Pages

Monday, December 22, 2014

QUO VADIS HABATAKON?

QUO VADIS HABATAKON?

Merintis masa depan Weltanschauung Batak. Makalah yang disampaikan Mgr. Dr.  Anicetus B. Sinaga, OFM Cap. Pada Seminar Penguatan Forum Komunikasi Tokoh masyarakat Kabupaten Samosir, Pangururan 09 Agustus 2007.
Banyak penduduk Ranah Batak, sekarang ini, meresahkan bagaimana masa depan identitas Habatakon. Di masa pemerintahan Si Singa Mangaraja XII 1875-1907, Habatakon menikmati keutuhan kedaulatan, kebudayaan dan keagamaan. Tetapi sekarang ini, tatkala mayoritas sangat besar dari penduduk Tapanuli telah menganut agama modern, Kristen dan Islam, timbul kesadaran baru, seolah identitas Habatakon ditaruh pada pinggiran yang sekunder, dan terkadang dianak-tirikan.


I. SUATU MASALAH
Hakekat kemanusiaan adalah pencarian reksa hubungan syalom dengan Khaliknya dan serentak berdamai dengan sesamanya. Dalam hal itu, mewakili kemanusiaan, berkatalah Santo Augustinus Aurelius 431: “Cemas-gelisahlah hati kami hingga beristirahat di dalam Engkau, ya Tuhan” (Conf 1,1).

Habatakon sekarang sedang mengalami rangkap kegelisahan. Pertama kecemasan bahwa upaya untuk mengusung “Habatakon” dengan mengumpulkan 3.000 orang pengikut Parmalim, Juli 2005, untuk menghidupkan kembali tata ritual dan tata sosial Habatakon di pusat Agama Parmalim, Laguboti, terungkap beberapa hal: Terdapat kebanggaan bahwa berhasil dikumpulkan lebih dan 3.000 orang pengikut agama Batak tradisional Parmalim dengan semangat dan cita-cita yang tinggi. Berhasil pula dilaksanakan tata ibadat Parmalim, yakni melakukan pertobatan, penyucian dan pujaan Allah Tinggi, Sang Penjadi, Mulajadi NaboIon, dengan meriah dan anggun (Parmalim no. 21). Berhasil pula dihimpun dana untuk bakti sosial Batak, sebanyak Rp 45 juta beras (KOMPAS 27 Mei 2005).

Tetapi kelompok agama ini, yang yakin sebagai pengusung Habatakon asli, mengungkapkan keluhannya. Mereka merasa didiskreditkan oleh Batak penganut agama modern, Kekristenan, dan mereka mengalami hambatan: susah bahkan untuk mendapat kartu penduduk. Mereka bertanya: Quo vadis Habatakon?

“Kegagalan” ini merupakan perulangan dan tentatif mendirikan Ugamo Parmalim oleh upaya Raja Somalaing Pardede, yakni Pambi (Persatuan Agama Parmalim Budaya Adat Batak Indonesia, 1974). Berkayuh bersama gerakan nasional Indonesia, yang dipimpin oleh Pahlawan Nasional, Raja Si Singa Mangaraja XII, agama Parmalim merupakan wujud dari upaya menghidupkan kembali tata agama dan tata budaya Habatakon. Kendati Si Singa Mangaraja diimbuhi sebagai Raja-Imam, Mesias dan “Juruselamat” di Tanah Batak, ditambah dengan wibawa pejuang nasional, namun greget gerakan tribal revival ini tetap loyo dan menjadi pinggiran.

Tantangan kedua datang dari dunia “globalisasi”. Sudah merasa “minoritas di rumah sendiri”, gerakan Parmalim ini langsung dihadapkan kepada “petir di siang bolong”, yakni “globalisasi”. Sadar akan hakekat diri sebagai provencal, terbatas hanya pada satu suku dan daerah, tiba-tiba, di hadapan mata, muncul suatu momok baru, yang lebih dahsyat, yakni globalisasi. Upaya untuk memungut serpihan-serpihan bangunan, Habatakon kembali diguncang dan diserakkan, ibarat Banua Si Boru Deang Parujar diruntuhkan oleh Naga Padoha. Nurani bangkit, dengan nuansa to be or not to be, dan menggugat di dalam batin: “Cemas-gelisahlah hati kami hingga beristirahat di dalam Engkau.” Pertanyaan dasarnya adalah: Quo vadis Habatakon?
II . FAJAR KEMAJUAN RANAH BATAK
Terdapat beberapa tahapan kontak dan perkenalan suku Batak dengan peradaban modern, khususnya dengan kolonial Belanda dan Inggeris.

A. Bermula dari Traktat London
Traktat London 1824 dapat dianggap sebagai titik formal awal persentuhan dan pergaulan Batak dengan dunia internasional. Memang tanah Batak masih termasuk kategori terra incognita, dunia yang belum terjamah kemajuan Barat, dan masih menyandang predikat splendid isolation. Traktat London sendiri merupakan transaksi penyerahan wilayah Tapanuli dari kekuasaan Betanda kepada koloni Inggeris, yang diwakili oleh Stamford Raffles, sebagai gubemur jenderal (1835:97).

Pada waktu itu tak seorang Batak sadar bahwa sukunya telah “diperdagangkan” oleh orang-orang yang belum dikenalnya, yakni bangsa Belanda dan Inggeris. Baik Belanda maupun lnggeris juga tidak tahu manusia-manusia yang bagaimana menghuni daerah-daerah cakupan traktat itu. Raffles hanya menulis kepada Lady Sophia, bangsawan Somerset, bahwa daerah itu meliputi wilayah pedalaman dari Tapian Nauli (1820). Tapian Nauli sendiri adalah pemandian yang cukup indah di atas Mela, pinggiran utara Sibolga. Setiap hari Sabtu sore, rombongan amtenar Inggeris secara teratur mengorganisasi mandi bersama ke air terjun dan berkolam, Tapian Nauli.

Maka apa yang belum dikenal, tetapi diberi nama sebagai daerah Tapian Nauli kedalam, oleh Raffles, temyata telah mengabadikan nama Tapanuli. Untuk, sekarang daerah ini terentang dari daerah Fakfak, Humbang, Karo, sampai ke Labuhan Batu, Tapanuli Selatan dan Madina.

Sejak itulah gelombang penerobosan pedalaman mulai mengalir, terutama dari dorongan semangat misi Kristen. Burton dan Ward, misionaris Inggeris menetap di Silindung 1824 dan berhail menerjemahkan sebagian Kitab Suci ke dalam bahasa Batak. Usaha mereka adalah untuk dilanjutkan oleh Munson dan Lyman (Boston, Amerika). Namun dalam perjalanan ke pedalaman, mereka terbunuh di Sisangkak, Lobupining, 28 Juli 1934. Tetapi, yang lebih memeteraikan pengaruh dari para misionaris awal itu adalah filolog dan penerjemah Alkitab H. N. Van der Tuuk, yang sampai di Sibolga 1851, dan pindah ke Barus 1852-57.

Mungkin dialah orang Barat pertama menyaksikan keindahan danau Toba 1860.
Lukisan “pembukaan” Tanah Batak di atas meyakinkan kita; bahwa jantung Tapanuii terlambat disentuh oleh peradaban modem. Lepas dari sejarah purba Barus 645, yang tak menyisakan kekristenan apa pun, bumi splendid isolation Batak baru disentuh oleh peradaban modern dengan kedatangan Burton dan Ward di Silindung 1824. Hal ini dapat dibandingkan dengan penaklukan Malaka oleh Portugis 1511 dan kapten Cornelis de Houtman tiba di Djajakarta untuk mendirikan VOC (Verenig de Ostindische Compagnie) 1602. Waktu Itu; wilayah pedalaman Tapanuli masih merupakan terra incognita; daerah yang tak dikenal.
Lukisan yang paling buruk mengenai Batak “sipelebegu” terbaca: “Sebelum kekristenan datang, kehdupan oang Batak masih sangat terbelakang, sebagaiamana yang disaksikan oleh Van Asselt; Nommensen ‘

dan- misionar lainnya. Peperangan antar-kampung adalah hal yang biasa terdengar. Perampokan dan pembunuhan sangat sering terjadi. Perbudakan masih merajela, perjudian adaiah hal biasa, bahkan ada yang sampai hati menggadaikan isterinya” (Pasaribu ‘2005:225) (Banyak hal baik mengenai Batak).

B. Fajar Pendidikan Formal
Mungkin bukan murni bertujuan pemberadaban Bafak, melainkan demi kelancaran evangelisasi, sudah sejak di Prausorat.1862; Sipirok, “Nommensen telah memikirkan bagaimana. agar secepatnya orang Batak bisa mengenal pendidikan sehingga misi zending dapat lebih cepat berhasil.” Tetapi cita-cita ini baru terwujud di Tarutung tempat baru pilihannya, mengikuti anjuran H.N: van der Tuuk: Tidak ada harapan untuk berhasil di kalangan penduduk Angkola dan Mandailing… Bagian terbesar dari mereka telah beragama modern. Untuk berhasil menyebarkan Kekristenan, semua misionaris haruslah dipindahkan ke tempat-tempat lain. (Paul Pedersen 1975:52).

Pdt. I. L. Nommensen, misionaris muda dan “Apostel di Tanah Batak” in spe, adalah pelaksana yang resolut rencana ini, la sampai di daerah berlumpur aliran sungai Sigeaon, Tarutung, pada usia 30 tahun, 7 Nopember 1863. Di sana ia berikrar “Tuhan, inilah tempat yang kuimpikan. Biarlah saya mempersembahkan hidupku buat mereka” [Batak].”

Mimpi pendidikan dan pemberadaban Batak dimulainya sesudah 5 tahun bermukim di sana. “Ephorus masa depan” ini memohon misionaris Schreiber dan Leopold membuka “Sekolah Guru”, untuk calon “guru Zending”, di Parausorat, sebagai tentatif. Berlangsung selama tiga angkatan masing-masing 2 tahun, akhirya, sekolah ini ditutup, karena ketiadaan guru. Nommensen bertekad menangani pendidikan ini secara langsung. la mendirikan Wanderschule, Sikola Mardalandalan 1873 Tujuan dan sistematikanya merupakan ramuan tekad dan pendasaran karya besar yang berorientasi masa depan.

Ditetapkan bahwa karya, pewartaan lnjil harus dikaitkan sebagai bagian hakiki karya: misi dengan Sikola Mardalandalan. Dari kalangan umat di jemaat-jemaat muda itu dicari, tak peduli usia, orang-orang yang: bertekad “maju”. Mereka didaftarkan menjadi murid-murid Sikola Mardalandalan. Agenda kunjungan ke ke jemaat dibagi tiga tahap: Pekabaran dan ibadat; Sikola Mardalandalan, dan Program pastoral.

Bagian terakhir ini menyangkut .beberapa hal: pengaturan kunjungan yang berikut kegiatan yang harus dilaksanakan oleh jemaat, pelayanan pengobatan, dsb. Pusat sekolah ini dibagi tiga: Pusat Pearaja dipimpin Nommensen sendiri; Pansurnapitu dimpin oleh Pdt Johansen; Cabang Sipoholon dipimpin oleh Misio naris Mohri. Prograram pendidikan dan pengadaban ini didukung oleh “raja .Pontas Lumbantobing, yang bertindak sebagai pelindung dan “guru Bantu.”

Alangkah rumit dan galaunya tentatif permulaan ini. Lelah berjalan kaki ke jemaat-jemaat yang embrrionis itu, langsung tenaga dikuras untuk melaksanakan ibadat/penginjilan. Dalam mencari format yang memadai, umat sudah berkumpul meminta obat, nasehat permasalahan keluarga, persoalan kampong dsb. Dan dipojok lain para murid Wanderschule sudah menanati. Ketiadaan SDM memaksa sang misionaris terpaksa bertindak one man show. Ini sangat melelahkan.

