Pages

Sunday, November 15, 2015

HALAK TOBA – ORANG TOBA

SERI MENGUBUR MITOS (16)
 
HALAK TOBA – ORANG TOBA
Oleh: Edward Simanungkalit *


            Sejak kecil, penulis memahami diri sendiri sebagai Halak Toba atau Orang Toba pada paruh kedua tahun 1960-an. Itu yang penulis ketahui dari para orangtua di lingkungan penulis di saat berada di Kabupaten Dairi. Para orangtua sering berkata: “Anggo adat ni hita, halak Toba, asing do adatna tu adat ni dongan Pakpak manang dongan Karo.” i.e. : “Kalau adat kita, orang Toba, berbeda dengan adat dari saudara kita, Pakpak maupun Karo.”. Begitu kira-kira disampaikan, sehingga terlihat kontras antara Orang Toba dengan Orang Pakpak maupun Orang Karo, yang jelas memberikan identifikasi diri bahwa diri penulis adalah Halak Toba atau Orang Toba. Demikian juga, ketika penulis berada di daerah Karo, maka ketika menyebut marga penulis, maka Orang Karo menyebut penulis: “O’ kalak Tebba.” Begitu juga Orang Pakpak menyebut penulis: “Kalak Tebba”. Kedua perkataan ini artinya: “Halak Toba” atau “Orang Toba”. Jadi, penulis adalah Halak Toba atau Orang Toba.
          Ketika ada orang dari Sidikalang mau ke bekas daerah Tapanuli Utara dulu sebelum pemekaran. Maka ditanyakan mereka mau ke mana, maka jawabannya: “Naeng tu Toba” i.e.: “Mau ke Toba” dan dilanjutkan penjelasannya di mana Tobanya itu, yaitu: Pangururan,  Dolok Sanggul, Lintong ni Huta, Siborong-borong, Tarutung, Balige, Porsea, Laguboti, dll. Demikian juga, ketika mereka kembali dari daerah-daerah tersebut, maka mereka berkata: “Dari Toba”. Bus-bus umum pun yang mau ke daerah-daerah tadi akan berkeliling kota memanggil para penumpangnya dengan berkata: “Toba, Toba, Tobaaaaa …”. Baru-baru ini pada bulan Juni 2015 lalu, ketika melintas di depan stasiun bus Sitra, mereka memanggil: “Toba, Toba, Tobaaaa …”. Pada waktu itu penulis sengaja bertanya kepada mereka apa yang mereka maksudkan dengan kata “Toba” itu, mereka menjawab: “Samosir, Dolok Sanggul, Lintong ni Huta, Siborong-borong,  Tarutung, Balige, Porsea, Laguboti, dll. Jadi, yang mereka maksudkan dengan kata “Toba” atau “Tano Toba” itu ialah bekas wilayah Kabupaten Tapanuli Utara dulu sebelum dimekarkan.
          Stempel Raja Singamangaraja XII berbunyi: “Maharaja di Negeri Toba”. Stempel ini berbunyi: “Negeri Toba”, bukan “Negeri Batak”. Di dalam buku: “Sejarah Raja-raja Barus: Dua Naskah dari Barus” (Drakard, 1988) pada naskah “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus” ditulis dengan kata-kata sebagai berikut: “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam negeri Toba sila-silahi (Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige). Kampung Parsoluhan, suku Pohan.” Terjemahan manuskrip kuno ini meriwayatkan tentang Alang Pardosi, yang mendirikan Dinasti Pardosi di Barus. Mereka menggunakan kata: “Negeri Toba” (Tano Toba), bukan “Negeri Batak” (Tano Batak). Demikian juga, Sitor Situmorang di dalam bukunya: “Toba Na Sae” (2009) menjelaskan soal kata: “Toba Na Sae” itu dengan memaksudkan: “Tano Toba” yang meliputi: Toba Humbang, Toba Samosir, Toba Holbung, dan Toba Silindung. Ini yang dikenal pada tahun 1970-an dan sebelumnya.
          Selain itu berkaitan dengan kata “Toba” ini, maka ada lagi Hata Toba, Marende Toba, Boru Toba, Lompa-lompa ni Halak Toba, Adat Toba, Ulos Toba, dll. Demikian banyaknya dulu kata yang memakai kata “Toba”, sehingga penulis memandang diri sendiri sebagai Orang Toba. Orang Toba berdiam di sekitar danau yang disebut Tao Toba. Demikian juga beberapa orang yang penulis tanyai yang pada masa kecil dan remajanya di Samosir dan di Humbang Hasundutan pada tahun 1960-an, bahwa mereka pun menyebut dirinya dulu di sana sebagai "Halak Toba" atau "Orang Toba" juga.
          Memang di masa itu ada kata “Batak” yang jarang dipergunakan, karena itu hanyalah wadah persatuan 5 etnis. Penulis tidak tahu kenapa disebut “Batak” dan itu tidak terasa merupakan bagian diri penulis, karena di dalam perbicangan sehari-hari, maka sebagai Orang Toba itulah yang merupakan identifikasi diri penulis. Penulis merasakan dan meghayati diri sebagai Orang Toba yang demikian kuat tertanam di dalam diri penulis. Begitulah memandang diri penulis selama berada di Sidikalang hingga sampai tamat sekolah dari SMA.
Kemudian hari setelah bertemu dengan berbagai literatur ketikea kuliah di Jakarta, maka di dalam buku-buku tersebut dipergunakan istilah “Batak” dan “Batak Toba”. Buku-buku yang ditulis oleh berbagai penulis ini mempengaruhi diri penulis. Di paruh kedua tahun 1980-an hal itu semakin banyak dipergunakan yang dari Toba menjadi Batak Toba. Bahkan kemudian hari bukan hanya Toba itu adalah Batak, tetapi Batak itu adalah Toba. Sehingga, penulis menemukan ada orang yang menyebut bekas Tapanuli Utara dulu menjadi: Batak Humbang, Batak Silidung, Batak Toba, dan Batak Samosir. Kemudian mulailah muncul perkataan: “Anggo hita halak Batak on asing do tu nasida halak Karo, halak Pakpak, manang halak Simalungun pe.” i.e.: “Kalau kita, orang Batak, ini berbeda dengan orang Karo, orang Pakpak, maupun orang Simalungun.”. Sedang Orang Simalungun, Pakpak, dan Karo menyebut Orang Toba dengan sebutan: "Orang Batak". Akhirnya, Halak Toba (Orang Toba) berubah menjadi Halak Batak (Orang Batak). Seiring dengan pemekaran Kabupaten Tapanuli Utara, maka dibentuklah Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Samosir. Belakangan ini yang tadinya disebut Toba Holbung secara perlahan-lahan berubah menjadi Toba dan kata “Holbung”nya pun mulai hilang.
          Melihat telah terjadinya pergeseran seperti yang penulis uraikan di atas tadi, maka penulis mencoba kembali kepada apa yang dulu penulis hayati sebagai diri penulis. Itulah makanya, penulis menggunakan kata “Toba” dan “Orang Toba” kembali seperti dulu ketika masih kanak-kanak. Sebelum penulis membahas berbagai hal, maka penulis terlebih dahulu memilih penggunaan istilah “Orang Toba” untuk menidentifikasi orang-orang atau masyarakat yang berasal dari kawasan Humbang, Silindung, Toba Holbung, dan Samosir.
          Tentang Tano Toba wilayah Tapanuli Utara dulu sebelum pemekaran diabadikan oleh S. Dis. Sitompul, dari Sigompulon - Pahae, di dalam lagunya yang berjudul: “TANO TOBA” seperti berikut ini:

