Pages
▼
Monday, March 5, 2012
AHAP SIMALUNGUN: TINJAUAN SOSIOHISTORIS DAN KULTURAL
AHAP SIMALUNGUN: TINJAUAN SOSIOHISTORIS DAN KULTURAL
”ethnic identity is a powerfull phenomenonn. It is powerfull both at the affective level when it touches us in ways mysterius and frequently unconsciously and at the level of strategy, where consciously manipulate it” (Royce, 1982:1) “…to use ethnic identity and manuver within in one must perform adequately. That is display certain features and behaviour sucsesfully. At the same time, decision to chose ethnicity as a strategy is subjective one”. (van den Berghe,1976:242)
A. Pengantar
Dua tulisan yang mencoba mengupas tentang Simalungun dari perspektif identitas telah dimuat pada majalah Tatap edisi 2 dan 3. Salah satu penulis mencoba menguraikan tentang perspektif identitas dan lainnya mencoba mengkomparasikannya dengan fenomena dimasyarakat. Ada dua hal yang ingin saya kemukakan, yaitu pertama saya sepakat dengan tulisan Martin Lukito Sinaga (Tatap, Vol. 2) bahwa landasan identitas etnik Simalungun bersandar pada (ahap) yaitu kombinasi antara sistem makna (system of meaning) yang lebih menekankan pada ide kognisi dan sistem nilai (value of system) yang lebih menekankan pada ide normatif. Kedua, menanggapi tulisan Limantina Sihaloho (Tatap, Vol. 3), yang pada intinya menekankan bahwa orang Simalungun adalah orang yang pasrah, tidak memiliki identitas yang tegas serta menganggap identitas ”ahap” rancu. Saya bisa memahami asumsi Limantina Sihaloho, karena ia hanya berangkat dari satu bagian identitas yaitu bahasa yang fenomena itu ’bisa’ dibenarkan. Hanya saja, dalam tulisan tersebut saya tidak menemukan jawaban mengapa hal itu terjadi dan apa sebenarnya tujuan orang Simalungun melakukannya.
Makna terpenting dari identitas bukanlah terletak pada batasan objektif seperti yang dipaparkan oleh Limantina Sihaloho (Tatap, edisi 3), namun cenderung pada adanya pengakuan (deklarasi) sebagai bagian dari anggota kelompok tertentu. Apabila identitas dikembangkan dan dipertegas secara objektif, maka yang terjadi adalah primordialisme atau identitas yang tertutup sehingga sulit untuk dapat diterima oleh anggota potensial lainnya. Bagaimanapun juga ”ethnic identity is a powerfull phenomenonn. Kemudian, bagaimana pula untuk menentukan identitas bagi anggota kelompok tertentu yang tidak lagi memahami bahasa dan budaya kelompoknya, apakah mereka tidak lagi sebagai bagian dari kelompok itu?. Oleh karenanya, lahir dan dikembangkannya identitas yang pluralis akan lebih dapat menentukan eksistensi kelompok tersebut yang mana setiap anggota memiliki kebebasan dalam menjabarkan identitasnya. Identitas adalah strategi. Ia adalah cara, bagaimana dapat dan mampu beradaptasi dengan kelompok lain sehingga ia dikenal memiliki daya adaptasi yang tinggi.
Sebagai orang Simalungun, saya mencoba mengklarifikasi persoalan ini sekaligus sebagai bentuk tanggungjawab akademik sesuai dengan judul Thesis saya yakni : Agama dan Identitas Kelompok Etnik Simalungun (2005). Selama melakukan penelitian lebih kurang satu tahun terhadap orang Simalungun baik di Kabupaten Simalungun maupun di luar kabupaten itu, serta dengan mempelajari dokumen-dokumen dan literatur yang ada, saya tiba pada simpulan bahwa persoalan identitas Simalungun mengalami tiga periode stagnasi yang merongrong identitas dan kepribadian orang Simalungun.
B. Periodeisasi Identitas Simalungun
Sejak masuknya leluhur Simalungun (proto Simalungun) yaitu pada abad kelima serta berdirinya monarhi tertua di Sumatera ”Nagur” (Dinasti Damanik) dapat ditelusuri dari catatan perjalanan resmi petualang yang berasal dari luar Indonesia, seperti Ying-yai Sheng-ian, (abad ke-15) dan Marcopolo (1292 M). Pada masa itu, orang Simalungun memegang teguh identitasnya yaitu ”ahap”, sungguhpun tidak diperoleh secara tersurat dalam dokumen poestaha yang ada, seperti Parpadanan Na Bolag (PNB), Hikayat Bandar Hanopan (HBH), Parmongmong Bandar Syahkuda (PBS) dan Hikayat Malasori (HM).
