Pages

Wednesday, May 27, 2015

MEMBUKA LUKA, ALIH-ALIH MENYIMPAN BARA DALAM SEKAM

MEMBUKA LUKA, ALIH-ALIH MENYIMPAN BARA DALAM SEKAM

Dari Peluncuran buku Kota-kota di Sumatra. Enam Kisah Kewarganegaraan dan Demokrasi di IAIN Sumatra Utara

Dilaporkan oleh Sudiarto

DSC_0076

Bertetangga dengan Medan, kota Binjai bisa dianggap merupakan miniatur kota Medan. Sayangnya, menurut Ichwan, tulisan tentang Binjai tidak tepat menggambarkan keadaan sebenarnya, sehingga muncul keraguan apakah ini karena penelitinya menemui informan-informan yang tidak tepat.


Setelah diskusi di kampus FISIP Universitas Sumatra Utara, masih dalam rangkaian acara peluncuran bukuKota-kota di Sumatra. Enam Kisah Kewarganegaraan dan Demokrasi, pada keesokan harinya, 20 Juni 2012, Yayasan Interseksi kembali mengadakan diskusi publik bekerjasama dengan Pusat Bahasa dan Budaya Institut Agama Islam Negeri Sumatra Utara (IAIN-SU) . Lembaga ini sebelumnya bernama Pusat Bahasa, tapi atas dukungan Rektor IAIN-SU Dr. Zainul Fuad, direkturnya saat ini, ia kemudian diubah menjadi Pusat Bahasa dan Budaya. Dengan perubahan tersebut diharapkan adanya pemahaman yang lebih luas dalam mengelola keragaman budaya agar tidak sampai terjadi benturan peradaban. Yang sering terjadi, menurut Dr. Fuad, kita mempelajari bahasa asing tetapi memusuhi orang-orang penutur asli bahasa tersebut dengan budayanya. Fuad mengharapkan adanya sintesis budaya dan norma-norma yang bisa diimplementasikan dalam masyarakat yang majemuk.

DSC_0069

Berbicara dalam kata sambutan, Hikmat Budiman, Direktur Yayasan Interseksi, antara lain, menyoroti munculnya kelompok-kelompok radikal yang menggunakan label Islam, sesuatu yang terasa mengganggu bagi mayoritas pemeluk Islam. Persoalan demokratisasi dan kedaulatan wilayah dalam bingkai otonomi daerah saat ini memunculkan dua sisi yang berseberangan antara vote (suara dalam pemilu) dengan voice(suara-suara yang tidak tertampung dalam pemilu). Hikmat mengingatkan bahwa buku Kota-kota di Sumatra bukan kumpulan tulisan yang terpisah-pisah, melainkan tulisan yang dihasilkan dari program riset yang telah dilakukan Yayasan Interseksi. Dengan latar belakang peneliti sebagian besar bukan berasal dari Sumatra, buku ini tidak ditujukan untuk menggurui, tetapi justru untuk belajar dari orang-orang Sumatra. Hikmat mengapresiasi dua institusi pendidikan terkemuka di Sumatra dengan tradisi intelektual yang panjang, Universitas Sumatra Utara (USU) dan IAIN-SU, yang bersedia menjadi tuan rumah untuk rangkaian diskusi publik dan peluncuran buku Kota-kota di Sumatra ini.

DSC_0083

Jika selama ini penelitian tentang Indonesia sebagian besar dilakukan orang-orang Barat, maka buku ini merupakan studi tentang Indonesia yang dilakukan orang-orang Indonesia sendiri, demikian menurut Drs. Azwani Lubis, M.Ag, pengajar di IAIN-SU. Sejarawan dari Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (Pussis-Unimed) Dr. Phil. Ichwan Azhari mengaku senang mengetahui buku ini ditulis oleh peneliti-peneliti muda, tetapi mengkritik mengapa buku ini tidak menulis tentang kota Medan. Usman Pelly pernah melakukan penelitian tentang peta etnis kota Medan pada 1909, yang menunjukkan tergusurnya etnis Melayu, digantikan oleh dominasi orang Cina. Medan merupakan kota konstruksi kolonial, berawal dari kota pelabuhan. Sebelumnya ibukota kabupaten terletak di Bengkalis, tetapi sulit dikembangkan lebih lanjut karena sering dilanda banjir mengingat kota itu dibangun di atas rawa-rawa. 

