Pages

Thursday, August 13, 2015

Negeri Atas Angin dan Negeri Bawah Angin

Negeri Atas Angin dan Negeri Bawah Angin

Selasa, 2 April 2013 | 14:38 WIB



JEJAK perdagangan ”Negeri Atas Angin” dengan ”Negeri Bawah Angin” memang sudah sangat tua. ”Jalur perdagangan laut kuno ini telah diukir dalam relief kapal di Candi Borobudur dan hikayat Seribu Satu Malam,” tulis JC van Leur dalam Indonesia Trade and Society (1983).
Pencarian rempah-rempah, terutama lada, cengkeh, dan pala, menjadi pemicu awal perdagangan itu. Seperti disebutkan Ian Burnet dalam buku Spice Island (2011), pada periode 50 SM hingga 96 M, Pelabuhan Alexandria di Mesir menjadi pusat perdagangan rempah yang dibawa pedagang India. Dari Alexandria, rempah menyebar ke Jazirah Arab dan Eropa, terutama ke Romawi. Bagi bangsa Roma kala itu, lada, cengkeh, dan pala merupakan barang berharga, setara emas dan sutra. Rempah itu tak hanya digunakan untuk penyedap makanan, tetapi obat segala penyakit, termasuk untuk menambah gairah seksual.
Tatkala Kaisar Augustus memegang kunci gudang harta Romawi, dia tak tahu lagi bagaimana menghamburkan emas yang dirampas dari seluruh daerah di Barat. Permintaannya terhadap rempah dan barang-barang eksotik dari dunia Timur kian menggila. ”Romawi yang mewah dan bercita rasa tinggi menginginkan produk-produk eksotik yang sudah langka di India sendiri,” tulis Bernard Philippe Groslier dalam buku Indocina Persilangan Kebudayaan (2002).
Karena itu, pelaut-pelaut India, terutama etnis Tamil, berlayar jauh ke Negeri Bawah Angin untuk mencari produk-produk itu, terutama emas, batu-batu permata, gaharu, kayu manis, merica, cengkeh, tanduk badak, hingga gading gajah. Laju pelayaran ke Timur itu sangat tergantung angin monsun. Angin berembus secara periodik, minimal tiga bulan. Pola antara periode yang satu dan yang lain akan berlawanan yang berganti arah secara berlawanan setiap setengah tahun.
Angin barat daya akan melajukan kapal-kapal dari India ke Nusantara. Namun, begitu tiba di Nusantara, para pedagang ini harus istirahat sampai berbulan-bulan jika ingin pulang dengan menumpang embusan angin timur laut.
Awalnya, mereka mendarat di pantai-pantai tak dikenal yang kosong di Nusantara, terutama di Sumatera yang berada di gerbang Negeri Bawah Angin. Setelah bersusah payah menembus rawa-rawa, lebat hutan, dan jalan mendaki, barulah mereka bisa berjumpa dengan penduduk yang kebanyakan tinggal di dataran tinggi. Mereka harus merayu para penduduk untuk mengerti apa yang mereka cari dan membayar dengan benda yang mereka sukai. Dan itu memerlukan waktu bertahun-tahun.
Karena itu, para pendatang itu dipaksa keadaan untuk mendirikan tempat perdagangan di mana tawar-menawar dapat dilaksanakan. ”Sebagai orang India, mereka melakukannya dengan gaya India. Pertama-tama mereka harus bertahan hingga musim berikutnya. Namun, bahan makanan tidak mungkin mereka angkut di dalam palka yang pengap dalam pelayaran yang berlangsung berminggu-minggu. Karena itu, mereka membuka persawahan di delta-delta sungai dan lama-lama terbentuklah semacam komunitas dagang,” kata Groslier.