Pada masa itu terdapat fase-fase kerajaan seperti harajaon nadua (kerajaan yang dua) sampai harajaon na opat (kerajaan yang empat). Orang Simalungun hidup dengan tentram karena masing-masing kerajaan diikat oleh sistem pengambilan silang puangbolon (permaisuri) kerajaan. Bahasa yang digunakan adalah ’Bahasa Tinggi’ Simalungun seperti dialek Raya, agama mereka adalah parhabonaron, media adat istiadatnya adalah sirih (demban sayur), sajian utama perhelatan adatnya adalah ayam (dayok nabinatur), lelaki margotong (destar), perempuan marbulang (tutup kepala khas Simalungun), organisasi sosialnya adalah ’tolu sahundulan lima saodoran’, falsafahnya adalah ’habonaron do bona’, marga utama adalah Sinaga, Saragih, Damanik, Purba, menggunakan porsa (kain putih dikepala) pada saat meninggal sayur matua, bentuk interaksi adalah lokalita (bukan marga).
Masa pertama ini berlanjut hingga memasuki masa perkebunan Sumatera Timur (1863) yang disponsori oleh kolonial Belanda melalui Deli Mij yang ditandai dengan masuknya kuli kontrak dari Jawa, China, India, Toba dan Mandailing yang jumlahnya melebihi penduduk indogenous. Kuli kontrak asal Mandailing dan khususnya Toba yang telah memperoleh pendidikan sebagai dampak penyebaran agama Kristen, banyak diangkat serta mendominasi sebagai bestur pemerintahan kolonial di Simalungun dan Melayu. Orang Jawa dan India ditempatkan di perkebunan sementara orang China diorganisir sebagai mitra dagang kolonial. Keterkejutan yang luar biasa dialami oleh komunitas Simalungun dimana mereka tidak pernah menduga sebelumnya. Kehidupan mereka yang tentram mulai tercabik-cabik sebagai dampak agresifitas kaum pendatang. Ironisnya, pemerintah feodal Simalungun tidak mampu memberikan perlindungan serta mengarahkan penduduknya, dan justru menelantarkan masyarakatnya dengan cara memberikan tanah-tanah rakyat kepada pengusaha perkebunan. Pada periode ini, nasib orang Simalungun sama dengan yang dialami oleh orang Melayu Sumatera Timur.
Periode kedua adalah masuknya penyebar agama Kristen (1903) khususnya dari Toba yang diutus oleh Nommensen untuk membantu tugas August Theis dalam pengkristenan ”Batak Timur”. Penyebar agama Kristen dari Toba tersebut, menggunakan bahasa Batak Toba sebagai bahasa resminya dan juga menonjolkan budayanya tanpa mengindahkan bahasa dan budaya orang Simalungun yang sangat berbeda dengan mereka. Inilah sebabnya, mengapa pengkristenan ”Batak Timur” terkesan lambat walaupun telah mencapai lebih 20 tahun.
Disamping itu, orang Melayu Sumatera Timur terutama dari kesultanan Serdang sangat gencar mengislamkan ’Dusun Timur’ dimana hampir separuh penduduknya telah memeluk agama Islam sehingga mendorong pengkristenan se-segera mungkin harus dilakukan (Tole! den Timorlandend das Evanggelium). Tidak ketinggalan pula orang Batak Selatan pada masa perkebunan, aktif melakukan siar-siar agama Islam. Pada masa ini, orang Simalungun menjadi lahan antara Tobanisasi versus Melayunisasi atau Kristenisasi versus Islamisasi (Pelly, 2003). Orang Simalungun yang mayoritas belum terdidik menjadi lahan rebutan pengaruh yang berdampak pada kepribadian dan karakternya. Orang Simalungun menjadi terombang ambing layaknya perahu tanpa kemudi. Bahasa mereka mulai dikacaukan oleh bahasa Toba dan Melayu. Agama mereka, parhabonaron, mulai ditinggalkan sebagai dampak masuknya Kristen dan Islam. Sementara itu, pemerintah kolonial membiarkan hal demikian terjadi agar lebih mudah dalam menguasai Simalungun. Sebaliknya, pemerintah feodal tidak juga mampu memberikan perlindungan pada masyarakatnya yang tengah tercabik-cabik dan justru mendukung kolonial dengan menyerahkan tanah-tanah rakyat kepadanya serta membiarkan pendatang asing menggunakan tema-tema budanya masing-masing. Namun demikian, konsepsi ius regio ius religio tidak berlaku pada orang Simalungun. Periode ini berakhir pada waktu ledakan massa yang meluluhlantakkan sistem pemerintahan feodal Simalungun 1946.