Fasiltas baca-tulis juga bersifat primitif. Dikembangkan. metode surat agong. Murid diminta membawa se potong lernbaran kayu dan arang sebagai alat tulis. Untungnya peralatan ini adalah kemungkinan menghapus dan menulis ulang. Kadang-kadang surat agong ini dialtenatifkan dengan surat topas. Mengganti kayu, tepas bambu yang sudah diratakan menjadi tempat tulis.

“Modenisasi” alat tulis ini terjadi dengan penemuan le (batutulis) dan gerep (gerip). Alat tulis seperti ini pun bahkan lebih gampang dihapus dan ditulis ulang. Apabila mendapat punten 10 (sempurna), murid sendiri menempelkan nilainya ke pipi untuk dibanggakan kepada orangtua dan orang banyak.

“Modernisasi” alat tulis yang berikut adalah surat pitolot (kertas dan pensil). Setiap murid diwajibkan memiliki buku tulis berlembaran beberapa saja. Seni penulisan baru diperkenalkan, yakni kaligrafi nipis tu ginjang, hapal tu toru tipis ke atas, tebal ke bawah. Pespektifnya adalah calon amtenar kolonial, selain dari calon Sintua.

Meningkat lagi metode penulisan kepada surat pena atau surat daoat. Ciri peningkatannya adalah menulis dengan tinta. Di sini jugalah kaligrafi nipis tu ginjang, hapal tu toru semakin mengkristal dan menjadi mode. Memang tulisan mereka bagus-bagus dan jelas.

Menjadi bagian dari kaligrafi adalah surat rongkoman (huruf cetak). Perspektifnya adalah memperkenalkan ilmu percetakan, disamping variasi estetik kaligrafi. Tentu mereka belum mengenal telegram dan fax, apalagi komputer dan internet.

Vak-vak yang diajarkan ialah matematika dan teknologi dasar termasuk aljabar. Kemudian pembukuan dan ekonomi serta ilmu hayat yang mengarah kepada higienis. Menarik mengamati bahwa ilmu pertanian dan agrobisnis tidak mendapat perhatian khusus. Tetapi Nommensen tidak lupa menggunakan peluang agar pemerintah Belanda menangani hal ini lewat Landbouw (pertanian). la kemudian hanya menata keteraturan pasar (onan). Tetapi petani-petani tidak luput dari “pengintipan” dan peniruan kebun-kebun sayur misi di pargodungan (komplek tempat berdirinya gereja, rumah Pendeta, rumah Guru Huria, sekolah). Sejenis CU (Credit Union) dengan menyerahkan tanggungjawab penuh kepada para anggotanya diupayakan dengan mengusahakan modal dasar.

Efek yang ditimbulkan oleh embrio pendidikan sistematik ini sangat membahana. Dari mana-mana datang permohonan untuk membuka Sikola mardalandalan, seiring dengan pembukaan jemaat-jemaat baru (Warneck 1922:87). Perkembangan ini meluas bukan saja secara kuantitas melainkan juga kualitas. Hampir pada setiap pargodungan terdapat pendidikan umum SR (Sekolah Rakyat). Nommensen menugaskan Pdt. Peter Heinrich Johansen mendirikan Sekolah Guru (seminarium) di Pansurnapitu 1877, yang kelak dipindahkan ke Sipoholon 1901. Tahun 1878, sekolah guru ini dikembangkan mencakup Sekolah Umum bersiklus 4 tahunan. Mata pelajaran yang digeluti, al. adalah baca-tulis, berhitung, ilmu alam, sejarah umum, geografi, obat-obatan, menyanyi/musik, bahasa Melayu. Dua tahun terakhir dikhususkan belajar Agama Kristen, yang mencakup Sejarah Gereja, Sejarah Islam dan Perbandingan Agama, Teologi Praktika, Dogmatika dan Tafsir. Jelas inilah cikal dan landasan bukan saja dad sejarah pendidikan di Tanah Batak, tetapi juga merupakan bina dasariah pengadabannya. Tahun 1884 didirikan Sekolah Pendeta di Pansunapitu. Berikutlah pendirian sekolah pertukangan di Laguboti, yang berkembang menjadi pandai besi, pembuatan lonceng, sampai kepada poti marende (organ musik).

Bersama dengan perkembangan pendidikan umum dan Pendeta diusahan penulisan buku-buku ilmiah dalam bahasa Batak, mula-mula dengan penerjemahan, tetapi kemudian dilengkapi dengan saduran dan karangan baru. Majalah Parsaoran yang mulai terbit 1896, resmi diganti namanya menjadi Immanue! dengan terbitan perdana 1 Januari 1890, sampai sekarang.

III. KEMAJUAN HABATAKON?
Penegasan Nommensen bahwa “penginjilan harus sejalan dengan pendidikan” telah menjadikannya bersama raja Pontas Lumbantobing, untuk didaulat menjadi “bapak pendidikan Batak”. Ikrar doanya ialah agar ia diizinkan “hidup atau mati bersama bangsa ini [Batak] untuk melihat masa depan yang cerah.” Menggambarkan hasil yang tercapai pada akhir hayatnya, 23 Mei 1918, sesudah bekerja keras selama 56 tahun sejak 1862, dapat digambarkan, dalam bentuk angka terukur, sbb,: “Telah ada sekitar 184.000 orang yang dibaptis, telah berdiri 510 buah sekolah dengan jumlah murid 32.700 orang, sudah ada sebanyak 34 orang Pendeta Batak yang ditahbiskan. Sebanyak 788 orang Guru Injil, dan 2.200 orang Penatua (Sintua).” Ini adalah keberhasilan yang fantastis pada suatu kalangan, yang dimulai dari hampir titik nol.

Dalam kerangka mengkritisi apakah mengalirnya kelompok-kelompok Batak menganut Kekristenan di Tanah Batak merupakan sublimasi bagi Habatakon atau sebaliknya merupakan pengkhianatan, kita mencatat beberapa ungkapan:
Tak dapat disangkal bahwa kemajuan pendidikan dan peradaban Batak lewat sistem pendidikan yang dikembangkan adaiah suatu fenomena yang mengagumkan dan ajaib. Pertanyaannya apakah Batak sendiri menganggap hal itu sebagai wujud kemajuan dan peningkatan peradaban bagi mereka sendiri.

Mewakili “nurani” Batak mengenai ketampanan prakarsa pendidikan ini dicatat di Simalungun: “Strategi ini mengutamakan pendidikan sekolah didukung dengan sikap positif oleh raja-raja Simalungun yang mendukung setiap pembukaan sekolah di daerahnya masing-masing. Para raja percaya dengan janji Nommensen yang akan mengutamakan pembangunan sekolah-sekolah sebagai bagian dari upaya zending untuk mencerdaskan penduduk…” (Juandaha R. P. Dasuha dan Martin L. Sinaga 2003:159).

Pdt. Johansen, yang memulai pendidikan sistematis-formal ini di Pansur Napitu, dan yang beranak-pinak sebagai indung embrio yang sangat subur, diberi gelar “guru bolon (guru besar, profesor). Gelar ini bukan berasal dari pihak penyelenggara, melainkan dari pihak alumni. Ini patut dicatat sebagai indikasi apresiasi.

Memang darah dan semangat Batak sudah dikenal sebagai penyandang ambisi untuk mengejar pendidikan setinggi-tingginya bagi anak-anaknya. Nyanyian itu, yang dapat dianggap sebagai ungkapan darahdaging Batak berbunyi: “Anakhonhi do na umarga di ahu …; Ingkon do sikola satimbotimbona, intap na tardungdung gogonghi° (“Putraku adalah yang paling berharga bagiku…; Mereka harus sekolah setinggi-tingginya, sejauh tergapai oleh upayaku”). Demikianlah dikatakan bahwa lewat pendidikan yang tersedia, anak-anak Batak telah menekuni tanggatangga pendidikan dengan sepenuh hati dan komitmen tinggi: “Anak-anak dan cucu-cucu dari sintua-sintua didalam abad ke-20 sangat banyak membanjir ke Sumatra Timur serta ke Pulau Jawa, turut memperebutkan kedudukan-keduduan yang lukratif” (Parlindungan 1964:638). Parlindungan sendiri eksplisit menyangkal peluang ini sebagai dapat diharapkan dari prakarsa Si Singa Mangaraja, raja Batak dan pahlawan nasional.

Pada bidang agama, alasan membludaknya Batak menganut agama Kristen dapat dirumuskan, sbb.: Kebanyakan Batak melihat bahwa tata agama dan tata adat sipelebegu penuh dengan kecemasan dan ancaman kematian yang mengerikan, yang disebarkan oleh beguantuk, begunurnur, begumonggop. Sedangkan Kekristenan menawarkan diri dengan Kabar Gembira, dan Warta Keselamatan Penebusan oleh wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Juga kenyataan bahwa dame (damai) adalah ciri komunitas Kristen, sedangkan sipelebegu terancam oleh benci, dendam, pembunuhan dan perang, bahkan dengan pengurbanan manusia kepada sombaon (arwah moyang yang mahakuasa). Dilihat bahwa agama Batak menampilkan profil agama keputus-asaan dan kematian. Sebaliknya agama Kristen dilihat sebagai agama kehidupan, pengharapan dan kepenuhan kehidupan dalam syalom (bdk. Warneck 1922: 111; lih. Eliade 1959: 29 dst.).

Pada masa wabah penyakit kolera, cacar dan disentri, yang merambah seluruh dunia dan Tanah Batak; pada abad ke-19, orang mengamati: Nommensen dan orang-orang Kristen seolah imun terhadap wabah penyakit itu, karena higienis. Padahal dengan sangat mengerikan penyakit menular ini merenggut nyawa manusia di kalangan Batak tradisional, yang terkadang memakan korban dua tiga orang per keluarga (Winkler 1925:21). Hal itu menimbulkan tanya dan keyakinan: ‘Allah mereka lebih kuasa dan adalah Tuhan yang benar; Allah dan Sombaon kita kurang berdaya. Mari kita menganut agama yang benar itu. Disana ada ketenangan, damai, kehidupan dan keselamatan’ (Warneck 1922′: 87-88).

Kiranya pertimbangan-pertimbangan di atas cukup untuk menyimpuikan beberapa hal, yakni: Adalah benar bahwa barulah medio abad ke-19 Batak ditawari peluang modenisasi. Tawaran yang disajikan adalah peluang pendidikan, pengadaban dan damai keagamaan. Memang tawaran ini bersifat tunggal Kekristenan dan kurang mendapat tawaran altematif. Tetapi mutu sublimasi dan peningkatan mutu serta keterbukaan kepada cakrawala dunia (globalisasi) sangat tampan. Pdt. Dr. S.A.E. Nababan menjadi presiden Gereja Lutheran Se-Dunia; Dr. T. B. Simatupang berbicara di PBB; Dr. Cosmas Batubara memimpin ILO, dsb. Padahal fajar pendidikan dan peradaban modem relatif terlambat dicicipi oleh Batak.

Semua tawaran ini bebas dari pemaksaan. Sikap dasar adalah pelayanan dan pengurbanan demi kesejahteraan material dan spiritual bagi Batak. Dan ternyata bahwa Batak sendirilah yang terbuka mata dan dengan sukarela bahkan dengan komitmen segenap hati memilih, menyambut dan menganut peradaban dan iman baru yang modern. Rasa syukur lebih meraja daripada kesal.

