Pages

Friday, May 29, 2015

Sisingamangaraja, Korban Rekayasa Sejarah

Sisingamangaraja, Korban Rekayasa Sejarah

June262012
Oleh Ahmad Mansur Suryanegara
sisingamangaraja1-276x300.jpg?w=276&h=30
Lazim diketahui oleh para ahli sejarah bahwa pola penulisan sejarah yang dewasa ini berkembang mengikuti klasifikasi tertentu. Ada penulisan sejarah berdasar agama, disebut religious historical, ada pula yang memandangnya dari sudut lain, nasionalisme misalnya.

Konsep nasionalisme sebagai suatu ideologi merupakan konsep yang baru. Menurut Islam konsep ini bertentangan dengan konsep kesatuan umat. Ia hanyalah sarana bagi musuh-musuh Islam untuk memecah dan melemahkan kekuatan Islam. Jadi konsep penulisan sejarah dengan bersandarkan pada nasionalisme juga merupakan pola penulisan yang baru.

Perjuangan Si Singamangaraja, Pattimura, P. Diponegoro dan yang lainnya secara substansial sulit dimasukkan dalam frame perjuangan berskala nasional. Apalagi dikaitkan dengan semangat nasionalisme. Data sejarah menunjukkan bahwa dasar perjuangan mereka dalam melawan penjajahan adalah Islam. P. Diponegoro bahu membahu dengan para ulama menyatukan rakyat untuk bertempur melawan para penjajah. Begitu pula dengan Cut Nya’ Dien, Pattimura, Si Singamangaraja dan lain lainnya.

Belanda dan Strategi Kristenisasi

Belanda ketika menyerbu suatu daerah berusaha menjadikan penduduk sekitarnya menjadi pengikut Nashrani. Tujuannya adalah agar perlawanan dapat padam dengan sendirinya, karena mereka menganggap penjajah dan penduduk setempat akan diikat oleh persatuan kristiani.

Daerah Tapanuli bisa menjadi contoh usaha Belanda dalam menjalankan politik kristenisasi sebagai bagian dari strategi integral penjajahannya. J.PG.Westhof, seorang pekerja Belanda yang ditempatkan di Indonesia, mengatakan: “Pada pendapat kami, untuk tetap memiliki jajahan jajahan kita, sebagian besar tergantung pada konsep kristenisasi pada rakyat setempat. Baik yang belum memeluk agama maupun yang sudah beragama Islam”. (J.H. Meerwaltd,1903, 111 dan Solichin Salam,1965,50)

Gerakan agresi agama ini besar kemungkinan mulai dilancarkan pada tahun 1824, terbukti terjadi pembunuhan pendeta baptis Amerika bernama Munson dan Lyman di Sinaksak. Sedang pada tahun 1861 gerakan pengkristenan ini makin kuat dengan berdirinya Rijnsche Zending di Padang Sidempuan. Untuk keperluan ini pemerintah Belanda menunjuk missionaris Nommensen dan Simoniet untuk menangani program pengkristenan ini secara lebih besar. Atas jasa yang demikian besar pemerintah Belanda menganugerahkan bintang Officer van Oranje-Nassau kepada Nommensen pada tahun 1911.

Di beberapa daerah strategi ini berhasil memadamkan perlawanan dan megubah sebagian kecil komposisi penduduk dari Islam ke kristen. Namun secara luas strategi ini gagal, bahkan menghasilkan perlawanan yang amat keras dan panjang.

Perjuangan Si Singamangaraja XII


Dalam kondisi tertekan akibat monopoli ekonomi, serangan kristenisasi, dominasi politik kolonial, Si Singamangaraja XII dinobatkan sebagai Maharaja negeri Toba, bersamaan dengan diterapkannya open door policy (politik pintu terbuka). Saat itu tinggal Aceh dan Tapanuli yang belum menandatangani Korte Volkering -Perjanjian Pendek- yang menegaskan dominasi Belanda di bidang politik, ekonomi, dan lain lain.

Akibatnya terjadi peperangan yang panjang antara Aceh dan Tapanuli di satu pihak dengan Belanda di pihak lain. Peperangan ini berlangsung puluhan tahun. Hal yang jarang diberitakan oleh para sejarawan adalah bahwa Islam sebagai dasar semangat tempur mereka.

Para Sejarawan sering menulis bahwa agama yang dianut oleh Si Singamangaraja adalah Palbegu, semacam ajaran animisme yang memuja para dewa. Ini sulit sekali kita terima bila kita teliti cap kerajaan Si Singamangaraja XII yang berbunyi: “Inilah Cap Maharaja di negeri Toba. Kampung Bakara nama kotanya. Hijrah Nabi 1304.“

Cap ini dengan sendirinya menggambarkan betapa pekatnya ajaran Islam mempengaruhi diri Si Singamangaraja XII. Adapun huruf Batak yang masih diabadikan, sama dengan tindakan Pangeran Diponegoro yang masih mempertahankan huruf jawa dalam menulis surat.

