Pages
▼
Tuesday, March 6, 2012
Ndikkar, Mayan Memapah Jati diri Karo dan Sumut
Ndikkar, Mayan Memapah Jati diri Karo dan Sumut
Ditulis oleh: Ananta Bangun
Sepucuk surel tersampir di layar komputer saya. Pengirimnya dari Blogger SUMUT yang memaparkan sebuah lomba menulis berperihal budaya/ kuliner/ sejarah di Sumatera Utara. Ini senada dengan visi komunitas kami: “Menduniakan Sumatera Utara.” Karena dadakan, fikir punya fikir saya tergelitik menulis ulang seni bela diri dan tari dari suku Karo, yakni Ndikkar atau Mayan. Versi pertama tulisan ini, sila dilirik di situs Blogger SUMUT dengan judul “Ndikkar: Seni Bela Diri Tradisionil Karo”
Ilham ditulisnya pengenalan seni Ndikkar dan Mayan ini bersifat kronologis. Pada Mei 2011, dalam seminar IdBlogilicious Medan, pemateri mas Donny BU (ICT Watch) memberi petuah – yang sepintas juga bernada tantangan – untuk menuliskan segala sesuatu mengenai jati diri Indonesia. “Jangan sampai diserobot(negara) tetangga, baru kebakaran jenggot,” mas Donny memperingatkan. Berselang bulan, pada Juli 2011, sahabat saya (sesama penggila tulis-menulis), Vinsensius Sitepu menyampaikan undangan istimewa liwat Beranda Sua atawa Facebook. Isinya? Menghadiri temu ramah dengan guru Ndikkar [bernama Yakinsyah Brahmana] yang telah lama ‘bertapa’ di Belanda. “Bila beruntung, kita bisa sekaligus berlatih Ndikkar sebentar,” imbuh mantan jurnalis Metro TV tersebut. Ah! Pas betul ini, batin saya.
Namun sebelum berangkat menuju tempat pertemuan di kantor redaksi Sora Sirulo, saya sempatkan mengulik pustaka bulang Google. Khawatir saya bakal tergagap ataupun cengar-cengir garuk kepala jika kurang menguasai bahan perbincangan nanti.
Akar Budaya & Sejarah
Jejak sejarah manusia yang tidak selalu damai melahirkan upaya bela diri, baik dalam menghadapi manusia maupun hewan buas. Karena terus-menerus dilatih menyesuaikan tantangan alam dan keindahan geraknya, bela diri pun menjadi seni dari rahim budaya. Ihwal yang cukup menarik adalah seni bela diri tak jarang menjadi penanda jati diri suatu bangsa. China dengan Kungfu, misalnya. Atau Karate dan Taekwondo yang kerap diidentikkan sebagai bela diri khas Jepang dan Korea. Indonesia, dalam hal ini, patut berbangga memiliki silat.
Uniknya, hampir setiap suku di Indonesia memiliki karakter silatnya sendiri. Termasuk diantaranya Ndikkar dan Mayan dari suku Karo. Hanya saja, secara garis besar seni gerak bela dirinya tidak begitu jauh berbeda. Dimana, hampir keseluruhannya memutar telapak tangan seolah menari. Ini menjadi musabab diselubunginya jurus silat menjadi seni tarian (diiringi musik tradisionil) pada masa penjajahan dulu.
Mengutip dari blog Vinsensius, dalam penuturan antropolog dari Universitas Sumatera Utara, Juara R. Ginting, Silat Karo pernah menjadi alat perjuangan melawan penjajah. Beliau sendiri mengutip Anthony Reid dalam bukunya Revolusi Berdarah di Sumatera Timur, dimana para pemuda pergerakan Karo di daerah sekitar Pancurbatu (Deliserdang) mendirikan beberapa perguruan silat melalui sebuah upacara yang disebut mantek gelanggang (mendirikan gelanggang). Saat upacara, sang guru silat mendemonstrasikan kemampuan silatnya kepada masyarakat dan lalu mengangkat orang-orang yang berminat menjadi murid-muridnya. Pengangkatan murid-murid dilakukan dengan bersumpah tidak mempermalukan perguruan lalu meminum darah segar ayam jantan merah langsung dari lehernya yang baru disembelih.
