Pages

Friday, May 29, 2015

“Misi Kristen di Buku Sejarah SMP”

“Misi Kristen di Buku Sejarah SMP”

“Misi Kristen di Buku Sejarah SMP”
Oleh: Dr. Adian Husaini
DALAM sebuah buku Sejarah untuk siswa SMP kelas VIII (Jakarta: Erlangga, 2006), diuraikan satu bab khusus berjudul “Perkembangan Kristen di Indonesia”. Bab ini dibuka dengan uraian berikut: “Mengapa perlu mempelajari bab ini? Penyebaran Kristen di Indonesia berintikan damai dan cinta kasih. Namun, karena intervensi politik Barat, timbul kesan penyebaran Kristen identik dengan kolonialisme dan imperialisme. Dengan mempelajari bab ini, kita diajak untuk semakin sadar betapa campur tangan politik dapat merusak nilai-nilai luhur yang terkandung pada setiap agama.”
Pada bagian selanjutnya dijelaskan tentang kendala penyebaran agama Kristen di Indonesia: “Para penguasa dan penduduk setempat mencurigai para rohaniwan sebagai sekutu Portugis ataupun Belanda. Tindakan penindasan yang dilakukan para pedagang maupun pemerintah kolonial menimbulkan kesan bahwa Kristen identik (sama saja) dengan kolonialisme. Padahal para rohaniwan selalu datang dengan maksud damai.” (hal. 61)
Inilah salah satu contoh materi sejarah yang diajarkan kepada para pelajar SMP. Benarkah isi buku pelajaran sejarah tersebut? Ada baiknya kita simak penjelasan dari kalangan Kristen sendiri!
Pada tahun 2010, juga rangka memperingati 150 tahun Huria Kristen Batak Prostestan, Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, bekerjasama dengan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ecole francaise d,Extreme-Orient, dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia menerbitkan sebuah buku berjudul Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba: Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain, karya Prof. Dr. Uli Kozok, seorang professor kelahiran Jerman.
Prof. Uli Kozok membuka bukunya dengan sebuah kutipan seorang tokoh Gereja se-Dunia, Ph. Potter: “Gerakan penginjilan […] bermula bertepatan dengan waktu munculnya kolonialisme, imperialisme dan – sebagai akibatnya – rasisme. Oleh sebab itu maka gerakan penginjilan secara hakiki terkait dengan sejarah rasisme.”
Berdasarkan dokumen-dokumen di lembaga misi di Jerman yang mengirimkan Nommensen ke Tanah Batak, yaitu Rheinische Missions-Geselschaft (RMG), Prof. Uli Kozok menemukan fakta pengakuan Ludwig Ingwer (L.I.) Nommensen, tokoh misionaris Jerman di Tanah Batak, bahwa dia bergabung dengan pasukan Belanda untuk melawan gerakan perlawanan para pahlawan Batak yang dipimpin Sisingamangaraja XII. Laporan Berichte Rheinische Missionsgeselschaft (BRMG), menunjukkan, para penginjil justru bersekutu dengan tentara penjajah dalam menumpas perlawanan Sisingamangaraja XII. Lebih jauh Prof. Kozok mencatat:
“Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen, sehingga terbentuk koalisi Injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak memiliki musuh yang sama: Sisingamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen.” Bersama-sama mereka berangkat untuk mematahkan perjuangan Sisingamangaraja. Pihak pemerintah dibekali dengan persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan peperangan modern, sementara pihak zending dibekali dengan pengetahuan adat istiadat dan bahasa. Kedua belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada hakikatnya sama: memastikan bahwa orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa. (BRMG 1882:202)” (hal. 92).
Dalam perang menumpas perjuangan Sisingamangaraja XII, pihak zending Kristen berhasil meyakinkan ratusan raja di tanah Batak agar berhenti mengadakan perlawanan dan menyerah kepada kekuasaan Belanda:
“Dukungan dan bantuan para misionaris yang mendampingi ekspedisi militer hingga ke Danau Toba juga mempunyai tujuan lain, yaitu meyakinkan masyarakat bahwa perlawanan mereka sia-sia saja dan mendesak mereka agar menyerahkan diri.” (JB 1878:31). (hal. 93).
Sementara, para raja yang tidak mau menyerah, didenda dan kampung mereka dibakar. Atas jasa para misionaris, terutama Nommensen dan Simoncit, pemerintah kolonial Belanda memberikan penghargaan resmi, melalui sebuah surat:
“Pemerintah mengucapkan terimakasih kepada penginjil Rheinische Missions-Geselschaft di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan Bapak A. Simoncit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang telah diberikan selama ekspedisi melawan Toba. (BRMG 1879:169-170).” (hal. 93-94).
Selain surat penghargaan, para misionaris juga mendapat hadiah sebesar 1000 Gulden dari pemerintah kolonial yang dapat diambil setiap saat. Kerjasama antara misionaris Kristen dan penjajah Belanda berlangsung sampai Pahlawan Sisingamangaraja XII tewas dalam pertempuran tahun 1907. Dukungan kaum misionaris kepada pemerintah penjajah juga dimaksudkan untuk mencegah masuknya Islam ke Tanah Batak. (BRMG 1878:94).
Sikap pro-penjajah dari kaum Misionaris bukan hanya saat Perang Toba melawan Sisingamangaraja XII. Sikap para misionaris Kristen ini masih terus berlangsung di kemudian hari. BRMG 1897: 278-279 menulis laporan berjudul “Wie weiter auf Sumatra?” (Bagaimana Kelanjutannya di Sumatra?). Batakmission mengaku mengalami kendala untuk melakukan misi Kristen di Samosir, sebab Samosir masih merupakan “Tanah Batak Merdeka”. Selanjutnya, BRMG mencatat:
“Oleh sebab itu, “dapat dimengerti bahwa penginjil kita sangat menghendaki agar pemerintah Belanda menduduki Samosir.” Lagipula, konferensi penginjil tahun 1897 telah memutuskan bahwa “penginjilan dapat dilakukan dengan lebih tenang dan dengan lebih banyak sukses di bawah perlindungan pemerintah Eropa.” (hal. 103).