TANO TOBA

Indada piga songon hauma
Tudos tu juma di tano toba

Sahali pe mangula da inang
Martaon marbulan butong mangan da amang 
Sahali pe mangula da inang
Martaon marbulan butong mangan da amang 

Disi bidangna dohot ulina
Disi rupana dohot daina
Tano toba tano na martua 
Tarbarita tarbarita tu bariba

Tano toba tano na martua 
Tarbarita tarbarita tu bariba

Tano toba tano na martua eme gok
Bidang na so ra suda
Laos disi do nang tao toba 
Tao na ummuli di nasa jolma
Tao toba tao na martua baritana 
Nunga sungkot ro didia

          Berbeda dengan Tano Toba yang dimaksudkan oleh S. Dis. Sitompul tadi, tentang Toba Holbung diabadikan oleh Nahum Situmorang di dalam lagunya yang legendaris: “DENGKE NA NIURA” seperti berikut ini:
DENGKE NA NIURA
Masak so pola ni lompa.
Ai tung tabo do dengke na niura.
Dengke ni toba holbung partobi tao i.
Ai tung tabo do dengke na niura.
Dengke ni toba holbung partopi tao i.
Asom hape pangalompana.
Uram-uramna limut ni tao i.
Ai tung tabo do dengke na niura.
Dengke ni toba holbung partobi tao i.
Ai tung tabo do dengke na niura.
Dengke ni toba holbung partopi tao i.
O amang, o inang.
Loas au, loas au.
Lao diririt par-toba holbung i.
Da ingkon saut na ma au maen ni toba.
Maen ni toba holbung partopi tao i.
Naingkon saut na ma au helani toba.
Helani toba holbung partopi tao i.
            Akhirnya, Orang Toba berobah menjadi Orang Batak Toba. Kemudian Orang Batak Toba berobah lagi menjadi Orang Batak. Selanjutnya ...?

          (*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban























2 comments: