebut negeri ini sangat kaya, kemana pedagang India dan Arab datang langsung untuk mencari damar (kamper dan kemenyan). Barus yang saat itu berhungan dekat dengan Minangkabau, menurut dia, dinamakan juga Panchur atau Pansur. “Orang Gujarat menamakannya Panchur, juga bangsa Parsi, Arab, Bengali, Keling, dst. Di Sumatra namanya Baros (Baruus). Yang dibicarakan ini satu kerajaan, bukan dua,” tulis dia.[3]
Barus, lanjut Tom Pires, telah lama berdagang dengan negeri Pakpak. Hasil bumi berupa kamper dan kemenyan yang dijual di Barus, lanjut dia, didatangkan dari pedalaman. Yang dimaksud dengan pedalaman tentu saja tanah Pakpak yang kala itu setidaknya mencakup Manduamas, Pakkat, dan Parlilitan.
Catatan yang lebih pasti ihwal Barus baru ada sejak Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) menempatkan perwakilannya di sana. Dalam laporan VOC di abad ke-17 disebut pohon kapur barus dan kemenyan terdapat di daerah perbukitan di antara tanah pantai yang datar dan dataran tinggi Toba. “Di daerah terjal ini damar dipungut oleh berbagai kelompok Batak dan diangkut oleh mereka ke tepi laut, terkadang melalui beberapa daerah lain dulu. Di pantai damar dipertukarkan dengan bahan keperluan mereka seperti kain, besi, dan garam,” demikian catatan VOC.[4] Di sini yang dimaksud VOC dengan Batak tentu tidak hanya Toba.
Sekitar abad ke-17 itu, menurut catatan VOC tadi, yang menjadi penduduk Barus adalah orang Melayu, Batak, dan etnik Nusantara lain termasuk Aceh. Orang Melayu dimaksud banyak dari Minangkabau dan pelabuhan-pelabuhan yang lebih selatan. Sedangkan orang Batak yang disebut adalah mereka yang sudah merantau ke pantai dan yang sudah kawin-mawin dengan orang setempat. Masih menurut catatan tadi, saat VOC hendak menjalin hubungan dengan penguasa lokal tahun 1668 barulah mereka tahu bahwa Barus diperintah oleh dua raja yakni Raja di Hulu (campuran Batak-Melayu) dan Raja di Hilir (campuran Melayu dari Terusan, Sumatera Barat). Raja di Hulu menjalin hubungan khusus dengan masyarakat Pakpak yang memungut kamper di Barus barat laut dan pedalamannya. Sedangkan Raja di Hilir berpengaruh besar terhadap orang Batak di Pasaribu dan Silindung yang memungut kemenyan di perbukitan di Barus timur laut serta di pedalaman Sorkam dan Korlang.
Sampai abad ke-19 Barus masih menjadi penyalur utama kamper dari tanah Dairi. Para pedagang di Barus membeli komoditas ini dari para petani dan pengumpul yang datang dari pedalaman. Sungai dan jalan setapak menjadi jalur para pengumpul.
Dalam skala yang lebih kecil Singkil juga penampung kapurbarus dan hasil bumi Dairi lainnya. Di wilayah Singkil, pangkalan di sepanjang aliran sungai yang berhulu di tanah Pakpak menjadi tempat transaksi. Para petani dari pedalaman datang ke sana membawa kamper, kemenyan dan yang lain untuk ditukar dengan garam, kain, tembakau Cina, opium, dan aneka barang dari besi. Pada abad ke-19 terdapat sejumlah pangkalan di Boven Singkel (Singkil Atas) yakni Sinundang, Kumbi, dan Puge di Batang Sinundang; Traju, Pulau Melang, dan Bruntungan Kambing di Batang Sulambi; Panggalan dan Silak di Batang Kumbi, Panuntungan dan Belegen di Batang Belegen, Angkat dan Sarah di Batang Batu-batu, serta Biski di Batang Biski.[5]
Selain ke Barus dan Singkil kamper dan kemenyan dari tanah Pakpak juga masuk ke pelabuhan pantai barat lainnya yakni Tapian Na Uli (Sibolga), Natal dan Air Bangis. Kedua komoditas ini menjadi barang ekspor utama bandar-bandar tersebut hingga pertengahan abad ke-19. Khusus kemenyan sumbernya ada beberapa selain tanah Pakpak. Tanah Toba salah satunya.
Jelaslah, tanah Dairi yang menjadi sumber kamper andalan bandar-bandar pantai barat Sumatera sejak lama. Juga sebagai kemenyan terbaik. Tidak heran kalau di masa Hindia Belanda kawasan di pedalaman Barus dan Singkil ini dinamai Kamfergebied (sentra kamper) dan Benzoegebiet (sentra kemenyan).
****
Prasasti Lobu Tua
Ihwal Barus sekarang sebagai pusat perdagangan masa lalu kian terang setelah sebuah tiang bertulis ditemukan di Lobu Tua, dekat Barus, di masa Kontrolir GJJ Deutz tahun 1873. Prasasti yang sekarang berada di Museum Nasional, Jakarta, tersebut berhasil dibaca oleh gurubesar arkeologi di Madras, India, KA Nilakanta Sastri, tahun 1932. Bertahun 1010 Saka (tahun masehi: Februari-Maret 1088), tiang itu bertuliskan—dalam bahasa Pallawa—ikhtiar perikatan sebuah serikat dagang (merchant guild) Tamil. Menamakan diri Perkumpulan Lima Ratus karena jumlahnya 500 orang, mereka berkiprah di Barus selama abad ke-11.[6]
Bukti kebandaran Barus dikuatkan lagi oleh hasil penggalian arkelologis oleh sebuah tim Indonesia-Perancis di Lobu Tua tahun 1995-1996. Dalam eskavasi di desa yang berjarak sekitar 2 kilometer dari Barus sekarang ditemukan peninggalan arkeologi bermutu tinggi termasuk kaca dan keramik dari Timur Dekat serta banyak pecahan keramik dari Cina. Serpihan ini berasal dari abad ke-8 dan ke-9.[7]
Dari paparan tadi jelas bahwa tanah Dairi atau tanah Papak-lah sumber kamper yang telah mengharumkan nama Barus sejak masa pra-sejarah. Sebenarnya tidak semua daerah di Dairi yang menghasilkan kamper kala itu. Cuma daerah tertentu saja. Terutama Kelasan dan Manduamas. Kelasan, oleh orang India disebut Kalasapura atau Kalasha. Penduduknya menamai kamper haboruan. Sedangkan orang Pakpak umumnya (termasuk yang di Manduamas) menyebutnya keberuen. Tanda kerapatan hubungan masyarakat Dairi dengan keberuen sangat jelas: di tanah Pakpak ada sejumlah cerita rakyat (folklor) yang berlatarkan tanaman hutan ini. Di antaranya kisah Pak-Edag-Pak-Edog dan cerita Simbuyak-mbuyak.