DSC_0094

Sampai dengan awal kemerdekaan, hampir tidak pernah terjadi konflik di Medan. Perubahan demografi kemudian memunculkan konflik, seperti kasus penolakan warga di sebuah kampung di Medan terhadap berdirinya gereja. Sebelum 1988 masih sedikit penduduk di perkampungan tersebut, sehingga pembangunan gereja saat itu tidak memerlukan izin. Sekarang banyak pendatang di kampung tersebut, dan ormas-ormas tertentu mempersoalkan izin gereja. Dulu ada Kampung Keling di kota Medan, sekarang diganti namanya menjadi Kampung Madras. Padahal sejak dahulu orang-orang India di Medan tidak pernah mempersoalkan nama Kampung Keling itu. Lalu terjadi demonstrasi yang menewaskan Ketua DPRD Sumatra Utara, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selama ini Medan dianggap sebagai barometer kerukunan antar-etnis dan umat beragama, sehingga jika Medan meledak akibatnya bisa sangat parah.

DSC_0067b

Bertetangga dengan Medan, kota Binjai bisa dianggap merupakan miniatur kota Medan. Sayangnya, menurut Ichwan, tulisan tentang Binjai tidak tepat menggambarkan keadaan sebenarnya, sehingga muncul keraguan apakah ini karena penelitinya menemui informan-informan yang tidak tepat. Peneliti lebih banyak berkutat di daerah pusat kota, tidak mencoba bergeser ke permukiman di selatan kota yang 60%-nya etnis Jawa. Di Kampung Tugu, bahkan 95% penduduk beretnis Jawa dan sehari-harinya berbahasa Jawa. Mengenai orang-orang Jawa di Medan, Ichwan menunjukkan koran Suara Djawa edisi 1916 yang diterbitkan oleh empat orang etnis Jawa yang mengalami kesulitan dalam berbicara bahasa Indonesia, atau waktu itu disebut bahasa Melayu, sehingga lebih banyak menggunakan bahasa Belanda. Dalam koran tersebut, diungkap secara terang-terangan stereotipe terhadap orang Jawa di Medan saat itu, misalnya disebut bajingan, perampok, babu, kuli, pembunuh orang-orang kaya, dan lonte-lonte di Lapangan Esplanade, sekarang Lapangan Merdeka. Orang Jawa sendiri kawin-mawin dengan orang-orang Melayu dan Mandailing.

DSC_0078

Penggolongan etnis Batak berdasarkan tulisan Payung Bangun juga secara tajam dikritik oleh Ichwan, karena penyebutan Batak sebagai konstruksi kolonial sudah ditolak, bahkan dianggap menyesatkan. Ichwan menyarankan untuk membaca tulisan-tulisan Lister Berutu dari Antropologi USU yang meneliti tentang etnis Pakpak, serta buku karya Daniel Perret berjudul Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut. Anggapan bahwa Medan adalah Batak menurut Ichwan adalah bentuk penyesatan yang berkembang di kalangan elite Jakarta dan media massa. 

DSC_0072

Membicarakan tentang Pidie, Ichwan menyebutkan adanya 3 tesis di Univesitas Negeri Medan (Unimed) tentang pedagang Pidie yang sering disebut sebagai Cina Hitam. Energi sosial orang Pidie dinilai luar biasa, disegani orang-orang di luar Pidie, dan dalam sejarahnya Pidie merupakan pusat pemberontakan. Ichwan mengkritik ungkapan “nasionalisme yang rapuh” dalam konteks Pidie, karena yang terjadi justru sebaliknya. Para saudagar Pidie-lah yang banyak menyumbang bagi perjuangan kemerdekaan, tetapi kemudian dikhianati oleh Sukarno. 