Periode ketiga, dimulai sejak tahun 1946 yang ditandai dengan punahnya sistem pemerintahan feodal Simalungun. Sejak penandatanganan perjanjian pendek tahun 1907 sampai 1946, terdapat tujuh kerajaan (hajaon na pitu) yang memerintah di Simalungun. Feodalisme yang menggejala pada saat itu telah mendorong letupan massa terhadap sistem pemerintahan tradisional di Sumatera Timur terutama pada orang Melayu dan Simalungun berupa pembakaran istana dan pembunuhan raja/sultan. Resink mencatat sekitar 90 kerabat sultan Melayu terbunuh dan istana sultan dibakar. Kejadian yang sama terjadi pada pemerintahan feodal Simalungun dan sejak saat itu pula peradapan rumah bolon (the big house civilization) punah selama-lamanya. Seiring dengan letupan massa, ditambah dengan hilangnya pemerintah swapraja maka situasi dan kondisi ini dimanfaatkan oleh kaum pendatang untuk merebut tanah-tanah milik orang Simalungun.
Bila wilayah Simalungun dipetakan berdasarkan penduduknya pada saat ini maka nyatalah Simalungun ke arah Bah Jambi, Sarbelawan dan Pardagangan, Dolog Masihol didominasi oleh orang Jawa. Sedang Tanoh Jawa, Girsang Sipanganbolon, Parapat dan Dolok Pardamean lebih didominasi oleh Batak Toba. Demikian pula Pematang Siantar yang pada awalnya merupakan homeland-nya orang Simalungun tercabik-cabik dengan terbentuknya residensi beradasarkan nama suku seperti Karo, Banjar, Jawa, Kristen, Martoba dan lain-lain sementara orang Simalungun lebih terkonsentrasi di Simalungun Atas yang berwatas dengan Kabupaten Karo. Pada saat itu, orang Simalungun benar-benar mengalami kegoncangan Identitas sosial dan budayanya.
Dengan demikian, mereka hampir tersisih dinegerinya sendiri serta tercerabut dari akar budayanya. Kini orang Simalungun seolah-olah mencari sisa-sisa kejayaan mereka diatas bekas puing-puing reruntuhan peradaban yang pernah ada. Mereka menjadi orang yang benar-benar kehilangan pegangan, mereka menjadi orang yang sedikit tertutup serta merasa ketakutan sepanjang hidupnya.
C. Ahap: Landasan Identitas Simalungun.
‘Ahap’ adalah kombinasi antara system makna (kognisi) dan system nilai (normatif) yang bersumber dari budaya tradisi Simalungun. Pemaknaan yang berubah-ubah terhadap budaya tradisi sekaligus akan merubah sistem nilai. Apabila sistem makna merujuk pada gagasan atau ide, maka sistem nilai akan merujuk pada sistem norma atau kaidah. Dengan kata lain, nilai terhadap budaya tradisi akan banyak tergantung pada pemaknaan anggota kelompok terhadap budayanya. Itu berarti bahwa, anggota kelompok berperan penting dalam menentukan tingkat kebernilaian budayanya yang bersumber dari pemaknaan tertentu terhadap budaya tradisi. Dengan demikian, anggota kelompok akan melakukan seleksi terhadap bagian-bagian budayanya agar elegans dan comfort dengan orang lain. Dalam hal ini, sistem makna budaya tradisi merupakan model untuk realitas (models for reality) yang tidak dapat dipenetrasikan secara eksperimental namun hanya dapat dipahami secara interpretatif mengingat sifatnya yang abstrak, dan ada pada kepala manusia. Sedang sistem nilai merupakan model mengenai realitas (models of realitas), yang berhubungan erat dengan objek yang terdapat pada alam, bersifat konkret dan menggambarkan kongruensi antara struktur dengan objek yang digambarkannya.