Bahwa kamper yang diekspor Barus sejak zaman klasik itu bersumber di tanah Dairi atau tanah Pakpak, sayangnya hingga sekarang tak banyak yang tahu. Anggapan umum kamper itu ya hasil bumi Barus; toh sebutan lainnya juga ‘kapurbarus’. Tanah Pakpak sama sekali tidak dipersangkutkan. Orang Medan dari zaman dulu punya sebutan untuk ironi seperti ini: lembu punya susu, Benggali punya nama. Di Medan susu sapi segar dinamai ‘susu Benggali’ sebab orang Benggali-lah yang berkeliling menjajakannya. Kasus salah kaprah susu Benggali ini sama dengan kasus ‘jeruk Medan’. Jeruk asalnya dari tanah Karo, bukan Medan. Sebab itu sebutan yang tepat sebenarnya adalah ‘jeruk Karo’ atau paling tidak ‘jeruk Berastagi’.
****
Kapurbarus dalam Hikayat Pakpak
Keberuen merupakan sebutan umum orang Pakpak untuk kapurbarus. Adapun proses mengambil damar ini mereka sebut merteddung atau martodung. Masyarakat lama Dairi berikatan batin erat dengan hasil hutan yang satu ini.
Bukan sembarang komoditas keberuen ini bagi mereka. Sebab itu proses pencariannya pun pakai aturan main atau syarat baku. Tidak setiap pohon kapurbarus menghasilkan kapur. Tak jarang rombongan pencari yang sampai berbulan-bulan masuk hutan akhirnya pulang berhampa tangan. Jadi peruntungan juga menentukan. Agar pencarian lebih efisien rombongan biasanya membawa serta pawang. Sang pawanglah yang memimpin prosesi nanti dan memandu para pencari. Jadi selain kapurbarus, sejak lama juga tanah Dairi dikenal sebagai penghasil pawang kapurbarus.
Kerekatan Dairi dengan kamper melebihi wilayah manapun di Republik ini. Bukti kerekatan ini adalah adanya koleksi cerita orang Pakpak yang berkait dengan kapurbarus. Misalnya hikayat pasangan Pak-Edag-Pak-Edog dan Nan Tartar-Nan Tortor[8] serta hikayat Simbuyak-mbuyak[9].
Hikayat pertama ihwal cekcok suami-isteri. Suatu hari, merasa suaminya ingkar janji Nan Tartar-Nan \Tortor pun minggat dari rumah. Sang suami, Pak-Edag-Pak-Edog, pusing tujuh keliling setelah isterinya raib. Suatu malam ia bermimpi bahwa isterinya bersembunyi di dalam sebatang pohon kapurbarus. Segera ia bertindak. Diambilnya tongkat dan diketoknya setiap pohon kapurbarus yang ia temui di hutan. Benar, Nan Tartar-Nan Tortor ada di dalam pohon. Masalahnya perempuan itu selalu berpindah ke pohon kamper lain saban didekati. Pak-Edag-Pak-Edog tak kenal lelah. Tongkat terus ia pukulkan. Alhasil bunyi ketokan tongkatnya pun menggema di rimba raya: pakpak edag-edog... pakpak edag-edog... pakpak edag-edog... Pendek cerita, hati isterinya kemudian melunak sehingga mereka pulang happy ending. Yang mau dikatakan hikayat ini: sejak bunyi menggema di hutan itulah sebutan ‘orang Pakpak’ diberikan kepada masyarakat yang satu ini yang memang sejak berabad-abad terkenal sebagai pencari ulung kapurbarus.
****
Simbuyak-mbuyak
Hikayat kedua tentang tujuh lelaki bersaudara seibu-seayah dari negeri Urang Julu. Mereka adalah (berturut mulai dari yang sulung) Simbuyak-mbuyak, Turuten, Pinayungen, Maharaja, Tinambunen, Tumangger, dan Anakampun. Sejak lahir Simbuyak-mbuyak tak bisa berdiri karena ruas tulang belakangnya kelewat lemah. Kendati begitu, sesuai ajaran orangtuanya, ia tetap disayang adik-adiknya. Setelah beranjak dewasa, keenam adiknya memutuskan pergi ke rantau untuk mencari kamper yang harganya saat itu setara emas. Simbuyak-mbuyak mohon ikut dan akhirnya disetujui termasuk oleh ibu-ayahnya.
Perjalanan mencari kamper sungguh melelahkan, ternyata. Harus menembus hutan turun naik gunung mereka. Apalagi keenam adik juga harus bergantian menggendong si sulung. Akhirnya tiba juga mereka di tempat pepohonan kapurbarus tumbuh. Sesuai arahan sang kakak mereka membuat gubuk persis di pertengahan lereng Gunung Sijagar. Seia-sekata, tak boleh cekcok, memang itulah etos para pencari kamper. Dan dari sini jugalah asal-usul maksim sosial terkenal di Tanah Pakpak: ‘Sada kata dok perteddung’ (Seia-sekata seperti ujaran pencari kapurbarus).