Menurut catatan sejarah, kerjasama misionaris Kristen Batak dengan penjajah Belanda diakui dengan bangga oleh para misionaris Batak. Belanda juga mempersenjatai kaum Kristen Batak dengan 50 bedil. Sebab, jika orang Batak menjadi Muslim, mereka tidak mungkin setia kepada pemerintah penjajah. BRMG 1878:154 mencatat:
“Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda.”. (hal. 106).
Dalam surat-surat yang dikirim tokoh misionaris I. Nommensen, tampak jelas digunakannya istilah “musuh” untuk Sisingamangaraja XII dan rakyat Batak yang berusaha mempertahankan kemerdekaan mereka. Misalnya, dia tulis: “Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa hari, musuh kami yang jahat bergerak lagi”… “Kebanyakan musuh berasal dari daerah sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Sisingamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya.” (hal. 107).
Dalam suratnya yang lain, Nommensen mencatat: “Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita bisa masuk… (BRMG 1882:302).” (hal. 108).
Sebuah surat tentang pentingnya penaklukan Toba oleh penjajah Belanda dan misi Kristen dalam rangka menghambat masuknya pengaruh Islam, ditulis oleh laporan BRMG 1882 (7): 202-205:
“Perang dan penaklukan Toba sangat mendukung dan mempercepat pembukaan pos penginjilan. Walaupun tidak secara langsung, para penginjil kita di Silindung memainkan peranan yang cukup besar dalam ekspedisi militer Belanda terhadap Toba. Upaya mereka untuk menyebarkan Injil di Silindung mendapatkan perlawanan dari Sisingamangaraja yang dulu maupun Sisingamangaraja yang sekarang. Karena sudah kehilangan sebagian besar kekuasaannya, keduanya berusaha memperoleh kembali pengaruhnya yang hilang dengan mengusir para penginjil. Sisingamangaraja terutama memusuhi agama Kristen, akan tetapin karena ia bersekutu dengan orang Aceh di Utara maupun dengan Batak Islam di Timur maka kegiatan mereka juga memusuhi pemerintah Belanda. Dengan demikian sangat bijaksana keputusan pemerintah untuk langsung bertindak memperluas dan memperkokoh kekuasaannya, mengingat tindak-tanduk orang Aceh dan jaringan mereka yang makin hari makin ketat dan luas.” (hal. 153-154).
Dalam bukunya, Prof Uli Kozok juga menunjukkan data bahwa hubungan erat antara misi Kristen dan Penjajahan memang sudah menjadi suatu kelaziman. Paus Pius XI, misalnya, melalui surat kabar Vatikan, Osservatore Romano, 24 Februari 1935, pernah secara eksplisit mengeluarkan pernyataan yang mendukung penjajahan:
“Penjajahan merupakan keajaiban yang diwujudkan dengan kesabaran, keberanian dan cinta kasih. Tiada bangsa atau ras yang berhak hidup terisolir. Penjajahan tidak berlandaskan penindasan tetapi berdasarkan prinsip moralitas tertinggi, penuh dengan cinta kasih, kedamaian dan persaudaraan. Gereja Katolik senantiasa mendukung penjajahan, asal dilaksanakan dengan jujur dan manusiawi tanpa menggunakan kekerasan. Oleh sebab itu kami melihatnya sebagai sesuatu yang memiliki daya dan keindahan yang luar biasa.” (hal. 85-86).
Bukan hanya kolonialisme, ideologi rasisme juga ditanamkan kepada para misionaris dari Rheinische Missions-Geselschaft (RMG). Seorang petinggi RMG, Ludwig von Rohden (1815-1889), berpendapat bahwa semua manusia adalah keturunan Nabi Nuh, yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia. Ada lima warna kulit yang dimiliki keturunan Nabi Nuh itu: putih, kuning, merah, coklat dan hitam. Menurutnya, warna kulit ditentukan oleh kadar dosa masing-masing. Semakin berdosa sebuah bangsa, maka akan semakin hitam warna kulitnya. Kata Ludwig von Rohden dalam sebuah tulisannya:
“Secara bertahap-tahap manusia menjauhkan diri dari sumber kehidupan ilahi. Semakin jauh [sebuah bangsa] menjauhkan diri, semakin merosot moral dan kecerdasan, seiring dengan itu juga postur, bentuk tubuh dan warna kulitnya. Bangsa yang paling dekaden mendapatkan warna kulit paling hitam, dan bentuk tubuhnya menjadi mirip dengan binatang. Namun perbedaan hakiki antara manusia dan binatang masih tetap ada: ialah jiwa yang dihembuskan Allah kepada jasad sebagai bagian kehidupan ilahi.” (hal. 59).
Menurut Rohden, bangsa berkulit hitam bisa menjadi putih kulitnya jika mereka menjadi Kristen:
“Negro yang paling rendah derajat pun masih bisa diangkat menjadi manusia terdidik bila dididik dengan cara yang tepat melalui pengaruh Kekristenan yang bersifat menyembuhkan. Seiring dengan [proses penyembuhan] itu, maka raut muka yang kebinatangan menghilang, pandangan mata dan tubuhnya akan menjadi lebih sempurna, bahkan warna kulitnya secara turun-temurun bisa menjadi lebih putih.” (hal. 60).
Itulah fakta dan data tentang misi Kristen yang ditampilkan Prof. Uli Kozok – guru besar dan ketua jurusan bahasa Indonesia di Universitas Hawai. Gambaran misi Kristen yang berkolaborasi dengan penjajah itu jauh sekali bedanya dengan isi buku Sejarah yang kini diajarkan kepada anak-anak Muslim di sekolah-sekolah tingkat SMP.
Seyogyanya, para pimpinan sekolah Islam, para guru, dan orang tua sadar benar akan kekeliruan besar semacam ini. Sungguh ironis, jika ada lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan bahan-bahan sejarah semacam ini, yang merusak pemikiran dan jauh sekali dari fakta sejarah sebenarnya. Bukankah Allah SWT sudah memperingatkan: “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!” Wallahu a’lam bil-sshawab.*/Depok, 24 Ramadhan 1432 M/24 Agustus 2011.
Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com, Ketua Program Studi Pendidikan Islam, Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor.
Rep: Cholis Akbar
Editor: Cholis Akbar


Sumber:
http://m.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2011/08/25/3668/misi-kristen-di-buku-sejarah-smp.html




Lopian, Puteri Sisingamangaraja XII

Lopian, Puteri Sisingamangaraja XII


lopian
Resourceful Parenting Indonesia – Jakarta. Sebuah Monumen berdiri di kota Porsea, Toba Samosir, Sumatera Utara. Monumen itu adalah Monumen Srikandi Lopian.

Pada prasasti monumen itu tertulis:
Seorang gadis belia yang ikut berjuang dan berkorban melawan penjajah Belanda, gugur dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907 di Aek Sibulbulon Pearaja Dairi, dia adalah Putri Lopian.
Ayahandanya Raja Sisingamangaraja XII, saudaranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi gugur bersama pejuang lainnya dalam pertempuran tersebut.

Lopian adalah anak ketiga Sisingamangaraja dan satu-satunya anak perempuan. Ibunya adalah Boru Sahala. Ia lahir di Pearaja Dairi desa Sionomhudon. Kota itu adalah pusat perjuangan Sisingamangaraja XII. Lopian sedari kecil bergaul dengan para pejuang termasuk para panglima dari Aceh.

Pada awal tahun 1907, Belanda mulai mendekati Pearaja Dairi. Sisingamangaraja mengungsikan para wanita dan anak-anak ke tempat lain. Ia telah bertekad untuk berjuang mempertahankan Pearaja Dairi.

Lopian saat itu berusia tujuh belas tahun. Ia tidak mau ikut mengungsi karena ingin bersama ayah dan kakak-kakaknya.

Dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907 pejuang Sisingamangaraja terdesak. Pasukan Belanda jauh lebih banyak dan membawa persenjataan yang lebih lengkap.

Konon Sisingamangaraja kebal, tidak dapat dilukai oleh tembakan peluru. Namun ada pantangan yang tidak boleh dilanggarnya, ia tidak boleh terkena darah. Lopian tertembak, sang raja langsung menghampiri dan memeluk putri kesayangannya itu. Akibatnya ia terkena darah Lopian. Ketika tertembak pasukan Belanda, ia pun tewas.

Seluruh pasukan tewas oleh tentara Belanda. Jenazah raja Sisingamangaraja dan kedua puteranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi dibawa oleh tentara Belanda ke Balige dan kemudian dimakamkan di Tarutung. Namun jenazah Lopian dan para panglima Aceh ditimbun di jurang. Hingga kini jenazah putri pemberani itu tidak dapat ditemukan.


Sumber:
http://new.resourceful-parenting.com/?p=425



Sisingamangaraja, Korban Rekayasa Sejarah

Sisingamangaraja, Korban Rekayasa Sejarah

June262012
Oleh Ahmad Mansur Suryanegara
sisingamangaraja1-276x300.jpg?w=276&h=30
Lazim diketahui oleh para ahli sejarah bahwa pola penulisan sejarah yang dewasa ini berkembang mengikuti klasifikasi tertentu. Ada penulisan sejarah berdasar agama, disebut religious historical, ada pula yang memandangnya dari sudut lain, nasionalisme misalnya.

Konsep nasionalisme sebagai suatu ideologi merupakan konsep yang baru. Menurut Islam konsep ini bertentangan dengan konsep kesatuan umat. Ia hanyalah sarana bagi musuh-musuh Islam untuk memecah dan melemahkan kekuatan Islam. Jadi konsep penulisan sejarah dengan bersandarkan pada nasionalisme juga merupakan pola penulisan yang baru.

Perjuangan Si Singamangaraja, Pattimura, P. Diponegoro dan yang lainnya secara substansial sulit dimasukkan dalam frame perjuangan berskala nasional. Apalagi dikaitkan dengan semangat nasionalisme. Data sejarah menunjukkan bahwa dasar perjuangan mereka dalam melawan penjajahan adalah Islam. P. Diponegoro bahu membahu dengan para ulama menyatukan rakyat untuk bertempur melawan para penjajah. Begitu pula dengan Cut Nya’ Dien, Pattimura, Si Singamangaraja dan lain lainnya.

Belanda dan Strategi Kristenisasi

Belanda ketika menyerbu suatu daerah berusaha menjadikan penduduk sekitarnya menjadi pengikut Nashrani. Tujuannya adalah agar perlawanan dapat padam dengan sendirinya, karena mereka menganggap penjajah dan penduduk setempat akan diikat oleh persatuan kristiani.

