Anderson Dan Sejarah Pantai Timur Sumatera
Adalah John Anderson, seorang Scotlandia menjadi tokoh penting yang menulis buku dan hingga kini menjadi rujukan utama pada saat menjelaskan aspek historis kawasan Pantai Timur Sumatra (Sumatra East Cost). Pada awalnya, buku itu adalah catatan harian Anderson selama enam bulan (1Januari-Juli 1823) perjalanannya yang kemudian diterbitkan dan diberi judul: Mission To The East Coast of Sumatra.
Ia diutus oleh W. E. Philip, Gubernur Jenderal Inggris yang berkedudukan di Pulau Pinang dalam rangka misi politik ekonomi (politico-commercial mission). Surat Tugas atau Memorandum for Guidance ditandatangani pada 1 Januari 1823 yang tujuan utama misi itu yaitu: ‘commercial character’ dan ‘purely of a commercial nature’ di Pantai Timur Sumatera mulai dari Tamiang (Aceh) hingga Siak (Riau).
Anderson diberangkatkan dari Pulau Pinang beserta 62 orang pendamping seperti dokter, juru bahasa, pengawal pribadi, tentara, juru tulis, mualim kapal, juru masak, perlengkapan dan peralatan seperti obat-obatan, makanan, peluru dan senjata.
Misi tiba di Belawan pada 7 Januari 1923. Selama misi berlangsung, Anderson tidak lupa mencatat sejarah, sketsa dan deskripsi negeri, angka perdagangan, populasi, kebiasaan dan adat penduduk setempat. Ia juga mencatat beberapa kawasan yang kini menjadi situs penting di Sumatra Utara seperti Kota China, Delitua, Kota Bangun, Bulu China dan Kampai. Pada saat misi itu dilaksanakan, Anderson berusia 28 tahun dan kembali ke Inggris pada 1834 untuk bergabung dengan sebuah perusahaan di United Kingdom. Ia meninggal pada Desember 1845.
Arti penting buku tersebut adalah penjelasan rinci tentang keadaan geografi, topografi, komoditas utama perdagangan, kekayaan sumberdaya alam, nama tumbuhan, sungai, keadaan penduduk dan adat kebiasan masyarakat, serta kawasan-kawasan bersejarah pada waktu itu. Perjalanan itu dirinci hari demi hari (day by day) dengan mencantumkan tanggal perjalanan, peristiwa yang dilihat serta apa-apa saja yang dilakukan.
Demikian pula terhadap nama orang yang dijumpai, kharakter orang serta tipologi orang dimaksud. Oleh karena itu, Anderson pantas disebut pembuka keterisoliran Pantai Timur Sumatera sehingga tidak mengherankan apabila buku tersebut pada masa sekarang banyak dijadikan sebagai rujukan dalam penelitian-penelitian historis, arkeologis maupun antropologis untuk menjelaskan keadaan Pantai Timur Sumatera.
Berbicara tentang sejarah Pantai Timur Sumatera khususnya sejak awal abad-19, maka buku Mission To The East Cost of Sumatra tidak dapat diabaikan begitu saja karena buku itu dapat dikatakan sebagai ‘Cahaya Penerang Pantai Timur Sumatra’.
Diketahui bahwa, jauh sebelum Anderson, telah ada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh William Marsden pada 1770 yang diutus oleh Rafles, Gubernur Jenderal Inggris di Bengkulu. Tetapi buku itu menjelaskan tentang seluruh pulau Sumatera dari Aceh hingga Lampung. Kedua buku itu memiliki tujuan yang sama yakni dalam rangka politik ekonomi. Hanya saja, uraian Anderson lebih rinci tentang keadaan di Pantai Timur Sumatera.
Catatan Penting Anderson
Nama Medan disebut Anderson dengan Meidan, yaitu sebuah kampung yang dapat dikunjungi selama 3 jam lebih dari Kota Jawa dan berpenduduk sekitar 200 orang. Anderson menulis: “Meidan, a village containing 200 inhabitans, three hours journey from Kota Jawa. Demikian pula Anderson mengemukakan letak Deli yang berbatas dengan Sungai Bubalan di sebelah barat laut-hingga ke timur laut, di sebelah tenggara sungai Tuan dan sebelah selatan adalah kerajaan Batak Siantar.
Demikian pula tentang nama Kota China, dimana Anderson mengemukakan bahwa di daerah itu terdapat sebuah batu besar bertulis yang tidak dapat dibaca oleh penduduknya. Anderson menulis: At Kota Cina is a stone of very large size, with an inscription upon it, in characters not understood by any of the natives. Peninggalan sejarah juga terdapat di Kota Bangun berupa sisa-sisa benteng batu dimana terdapat gambar manusia dengan harimau dengan ukuran 60 kaki tetapi tidak ada diantara masyarakat yang mengetahui sejarahnya.
Di daerah Langkat, Anderson mencatat dua pulau yang berdampingan yang ramai dikunjungi dan banyak sisa-sisa peninggalan perdagangan. Anderson menulis: Outside, a short distance from shore, are two small islands, called Pulo Kampaei and Pulo Sampilis (Pulau Sembilan), not distinguishable from the main, unless approached pretty close.
Demikian pula di Deli Tua, Anderson mencatat benteng tua setinggi 30 kaki yang dibangun oleh Raja Putri Iju. Anderson juga mencatat perihal raja Berempat (the are four principal Batta states) yang memiliki kuasa penuh (the rajahs of which are the most powerful), yaitu Seantar, Tanah Jawa, Silow. Penduduk Batta di Batubara adalah orang Kataran yang memilki pemimpin sendiri yaitu Semilongan (Simalungun).
Soal praktek kanibalisme, Anderson menulis bahwa The Battas tribes are as follows: tribe Mandailing, Kataran of which are Rajah Seantar, Rajah Silow, Rajah Munto Panei and Rajah Tanah Jawa all canibals; tribe pakpak, cannibals; tribe Tubbak not cannibals; tribe Karau-karau not canibals, tribe Kappik cannibals. The Alas people are mussulmen. Erond L. Damanik.
Sumber:
|
No comments:
Post a Comment