Jejak perkampungan India kuno di Nusantara itu terdapat di Barus. Saat ini, Barus hanyalah kota kecamatan yang sepi di pantai barat Sumatera Utara bersebelahan dengan Singkil di Aceh. Namun, Barus yang pernah dikuasai Kesultanan Aceh adalah kota pelabuhan tertua di Nusantara. Dalam karyanya, Geografi, yang ditulis pada abad ke-2, Ptolomaeus mencatat ”lima pulau Baroussai” yang menghasilkan kamper (kapur barus) di antara tanah-tanah dari Timur jauh. Claude Guillot dalam buku Barus Seribu Tahun yang Lalu (2008) menyebutkan, nama Baroussai ini dianggap berkaitan dengan Barus.
Dalam buku Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perdagangan Dunia (2011), OW Wolters menulis, karpura atau kapur barus telah disebut dalam cerita Jataka, Ramayana, juga cerita Milinda-panha. Kapur barus juga disebut dalam sejumlah kitab tentang penyembuhan karya Caraka, tabib Raja Kaniska dari Kushan yang berkuasa antara abad ke-1 dan ke-2 Masehi. Hal ini menunjukkan jejak India di Barus.
Pedagang-pedagang Tamil dari India selatan memang memainkan peran utama dalam perdagangan kapur barus ke dunia luar. Bukti keberadaan mereka terungkap dari prasasti batu yang ditemukan di Lobu Tua, Barus, pada 1873. Prasasti berbahasa Tamil itu kemudian diurai oleh sejarawan India, KA Nilakanta Sastri, pada 1932. Mengacu pada prasasti bertarikh 1010 Saka atau 1088 Masehi itu, Sastri menyimpulkan bahwa sekumpulan orang Tamil telah tinggal di Barus, termasuk di antaranya tukang-tukang yang mahir mengukir prasasti.
Penggalian oleh tim gabungan dari Lembaga Kajian Perancis tentang Asia (Ecole Française d’Extrême-Orient/EFEO) dan peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) pada 1995-2000 menguatkan jejak pedagang Tamil ini. Claude Guillot (2008) menyebutkan, berat pecahan tembikar dan keramik yang ditemukan di Lobu Tua, Barus, mencapai 600 kilogram. Dia memperkirakan tembikar itu sebagian besar dibuat di India dekat Teluk Persia sebelum abad pertengahan.
Selain artefak India, juga ditemukan artefak dari China berkualitas tinggi, yang menurut arkeolog Perancis, Marie-France Dupoizat, menandakan kemakmuran Lobu Tua. Luasnya jaringan perdagangan Barus juga ditandai dengan ditemukannya sekitar 1.000 pecahan tembikar asal Mesopotamia di Timur Tengah dari abad ke-9 hingga abad ke-10, selain juga temuan lain berupa manik-manik, logam, batu bata, dan mata uang emas.
Namun, sejarah Lobu Tua tiba-tiba terhenti pada abad ke-12. Tak ada lagi temuan baru di Lobu Tua yang berumur lebih muda. Itu menandakan peradaban di Barus runtuh secara tiba-tiba. Claude Guillot menyebut, kehancuran Barus karena serangan gergasi. Berdasarkan dongeng warga lokal, gergasi adalah sosok raksasa yang datang dari lautan.
Sosok gergasi kerap ditafsirkan para peneliti sebagai bajak laut. Namun, setelah tsunami menggulung pantai barat Aceh pada 26 Desember 2004, muncul kesadaran baru bahwa bencana alam memiliki kuasa besar untuk mengubah jalannya sejarah pantai barat Sumatera. Belakangan, Widjo Kongko, ahli tsunami dari Balai Pengkajian Dinamika Pantai (BPDP) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Katrin Monecke dari Kent State University, serta lima peneliti lain menemukan jejak tsunami raksasa yang melanda pantai barat Sumatera pada 1290-1400. Temuan ini dipublikasikan di jurnal Nature edisi Oktober 2008.
Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Sony Wibisono, yang turut dalam penggalian di Lobu Tua bersama tim dari Perancis pada 1995-1998 mengatakan, hampir semua peninggalan purbakala yang ditemukan terkubur lapisan pasir laut sedalam satu meter, yang menguatkan kemungkinan terjadinya tsunami besar di masa lalu. ”Tetapi, saat itu kami belum berpikir soal tsunami,” ujarnya.
Kehancuran Lobu Tua tetap misteri walaupun bukti-bukti terbaru menunjukkan kemungkinan besar karena tsunami. Namun, sebelum keruntuhan Barus, beberapa pedagang, khususnya Tamil, agaknya berhasil mencapai dataran tinggi Sumatera.
Orang-orang Tamil di Lobu Tua kemungkinan mencapai pedalaman melalui Sungai Simpang Kiri dan Simpang Kanan. ”Yang melalui Sungai Singkil, ada yang terus ke Alas dan Gayo, dan sebagian ke Karo melalui Sungai Renun, sedangkan yang melalui Sungai Cinendang masuk ke daerah Pakpak,” tulis Brahma Putro dalam buku Karo dari Jaman ke Jaman (1981).
Orang-orang Tamil di Karo, lanjut Brahman Putro, akhirnya masuk dalam marga Karo, Sembiring dan menurunkan kekerabatan Sembiring Singombak. Sembiring SIngombak terdiri dari marga-marga Sembiring Berahmana, Sembiring Oandia, Sembiring Colya, Sembiring Guru Kinayan, Sembiring Keling, Sembiring Depari, Sembiring Pelawy, Sembiring Bunun Aji, Sembiring Busuk, Sembiring Muham, Sembiring Meliala, Sembiring Pande Bayang, Sembiring Maha, Sembiring Teykang, dan Sembiring Kapur.
Penelitian genetika yang dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman juga menemukan jejak genetika orang-orang India selatan di Gayo dan Karo. ”Ada jejak India di genetika orang Gayo dan Karo, selain juga genetika orang-orang dari daratan Asia (Kamboja dan Vietnam),” kata Herawati Sudoyo, Deputi Direktur Eijkman.
Herawati menyebutkan, di masa sebelum es mencair, sekitar 12.000 tahun lalu, migrasi manusia dari Afrika melalui India belakang telah mencapai Sumatera yang saat itu masih bergabung dengan dataran Asia. Mereka kemudian menetap dan mencari gunung-gunung tinggi, termasuk ke Gayo dan Karo. ”Saat itu, budaya mereka masih berburu dan meramu,” katanya.
Begitu es mencair, migrasi manusia dilakukan melalui jalur neolitik dari utara (Asia Daratan) menuju selatan. Selain jalur dari Filipina turun ke Sulawesi lalu ke kepulauan lain, juga ada jalur melalui Semenanjung Malaya lalu ke Sumatera. Nenek moyang ini telah mengenal kemampuan bercocok tanam. ”Masyarakat Gayo di pedalaman Aceh merupakan percampuran manusia dari dua jalur ini,” katanya.
Dari segi linguistik, jejak Austronesia dalam bahasa Gayo, misalnya, terdapat dalam penggunaan istilah mangan yang sama persis seperti bahasa di Jawa untuk menyebutkan makan. Katamangan juga dipakai orang Kapampangan di Filipina dengan arti yang sama.
Adapun jejak India bisa dilihat dari penggunaan bahasa Sanskerta (India lama) dalam kuliner dan perangkat memasak. Misalnya, kata Sanskerta kundika, yang berarti wadah air dari tanah liat, dalam bahasa Gayo disebut keni, dalam bahasa Jawa dinamakan kendi, dan dalam bahasa Bali menjadi kundi, sementara dalam bahasa Aceh terdapat variasi berbeda, yaitu geutuyoeng.
Para ahli telah bersepakat, penduduk di Pulau Sumatera lebih dulu berkembang di pegunungan, baru kemudian bermigrasi ke pesisir. ”... pertanian paling awal di Sumatera tidak lahir di delta sungai atau dataran rendah di pesisir seperti yang kita perkirakan, tetapi di lembah-lembah tinggi di pegunungan Bukit Barisan...,” tulis sejarawan Anthony Reid dalam buku Menuju Sejarah Sumatra ( 2011).