Daerah Tapanuli bisa menjadi contoh usaha Belanda dalam menjalankan politik kristenisasi sebagai bagian dari strategi integral penjajahannya. J.PG.Westhof, seorang pekerja Belanda yang ditempatkan di Indonesia, mengatakan: “Pada pendapat kami, untuk tetap memiliki jajahan jajahan kita, sebagian besar tergantung pada konsep kristenisasi pada rakyat setempat. Baik yang belum memeluk agama maupun yang sudah beragama Islam”. (J.H. Meerwaltd,1903, 111 dan Solichin Salam,1965,50)

Gerakan agresi agama ini besar kemungkinan mulai dilancarkan pada tahun 1824, terbukti terjadi pembunuhan pendeta baptis Amerika bernama Munson dan Lyman di Sinaksak. Sedang pada tahun 1861 gerakan pengkristenan ini makin kuat dengan berdirinya Rijnsche Zending di Padang Sidempuan. Untuk keperluan ini pemerintah Belanda menunjuk missionaris Nommensen dan Simoniet untuk menangani program pengkristenan ini secara lebih besar. Atas jasa yang demikian besar pemerintah Belanda menganugerahkan bintang Officer van Oranje-Nassau kepada Nommensen pada tahun 1911.

Di beberapa daerah strategi ini berhasil memadamkan perlawanan dan megubah sebagian kecil komposisi penduduk dari Islam ke kristen. Namun secara luas strategi ini gagal, bahkan menghasilkan perlawanan yang amat keras dan panjang.

Perjuangan Si Singamangaraja XII


Dalam kondisi tertekan akibat monopoli ekonomi, serangan kristenisasi, dominasi politik kolonial, Si Singamangaraja XII dinobatkan sebagai Maharaja negeri Toba, bersamaan dengan diterapkannya open door policy (politik pintu terbuka). Saat itu tinggal Aceh dan Tapanuli yang belum menandatangani Korte Volkering -Perjanjian Pendek- yang menegaskan dominasi Belanda di bidang politik, ekonomi, dan lain lain.

Akibatnya terjadi peperangan yang panjang antara Aceh dan Tapanuli di satu pihak dengan Belanda di pihak lain. Peperangan ini berlangsung puluhan tahun. Hal yang jarang diberitakan oleh para sejarawan adalah bahwa Islam sebagai dasar semangat tempur mereka.

Para Sejarawan sering menulis bahwa agama yang dianut oleh Si Singamangaraja adalah Palbegu, semacam ajaran animisme yang memuja para dewa. Ini sulit sekali kita terima bila kita teliti cap kerajaan Si Singamangaraja XII yang berbunyi: “Inilah Cap Maharaja di negeri Toba. Kampung Bakara nama kotanya. Hijrah Nabi 1304.“

Cap ini dengan sendirinya menggambarkan betapa pekatnya ajaran Islam mempengaruhi diri Si Singamangaraja XII. Adapun huruf Batak yang masih diabadikan, sama dengan tindakan Pangeran Diponegoro yang masih mempertahankan huruf jawa dalam menulis surat.

Begitu pula jika kita perhatikan bendera perangnya. Terlihat pengaruh Islam pada gambar kelewang serta matahari dan bulan. Akan lebih jelas jika kita kutip komentar Koran-koran Belanda yang memberitakan tentang agama yang dianut oleh Si Singamangaraja XII, antara lain:

Volgens berichten van de bevolking moet de togen,woordige titularis een 5 tak jaren geleden tot den Islam zijn bekeerd, doch hij wird geen fanatiek islamiet en oefende geen druk op zijn ongeving uit om zich te bekeeren

(Menurut kabar kabar dari penduduk, raja yang sekarang (maksud titularis adalah Si Singamangaraja XII) semenjak lima tahun yang lalu telah memeluk Islam dengan fanatik. Demikian pula ia tidak menekankan supaya orang-orang sekelilingnya menukar agama).

Berita di atas memberikan data bahwa Si Singamangaraja beragama Islam dan tidak memaksakan agamanya terhadap rakyat. Berbeda dengan penyebaran agama yang dilakukan oleh Rijnsche Zending di Toba yang disertai serangan militer Belanda. Serangan semacam ini baik yang dilancarkan tahun 1861 maupun 1877 juga bermaksud untuk menguasai daerah daerah Toba yang subur.

Tak mengherankan jika Si Singamangaraja membalas serangan tersebut dengan tak kalah keras. Dalam perjuangan bersenjata tersebut beliau bekerjasama dengan Panglima Nali dari Minangkabau, daerah yang sejak dulu merupakan basis perjuangan Islam, dan Panglima Teuku Mohammad dari Aceh, Serambi Makkah. Selain karena satu keyakinan, letak Tapanuli yang berada di tengah tengah antara Aceh dan Sumatra Barat juga sangat menunjang terjadinya kerjasama tersebut.

Penguasaan daerah Tapanuli oleh Belanda secara fisik bisa dikatakan berhasil. Bahal Batu, Butar dan Lobu Siregar telah berhasil didudukinya. Namun apalah artinya penguasaan tersebut jika tidak bisa menundukkan kemauan rakyatnya. Daya juang yang tinggi dimiliki oleh rakyat Tapanuli, dan daya juang yang demikian itu biasanya hanya dimiliki oleh bangsa yang telah mempunyai ajaran agama yang mengajarkan pembelaan diri apabila diserang. Disini Si Singamangaraja memiliki agama tersebut, yakni Islam. Keislamannya telah menunjangnya untuk mampu bertahan dan berjuang selama tigapuluh tahun lamanya. Beliau tidak hanya dianggap sebagai raja oleh rakyatnya, tetapi juga sebagai Imam dalam Agamanya. Faktor dukungan dari rakyat ini menunjang sekali dalam perjuangan bangsa melawan penjajahan.

Menghadapi seorang pemimpin yang mempunyai kharisma besar dan didukung penuh oleh rakyatnya tersebut, Belanda berusaha menggunakan cara licik. Ibu, Permaisuri, dan kedua putra Si Singamangaraja ditangkap. Dengan demikian diharapkan beliau bisa digiring ke meja perundingan. Namun cara ini gagal total, karena kompromi tidak bisa tercapai.

Sejalan dengan situasi Tapanuli tersebut, Belanda memancarkan serangan membabi buta terhadap Ulama’ di Aceh yang merupakan tulang punggung gerilya. Tindakan ini merupakan realisasi dari nasihat Snouck Hurgronje, seorang orientalis, untuk mengadakan pengejaran tanpa henti terhadap para ulama. Operasi yang sangat kejam dengan melakukan pembunuhan semena mena terhadap pemuka pemuka Islam tersebut mendapat restu pula dari menteri Bergsman.

Tindakan Belanda terhadap Ulama Ulama di Aceh tersebut ditambah dengan kalahnya persenjataan membuat kekuatan Si Singamangaraja semakin berkurang. Politik Pintu Terbuka yang menuntut pengamanan modal asing, melibatkan negara negara imperialis lainnya untuk membantu usaha Belanda mengakhiri perlawanan umat Islam di Indonesia. Termasuk perlawanan Si Singamangaraja.

Pada 17 Juni 1907 di bawah pimpinan Kapten Christofel, Belanda menggempur pusat pertahanan Si Singamangaraja. Sampai saat pertempuran terakhir ini, beliau bersama putrinya Lopian, memilih gugur sebagai Syuhada daripada menyerahkan Bumi Islam Tapanuli di atas Korte Verklaring kepada Belanda.
Kini tangan tangan tak bertanggung jawab mencoba mengaburkan fakta sejarah untuk tujuan tertentu. Gelar Syuhada diganti dengan atribut lain yang tak memiliki dasar dan fakta. Termasuk klaim yang mengatakan bahwa bagian timur negeri tercinta kita adalah basis agama tertentu dengan menafikkan peran muslim di wilayah tersebut. Padahal sebagian besar Maluku, NTB, Ternate, Tidore dan Sulawesi mayoritas Islam. Mungkinkah Sultan Baabullah, Sultan Nuku, Sultan Hasanudin bukan pahlawan pahlawan Islam….? Terlalu bodoh untuk dijawab “Ya…, mungkin”. Hasbunallah wani’mal wakil.

Sumber:
Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia

http://indodenny.mywapblog.com/sisingamangaraja-korban-rekayasa-sejarah.xhtml

Sisingamangaraja XII Pluralis dari Tanah Batak

Sisingamangaraja XII Pluralis dari Tanah Batak

Selasa, 18 November 2008 
MEDAN, SENIN - Raja Sisingamangaraja XII, merupakan tokoh pembaharu dari tanah Batak yang ingin mencairkan kebuntuan eksklusivisme sistem politik Batak dengan memperbaiki sistem yang bisa digunakan saat itu untuk merespons perubahan zaman.
   