Kelompok-kelompok pergerakan ini sasaran utamanya adalah merebut tanah-tanah yang disewakan Sultan Deli ke perusahaan-perusahaan perkebunan asing di bawah naungan asosiasi perkebunan Deli Maschapij untuk menjadi lahan pertanian rakyat. Mereka menyebut diri Gerakan Aron yang dikoordinir organisasi-organisasi berhaluan kiri seperti halnya Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI).
Juara mengimbuhkan, gerakan itu berlanjut hingga Jepang mengambil alih kekuasaan. Bentrokan fisik yang memakan banyak korban sering terjadi antara tentara Jepang yang mengawal perkebunan dengan aron (pemuda) yang berusaha merebut tanah-tanah perkebunan. Masih dari buku yang sama dan para orangtua Karo masih banyak yang mengingatnya, Revolusi sosial di Sumatera Timur (1945-1950) yang digerakkan oleh organisasi-organiasi pemuda berhaluan kiri, banyak digerakkan jago-jago Silat Karo. Salah satu di antaranya yang terkenal adalah Pantuk Ginting yang di kalangan bangsawan Deli dan Serdang sebagai pemimpin preman.
Di tahun 2000-an ini, beberapa kelompok seni di Kabanjahe menampilkan silat sebagai sebuah pertunjukan. Mereka memaksudkan itu seperti pertunjukan Silat Karo tradisional dengan menampilkan para pesilat di atas diiringi musik tradisional Karo. Akan tetapi, kata Juara, kebanyakan gerakan silat mereka menggambarkan bahwa mereka bukan belajar Silat Karo. “Mereka diajar oleh pesilat-pesilat yang memang orang Karo, tapi mempelajari silat dari salah satu perguruan silat di bawah naungan IPSI yang cabang-cabangnya ada di seluruh Indonesia,” kata Juara.
Dia mengungkapkan kekecewaan, mereka bukannya menampilkan filosofi pertunjukan silat tradisional Karo yang mengutamakan hubungan dengan kosmos dan alam sekitar seperti Sembah Empat Desa (Timur-Barat-Utara-Selatan). Itulah yang dipersembahkan kepada penonton, sebuah pelukisan kosmos dan alam sekitar menurut versi individual pesilat sebelum diadakan pertarungan. Pertarungan silat Karo di atas pentas mengharamkan terjadinya kontak fisik. Hanya para pesilat yang bersangkutan dan penonton yang pesilat kawakan yang mengetahui siapa sebenarnya pemenang pertarungan itu. Dengan kata lain, pertarungan silat Karo di atas panggung mengutamakan seni meskipun, namanya pun manusia, pasti ada kompetisi terselubung di antara pesilat.
Pecahnya peristiwa G30S 1965 membawa malapetaka pada Silat Karo. Banyaknya pesilat-pesilat Karo yang tumbuh bersama organisasi/partai berhaluan kiri menimbulkan citra yang buruk antara belajar silat dengan ideologi kiri. Apalagi ruang gerak guru-guru silat yang umumnya berhaluan kiri dipersempit oleh pemerintah Orde Baru atau mereka dipenjarakan. “Namun demikian, hingga tahun 1970-an, masih terdapat beberapa perguruan silat di beberapa kampung Karo. Menurut beberapa pengakuan, para remaja Karo di saat itu tertarik belajar silat untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan kota untuk melanjutkan studi. Kebanyakan mereka harus berangkat ke Kabanjahe atau Berastagi dan Tigabinanga untuk meneruskan SMA. Ada juga perguruan silat seperti di Berastepu, Kecamatan Simpangempat, Kabupaten Karo yang mempersiapkan murid-muridnya untuk menguasai terminal Kabanjahe dan nantinya Pasar Bawah Binjai,” ujar Juara.
Ciaat! Inilah Silat Karo
Meski telah lama bermukim di negeri Kincir Angin, namun tidak mengurangi kefasihan bang Yakinsyah bertutur bahasa Karo. Dalam penuturannya, beliau telah memiliki 200 murid di perguruan Ndikkarnya di Belanda, tepatnya di Sekolah Kristen Oikumene di Groningen. Seperti yang dikutip dalam dokumentasi berita Sora Mido, Yakinsyah berucap, “Setidaknya lebih dari 200 orang telah belajar Ndikkar Karo disini, oleh sebab itu suatu saat bisa saja paNdikkar-paNdikkar akan datang dari Belanda ini dan kita akan belajar dari mereka,” ucapnya. Alamak!
Bang Yakinsyah sendiri banyak belajar gerakan-gerakan mayan dari beberapa guru mayan Karo sejak tahun 1981 hingga tahun 1992, ketika dia masih berprofesi sebagai tourist guide di Berastagi dan Sungai Alas. Beliau belajar dari beberapa guru, seperti Seter Sembiring (Lau Baleng), Pa Kuling-Kuling atau Menet Ginting (Lau Cimba), Pa Johan Barus (Pendekar Buntu), Belat Tarigan (Kaban), Tagok Peranginangin (Lau Buluh), dan berbagai informasi dari Ginting Capah (Sibolangit) dan Tukang Ginting (Berastagi).
Berdasarkan pengalamannya dari tokoh-tokoh pendekar Karo tersebut, Yakinsyah juga telah menampilkan mayan di berbagai ajang pertunjukan seni di Eropa, misalnya di Pasar Malam Den Haag, Tong-Tong Fair, Zundert, dan sebagainya. Dengan pengetahuannya tersebut ia diminta mengajarkan mayan sejak tahun 2002 di sekolah.
Tidak lama berbasa-basi, bang Yakinsyah mulai mengajarkan tata tertib belajar Ndikkar. Dari pengenaan tudung (tutup kepala) dan sabuk pinggang. Hingga beberapa jurus dasar. Sebagai bahan praktik, beberapa piring plastik milik redaksi Sora Sirulo pun rela menjadi obyek penderita.
“Sebenarnya ada 48 jurus mayan," kata bang Yakinsyah. Dia melanjutkan, para muridnya di Belanda telah mempelajari jurus pertahanen [pertahanan], langkah 2, langkah 7, tare-tare bintang, jile-jile sarudung, pertahanen harimau, pertahanen pedi, dan sebagainya. “Setidaknya kalian sudah dapat buang lepas [satu teknik khusus dalam Ndikkar." Peluh bercucuran membasahi tubuh tambun saya; sementara di sudut pintu, Vinsensius menahan rintih di pahanya karena bang Yakin khilaf mengeluarkan jurus tendangan Ndikkar. Nasib kitalah sebagai generasi peduli budaya, kawan.
Dalam seni beladirinya, Ndikkar digunakan untuk menyambut serangan lawan. Dijelaskan bang Yakinsyah, teknik yang dijunjung PaNdikkar, atau mereka yang menguasai Ndikkar, ialah menjatuhkan lawan dengan menggandakan daya tolak lawan dengan tenaga dari PaNdikkar sendiri. "Kita tidak menyerang lawan, tetapi memanfaatkan setiap celah untuk menjatuhkannya," imbuh abang yang juga dikenal dengan nama Kawar ini.
Keluwesan gerak tangan dalam Ndikkar sepintas mirip dengan tari piring dari Padang, Sumatera Barat. Karenanya, dalam latihan perdana ini bang Yakinsyah meminta kami menggunakan piring kecil. Menjaga keseimbangan piring saat digerakkan memutar dari pinggang hingga ke atas kepala adalah agar terbiasa bila menerapkan Ndikkar secara tangan kosong, katanya. Meski demikian, Abang ini juga menunjukkan satu senjata tradisionil yang dahulu dihadiahkan oleh turun-temurun oleh gurunya.
Tanggalnya Taring Penerus
Sebagaimana kebudayaan Indonesia lainnya yang tergerus jejak zaman, Ndikkar juga kian menguap dalam jati diri pemuda Karo. Dalam pendapat bang Yakinsyah, sikap enggan untuk membagikan pengetahuan Ndikkar adalah akar dari fenomena hilangnya seni beladiri ini di buminya sendiri. "Banyak dari kita yang hanya mengajarkan 7 jurus, padahal dia tahu 10 jurus. Ini amat berbeda dari masyarakat Eropa yang terus berupaya mengimprovisasi 10 jurus tadi menjadi lebih banyak."
Pemimpin Redaksi Sora Sirulo, Ita Tarigan berkata bahwa dalam aksi kebudayaan Karo kontemporer, sangat sedikit yang sangat serius memeliharanya sebagai gugus kearifan lokal yang maha penting. Orang Karo sekarang lebih gemar ber-keyboard-ria, ramai-ramai menghaturkan keindahan tari dan musik. Tetapi tentu saja saya memuji keadian suara alat-alat musik tradisional Karo yang lebih memiliki ruh, meresap menembus raga pendengar. Jika di masa silam pendekar Silat Karo memiliki citra istimewa berbanding seniman musik, bagi saya hari ini yang mendapat lebih banyak tepukan tangan adalah “pendekar keyboard”. Jelas, zaman kian menggerus Silat Karo pada titik terendahnya.
Guru Silat Karo memang ada di sebuah kampung jauh di Kabupaten Karo. “Ada satu orang yang masih hidup, tetapi sudah tua sekali usianya. Pipinya saja sudah cekung,” ujar Ita sambil mencekungkan pipinya meniru pipi kempot. Tidak jelas apakah sang guru memiliki murid atau menulis kitab. Yang jelas sepengetahuan Ita, Silat Karo tidak memiliki perguruan. Beberapa ada yang berupaya memeliharanya hanya sebagai elemen kecil dari sanggar seni Karo bersama musik dan tari.
Sora Sirulo beberapa waktu silam juga pernah menelusuri jejak-jejak Silat Karo di Pertumbungen. Desa ini berpenduduk sekitar 300 jiwa dengan 100 KK. Jaraknya sekitar 4 km dari Munte. Di sana pernah tinggal seorang pendekar Karo yang cukup terkenal di era 1970-an hingga 1980-an. Namanya Pa Mayan Surbakti. Sang putra, Mayan Surbakti juga piawai ermayan mewarisi “kesaktian” seperti ayahnya. Sang pendekar bukan saja ahli Ndikkar dan ermayan, juga sangat tangkas memeragakan alat bela diri modern seperti double stick Bruce Lee. Menurut mantan murid Mayan Surbakti, beberapa jurus yang ia pelajari dari Pa Mayan ternyata, di samping ada unsur seni hiburannya, Silat Karo memiliki jurus-jurus maut.
Bang Yakinsyah sendiri mengaku mulai jenuh di tinggal Belanda. Ada kerinduan yang amat sangat tergambar di wajah sang pendekar untuk kembali ke tanah kelahirannya. “Saya berniat berladang jagung sembari mendirikan perguruan Silat Karo di kampung. Sebagian hasil menjual jagung bisa dimanfaatkan mendirikan semacam padepokan,” kata Yakinsyah.
Bagi Yakinsyah menghidupkan kembali Silat Karo di tanah kelahirannya adalah sebuuah aksi. “Harus dimulai dengan dasar ekonomi yang memadai, sebab pengembangan Ndikkar merupakan aksi pengembalian bagi pemiliknya, yaitu orang Karo sendiri. Jadi saya usahakan selalu memberikan latihan dengan cara gratis,” pungkasnya.
Wah, kami sungguh salut!
Catatan:
Dalam sebuah komentar di blog Vinsensius Sitepu, pengomentar bernama Ululau menerangkan bahwa Ndikkar merupakan seni/ teknik bela diri dalam pertarungan fisik. Sementara Mayan ialah gerak silat di atas panggung yang diiringi musik seronok lima sendalanen.
Sumber:
http://vinsensius.info
http://sorasirulo.net
http://www.kaskus.us/showpost.php?p=454923041&postcount=55
Wikipedia
Blogger SUMUT
http://www.anantabangun.net/2012/01/ndikkar-mayan-memapah-jati-diri-karo.html
Mejuah juah
ReplyDeleteBerikut adalah tulisan saya tentang silat karo yang saya tahu. Semoga bisa menambah referensi tentang ndiikar itu sendiri.
http://www.kaskus.co.id/thread/53f369a7c1cb17cd6d8b456e/contoh-video-silat-batak-karo-ndikkar--jurus-pisau