Analisis serbuk sari bebatuan di dasar Danau Toba (Sumatera Utara) yang dilakukan Bernard Maloney (Possible Early Dry-Land and Wet-Land Rice Cultivation in Highland North Sumatra, 1996) juga menunjukkan bukti-bukti bahwa pertanian sawah sudah ada di sekitar Danau Toba sekitar 5.000 tahun lalu. Padahal, menurut Reid, pertanian di pesisir Sumatera baru ditemukan sekitar abad ke-16 di pesisir sempit utara Aceh.
Walaupun orang Tamil dipercaya lebih dulu berinteraksi dengan penduduk dataran tinggi Gayo dan Karo, pengaruh kuliner India ternyata lebih banyak ditemukan di pesisir Aceh dan Medan. Berbeda dengan masakan Aceh yang kaya rempah dan hampir semuanya bersantan, masakan Gayo dan Karo minim rempah.
Kedua masakan etnis yang tinggal di dataran tinggi ini didominasi rasa asam dan pedas dari andaliman—sejenis lada yang hanya ditemukan di sekitar dataran tinggi Gayo, Karo, dan Batak. Baik orang Gayo maupun Karo sama sekali tidak mengenal bumbu kari dan tidak menggunakan santan. ”Kayu manis, cengkeh, dan daun kari tidak dipakai dalam masakan kami,” kata Siti Fatimah Beru Sembiring (80), pemilik kedai masakan Karo di Medan.
Khazanah masakan Gayo dan Karo, menurut budayawan Gayo, M Yusrin Saleh (65), lebih dipengaruhi gaya hidup sebagai peladang. Mereka biasa tinggal di gubuk-gubuk di ladang hingga
berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Karena sibuk bekerja di ladang, orang-orang Gayo tidak punya banyak kesempatan untuk mencari dan mengolah bahan makanan. Akhirnya, mereka memanfaatkan bahan makanan dan bumbu yang ada di ladang, yakni cabai, andaliman, dan asam jering (sejenis jeruk sayur), serta ikan danau untuk memasak masam jing. ”Prinsipnya, makanan Gayo itu gampang diolah, bumbunya sederhana, dan bisa tahan lama,” kata Yusrin.
Sejarawan dari Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari, menduga migrasi Tamil ke Gayo dan Karo di masa lalu berlangsung bertahap. Itu mengapa orang-orang Tamil yang berpindah ke dataran tinggi Sumatera akhirnya melebur dalam dominasi kultur lokal. ”Kalau migrasi orang Tamil terjadi berbondong-bondong dan seketika, pastilah mereka membentuk koloni tersendiri dan pasti menyisakan jejak kuliner Tamil dalam khazanah kuliner masyarakat Gayo dan Karo,” kata Ichwan.
Kemungkinan lain, khazanah kuliner Tamil atau India, yang dibawa masuk di masa awal, belumlah sekaya periode belakangan. Sebaliknya, khazanah kuliner mereka juga bisa jadi terpengaruh dari temuan bahan-bahan baru dari Nusantara. Misalnya, penggunaan pala dan cengkeh yang jelas-jelas tanaman khas Nusantara—cengkeh dari Ternate dan pala dari Kepulauan Banda. Jadi, interaksi terbentuknya ”kari modern” bisa jadi dua arah.
Pengaruh India yang begitu terasa dalam kuliner masyarakat di pesisir Aceh diduga terjadi pada periode migrasi lebih belakangan yang dipicu oleh intensifnya perdagangan antara Kesultanan Aceh dan para pedagang India. Pada periode ini, para pedagang dan budak yang didatangkan dari India ke Aceh kemungkinan ada juga para juru masak, terutama perempuan. (Ahmad Arif, Budi Suwarna, Aryo Wisanggeni Gentong)

Sumber:

http://travel.kompas.com/read/2013/04/02/14383553/negeri.atas.angin.dan.negeri.bawah.angin



No comments:

Post a Comment