Tulisan tentang kota yang dikaitkan dengan kerajaan di Jawa menurut Ichwan tidak tepat menggambarkan kota-kota di Sumatra yang usianya ribuan tahun. Di pantai barat Sumatra terdapat kota tua Tapanuli, berbeda dengan istilah Tapian Nauli versi kolonial, yang kemudian jatuh dalam pengaruh Aceh. Di pekuburan Batak di Samosir, terdapat patung-patung yang menggunakan peci, ditengarai sebagai wujud pengaruh Islam dari Aceh. Ichwan menyebutkan tiga kota tua di Sumatra yaitu Padang Lawas, Barus dan Kota Cina. Meskipun demikian Ichwan menghargai tulisan Hikmat Budiman yang mengakui bahwa studi-studi arkeologis masih kurang memadai di Indonesia. Untuk kasus Kota Cina yang usianya 400 tahun, ditemukan patung-patung dalam kondisi rusak terpotong-potong, menimbulkan spekulasi apakah kota tersebut diserang orang-orang Islam, atau mungkin pada abad ke-16 ada kelompok-kelompok garis keras seperti FPI zaman sekarang. Dalam diskursus demokrasi dan kewarganegaraan, kota-kota tua tersebut menurut Ichwan bisa dipelajari, meskipun terjadi diskontinuitas. Orang-orang Barus yang ada sekarang ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan orang-orang Barus zaman dahulu.

DSC_0113

Menggunakan konsep Gemeinschaft dan Gesselschaft, Fuad menyatakan perlunya kita menggagas wacana pluralisme multikultural. Medan bisa jadi merupakan contoh dari kota yang beragam komposisi penduduknya, tetapi pengelolaan keragaman itu lebih didasari oleh faktor ekonomi. Buku Kota-kota di Sumatra mengungkapkan persoalan yang terjadi di kota-kota lain, dari pemarjinalan orang Cina dan gejala xenophobia di Aceh hingga tidak dihargainya keberadaan orang Cina oleh orang Melayu di Bagansiapiapi. Seharusnya komunitas-komunitas yang ada saat ini bergerak ke arah masyarakat berbangsa yang modern. Fuad meyakini bahwa semakin homogen suatu masyarakat, semakin lambat gerak peradabannya. Saat ini Indonesia dicap sebagai negara yang tidak toleran, sehingga pluralisme dibutuhkan sebagai check and balances. Dalam ungkapan Habermas, melampaui kepentingan privat menuju kepentingan publik.

Dalam sesi diskusi, Yumas mengapresiasi hadirnya buku Kota-kota di Sumatra yang memotret kegelisahan etnis-etnis di Indonesia hingga terjadi letupan dan gesekan seperti pernah terjadi di Ambon. Etnisitas di Sumatra sangat beragam, dan kelompok minoritas seringkali tidak dihargai, seperti kasus di Bukittinggi. Selama Orde Baru, penguasa tidak mengizinkan orang Cina berekspresi di ranah publik, dan sampai sekarang masih dijadikan sebagai acuan. Untuk kasus Bagansiapiapi, orang Cina setempat banyak yang merantau karena sulitnya lapangan pekerjaan dengan merosotnya kondisi pelabuhan, dari sebuah kota yang sangat cantik menjadi kota mati dipenuhi sarang walet. Orang Cina di Bagansiapiapi tidak bisa mendaftar menjadi pegawai negeri sipil (PNS) yang didominasi Melayu, padahal belum tentu orang Melayu itu penduduk asli Bagansiapiapi, banyak yang berasal dari Pekanbaru. Kebijakan Orde Baru yang membesarkan konglomerasi Cina dengan membatasi ekspresi orang Cina meledak dalam kerusuhan 1998. Gus Dur berhasil memulihkan kondisi orang Cina, tetapi asimilasi dan integrasi orang Cina tidak berjalan mulus. 