Ketujuh bersaudara pun mematuhinya. Fisiknya yang lemah membuat Simbuyak-mbuyak di gubuk saja sendirian saat adik-adiknya pergi mencari kamper. Kerjanya seharian memintal tali. Kamper yang didapat enam bersaudara sedikit saja dan itu pun, di gubuk, kerap dilahap habis oleh si sulung. Begitu saban hari. Lama-lama kedongkolan empat dari enam bersaudara yang sudah letih itu membuncah, tapi Tinambunen dan Tumangger selalu berusaha meredakan suasana tegang. Simbuyak-mbuyak sadar dirinya sedang disoal tapi ia berlagak tak tahu. Terus saja ia memintal tali tanpa mau mengatakan untuk apa.
Tak ada yang tahu ternyata Simbuyak-mbuyak bukan manusia biasa. Malam, saat keenam adiknya sudah lelap ia sering menjelajah hutan. Ia bisa menandai mana pohon yang berkamper dan mana yang tidak. Bahkan tahu berapa kandungan pohon yang berisi kamper tersebut.
Kekecewaan keempat adik Simbuyak-mbuyak akhirnya memuncak. Mereka memutuskan pulang dan meninggalkan abang sulung di hutan. Suatu hari mereka pamit. Pulang dulu mengambil bekal, itu alasannya. Merasa kasihan, Tinambunen dan Tumangger mengatakan mau tinggal untuk menemani Simbuyak-mbuyak. Ternyata Simbuyak-mbuyak mengatakan lebih suka ditinggal sendiri. Cuma satu pintanya: tolong dijemput kalau pohon durian mereka di kampung sudah berbuah. Tak sembarang pohon durian mereka itu: cuma satu dan buahnya tunggal pula. Tapi sungguh istimewa buah ini: kelewat besar dan rasanya lezat nian. Semuanya mengatakan siap menjemput.
Sesampai di kampung kepada orangtua keempat bersaudara tadi menceritakan kesialan mereka di hutan. Mereka lantas mempersalahkan si abang sulung. Setelah berkisah mereka menguatarakan pinta ke orangtua yaitu menggelar pesta dulu sebelum mereka kembali ke hutan nanti. Sajiannya buah durian mereka serta daging ternak. Pinta diluluskan.
Khawatir terlambat Tinambunen dan Tumangger bergegas menjemput Simbuyak-mbuyak. Saat kedua bersaudara ini masih menapak menuju Gunung Sijagar ternyata pesta di kediaman mereka di Urang Julu sudah mulai. Lewat kemampuan istimewanya Simbuyak-mbuyak tahu itu. Masygul dia. Lantas ia yang sejak kepergian keenam adiknya telah menjelma menjadi pemuda ganteng nan gagah mulai merentangkan tali yang selama ini dipintalnya. Setiap pohon berisi kapurbarus ia pertautkan dengan tali itu. Ia berdoa agar pohon paling besar dan tinggi serta penuh berisi kapurbarus tumbang. Doanya terkabul. Pohon itu terhempas. Juga, batang itu terpotong-potong rapi. Berdoa lagi dia: kayu berpotong itu terbelah dua.
Sewaktu Tinambunen dan Tumangger tiba mereka tak menemukan abangnya. Bertambah heran keduanya karena tali-temali berseliweran mulai dari gubuk hingga ke hutan. Tatapan mereka kemudian terbentur pada sebuah pohon besar-tinggi yang rebah di depan gubuk. Saat mendekat mereka melihat sang abang terbaring di belahan kayu itu. Sontak disergap rasa kaget dan haru keduanya. Simbuyak-mbuyak mereka bujuk agar keluar dari sana. Tak berhasil. Simbuyak-buyak mengungkapkan isi hati kepada kedua adik yang sungguh menyayangi dirinya. Ia bilang bahwa seandainya saja ikut dalam pesta buah durian dan daging ternak gemuk di kampung ia akan memohon ke sang pencipta agar dirinya dijelmakan sebagai manusia sehat. Tapi, semuanya sudah terlambat, ucap dia. Ia lantas memberitahu bahwa semua pohon yang ia ikat itu berisi kapur barus.
Ia persilakan mereka mengambilnya nanti sebagai pengganti kapurbarus yang telah ia makan selama ini. Setelah memberi pelbagai petunjuk dan bertitip pesan kepada kedua orangtua dan sanak saudara ia pun mohon diri. Suara maha guruh terdengar seketika. Kayu terbelah bersatu menelan tubuh Simbuyak-buyak. Kayu itu lalu meluncur maha kencang dari lereng Gunung Sijagar. Ke samudra arahnya.
Tinambunen dan Tumangger sedih bukan kepalang. Namun duka mereka segera susut setelah melihat kapurbarus berlimpah yang ditinggalkan Simbuyak-buyak. Dengan bawaan yang sarat mereka pun pulang. Di rumah, kepada keempat saudaranya bawan itu mereka bagikan juga. Akhirnya keluarga mereka menjadi makmur. Hikayat pun berujung.
***
Negeri Tujuan Kaum Migran
Penduduk asli tanah Dairi adalah orang Pakpak. Sebab itu Dairi acap juga disebut tanah Pakpak (Tanoh Pakpak). Seiring waktu kaum migran pun bermunculan. Tanah yang luas dan subur menjadi alasan utama bagi mereka untuk ‘mendairi’. Alhasil setelah bergenarasi-generasi kawasan ini telah menjadi melting pot. Berikut ini potret beberapa etnik atau puak yang telah lama beranak-pinak di Dairi. Pakpak sendiri tentu perlu dikisahkan sebagai awalnya.