Begitu pula jika kita perhatikan bendera perangnya. Terlihat pengaruh Islam pada gambar kelewang serta matahari dan bulan. Akan lebih jelas jika kita kutip komentar Koran-koran Belanda yang memberitakan tentang agama yang dianut oleh Si Singamangaraja XII, antara lain:

Volgens berichten van de bevolking moet de togen,woordige titularis een 5 tak jaren geleden tot den Islam zijn bekeerd, doch hij wird geen fanatiek islamiet en oefende geen druk op zijn ongeving uit om zich te bekeeren

(Menurut kabar kabar dari penduduk, raja yang sekarang (maksud titularis adalah Si Singamangaraja XII) semenjak lima tahun yang lalu telah memeluk Islam dengan fanatik. Demikian pula ia tidak menekankan supaya orang-orang sekelilingnya menukar agama).

Berita di atas memberikan data bahwa Si Singamangaraja beragama Islam dan tidak memaksakan agamanya terhadap rakyat. Berbeda dengan penyebaran agama yang dilakukan oleh Rijnsche Zending di Toba yang disertai serangan militer Belanda. Serangan semacam ini baik yang dilancarkan tahun 1861 maupun 1877 juga bermaksud untuk menguasai daerah daerah Toba yang subur.

Tak mengherankan jika Si Singamangaraja membalas serangan tersebut dengan tak kalah keras. Dalam perjuangan bersenjata tersebut beliau bekerjasama dengan Panglima Nali dari Minangkabau, daerah yang sejak dulu merupakan basis perjuangan Islam, dan Panglima Teuku Mohammad dari Aceh, Serambi Makkah. Selain karena satu keyakinan, letak Tapanuli yang berada di tengah tengah antara Aceh dan Sumatra Barat juga sangat menunjang terjadinya kerjasama tersebut.

Penguasaan daerah Tapanuli oleh Belanda secara fisik bisa dikatakan berhasil. Bahal Batu, Butar dan Lobu Siregar telah berhasil didudukinya. Namun apalah artinya penguasaan tersebut jika tidak bisa menundukkan kemauan rakyatnya. Daya juang yang tinggi dimiliki oleh rakyat Tapanuli, dan daya juang yang demikian itu biasanya hanya dimiliki oleh bangsa yang telah mempunyai ajaran agama yang mengajarkan pembelaan diri apabila diserang. Disini Si Singamangaraja memiliki agama tersebut, yakni Islam. Keislamannya telah menunjangnya untuk mampu bertahan dan berjuang selama tigapuluh tahun lamanya. Beliau tidak hanya dianggap sebagai raja oleh rakyatnya, tetapi juga sebagai Imam dalam Agamanya. Faktor dukungan dari rakyat ini menunjang sekali dalam perjuangan bangsa melawan penjajahan.

Menghadapi seorang pemimpin yang mempunyai kharisma besar dan didukung penuh oleh rakyatnya tersebut, Belanda berusaha menggunakan cara licik. Ibu, Permaisuri, dan kedua putra Si Singamangaraja ditangkap. Dengan demikian diharapkan beliau bisa digiring ke meja perundingan. Namun cara ini gagal total, karena kompromi tidak bisa tercapai.

Sejalan dengan situasi Tapanuli tersebut, Belanda memancarkan serangan membabi buta terhadap Ulama’ di Aceh yang merupakan tulang punggung gerilya. Tindakan ini merupakan realisasi dari nasihat Snouck Hurgronje, seorang orientalis, untuk mengadakan pengejaran tanpa henti terhadap para ulama. Operasi yang sangat kejam dengan melakukan pembunuhan semena mena terhadap pemuka pemuka Islam tersebut mendapat restu pula dari menteri Bergsman.

Tindakan Belanda terhadap Ulama Ulama di Aceh tersebut ditambah dengan kalahnya persenjataan membuat kekuatan Si Singamangaraja semakin berkurang. Politik Pintu Terbuka yang menuntut pengamanan modal asing, melibatkan negara negara imperialis lainnya untuk membantu usaha Belanda mengakhiri perlawanan umat Islam di Indonesia. Termasuk perlawanan Si Singamangaraja.

Pada 17 Juni 1907 di bawah pimpinan Kapten Christofel, Belanda menggempur pusat pertahanan Si Singamangaraja. Sampai saat pertempuran terakhir ini, beliau bersama putrinya Lopian, memilih gugur sebagai Syuhada daripada menyerahkan Bumi Islam Tapanuli di atas Korte Verklaring kepada Belanda.
Kini tangan tangan tak bertanggung jawab mencoba mengaburkan fakta sejarah untuk tujuan tertentu. Gelar Syuhada diganti dengan atribut lain yang tak memiliki dasar dan fakta. Termasuk klaim yang mengatakan bahwa bagian timur negeri tercinta kita adalah basis agama tertentu dengan menafikkan peran muslim di wilayah tersebut. Padahal sebagian besar Maluku, NTB, Ternate, Tidore dan Sulawesi mayoritas Islam. Mungkinkah Sultan Baabullah, Sultan Nuku, Sultan Hasanudin bukan pahlawan pahlawan Islam….? Terlalu bodoh untuk dijawab “Ya…, mungkin”. Hasbunallah wani’mal wakil.

Sumber:
Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia

http://indodenny.mywapblog.com/sisingamangaraja-korban-rekayasa-sejarah.xhtml

No comments:

Post a Comment