Dalam hubungannya dengan interaksi, maka ’ahap’ merupakan pencerminan orang Simalungun dalam memandang dirinya (models for reality) dan orang lain (models of reality). Orang Simalungun akan berupaya memahami realitas yakni pada saat berinteraksi dengan orang lain, sehingga ia harus mampu menguasai bahasa dan budaya orang lain, sungguhpun itu berimplikasi terhadap kebertanahan objektifitas budaya tradisinya. Artinya, pada saat budayanya mampu berkomunikasi dengan orang lain-misalnya dengan menggunakan bahasa orang lain-maka ia telah melakukan pembaharuan dan pemerkayaan terhadap budayanya.
Mengapa hal ini bisa terjadi?. Didepan telah diuraikan bagaimana orang Simalungun mengalami tiga periode pergulatan identitas hingga pada akhirnya yaitu munculnya ’ahap’ sebagai identitas neo Simalungun. Masing-masing periode tersebut mencerminkan mosaik perubahan identitas tersendiri: jika pada periode pertama menimbulkan kekagetan/keterkejutan yang maha dahsyat adalah sebagai dampak perjumpaan dengan kaum pendatang yang jumlahnya sangat besar, diluar dugaan dan menimbulkan ambigu bagi mereka karena pemerintah feodal tidak melakukan perlawanan. Bagaimana tidak, umumnya pendatang hadir sebagai budak namun secara bebas mengembangkan identitas masing-masing.
Pada periode kedua sekaligus periode yang sangat mengguncang identitas orang Simalungun yaitu dengan masuk dan berkembangnya pengaruh lain yang dibawa oleh kaum migran seperti bahasa, agama, adat istiadat, dan dominasi sebagai bestuur. Rebutan pengaruh khususnya antara Toba dengan Melayu, Batak Selatan, antara Kristen dan Islam. Sementara itu, penguasa tradisional juga alpa dalam mengambil alih situasi yang sangat pelik pada saat itu. Demikian pula penguasa kolonial-seolah-olah-membiakan hal itu terjadi.
Periode ketiga yaitu hancurnya feodalisme swaparaja Simalungun. Peristiwa ini sangat menyentuh dan mendegradasi orang Simalungun pada titik terbawah. Walaupun pada periode pertama dan kedua, swapraja ini tidak bertindak maksimal dalam melindungi budaya tradisi serta tanahnya, tetapi kaum migran masih menghormati eksistensinya. Tetapi, sejak pemerintahan itu hancur dan punah selama-lamanya, disamping peradapan menjadi hancur juga tercabik-cabiknya kebudayaan Simalungun. Orang Simalungun menjadi goyah, kehilangan panduan dan harus memulainya dari awal. Sementara itu, kaum budak yang sudah terlatih dan terdidik dalam perkebunan serta banyak menjadi pegawai negeri semakin menguasai lahan dan pemerintahan pasca Indonesia Merdeka.
Oleh karena itu, bisa dipahami apabila kehadiran kaum migran ini sangat berpengaruh dalam keutuhan Identitas kesukuan Simalungun. Hampir sama dengan nasib orang Melayu di Sumatera Timur, dimana mereka juga termarginalkan dari wilayahnya, tidak sanggup bersaing dan tercerabut dari budayanya. Identitas ke-Melayu-an: beragama Islam, beradat resam Melayu dan berbahasa Melayu sangat dilematis, longgar dan mudah ditafsirkan. Berbeda dengan budaya orang Batak Toba, Mandailing, Pak-pak yang kurang bersentuhan dengan pendatang sehingga identitas budayanya relatif terjaga. Demikian pula Karo khususnya Karo Pegunungan (Berastagi dan Kaban Jahe sekitarnya), akan tetapi Karo Langkat mengalami nasib yang sama seperti Melayu dan Simalungun. Itulah sebabnya, orang Simalungun lebih berupaya agar ia dapat memahami orang (budaya) lain, sehingga ia dapat diterima, terlepas dari terjaga atau tidaknya keutuhan identitasnya.
Persoalannya adalah, bukankah dengan cara berupaya memahami orang (budaya) orang lain, yaitu mudahnya terikut kedalam budaya orang lain akan dapat meruntuhkan atau berakibat terhadap keutuhan budaya sendiri?