Pakpak
Tanah Pakpak terdiri dari lima suak atau kelompok berdasarkan kedekatan wilayah, sosial dan ekonomi. Suak itu adalah: Simsim, di kawasan Salak, Kerajaan, Sitellu Tali Urang Julu, Sitellu Tali Urang Jehe; Keppas, di kitaran Sitellu Nempu, Siempat Nempu, Silima Pungga-pungga, Lae Luhung (Lae Mbereng) dan Perbuluhen; Pegagan dan Karo Kampung, di sekitar Pegagan Jehe, Silalahi, Paropo, Tongging (Sitolu Huta) dan Tanah Pinem; Boang, di lingkup Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang, dan Singkil; dan Kelasan, meliputi wilayah Sienem Koden, Manduamas, dan Barus.
Orang Pakpak juga bermarga. Di lingkup Suak Simsim terdapat sejumlah marga antara lain Banurea, Beringin, Berutu, Boangmanalu, Cibero, Kebeaken, Lembeng, Manik, Padang, Sinamo, Sitakar, Sitendang, dan Solin. Di Suak Keppas: Angkat, Bako, Berampu, Bintang, Capah, Gajah Manik, Kudadiri, Maha, Pasi, Sambo, Saraan, dan Ujung. Di Suak Pegagan: Cupak atau Kecupak, Kaloko, Lingga, Manik, Matanari, dan Simaibang. Di Suak Boang: Bancin, Berutu, Lembeng, dan Pohan. Sedangkan di Suak Kelasan: Anakampun, Berasa, Gajah, Kesogihen, Maharaja, Meka, Mungkur, Sikettang, Tinambunen, Tumangger, dan Turuten.
Kata ‘pakpak’ dalam bahasa Pakpak bermakna tinggi. Bisa jadi karena berdiam di dataran tinggi atau pegunungan maka masyarakatnya dirujuk sebagai orang Pakpak. Sejauh ini selain hasil telusuran berdasar asal-usul kata (etimologi) ada juga tafsir ‘pakpak’ versi lain. Ada yang mengatakan kata ini berasal dari ‘wakwak’, sebutan untuk kawasan ini oleh warga negeri Abunawas (Irak sekarang) di zaman baheula.
Ada pula yang menyebut ‘pakpak’ berasal dari nama orang. Alkisah, tiga pemuda bersahabat karib bertolak dari Singkil. Nama mereka adalah si Gayo, si Karo, dan si Pakpak. Pemuda Gayo melangkah mengikuti sungai Kali Alas. Ia tiba di tanah Gayo. Melanjut ke Kutacane dia dan mentap selamanya. Pemuda Karo mengikuti Lae Ulun dan tiba di tanah Karo. Di sana ia tinggal permanen. Adapun pemuda Pakpak, ia mengikuti Lae Renun dan sampai di Pegagan Hilir. Di sana ia bergabung dengan penduduk asli dan membentuk perkampungan. Seperti kedua sobatnya ia pun menjadi migran yang berdiam menetap. Namanya kemudian diabadikan untuk seluruh kawasan.[10]
Sudah ada tiga tafsir tentang muasal kata ‘pakpak’. Lantas orang Pakpak sendiri dari mana berasal? Seperti halnya asal-usul seluruh etnik atau sub-etnik lain di Republik ini, yang satu ini pun belum jelas betul. Aneka macam versinya. Secara umum, sejak zaman Belanda, oleh para etnolog orang Pakpak digolongkan ke dalam etnik Batak. Jadi sama seperti orang Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, dan Angkola. Adanya sejumlah unsur kedekatan atau kesamaan—misalnya dalam struktur sosial, sistem budaya, dan bahasa—puak ini satu sama lain menjadi dasar penggolongan. Uli Kozok[11], misalnya, menyatakan keenam puak ini memiliki bahasa yang satu sama lain banyak kesamaannya. Merujuk para ahli bahasa ia menyebut bahasa Angkola, Mandailing, dan Toba membentuk rumpun selatan; sedangkan bahasa Karo dan Pakpak-Dairi termasuk rumpun utara. Ihwal Bahasa Simalungun ada dua pendapat. Berdiri di antara rumpun utara dan selatan, begitu satu pendapat. Merupakan cabang dari rumpun selatan yang kemudian terpisah sebelum bahasa Toba dan bahasa Angkola-Mandailing terbentuk, kata pendapat lain.[12]
Belakangan ini semakin nyaring terdengar pernyataan bahwa Pakpak bukan Batak, terlepas dari sejumlah unsur kesamaan tadi. Menurut pemegang pendapat ini (umumnya mereka orang Pakpak) sebagai etnik Pakpak lebih tua dari Toba yang selama ini mengkleim sebagai leluhur segenap puak Batak. Diskleim senada tadinya cuma dari Mandailing. Belakangan orang Karo dan Simalungun pun kian banyak menyangkal diri Batak. Lama-lama bisa Toba belaka yang menyebut diri Batak. Tentu para etnologlah yang punya otoritas untuk menimbang kebenaran kleim atau diskleim ini.
Mereka yang menyatakan Pakpak lebih tua dari Toba merujuk pada folklor lokal dan benda-benda budaya dari zaman Hindu (di antaranya mejan—patung orang menunggang gajah atau harimau, terbuat dari batu) yang sampai kini bisa ditemukan di tanah Pakpak untuk menguatkan argumennya.
Kendati tak tak memiliki mitologi lengkap yang mencakup ihwal penciptaan dunia dan manusia pertama, orang Pakpak mempunyai folklor tentang lintasan peradabannya. Menurut folklor ini Pakpak mengenal lima zaman yakni Similangilang, Sintuara, Sihaji, Hindu, dan Pemimpin. Keterangannya berikut ini[13].
Zaman Similangilang. Pada masa ini orang belum tinggal menetap atau masih nomaden. Berburu binatang merupakan pekerjaan utama mereka.
Zaman Sintuara. Mereka sudah mulai bermukim tapi kerap berpindah. Kalau ada anggota kelompok yang meninggal mereka akan berpindah sebab kematian dianggap kesialan yang harus dihindari.
Zaman Sihaji. Seperti masa sekarang, di masa ini kelompok sudah menetap secara permanen di satu tempat. Mereka sudah mulai berdagang tapi belum menggunakan mata uang. Jadi masih berbarter. Mitra dagang mereka termasuk orang asing (Portugis, Mesir, dan India). Berbagai barang dari luar negeri sudah masuk di antaranya koden loyang (periuk), kalakati (alat pengupas pinang), sulapah (tempat sirih), pinggan pasu (piring pinggan), gabus (ikat pinggang), dan borgot.
Zaman Hindu. Ini sezaman dengan kerajaan Sriwijaya. Berarti abad ke-6 sampai ke-12.
Zaman Pemimpin. Bermula sejak Islam merebak di tanah Pakpak.
Kalau folklor ini mengandung kebenaran faktual memang benar orang Pakpak lebih tua dari orang Toba. Jalan pikirannya, bandingkanlah folklor kedua puak. Menurut tambo (tarombo) orang Toba, manusia Batak pertama adalah Si Raja Batak. Segenap orang Batak sekarang adalah keturunannya. Dari Si Raja Batak hingga angkatan kanak-kanak Toba sekarang paling ada belasan generasi. Satu generasi katakanlah 70 tahun. Jadi masa sejak Si Raja Batak hingga masa sekarang baru paling 1.500 tahun (asumsinya orang Toba telah 20 generasi lebih). Berarti baru setara era Hindu menurut folklor Pakpak tadi. Masih jauh dari zaman Similangilang. Begitulah kalau kita membandingkan folklor. Masalahnya, folklor tidak bisa dijadikan penakar tahun. Namanya juga cerita rakyat atau sahibul hikayat: berbiaknya dari mulut ke mulut.
Jejak kebudayaan Hindu sampai sekarang masih tampak jelas di tanah Pakpak. Mejan salah satunya. Lainnya adalah benda yang tadi disebut dari zaman Sihaji: koden loyang, kalakati, sulapah, pinggan pasu, gabus, dan borgot. Jejak ini menjadi pertanda bahwa sebagai etnik Pakpak memang sudah tua.
Tanah Pakpak memang sejak lama berada dalam medan pengaruh pelbagai kebudayaan besar. Kedekatannya dengan Aceh dan Barus menjadi penyebabnya. Setelah Hindu, kebudayaan Islam dan Kristen merembes deras ke kawasan ini.
Islam sudah lama hadir di tanah Pakpak. Kemungkin besar imbas dari kebertetanggaannya dengan Aceh di utara dan Barus di selatan. Orang Pakpak yang pertama mendalami Islam secara intens adalah Sjech Abdurrauf al-Singkili. Dia pernah belajar agama di Pasai (Aceh) dan tanah Arab. Namun pengislaman secara serius dan sistematis barulah oleh Tengku Telaga Mekar dari Gayo. Pengikutnya menjadi unsur pasukan Slimin yang berjuang melawan Belanda kelak. Gelombang pengislaman berikutnya mengalun di masa Guru Gindo. Sekitar tahun 1926 sang guru bertolak dari kampungnya di Sumatera Barat untuk mengembangkan siar Islam. Lewat Singkil dan Runding akhirnya ia tiba Sidikalang. Di ibukota ini sejumlah pertaki berhasil ia Islam-kan termasuk dari marga Bintang dan Ujung.[14] Dengan begitu Guru Gindo berlomba dengan zending yang juga berhasil mengkristenkan beberapa pertaki.
****
Toba
Migrasi orang Toba (sebutan orang Pakpak: Tebba) ke tanah Dairi sudah sejak lama dan berlangsung beberapa gelombang. Mereka yang pertama berpindah kemungkinan besar adalah penduduk kawasan yang berbatasan atau dekat dengan Dairi. Dalam hal ini mereka yang bermukim di kedua pesisir yang diperantarai jembatan Tano Ponggol, Pangururan, P. Samosir sekarang (penguasa Belanda mengeruk tanah di bawah jembatan ini untuk menjadikan Samosir pulau di Tengah Danau Toba), serta mereka yang berdiam di kitaran Humbang Hasundutan sekarang persisnya di selatan garis imajiner Parlilitan-Pakkat. Mereka yang berasal dari pesisir barat Samosir bisa berjalan kaki lewat Pangururan dan Tele di seberang Gunung Pusuk Buhit kalau mau ke tanah Dairi. Bisa juga naik sampan (solu) dari Samosir sebelum melanjut lewat jalur darat. Sedangkan mereka yang datang dari arah Balige-Muara-Bakara bisa berjalan kaki melewati daerah Humbang. Lintasan alternatif yang lebih mudah ada bagi mereka yakni naik solu ke Sagala atau Pangururan lalu menapaki jalur darat.
Di masa rintisan migrasi, macam-macam motif orang Toba yang melawat dan kemudian menetap di tanah Pakpak. Mulai dari mengembara belaka untuk mengenal lebih dekat dunia, mencari penghidupan yang baik, berdagang, hingga menimba ilmu (sebagai catatan: Barus yang bertetangga dengan Dairi sejak lama telah menjadi salah satu kiblat bagi orang Toba yang mendalami ilmu perdukunan atau hadatuon).
Kelompok marga Silalahi termasuk orang Toba yang telah turun-temurun tinggal di tanah Dairi. Berasal dari Samosir utara, nenek mereka melintasi bagian Danau Toba yang paling luas dan paling dalam. Mereka lantas beroleh tanah dari orang Pakpak pemilik hak ulayat. Marga mereka pun dibadikan sebagai nama untuik ranah pemberian itu (Kecamatan Silalahisabungan, Dairi sekarang) berikut bagian danau yang paling luas dan dalam tadi (Tao Silalahi).