"Raja Sisingamangaraja XII juga melakukan aliansi-aliansi politik dengan kekuasaan yang ada di luar tanah Batak, yakni dengan Asahan, Simalungun, Tanah Karo, Dairi, Pakpak, Deli Serdang, dan Aceh," kata sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr Phil Ichwan Azhari, di Medan, Selasa.
    
Sosok Raja Sisingamangaraja XII, juga dikenal sangat menghargai hak hidup, hak bebas, hak merdeka, dan begitu juga hak kesehatan. Dalam suasana pertempuran di medan perang, dia juga masih sempat memperhatikan dan mencermati kehidupan dan kesehatan rakyatnya.
   
"Walau dalam pertempuran di medan perang, dia juga mampu menyembuhkan orang-orang yang sakit. Itulah sebabnya seluruh rakyat di tanah Batak sangat mencintai dan menghormatinya," katanya. 
   
Sembari bertempur melawan penjajahan Belanda di tanah Batak, Sisingamangaraja XII juga melawan berbagai tindakan perbudakan dan pencengkeraman terhadap kebebasan rakyat. Dia membebaskan para tawanan yang dipasung, diikat dan dihukum secara tidak manusiawi oleh kekuasaan raja-raja lokal.
   
"Raja Sisingamangaraja XII juga layak dinyatakan sebagai pahlawan pluralisme dan multikulturalisme, karena dalam setiap bagian perjuangannya tetap menghargai kebudayaan dan menjalin hubungan yang kuat dengan daerah lainnya seperti Aceh dan etnik berbeda budaya lainnya," kata Ichwan.


Sumber:
http://nasional.kompas.com/read/2008/11/18/10200497/Sisingamangaraja.XII.Pluralis.dari.Tanah.Batak


Orang Melayu di Kota Medan

Orang Melayu di Kota Medan

slidemaimon
Oleh : Prof. Dr. Usman Pelly, MA.
Penulis mengungkapkan bahwa kehidupan orang Melayu di kota Medan berkembang sesuai dengan perjalanan sejarahnya. Pada awalnya adalah gambaran peran orang Melayu dalam kehidupan politik, ekonomi, adat, agama dan sebagainya pada masa pemerintahan kolonial.
Pada masa berikutnya terjadi perubahan ekonomi yang membuat orang Melayu kembali pada tradisi pertanianKeadaan itu membuat orang Melayu tidak mampu berpartisipasi dalam pembangunan di kota Medan dan tidak mampu bersaing dalam merebut posisi birokrasi modernMenurut penulis, hal itu disebabkan oleh pertimbangan prestise, kendala normatif pendidikan, dan kurangnya semangat kompetisi pada orang Melayu.
1. Pendahuluan
Dalam syair Melayu Puteri Hijau diungkapkan bahwa kata “medan” berasal dari gelanggang pertempuran antara Kerajaan Deli dan Kerajaan Aceh yang terjadi pada tahun 1552Tragedi perang antara dua kerajaan yang bertetangga ini terjadi karena pinangan Sultan Aceh terhadap Puteri Hijau yang menjadi primadona Kerajaan Deli waktu itu ditolak. Medan dalam bahasa Melayu berarti ‘gelanggang‘. Menurut kisah tadi, di gelanggang yang sekarang dibangun kota Medan, tentara Kerajaan Deli berhasil dikalahkan dan Puteri Hijau diboyong ke Bandar Aceh (Thaib, 1959: 44).
Legenda tragis ini seakan memberi isyarat kepada generasi Puteri Hijau di kemudian hari, bahwa kota Medan kelak akan tetap merupakan gelanggang “pertempuran” yang harus dihadapi oleh setiap putra MelayuOrang yang kalah dalam gelanggang ini harus berada di pinggir dan kehormatan diri sebagai taruhannya, yang secara simbolik diinterpretasikan sebagai Putri Hijau yang jatuh ke tangan orang lain.
“Apa isyarat sejarah dari kisah ini?” Makna di dalamnya dapat memberikan kearifan kepada putra Melayu dalam menghadapi kehidupan di gelanggang pertempuran kota MedanKiranya sejarah juga dapat menjawabnyaDewasa ini banyak yang percaya bahwa kisah Puteri Hijau tersebut telah berulang pada orang Melayu di kota Medan.
Walaupun demikian banyak pula yang yakin bahwa keberadaan orang Melayu di kota tersebut tetap penting dan berarti.
Selain kisah Putri Hijau, terdapat sumber sejarah yang masih dapat dipercaya, yaitu naskah lama Riwayat Hamparan Perak.Naskah ini dianggap penting karena isinya dapat mengungkapkan liku-liku hubungan kekerabatan dan genealogis orang Melayu Sumatera Timur yang mendiami daerah dataran rendah (lowland) pantai Selat Melaka dengan orang-orang Batak, Karo, dan Simalungun yang tinggal di daerah pegununganNaskah Riwayat Hamparan Perak ini menjadi pegangan Panitia Hari Jadi Kota Medan yang kemudian menetapkan tanggal 1 Juli 1590 sebagai hari jadi kota Medan (Meuraxa, 1975).
Naskah ini menceritakan perantauan salah seorang cucu Singamangaraja yang bernama Raja Hita ke tanah KaroRaja ini mempunyai seorang putra yang bernama Guru PatimpusPerantauannya ke tanah Deli telah membawanya masuk Islam, setelah dia mempelajari agama itu dari ulama terkenal, Datuk Kota BangunSetelah menikah dengan putri Datuk Berayan, salah seorang keturunan Panglima Deli.Keturunannya kelak menjadi cikal bakal keluarga Hamparan Perak dan Sukapiring, yang merupakan rumpun-rumpun besar dari masyarakat Melayu yang makmur karena hasil lada dan pala (Meuraxa, 1975: 34).
John Anderson, orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli, pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan, berpenduduk sekitar dua ratus orang, dan dinyatakan sebagai tempat kediaman Sultan DeliMedan ini terletak di dekat Labuhan, bandar Kerajaan Deli waktu itu (Anderson, 1924; Pelzer, 1978: 2)Lima puluh tahun setelah kunjungan Anderson, Medan telah menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial Belanda membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran.
Pada awal abad ke-20, hampir seluruh dataran rendah Sumatera Timur menjadi areal perkebunan ekspor dari berbagai jenis komoditi seperti tembakau, kelapa sawit, cokelat, karet, teh, dan sisalBerbagai perusahaan asing lainnya yang berasal dari Belgia, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat turut mengambil bagian dalam pembangunan perkebunan ini। Perkebunan besar ini dapat dianggap sebagai pangkal kemasyuran tanah Melayu Sumatera Timur yang mendapat julukan daerah dolar, tetapi juga dapat dianggap sebagai pangkal bencana yang mematikan tradisi pertanian orang Melayu (Sinar, 1976: 9).
2. Kedudukan Orang Melayu Pada Masa Kolonial
Untuk menopang perkembangan perkebunan Sumatera Timur, pemerintah Belanda menjalankan politik pintu terbuka (open door policy) bagi kehadiran kaum perantau dari dalam maupun luar negeri। Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja, terutama di perkebunan, karena orang Melayu, Karo, dan Simalungun dianggap tidak berminat bekerja sebagai buruh perkebunan (Said, 1977), atau karena perusahaan perkebunan sendiri tidak menyukai dan tidak percaya kepada mereka (Pelzer, 1978: 69).
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 setidaknya ada dua gelombang migrasi ke Sumatera TimurGelombang migrasi pertama berupa kedatangan orang Cina dan Jawa sebagai kuli kontrak di perkebunan, tetapi setelah tahun 1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan orang Cina, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebunLagi pula mereka selalu menimbulkan kerusuhanPerusahaan perkebunan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang JawaOrang-orang Cina bekas buruh kebun tersebut kemudian menetap di kota-kota Sumatera Timur, seperti di Medan.Mereka kemudian mengembangkan lapangan perdagangan bersama dengan kelompok etnis perantau domestik seperti orang Minangkabau, Mandailing, dan AcehSebagian besar para perantau domestik ini datang pada gelombang kedua.
Berbeda dengan pendahulu mereka, orang Mandailing, Minangkabau, dan Aceh ini datang ke kota Medan bukan untuk bekerja di perkebunan sebagai kuli kontrak, tetapi mereka datang untuk berdagang, bekerja di kantor, menjadi guru, dan ulamaOrang Mandailing yang terpelajar itu banyak diterima bekerja sebagai kerani di perusahaan perkebunan dan kantor pemerintahan kolonial Belanda atau Kesultanan MelayuKecenderungan orang Mandailing di bidang okupasi ini merupakan suatu preferensi yang kuat dan terus berkembang ke arah pembangunan dinasti Mandailing di bidang kepegawaian (Pelly, 1983), sedang perantau Minangkabau tidak begitu berminat menjadi pegawai dan lebih banyak mencurahkan perhatian ke bidang perdagangan eceran, dan kaum terpelajarnya cenderung mengembangkan usaha mandiri dan menduduki jabatan profesional, seperti notaris, wartawan, dan dokter (Pelly dan Darmono, 1981)। Kelompok-kelompok etnis lainnya juga berusaha “menguasai” sumber-sumber kehidupan ekonomi untuk kepentingan kelompoknya.
Statistik komposisi etnis kota Medan tahun 1920 dan 1930, menunjukkan hampir 50% penduduknya merupakan bangsa asing yang terdiri dari Cina, India, Arab, Belanda, Inggris, Jerman, dan Belgia, selebihnya adalah kelompok bangsa Indonesia, yaitu Jawa 23, 1%, Minangkabau 6, 8%, Melayu 6, 65%, dan Mandailing 5, 70%, dan Batak  yang hanya 1%Dari komposisi penduduk ini tampak bahwa orang Melayu sejak tahun 1920 telah menjadi minoritas di MedanBegitu juga menurut perhitungan statistik di Sumatera secara keseluruhan (Langerberg, 1982)Kedudukannya sebagai kelompok minoritas pada waktu itu belum berdampak negatif terhadap kehidupan orang Melayu secara keseluruhan di kota Medan.
Setidaknya ada dua faktor lain yang sangat berperan dalam menopang kedudukan sosial orang Melayu, yaitu faktor politik dan budaya lokalDalam kedua bidang tersebut orang Melayu masih dominanDalam bidang politik, kekuasaan Sultan Deli masih mampu melindungi kepentingan orang MelayuDalam perjanjian antara Sultan Deli dan pemerintah kolonial Belanda yang tercantum dalam Kontrak Panjang (Lange Verklaring), Sultan memiliki kekuasaan pemerintahan otonomi ke dalam (selfgoverning territories), terutama dalam masalah tanah, adat, dan agamaDua bidang kehidupan yang terakhir ini juga berlaku untuk orang pribumi yang bermukim di kota (gemeente)Setidaknya anggapan pihak Sultan Deli demikianHak ini tampak dalam masalah peribadatan, karena hanya Sultan yang dapat mengadakan sembahyang Jumat, baik di kota maupun di desaDalam masalah lain, penduduk kota adalah kawula government yang tunduk kepada hukum pemerin¬tah kolonial Belanda dan bukan kawula SultanDalam akta konsesi tanah yang terakhir (1982), hak ulayat (adat) orang Melayu tetap diakui, bahkan pihak swasta dapat mengikat kontrak dengan Sultan tanpa harus meminta persetujuan Batavia, tetapi kontrak tersebut baru sah apabila telah disetujui BataviaHal ini menunjukkan bahwa Batavia tidak lagi mempunyai kekuasaaan mutlak atas tanah (Husny, 1976; Mahadi, 1978).
Kekuasaan adat dan agama yang didukung oleh faktor ekonomi perkebunan yang melimpah di kesultanan telah menampilkan sosok budaya Melayu yang tangguh, walaupun aktivitas budaya ini secara seremonial masih tetap berpusat di istana, seperti perayaan-perayaan agama dan acara kesenian MelayuAdat-istiadat Melayu dan tata-krama kehidupan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam menjadi standar dalam kehidupan masyarakat Medan yang majemuk, terutama bahasa dan kesenian yang merupakan isi dari wujud budaya Melayu yang cukup dominan.
Adat dan agama telah menjadi satu kesatuan dalam budaya Melayu, sehingga kedua aspek kehidupan itu senapasBudaya Melayu adalah budaya IslamOrang yang masuk Melayu dikatakan juga masuk Islam, begitu juga sebaliknyaOrang Karo, Simalungun, atau Cina yang masuk Islam juga disebut masuk MelayuSecara kultur, mereka memang memelayukan diri dengan meninggalkan marga, hidup dalam adat resam Melayu, dan dalam kehidupan sehari-hari memakai bahasa Melayu.Nagata (1982), seorang antropolog Amerika, mengisyaratkan proses ini sebagai proses Islam yang universal ke arah Islam yang partikularistik.
Melayunisasi orang-orang Batak (Karo, Simalungun, Dairi) di Medan pada awal abad ke-20 berdasar pada sistem budaya Melayu Islam (Melayo Moslem culture) yang dijadikan sebagai landasan ideologi wadah pembaruan (melting pot) aneka suku Batak. Bahkan orang-orang Mandailing dan Sipirok/Angkola yang telah memeluk Islam di kampung halamannya menjalani proses Melayunisasi juga. Walaupun mereka banyak yang menjadi ulama, nazir, dan imam masjid, atau khadi Sultan, namun orang-orang Melayu ini dalam kepustakaan sering disebut sebagai Melayu Dusun.
Orang Jawa tidak banyak terlibat dan dilibatkan dalam kehidupan bersama di kota Medan, karena peran mereka sebagai bekas kuli kontrak yang sebagian besar berasal dari strata bawah (wong cilik) tetap menduduki posisi minor dalam okupasi dan pemukiman kota, kecuali kaum ningrat Jawa yang banyak berperan sebagai ambtenaar dan pegawai tinggi pemerintah colonialMereka terpisah dari orang Jawa kebanyakan tadiKeadaan seperti ini dikehendaki oleh pemerintah kolonial Belanda agar orang Jawa itu lepas dari lapisan pemimpin mereka (Said, 1977).
Di antara kalangan perantau domestik di kota Medan, ternyata orang Minangkabau enggan dan menolak Melayunisasi dengan beberapa alas anPertama, karena keterikatan mereka yang kuat dengan kampung halaman dalam kaitan misi budaya perantauDengan alasan ini mereka memandang alam rantau sebagai tempat sementaraKedua, karena kebanggaan mereka terhadap budaya dan identitas mereka sebagai orang MinangkabauKetiga, karena mereka merasa kemurnian agama Islam mereka lebih tinggi daripada orang MelayuDalam kaitan ini, mereka kemudian mempertanyakan keabsahan Islam yang digunakan orang Melayu sebagai dasar budaya“Apakah benar budaya Melayu identik dengan budaya Islam?”
Permasalahan ini akan lebih jelas bila dikaitkan dengan gerakan purifikasi Islam di Minangkabau yang melahirkan Perang Padri dan gerakan MuhammadiyahGerakan pemurnian ini menjalar ke MedanGerakan ini dianggap oleh Kesultanan Melayu sebagai tantangan terhadap legitimasi orang Melayu dalam bidang agama dan adatKelompok yang ingin mempertahankan keserasian adat dan agama yang disebut sebagai kaum tua kemudian melahirkan organisasi pergerakan Al Washliyah pada tahun 1930, yaitu tiga tahun setelah Muhammadiyah didirikan oleh pedagang-pedagang Minangkabau di kota tersebutAl-Washliyah yang dipimpin oleh orang-orang Mandailing Melayu atas bantuan para Sultan Melayu meluaskan sayap perguruannya ke pedesaan dan ke pedalaman Sumatera TimurAdapun Muhammadiyah hanya diberi izin bergerak di daerah-daerah gemeente (Muthi, 1957; Pelly, 1980).
Dari uraian di atas terlihat bahwa kedudukan orang Melayu di kota Medan dan sekitarnya pada zaman kolonial sangat menentukan, terutama dalam lingkungan masyarakat pribumi, kendati dari segi kelompok dan demografis mereka menduduki status minoritasOrang Jawa merupakan penduduk mayoritas, namun posisi sosialnya merupakan kelompok mayoritas yang tidak berperan (silent majority)Dua dari tiga syarat yang diperlukan untuk menduduki posisi sebagai kelompok budaya unggul (dominant culture) telah dipenuhi oleh orang Melayu, yaitu faktor politik dan budaya lokal, sehingga orang Melayu waktu itu dapat berperan sebagai pusat orientasi akulturasi budaya dalam kehidupan majemuk di kota Medan.
3. Tradisi Okupasi Orang Melayu
Seperti diuraikan sebelumnya orang Melayu memiliki tradisi pertanian yang menghasilkan komoditas ekspor seperti pala, lada, pinang, dan asam gelugur, di samping bertanam padi dan palawija untuk keperluan sehari-hari. Dari hasil pertanian tersebut mereka dapat hidup makmur. Sultan juga dapat memetik hasil perdagangan lada dan komoditas ekspor lainnya. Setelah tanah-tanah orang Melayu dijadikan perkebunan, timbul perubahan-perubahan yang tidak hanya menyangkut sistem perekonomian rakyat Melayu, tetapi juga menyangkut kepentingan Sultan. Pemerintah Belanda memberikan kompensasi ganti rugi kepada Sultan, sedangkan bagi rakyat disediakan tanah jaluran yang dapat dipergunakan untuk bercocok tanam, tetapi terbatas untuk tanaman semusim, seperti padi, jagung, dan palawija. Dengan demikian, tradisi pertanian ekspor orang Melayu beralih ke pertanian subsisten.
Perubahan ini telah memberikan dampak psikologis yang merugikan orang Melayu. Mereka menjadi tidak terbiasa membuka hutan baru untuk mengolahnya menjadi tanah pertanian lada atau pala. Mereka hanya menanti tanah yang telah diolah dan hanya menanti musim panen tembakau selesai, untuk kemudian meminta tanah jaluran dan menanam padi atau palawija, sehingga mereka menjadi rakyat penunggu. Perubahan sistem pertanian ini dianggap sebagai pangkal proses pemiskinan orang Melayu dan menanamkan kebiasaan hidup santai, serta tergantung kepada orang lain.
Sementara itu, tradisi okupasi baru muncul sejalan dengan perkembangan kota, seperti perdagangan, pertukangan, jasa, industri, dan kepegawaian. Pekerjaan di sektor perdagangan dan pertukangan tidak menarik bagi orang Melayu, karena pekerjaan itu dianggap tidak memberikan prestise sosial yang tinggi. Usaha di sektor jasa seperti kontraktor dan perbankan memerlukan modal dan keterampilan khusus yang tidak banyak dimiliki orang Melayu. Begitu juga bidang industri seperti percetakan, yang hanya dikuasai oleh orang Mandailing dan Minangkabau, sedang industri makanan dan pengolahan hasil pertanian dikuasai oleh orang Cina.
Orang Melayu hampir tidak tertarik pada lapangan kerja perburuhan. Lapangan kepegawaian menjadi incaran (preferensi) mereka, tetapi dalam mengembangkan karir orang Melayu banyak terbentur pada tingkat pendidikan, karena rata-rata tingkat pendidikan formal mereka sangat rendah, dan hanya kelompok bangsawan saja yang mendapat pendidikan agak tinggi, sehingga yang berhasil mencapai karir yang tinggi di bidang tersebut adalah kelompok orang-orang Mandailing dan Jawa atau warga sukubangsa lain yang terpelajar.
Absennya orang Melayu dalam dunia perdagangan kota dan adanya pertimbangan politik kolonial lainnya menyebabkan pemerintah Belanda mendorong orang-orang Cina bekas kuli perkebunan untuk menguasai perdagangan menengah, sedang orang-orang Minangkabau yang mempunyai preferensi di bidang okupasi dagang dapat dibendung agar mereka puas bergerak di bidang perdagangan kelas rendah. Kebijakan ini juga berlaku untuk kelompok etnis lainnya yang mencoba terjun ke bidang perdagangan atau industri, sedangkan perdagangan tingkat tinggi, seperti perbankan, ekspor, dan impor tetap dikuasai oleh orang Belanda dan Eropa lainnya.
4. Pola Kehidupan Orang Melayu Sesudah Kemerdekaan
Pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan yang diawali oleh Revolusi Sosial di Sumatera Timur pada tahun 1946 telah merombak posisi sosiopolitis kaum bangsawan Melayu. Perubahan yang berlangsung sangat cepat ini telah memberikan semacam kejutan budaya (cultural shock) bagi masyarakat Melayu secara keseluruhan, sehingga terjadi semacam kebingungan dan sikap ragu-ragu terhadap keadaan, terutama setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia disiarkan secara resmi di Sumatera Utara dan pemerintahan Republik Indonesia dibentuk tanggal 3 Oktober 1945. Hanya Sultan Serdang yang menunjukkan sikap tegas dengan mengirimkan telegram kepada Presiden Soekarno yang berisi Kesultanan Serdang berdiri di belakang pemerintah Indonesia (Sinar, 1976). Sebagian besar kaum bangsawan dan Sultan Melayu lainnya dinilai oleh ahli-ahli sejarah bersikap ragu dan mendua (ambivalen). Sikap ini ternyata kemudian tidak menguntungkan posisi orang Melayu dan memberikan peluang besar kepada pihak “kiri” untuk melancarkan revolusi sosial (Said, 1973).
Dari segi sosiologis orang Melayu, revolusi sosial hanya suatu mimpi buruk, sebab revolusi ini hanya berhasil merombak struktur pemerintahan kesultanan, tetapi tidak mengubah sistem sosial dan sikap mental masyarakat Melayu secara keseluruhan. Revolusi tidak mungkin mengubah nasib orang Melayu kebanyakan, bahkan sebaliknya. Posisi orang Melayu setelah kemerdekaan dan revolusi menjadi bertambah sulit. Kekuasaan politik dan pemerintahan setelah revolusi bukan jatuh ke tangan mereka, tetapi ke tangan orang non-Melayu yang belum tentu memahami dan mengerti posisi orang Melayu kebanyakan. Kenyataan ini dapat dilihat dalam perkembangan kehidupan majemuk di kota Medan pada dekade selanjutnya.
5. Migrasi Orang Batak Toba Ke Medan
Pada dekade pertama setelah penyerahan kedaulatan, kota Medan dibanjiri perantau baru dari berbagai sukubangsa, terutama suku Batak Toba dari Tapanuli Utara. Kelompok ini terdiri dari tenaga-tenaga muda terpelajar dan petani-petani yang dijuluki oleh Langerberg (1982) sebagai land hunter (pemburu tanah). Sasaran okupasi mereka adalah kepegawaian dan pertanian yang secara kebetulan merupakan bidang preferensi orang Melayu.
Pembukaan perkantoran pemerintahan republik sebagai perluasan jaringan birokrasi memerlukan tenaga-tenaga yang berpendidikan. Dapat dimengerti apabila kesempatan yang terbuka ini sepenuhnya dipergunakan oleh para perantau Batak Toba yang rata-rata memiliki pendidikan formal yang mereka peroleh dari sekolah-sekolah yang diasuh oleh zending di Tapanuli Utara. Dalam kaitan ini, posisi orang Melayu jelas. Jumlah kaum terpelajar di kalangan orang Melayu sangat sedikit dan terbatas. Hanya kaum bangsawan yang banyak mendapat kesempatan menerima pendidikan formal, sedang orang kebanyakan cenderung memasuki pendidikan agama. Akreditasi ijazah sekolah-sekolah agama hanya diterima di jawatan atau dinas agama dan formasi untuk itu pun sangat terbatas. Perpacuan yang paling menentukan pada dekade pertama di bidang kepegawaian ini tidak dapat dimenangkan oleh orang Melayu. Konsekuensi dari perpacuan itu ialah menipisnya lapisan kaum birokrat Melayu dari tahun ke tahun, dan keadaannya secara keseluruhan dewasa ini tidak begitu menggembirakan. Sebagai contoh, di bawah ini dapat dilihat statistik komposisi etnis pada Kantor Walikota Kota Medan, pada periode Walikota Syurkani (1969) dan A.S. Rangkuti.
Data yang diperhitungkan adalah pejabat struktural yang menduduki jabatan kepala bagian (Pelly, 1983 :171). Pejabat-pejabat senior orang Melayu di birokrasi pemerintahan pada umumnya berasal dari masa kolonial. Dewasa ini (1985) hampir seluruhnya telah menjalani masa pensiun.
Apabila dilihat dari komposisi etnis di DPRD Kotamadya Medan, maka kedudukan orang Melayu agak baik. Dalam pengertian, bahwa rata-rata orang Melayu yang menjadi anggota DPRD melalui berbagai fraksi dari periode Ketua DPRD pertama (Harahap, 1957) ke periode ketua Hutasuhut adalah sebesar 12%. Hal itu berarti melebihi persentase jumlah orang Melayu yang ada di kota Medan (8, 57%) pada tahun 1980. Dari jajaran nama-nama walikota kotamadya Medan ternyata hanya satu orang yang putra Melayu, yaitu Datuk. H. Aberhan. Kebetulan pula beliau adalah Walikota Medan semasa Sumatera Timur masuk wilayah Negara Sumatera Timur. Walikota lainnya adalah tujuh orang dari Mandailing, seorang dari Jawa, dua orang dari Simalungun, seorang dari Nias, dan seorang dari Minangkabau.
Dari uraian kuantitatif di atas terlihat jelas gambaran posisi orang Melayu di dalam birokrasi kepegawaian pemerintah, walaupun perlu dicatat di sini bahwa kedua kantor pemerintahan (walikota dan gubernur) tersebut belum dapat dikatakan representatif untuk menjadi dasar bagi suatu generalisasi mengenai posisi orang Melayu di kota Medan.
6. Okupasi Profesional
Berbeda dengan okupasi di bidang kepegawaian (white colar), okupasi atau jabatan-¬jabatan profesional seperti dokter, ahli hukum (advokat), notaris, atau wartawan hanya dapat dijabat oleh orang-orang yang lebih khusus daripada jabatan ke¬pegawaian. Jabatan pro¬fesional menuntut keahlian dari salah satu cabang ilmu. Biasanya pe¬nguasaan ini diperoleh dari suatu perguruan tinggi. Dalam praktik kehidupan, mereka mengabdikan keahlian itu kepada masyarakat, karena pemangku jabatan pro¬fesional mendapat posisi yang terhormat di masyarakat. Okupasi profesional di kalangan orang Melayu ternyata juga tidak be¬gitu menggembirakan, kecuali di bidang kewartawanan.
Dari uraian di atas ter¬lihat jelas bahwa posisi orang Melayu –yang pada zaman kolonial me¬rupakan kelompok dominan secara kultural– dewasa ini telah jauh berubah. Perubahan ini disebabkan oleh degradasi peran orang Me¬layu di bidang politik (pemerintahan) dan ekonomi. Posisi politik ini sangat mempergaruhi dominasi kebudayaan Melayu sebagai ke¬bu¬dayaan lokal di kota Medan. Adanya degradasi pengaruh orang Melayu di bidang politik (deci¬sion makers) telah mempengaruhi keterikatan orang lain terhadap budaya Melayu, atau dengan kata lain budaya Melayu tidak lagi dijadikan pusat orientasi akulturasi oleh penduduk Medan. Oleh karena itu sukar mencari wadah budaya pemersatu bagi masyarakat majemuk kota Medan, padahal kebudayaan nasional masih dalam proses mencari bentuk yang mantap, wa¬laupun Panca¬sila telah menjadi dasar tolok ukur dalam pengem¬bangan sistem bu¬daya nasional tersebut.
7. Pola Pemukiman Orang Melayu Di Kota Medan
Sejak tahun 1950, kota Medan telah beberapa kali melakukan per¬luasan areal, dari 1.853 ha menjadi 26.510 ha di tahun 1974. Dengan demikian, dalam tempo 25 tahun setelah penyerahan kedau¬latan, kota Medan telah bertambah luas hampir delapan belas kali lipat. Perluasan areal kota ini telah mendorong pemekaran dan pen¬dis¬tribusian fasilitas perkotaan, seperti pusat-pusat perbe¬lanjaan, transportasi, dan fasilitas kehidupan kota lainnya. Per¬luasan dan mi¬gra¬si pesat orang Batak Toba telah menye¬babkan perubahan dalam kom¬posisi etnis kota Medan pada tahun 1930 dan tahun 1980.
Walaupun orang-orang Melayu pada tahun 1980 hanya berjumlah 8, 57% dari penduduk kota Medan yang telah berjumlah 1, 4 juta, tetapi persentase ini tidak menurun bila dibandingkan dengan statistik tahun 1930 yang berjumlah 7, 06%. Namun apabila dibandingkan dengan kenaikan jumlah pendu¬duk kelompok etnis Batak Toba, Mandailing, atau Karo, maka kedudukan orang Melayu dari segi persentase keseluruhan pen¬du¬¬duk menurun dari urutan ke-5 di tahun 1930 menjadi ke-6 di tahun 1980.
Perluasan kota Medan telah mendorong perubahan pola pe¬mu¬¬kiman kelompok-kelompok etnis, termasuk pemukiman orang Melayu. Ada kesan bahwa pemukiman orang Melayu makin ter¬gusur ke pinggir kota. Dalam beberapa zona perkotaan dugaan ini dapat di¬benarkan. Seperti telah disinggung di atas bahwa salah satu aspek pemekaran kota ialah perluasan fasilitas atau pusat-pusat perbelanjaan. Pusat-puat perbelanjaan ini dari segi proses perkembangannya dapat dilihat dalam lima zona (pusat perbe¬lanjaan yang juga menjadi pusat-pusat perdagangan), yang juga dapat dianggap sebagai pusat kota. Di pusat-pusat perdagangan ini tumbuh pemukiman baru.
Orang Cina dan Minangkabau yang sebagian besar hidup di bidang perda¬gangan hampir 75% dari mereka tinggal di sekitar pusat-pusat per¬belanjaan, berbeda dengan orang Man¬dai¬ling dan Melayu yang ti¬dak banyak terlibat di bidang itu. Mereka yang berdiam di sekitar pusat-pusat perbelanjaan kota hanya sekitar 40%. Dengan demikian, kecenderungan orang Mandailing dan Melayu untuk pindah ke ping¬gir kota sebenarnya bukan dalam pengertian “ter¬singkir”, tetapi mung¬¬kin lebih banyak disebabkan karena per¬hitungan ke¬serasian ling¬¬kungan fisik.
Tempat di ping¬gir kota lebih aman dan nyaman untuk rumah dan kehidupan keluarga. Oleh karena itu terdapat kecenderungan di ka¬langan orang Mandailing untuk menjual rumah dan tanah mereka di tengah kota, seperti di Kampung Mesjid, Kota Maksum, dan Sungai Mati, dan mereka kemudian pindah ke pemukiman lain. Pemukiman orang Cina dan Minangkabau sejalan dengan arah pemekaran dan per¬luasan fasilitas pusat perbelanjaan.
8. Kesimpulan
Kehidupan orang Melayu sebagai “tuan rumah” (host popu¬la¬tion) dalam masyarakat majemuk kota Medan telah mengalami pasang surut bersama gelombang sejarah yang dihadapinya. Dari segi antropohistoris, kehidupan mereka dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, pada masa kolonial orang Melayu secara formal me¬me¬gang kekuasaan pemerintahan (politik), walaupun terbatas pada aspek-aspek tertentu (adat dan agama). Kekuasaan ini dito¬pang oleh limpahan keuntungan konsesi perkebunan yang dapat dimanfaatkan oleh Sultan Melayu. Dalam posisi ini orang Melayu dapat berperan se¬bagai dominant culture, pusat orientasi akulturasi kelompok-ke¬lompok etnis perantauan di kota Medan.
Kedua, perubahan sistem ekonomi pertanian orang Melayu dari pola pertanian ekspor ke pola pertanian subsisten sebagai kon¬¬sekuensi dari pembangunan perkebunan asing merupakan set back yang besar dalam tradisi pertanian orang Melayu. Perubahan sistem pertanian ini merupakan permulaan proses pemiskinan orang Melayu.
Ketiga, karena pertimbangan prestise dan kendala normatif lainnya, orang Melayu tidak mampu berpartisipasi dan mengambil manfaat dari pembangunan dan perkembangan perdagangan kota. Dalam berpacu untuk memperebutkan posisi dalam birokrasi pe¬merintahan mo¬dern (sesudah kemerdekaan) orang Melayu ke¬¬lihatannya juga ti¬dak berdaya. Faktor utama yang menjadi pe¬nyebabnya adalah taraf pen¬didikan formal yang rendah dan semangat kompetisi yang kurang. Di samping itu tampak bahwa orang Melayu tidak siap menghadapi perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kota, yang berjalan dari ascribed status ke achieved status, di mana faktor pen¬didikan dan prestise me¬megang peran yang utama.
Keempat, revolusi sosial dan pembentukan Negara Sumatera Timur (NST) merupakan dua kasus historis yang secara po¬litis me¬nye¬¬babkan image masyarakat Melayu “kurang baik”. Se¬yogyanya di¬usahakan upaya untuk menampilkan sisi lain dari sejarah kemerdekaan yang dapat mengimbangi image tersebut.
Kelima, gambaran bahwa orang Melayu tersingkir dari ke¬hidupan kota tidak sepenuhnya dapat dibuktikan dengan data-data fisik. Pola pemukiman orang-orang Melayu yang cenderung menjauhi pusat-pusat kota sejalan dengan preferensi okupasi orang Melayu yang tidak menyukai dunia perdagangan besar. Hal yang sama juga dapat ditemui pada orang Mandailing. Gambaran ter¬kucilnya kehidupan orang Me¬layu di kota Medan lebih banyak didasarkan pada menurunnya peran mereka dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya.
Keenam, kehidupan majemuk kota Medan memerlukan penam¬pilan budaya Melayu sebagai pusat orientasi akulturasi da¬lam ke¬hi¬dup¬an bersama. Budaya Melayu sebagai budaya lokal masyarakat majemuk Medan harus dibangun dan diperkaya oleh semua warga kota Medan dan tidak hanya oleh orang Melayu.
Ketujuh, kebudayaan Melayu dapat berfungsi sebagai pra-kebudayaan nasional dengan syarat “membuka diri” terhadap peng¬kayaan gagasan kolektif yang membangun. Dengan demikian kebudayaan Melayu akan berfungsi sebagai salah satu identitas kota Medan.*
Daftar Pustaka
Anderson, J. 1924. Mission to East Sumatra: A Report. London: Blackwood.
Bruner, E. M. 1974. “The Expression of Ethnicity in Indonesia, ” dalam Urban Eth¬ni¬¬city. A. Cohen (Ed.). London: Tavistock.
Husny, T. L. 1976. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Pesisir Deli Sumatera Timur 1612-1950. Medan: Badan Penerbitan Husny.
Langerberg, M. v. 1982. Class and Ethnic Conflict in Indonesia‘s Decolonization Process: A Study of East Sumatera, Indonesia. Ithaca: Southeast Asia Pro¬ject, Conell University.
Mahadi. 1978. Sedikit Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah Suma¬tera Timur. Bandung: Penerbit Alumni.
Meuraxa, D. 1975. Sejarah Hari Jadinya Kota Medan. Medan: Sastrawan.
Mu‘thi, A. 1957. Tiga Puluh Tahun Muhammadiyah Daerah Sumatera Timur. Medan: Panitia 30 Tahun Muhammadiyah.
Nagata, J. 1982. “Islamic Revival and the Problem of Legitimacy Among Rural Re¬ligius Elites in Malaysia”. Man 17 (1).
Pelly, U. dan Darmono. 1981. Pandangan tentang Makna Hidup dan Transi¬sio¬nalitas Masyarakat: Studi Kasus Sumatera Utara. Jakarta: Studi Stra¬tegi Kebudayaan, LIPI.
Pelly, U. dkk. 1983. Sejarah Sosial Kota Medan. Jakarta: IDSN Depdikbud.
Pelly, U. 1977. Ulama di Kesultanan Melayu. Laporan Penelitian, Jakarta LEK¬NAS LIPI.
–––––––––––. 1980. Ethnicity and Religious Movements: A Study of Urban Adap¬ta¬tion Among Mandailing Batak and Minangkabau, and Their Role in Washliyah and Muham¬madiyah. Thesis. University of Illinois, Urbana- Champaign.
–––––––––––. 1983. Urban Migrations and Adaptation in Indonesia: A Study of the Minangkabau and Mandailing Batak Migrations in Medan, North Suma¬tera. Disertasi University of Illinois, Urbana-Champaign.
Pelzer, K. J. 1978. Planter and Peasant: Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Coast Sumatera (1863–1947). s‘Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Said, M. 1973. “What was the Social Revolution of 1946 in East Sumatera in Indonesia?”. Indonesia No. 15.
–––––––––––. 1977. Koeli Kontrak Tempoe Doeloe, dengan Derita dan Kemarah¬annya. Medan: Percetakan Waspada.
Sinar, T. L. 1976. The Impact of Dutch Colonialism on The Malay Coastal States in The East Sumatera During the 19 Century.
Sulaiman, N. 1956. Seperempat Abad Al-Djamiatul Washliyah. Medan.
Thaib, R. dkk. 1959. Lima Puluh Tahun Kotapraja. Medan: Panitia 50 Tahun Kota¬¬praja Medan.
oooOooo
_____________________
Prof. Dr. Usman Pelly, MA., adalah Dosen Luar Biasa IKIP Medan, Fakultas Sastra dan Ilmu Sosial Politik, Universitas Sumatera Utara dan IAIN Sumatera Utara. Lahir di Lhoksumawe pada tanggal 12 Juli 1938. Tahun 1962 lulus Sar¬jana Muda dari FKIP Universitas Sumatera Utara; tahun 1969 lulus Sarjana IKIP Medan. Master of Arts bidang Antropologi diperolehnya dari University of Illinois, USA pada tahun 1980; Ph.D. dalam bidang Antropologi Kependu¬duk¬¬an diperoleh dari University of Illinois, USA pada tahun 1983; dan Akta V/B Universitas Terbuka diperoleh pada tahun 1984. Dia aktif dalam berbagai kegiatan. Dia tercatat sebagai anggota The Honor Society Phi Kappa Phi (1978); anggota The American Anthropological Association (AAA); Ketua Komisariat HIPIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial) Medan dan sekitarnya; ang¬gota DPP MSI (Dewan Pimpinan Pusat Masyarakat Seja¬ra¬wan Indonesia); dan anggota Himpunan Studi Pengembangan Ilmu Wilayah Sumatera Utara.
Sesuai dengan profesinya sebagai dosen, dia juga aktif dalam du¬nia penelitian dan tulis-menulis. Hasil karyanya antara lain “Ara dan Perahu Bugisnya: Suatu Studi Pewarisan Keahlian Membuat Perahu Orang Bugis Kepada Anak dan Keturunan¬nya”, PLPIIS, Universitas Hasanuddin, 1975; “Peranan Ulama di Tiga Kesultanan Melayu Pesisir Sumatera Timur”, Leknas LIPI, 1976; “Ethni¬city and Religious Movement in East Sumatera”, thesis University of Illinois, USA, 1980; “Urban Migration and Adaptation in Indonesia: A Study of the Minang¬kabau and the Mandailing Batak Migrants in Medan, North Sumatra”, disertasi University of Illinois, USA, 1983; “Symbolic Aspect of Bugis Ship and Ship Building”, Journal of the Steward Anthropological Society, 8(2), 1977; “Differing Adaptation in Urban Migration”, makalah dalam The 8Ist Annual Meetings of the American Anthropological Association, Washington, D.C., 1982.
_____________________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau, Indonesia, pada tanggal 17 – 21 Juli 1985. (Dengan penambahan hyperlink dari MelayuOnline.com)
Mengingat pentingnya makalah ini, Redaksi MelayuOnline.com memuat ulang dengan penyuntingan seperlunya.
Kumpulan makalah (prosiding) seminar ini telah dibukukan dengan judul “Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan”, dengan editor Prof. Dr. Heddy Shri Ahmisa-Putra, setelah dilakukan penyuntingan ulang pada klasifikasi dan urutan pada daftar isi, bahasa, maupun perubahan judul. Editor juga memberikan Wacana Pembuka dan Wacana Penutup serta Kata Pengantar pada setiap bagian. Diterbitkan oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), Edisi Eksklusif (Hard Cover), 965 halaman.
Seluruh makalah pada buku tersebut akan dimuat berdasarkan urutan bagian secara bergantian. Buku tersebut terdiri atas 36 (tiga puluh enam) makalah pilihan yang terbagi dalam 8 (delapan) bagian yakni, 1) Sejarah dan Keragaman Kesulatanan Melayu; 2) Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia; 3) Sastra Melayu dan Sastrawan Melayu; 4) Naskah Melayu dan Penelitiannya; 5) Seni Pertunjukan Melayu; 6) Kepribadian, Adat Istiadat dan Organisasi Sosial Melayu; 7) Teknologi Melayu; dan 8) Melayu dan Non-Melayu.


Sumber: 
http://medantanahdeli.com/index.php/medan-tanah-deli