Kejadian serupa banyak dialami oleh suku Patani di Thailand, dimana mereka juga berupaya untuk memahami orang lain sehingga dengan demikian dapat memudahkan adaptasi atau penerimaan kelompok lain itu. Demikian pula dengan hampir seluruh suku yang masuk ke Amerika Serikat menjelang tahun 1970-an. Mereka tidak saja menukar seluruh atribut kebudayaannya, tetapi juga berbahasa Inggris atau juga menggunakan seluruh atribut Amerika yang disebut sebagai simbol civilisasi (peradapan). Namun demikian, mereka (kaum migran Amerika) tetap saja bukan orang Amerika (mestizo) melainkan China, Ibo Owari, Negrito, Indian apache atau Patan.
Simalungun menyerupai peristiwa di Thailand dan Amerika, dimana mereka mencoba (sedapat mungkin) diterima oleh kelompok lain, sebagai dampak perlakuan historis yang dialami. Menarik genealoginya kedalam silsilah siraja Batak, sungguhpun merupakan satu kekeliruan yang besar, menggunakan bahasa lain dalam keperluan interaksi. Namun, dalam beberapa waktu kemudian, muncul kesadaran dan kesetiakawanan etnik (etnic based solidarity and etnic consciuosness) dimana mereka tetap saja sebagai orang Simalungun. Gerakan puritanisme identitas yaitu gerakan membalik arah identitasnya telah berlangsung sejak pertengahan tahun 1960-an hingga sekarang. Oleh karenanya, dibeberapa kawasan Simalungun telah muncul re-identifikasi identitas seperti penunjukan kembali adat istiadat, penggunaan bahasa seoptimal mungkin tetapi tetap dalam khasanah identitas yang elegans sehingga tidak mempersulit anggota potensial kelompok.
D. Penutup: Identitas dan Strategi Adaptasi.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh para sarjana sosial Simalungun dewasa ini, demikian pula oleh lembaga adat (tribal council) semisal Partuha Maujana Simalungun (PMS) bukanlah mencari identitasnya kembali. Namun cenderung merupakan pendeklarasian dan eksplorasi terhadap identitasnya. Artinya, ditengah-tengah masyarakat yang berubah dengan berbagai persoalan yang ditimbulkkannya sebagai impak kemajuan teknologi, maka perlu dilakukan pemerkayaan terhadap identitasnya. Hal ini ditujukan sebagai proses awal eksperimentasi terhadap kebakuan identitas dalam menjawab tantangan masyarakat yang sedang berubah.
Harus diakui bahwa batas-batas etnisitas dewasa ini kian menyempit dan masyarakat sedang bergerak menuju desa buwana (global village), oleh karena itu penting melakukan peninjauan sekaligus reinterpretasi terhadap terma-terma identitas kesukuan sehingga anggota kelompok tersebut tidak terbina dan terkungkung dalam identitas yang sopistikatif. Memang, pasti ada yang harus dikorbankan dan ongkos sosialnya sangatlah mahal yang berimplikasi terhadap keutuhan identitas etnik.
Namun demikian, identitas adalah strategi atau cara bagaimana manusia itu dapat saling berkoeksistensi, harmonis dan korespondensif. Oleh karena itu, seseorang yang menggunakan terma identitas kelompok lain seperti adat, bahasa atau budaya lainnya tidak sekaligus membuat orang tersebut menjadi orang dari kelompok dimaksud. Ia adalah bagian atau tetap saja dari kelompok semula dan justru dengan demikianlah kongruensi antar etnik dapat terbina.
Oleh karena itu, Limantina Sihaloho dan adiknya tetap saja menjadi bagian etnik Simalungun kendati ’kurang’ memahami bahasa dan budaya Simalungun. Justru keprihatinan Limantina Sihaloho tersebut membuktikan bahwa identitas ’ahap’ mengalir dalam tubuhnya yang bisa jadi bersumber dari ibunya yang bermarga ’Damanik’.
Oleh:
Erond L. Damanik, M.Si
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial LembagaPenelitian
Universitas Negeri Medan
Sumber:
http://pussisunimed.wordpress.com/2010/02/05/ahap-simalungun-tinjauan-sosiohistoris-dan-kultural/
No comments:
Post a Comment