Selain Silalahi, marga lain yang sudah bergenerasi-generasi menetap di tanah Pakpak termasuk Ompusunggu (bagian dari Aritonang, berasal dari Muara), Limbong, Sagala, Malau, dan Sigalingging. Mereka mendapatkan tanah dengan pelbagai cara. Ada yang awalnya putri mereka dipersunting penguasa lokal (pertaki). Setelah besanan mereka lantas diundang untuk mendirikan kampung serta diberi pertapakan. Ini misalnya dialami marga Ompusunggu yang menjadi besan Tuan Kinalang alias Raja Pernakanmatah Ujung. Tanah pemberian untuk mereka terletak di antara Hutaraja dan Hutaimbaru.[15]
Ada pula yang bermula dari hubungan dagang. Marga Limbong misalnya ada yang awalnya datang dari Samosir dengan mambawa ulos sebagai dagangan. Ia kemudian dipermantukan pertaki dan diberi rading tanoh (tanah pemberian orangtua kepada putrinya yang menikah).
Kisah sekelompok marga Sigalingging lain lagi. Semula seorang kakek moyang mereka datang ke Dairi untuk belajar membuat koden (periuk). Setelah beroleh ilmu ia pulang kampung dan di sana ia bergiat membuat periuk tanah. Hasil kriya tersebut ia bawa ke Dairi untuk dijual. Bisnisnya ternyata berhasil dan ia kemudian dipermantukan marga Ujung yang menjadi penguasa lokal. Sebagai menantu ia kemudian diberi rading tanoh. Turunannya kemudian beranak pinak di sana sampai sekarang.
Marga Sidabutar ada juga yang mendapatkan tanah dari raja marga Angkat dengan cara yang kurang lebih sama.[16] Diberi tanah oleh penguasa setempat dan turunannya lantas beranak pinak. Itulah proses mendairi yang umum ditempuh kaum migran Toba. Perlu diingat di zaman rintisan itu penduduk masih sedikit sementara tanah di Dairi masih maha luas. Sesuai hukum ekonomi paradoks yang terjadi: sesuatu yang berlimpah nilainya kecil saja kendati manfaatnya sangat besar. Contoh: udara dan air. Tanah di Dairi pun kala itu sama. Pada sisi lain para penguasa lokal (pertaki) secara alami bersaing kekuasaan atau berebut pengaruh satu sama lain. Agar kedudukan kokoh maka basis dukungan harus diperbesar. Orang luar merupakan sumber dukungan tambahan yang bisa diharapkan. Agar orang luar ini sudi bergabung harus ada kompensasinya. Tanah peruntukan adalah kompensasi yang paling menarik bagi mereka setelah beru (putri) keturunan sang penguasa. Adapun putri atau keponakan perempuan dari sang pertaki tentulah tak banyak jumlahnya, karena itu tanahlah kompensasi yang paling tersedia.
Untuk mendapatkan tanah di masa itu proses yang dijalani kaum migran sama sekali tak rumit atau berbelit. Mudah dimengerti karena hubungan mereka simbiosis mutualistis (saling menguntungkan: pertaki perlu basis dukungan sementara kaum migran perlu tanah).
Abner Togatorop memberi sebuah gambaran. Waktu masih berusia sekitar tiga tahun (ia lahir tahun 1926) kakeknya berniat meminta tanah kepada Pertaki Batu Empat. Syarat lalu disiapkan sesuai adat sulang silima. Syarat itu berupa satu tumba (2 liter) beras, sebutir telor yang ditaruh di tengah beras tadi, seekor ayam jantan, serta uang seringgit. Saat menghadap seserahan disampaikan dan permintaan diutarakan. Pertaki saat itu juga meluluskan. Ia menunjuk begitu saja tanah untuk keluarga Togatorop[17].
Setelah beroleh tanah, lazimnya yang dilakukan oleh kaum migran Toba di tanah Pakpak adalah mendirikan kampung sendiri (mamungka huta). Untuk itu keluarga dan handai-tolan di kampung asal diajak serta bergabung. Begitulah asal-usul huta, lumban, atau sosor yang ada di Diairi sekarang ini. Satu hal lagi yang perlu dicatat, masing-masing kelompok migran Toba ini memiliki destinasi favorit. Sebab itu sebaran orang dari Humbang, Habinsaran, Samosir, biasanya berbeda satu sama lain.
Migrasi yang dipaparkan barusan bisa disebut bersifat alami. Artinya kedekatan jarak yang kemudian merangsang interaksi lebih merupakan pemicunya. Gelombang migrasi bercorak lain selanjutnya mengalun di awal abad ke-20.
****
Belanda memutuskan untuk memerangi Si Singamangaraja XII yang berdiam di Paya Raja, Kelasen, Dairi, sejak tahun 1883. Maka pada 19004-1905 mereka melangsungkan dua ekspedisi militer di Dairi. Misi ternyata gagal sehingga November 1905 Letnan L. Van Vuuren ditempatkan di Sidikalang sebagai pejabat sipil merangkap komandan pasukan. Benteng Sidikalang dan sejumlah pondokan pasukan segera dibangun.
Untuk membangun fasilitas militer Belanda membutuhkan para pekerja termasuk tukang, kuli bangunan, dan portir. Di masa itu tukang terampil lulusan sekolah belum ada di Dairi. Belanda akhirnya memutuskan untuk menggunakan tenaga kerja yang tersedia di Silindung. Masalah timbul karena orang-orang dari Silindung—asal mereka sebenarnya dari mana-mana termasuk dari Toba, Humbang, dan Samosir—enggan berangkat ke Dairi karena tahu Si Singamangaraja XII yang akan diperangi Belanda di sana. Belanda meluluhkan hati mereka dengan imbalan besar. Ratusan orang pun siap berangkat.
Setiba di Dairi para pekerja dari Silindung ini banyak yang terkesima oleh tanah subur dan kosong yang terhampar di mana-mana. Ketika kembali ke kampung saat cuti atau ikatan kerjanya telah selesai mereka berkisah kepada handai tolan tentang betapa menjanjikannya masa depan di tanah Pakpak. Tergiur, para pendengar kisah pun memutuskan untuk turut pindah ke Dairi, mendairi. Migrasi besar pun terjadilah.
Setelah orang Toba kian banyak di Dairi, terutama di Sidikalang, penginjil termashyur asal Jerman, Nommensen, kemudian meminta zending masuk ke Dairi. Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) pun berdiri di Sidikalang tahun 1908. Tak hanya orang Toba yang belum Kristen yang dirangkul oleh zending kala itu tapi juga orang Pakpak yang sebagian besar masih menganut agama suku. Hasilnya, tahun 1909, Jaekuten Keppas Raja Asah Ujung dibaptis menjadi Kristen. Juga saudaranya: Raja Alang, Raja Kundeng, dan Raja Jonang. Kalau penguasa sudah dirangkul otomatis pengikutnya akan lebih mudah diajak serta. Dan memang begitulah yang terjadi. [18]
Migrasi orang Toba terus berlanjut di masa kemerdekaan. Mengisi posisi pegawai birokrasi, guru, dan tentara itu tujuan utamanya. Demikian juga di masa gerilya dan pasca penyerahan kedaulatan tahun 1949. Pemasukan kembali Dairi ke Kabupaten Tapanuli Utara yang beribukotakan Tarutung menjadi perangsang tambahan.
Migrasi orang Toba berpuncak di masa Orde Baru. Dairi membangun. Orang-orang berpendidikan datang mengisi pelbagai lowongan birokrasi kabupaten, guru, dan tenaga kesehatan hingga ke desa-desa. Mereka yang tak berpendidikan juga tak mau kalah. Mereka berkiprah di sektor informal. Alhasil, setelah migrasi yang berlangsung lama Dairi pun menjadi salah satu daerah rantau utama orang Toba sampai kini. Dan secara statistik, jumlah mereka kini sudah jauh melampaui orang Pakpak.
****
Karo
Tanah Karo berbatasan langsung dengan Tanah Dairi. Laubalang, Juhar, dan Tongging antara lain menjadi titik di dekat garis batas kedua wilayah. Kebertetanggaan langsung ini dengan sendirinya membuat kedua wilayah bersinggungan secara kultur. Bahasa yang mirip menjadi salah satu pertandanya.
Ada sebuah wilayah di perbatasan yang oleh penguasa Belanda dulu disebut sebagai Onderdistrik van Karo Kampung. Kawasan ini meliputi lima kenegerian yakni : Lingga (Tigalingga), Tanah Pinem, Pegagan Hilir, Juhar Kidupen Manik, dan Lau Juhar. Dinamai Karo Kampung karena kulturnya memang Karo. Kemungkinan besar kawasan ini merupakan wilayah Karo yang masuk wilayah Dairi akibat demarkasi oleh Belanda. Pinem menjadi salah satu marga tanah di Karo Kampung. Tanah Pinem, menurut tulisan tokoh masyarakat Karo Dairi, alm. Mandur Pinem[19], merupakan asal segenap marga Pinem. Jadi bukan tanah Karo, seperti anggapan umum. Hal ini, masih menurut dia, telah diakui dalam sebuah seminar adat di tanah Karo sekitar tahun 1958.
Selama ini hubungan orang Karo dengan Pakpak boleh dibilang berlangsung mulus dan akrab. Orang Karo tak agresif dalam mendapatkan tanah sehingga ketegangan dengan pribumi Pakpak jarang terjadi. Selain itu sejumlah marga di Dairi dan Karo menjalin perikatan khusus. Misalnya Kudadiri dengan Ginting Suka, Sinuraya dengan Angkat, dan Padang Jambu dengan Pinem. Relasi khususlah yang kemudian memunculkan marga seperti Peranginangin Laksa, Sembiring Maha, Sebayang Solin, dan Karokaro Ujung.
Selain hubungan khusus, ada juga peristiwa tertentu yang telah merekatkan orang Pakpak dengan orang Karo. Misalnya pergolakan PRRI pada paruh kedua 1950-an. Dalam perkembangan lanjutan gerakan ini salah satu tokoh sentralnya, Kolonel Maludin Simbolon berseberangan jalan dengan orang dekatnya, Letkol Djamin Gintings (sewaktu Simbolon menjadi panglima Komando Tentara dan Teritorium-I Sumatera Utara, Gintingslah kepala stafnya). Seperti di daerah lain di Sumatera Utara, di Dairi pun masyarakat terbelah waktu itu: ada yang berpihak ke Simbolon, ada yang ke Gintings. Orang Pakpak yang berpihak ke Djamin Gintings sebagian mengidentifikasikan diri ke orang Karo. Menggunakan marga Karo itulah antara lain yang mereka lakukan. Marga Maha misalnya menjadi Sembiring. Yang memihak Simbolon ada juga seperti itu.[20] Pengidentifikasian diri itu ternyata permanen.
Pertautan Karo-Dairi lainnya dalam bidang pertanian. Karo, boleh dibilang, sejak lama menjadi model bagi Dairi dalam hal pertanian. Sejak bersentuhan dengan teknologi pertanian di masa Hindia Belanda Karo telah menjadi sentra agribisnis utama di Sumatera bahkan di Indonesia. Sejak lama hasil ladang mereka—sayur dan buah-buahan—telah menjadi komoditi yang berpasar di P. Jawa, Singapura, dan negeri lain di kitaran Asia Tenggara.
Di Dairi masyarakat petani yang paling intens mengikuti jejak Karo di bidang pertanian adalah mereka yang bermukim di Karo Kampung (sekarang tiga kecamatan: Tanah Pinem, Tigalingga, dan Gunung Sitember). Wajar: Kedekatan secara geografis dan kultural telah membuat mereka senantiasa rapat. Ketika mekanisasi pertanian meraja di tanah Karo tahun 1960-an misalnya, Karo Kampung yang pertama terimbas di Dairi. Alhasil sampai sekarang kawasan ini masih penyumbang pendapatan asli daerah (PAD) terbesar Dairi dari sektor pertanian.
****
Simalungun
Diperantarai Tao Silalahi, pesisir Silalahi-Paropo (Dairi) yang panjangnya sekitar 30 kilometer berhadapan dengan Tigaras-Haranggaol (Simalungun). Yang membuat wilayah Dairi dan Simalungun ini tak berbatasan langsung hanyalah pengkolan tempat Tongging dan semenanjung Sibaulangit (keduanya masuk Karo) berada.
Kendati berdekatan, relasi Dairi-Simalungun tidak istimewa. Adanya wilayah Karo sebagai bemper atau penyangga kemungkinan besar merupakan penyebabnya. Karo budayanya dominan[21] sehingga meredam pengaruh Simalungun di kawasan itu. Apalagi orang Simalungun sendiri tidak agresif dan cenderung inward-looking.[22] Alhasil tak banyak mereka yang bermigrasi ke negeri seberang, ke Dairi. Hanya karena agresi Belanda tahun 1949-lah mereka mulai masuk ke sana. Begitu pun, selama ini masih lebih banyak orang Dairi yang bermigrasi ke Simalungun daripada sebaliknya. Seribudolok menjadi tujuan utama mereka. [23]
****
Etnik lain
Dairi berpenduduk multi-etnik, terutama Sidikalang. Ibukota ini sendiri sejak dijadikan Belanda basis untuk memerangi Si Singamangaraja XII telah menjadi titik baur berbagai etnis (melting pot). Orang Jawa, Minang, Mandailing-Angkola, dan Cina antara lain unsurnya.
Orang Jawa datang untuk menjadi pegawai baik di pemerintahan, perusahaan swasta, maupun di sektor informal. Orang Minang, seperti biasa, bergiat di bisnis rumah makan. Menjadi tukang mas, ada juga mereka. Kaum perantauan ini membanyak di Dairi setelah tokoh utama mereka, Guru Gindo, bergiat dalam siar Islam. Awalnya kerabat Guru Gindo saja yang datang menyusul dari Sumatera Barat; lama-lama orang dari luar lingkaran mereka juga.
Dibanding etnik pendatang lain orang Cina-lah yang lebih dulu eksis berdagang di tanah Dairi. Bisnis utama mereka adalah menampung dan menyalurkan hasil bumi macam kemenyan, nilam, dan kopi. Sebelum zaman Jepang mereka sudah aktif. Perintis bisnis ini di Sidikalang termasuk ayahanda toke Teseng, Pengki, dan Pinciang. Seperti di kawasan mana pun di negeri ini, di Sidikalang pun orang Cina-lah yang paling dominan menguasai perekonomian lokal. Baru belakangan ini saja dominasi mereka seperti terimbangi, dan itu terutama karena semakin banyaknya generasi muda orang Cina meninggalkan Sidikalang dan membuka bisnis di Siantar, Medan, Jakarta, bahkan luar negeri.
[1] Hutan di Kecamatan Sumbul dan Parbuluan menyumbangkan sebagian besar air sungainya ke Danau Toba, terutama yang berhulu di hutan lindung Lae Pondom. Lihat Jansen H. Sinamo dkk. dalam Dairi—The Hidden Prosperity (terbit tahun 2000)
[2] Lihat Jane Drakard, Sejarah Raja-Raja Barus—Dua Naskah dari Barus (Gramedia Pustaka Utama dan Ecole Francaise d-Extreme-Orient, Jakarta, 2003).
[3] Jane Drakard, ibid.
[4] Jane Drakard, ibid.
[5] Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (Ombak, 2007).
[6] Claude Guillot (Ed.), Lobu Tua Sejarah Awal Barus (Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Association Archipel, Pusat Penelitia Arkeologi,Yayasan Obor Indonesia—Jakarta, 2002).
[7] Claude Guillot, ibid.
[8] Lihat MA Marbun-LMT Hutapea, Kamus Budaya Batak Toba—Balai Pustaka 1987.
[9] Dipetik dari sebuah tulisan di internet. Sayang identitas penulisnya tak ada.
[10] Perkisahan ini berasal dari para narasumber Pakpak dalam wawancara di Sidikalang pada 7 Oktober 2008.
[11] Sembari meneliti sastra Batak ia pernah menjadi dosen di IKIP Medan dan USU. Lulusan Universitas Hamburg ini thesis dan disertasinya tentang sastra Batak.
[12] Uli Kozok, Warisan Leluhur—Sastra Lama dan Aksara Batak (Kepustakaan Populer Gramedia dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, 1999).
[13] Wawancara dengan R. Ardin Ujung di Sidikalang pada 7 Oktober 2008.
[14] Wawancara dengan para narasumber Pakpak di Sidikalang pada 7 Oktober 2008.
[15] Wawancara dengan Ranap Ompusunggu di Sidikalang pada 7 Oktober 2008.
[16] Wawancara dengan para narasumber Pakpak di Sidikalang pada 7 Oktober 2008.
[17] Wawancara dengan Abner Togatorop, mantan guru dan anggota DPRD Dairi, di Sidikalang pada 7 Oktober 2008.
[18] Wawancara dengan Abner Togatorop di Sidikalang pada 7 Oktober 2008.
[19] Tulisan ini dirujuk putranya, Saulus Peranginangin Pinem, dalam wawancara di Sidikalang 9 Oktober 2008.
[20] Wawancara dengan para narasumber di Sidikalang di Sidikalang pada 7-9 Oktober 2008.
[21] Seperti kata para narasumber, siapa pun yang masuk Tanah Karo akan terserap budaya Karo.
[22] Lihat pelbagai tulisan Martin Lukito Sinaga dan Limantina Sialoho di majalah TATAP.
[23] Wawancara dengan S. Cyrus Purba di Sidikalang pada 7 Oktober 2008.
Sumber : Perkumpulan Peduli Budaya Pakpak (Facebook)
Dipetik dari buku DAIRI DALAM KILATAN SEJARAH, karangan Jansen Sinamo, Flores Tanjung, dan Hasudungan Sirait.
No comments:
Post a Comment