DSC06897

Tentang Bagansiapiapi, Syukurdi mempertanyakan daerah mana yang diteliti, karena di daerah Labuhan Bilik ada orang Cina yang menjadi lurah. Untuk kasus Bukittinggi, menurut observasi Supardi pada 1989 sekolah-sekolah di kota itu tidak ada yang mengharuskan pelajarnya mengenakan jilbab. Untuk kasus Binjai, dituliskan bahwa pada pemilukada 2010 terjadi politik uang, sementara di kota-kota lain tidak disebutkan. Sajaratud Dur mengusulkan agar hal-hal terkait SARA diseleksi, dan supaya etnis-etnis tertentu bisa menerima lebih baik dituliskan sebagai “berkarakter unik”. 

Menceritakan pengalaman pribadi selama tinggal di Surabaya selama dua tahun, Sajaratud sering mendapat salam “Horas!”, padahal dia bukan Batak, melainkan keturunan Melayu, Karo dan Jawa. Di kalangan etnis Batak dan Karo, sikap hidup damai lebih didasarkan pada suku, bukan agama. Menurut Sajaratud, sulit untuk bisa membakar emosi orang Medan. Berkaca dari pengalaman 1998, setelah Medan rusuh, barulah Jakarta ikut rusuh. Aktivis di Medan waktu itu sering dikirimi pakaian dalam oleh aktivis-aktivis di Jawa karena tidak juga bergerak. Dalam sejarahnya, kampus USU didirikan oleh dokter Tengku Mansyur, bermula dari Fakultas Kedokteran. Tengku Mansyur pernah mengajak Daud Beureueh untuk bergabung dalam Negara Sumatra Timur yang pro-Belanda, tetapi belakangan Daud Beureueh juga mengangkat senjata dengan bendera DI/TII. Revolusi sosial di Langkat terkait pula persoalan etnis, tetapi bisa dibenarkan dalam kerangka Negara Kesatuan (NKRI). 

Menurut Noor Azizah, buku Kota-kota di Sumatra yang mengungkap friksi-friksi antar-etnis, menyadarkan orang-orang yang selama ini merasa punya pengalaman panjang toleransi dan kedamaian antar-etnis. “Kami jadi takut, terkesan adanya politisasi,” ungkap Azizah. Friksi antar-etnis sepertinya sudah diprogram kekuatan-kekuatan tertentu, dan diharapkan agar pemerintah turun tangan. Azizah juga menawarkan tiga pola hubungan antar-etnis dari kasus Amerika Serikat, Kanada dan Singapura. Di Amerika, yang terjadi adalah unifikasi total, membentuk identitas Amerika yang sama sekali baru, sementara di Kanada masing-masing etnis tetap mempertahankan identitasnya, dan di Singapura terjadi diskriminasi antara etnis yang dominan dengan etnis-etnis lainnya.

Anggapan bahwa Medan itu damai dikritisi oleh Ichwan, seperti dicontohkan kisruh seputar penertiban peternakan babi di kawasan Mandala. Kotoran yang ditimbulkan oleh peternakan dianggap mencemari kesucian rumah ibadah umat Islam, sementara peternakan itu menjadi mata pencaharian utama sebagian warga, karena besarnya pasar daging babi di Medan. 

Menanggapi keluhan agar bahasa yang digunakan dalam bagian-bagian tertentu buku Kota-kota di Sumatra diperhalus sehingga tidak menyinggung kelompok masyarakat tertentu, sambil tetap menghargai keluhan tersebut Hikmat Budiman mengaku merasa agak ironis karena selama ini orang-orang di Jawa-lah yang sering dianggap lebih suka menggunakan eufimisme dalam berbahasa. Tetapi ternyata orang-orang di Sumatra pun tidak jauh berbeda. Apa yang diungkapkan dalam penelitian tentang kota-kota di Sumatra ini justru untuk membuka luka-luka yang diderita oleh bangsa kita. Selama Orde Baru, perbedaan itu disimpan dalam-dalam, tetapi ternyata seperti api dalam sekam, akhirnya meledak setelah Suharto turun. Akan lebih baik jika luka-luka itu dibuka, dibiarkan mengering terkena cahaya matahari, daripada menutup rapat-rapat hingga akhirnya membusuk.
Sumber: http://interseksi.org/archive/blog/files/peluncuran_iain.php


No comments:

Post a Comment