IV. QUO VADlS HABATAKON?
Pada bagian ini kita hendak menata sikap serta arah pembinaan Habatakon sejati yang lebih berpengharapan di masa depan. Sebelum melakukan hal itu, penting kita membaca beberapa premis modern yang mencirikan masyarakat masa kini terlebih ditinjau dari segi perkembangan kebebasan dan hak asasi manusia. Barulah sesudahnya kita hendak merumuskan sikap dan pedoman bina Habatakon yang lebih seimbang.

A. Premis-premis Pengandaian
Adalah benar bahwa sekarang ini, mayoritas sangat besar dari betahan Utara Tanah Batak telah menganut Kekristenan. Para penganut budaya dan agama Batak tradisional, seperti Parmalim, telah menjadi minoritas yang bersifat sisa-sisa yang tak berarti. Dalam hati timbul pertanyaan: Apakah ini membawa makna ‘pengkhianatan’ kepada Habatakon atau lebih bersifat `sublimasi’?

Analisis jawaban terhadap pertanyaan yang sangat menggugah ini membutuhkan beberapa premis, al: Dunia kita pada abad ke-21 sekarang telah terimbuhi dan dengan sukarela mengampu dimensi-dimensi demokrasi dan globalisasi. Sedangkan dunia pada ke-19, termasuk teologi misi, masih menganut karakter-karakter yang berbeda. Pada abad ke-19 pandangan mengenai Dunia sangat bersifat provensal, sempit dan bergaya sofinisme. Ini bertentangan dengan universalisme lewat globalisasi. Karakter pandangan provensalisme adalah anggapan bahwa merekalah pusat loka dan nilai seluruh dunia. Dunia dan penghuni dunia lain adalah terra incognita, tak dikenal dan asing, bahkan bersifat peyoratif sampai bersifat `musuh’ (khaos), yang adalah untuk ditaklukkan dan ditata lewat pengenaan reksa kepada tohu wa bohu (dunia yang tak berbentuk dan kosong). Pandangan sofinisme ini, terutama lewat semangat ‘nasionalisme’, dikandung juga oleh psike Batak, sebagai salah satu suku Indonesia. Kecenderungan adalah besar untuk menuduh orang yang “berpihak ke `dunia” dan peradaban modern, termasuk menganut agama modern, sebagai pengkhianatan dan pendurhakaan kepada tata masyarakat dan Adat sendiri: Dinyatakan bahwa manusia Batak berasal dari Kayangan, bukan dari debu tanah. Insan pertama, Tantan Debata, adalah moyang perdana Batak. Semua bangsa dan suku lain diturunkan olehnya. Insan Batak (Si Raja Batak) adalah yang utama (R.P. Tampubolon 2002:1:70-79).

Namun fakta ini harus direlatifkan sebagai pandangan dari salah seorang Batak dari 180.000 terbaptis 1918. Jumlah yang sangat besar ini dengan sukarela dan kehendak bebas yang resolut menganut Kekristenan.

Premis kedua ialah semakin disadarinya tuntutan hak asasi manusia di atas hak “menaklukkan seluruh dunia” (Kej 1:28). Sedangkan hak menentukan keyakinan dan iman termasuk hak yang paling asasi (Kons. Vat. II DH, 6:8; U UD-45 ps. 28:E:1).

Premis ketiga ialah sikap dan teologi yang mendasari karya misi Gereja kristen mengalami pergeseran pendulum dari sikap memandang negatif bahkan “kafir” penganut agama lain, kepada sikap yang lebih positif, bahkan mengakui terdapatnya kebenaran, kebaikan dan keindahan pada agama lain, betapa pun sederhana, embrional dan tidak sempurna (Kons. Vat. II, NA 3:1-10). Menuju global village, dianut adalah upaya menuju “persaudaraan sejati”, antar-penganut agama, kelompok, bangsa dan negara; pendeknya antar-segenap umat manusia, agar penuh kerjasama dan dalam perdamaian lestari: “Kehendak yang kuat untuk menghormati sesama dan bangsa-bangsa lain, serta martabat mereka, begitu pula kesungguhan menghayati persaudaraan secara nyata, mutlak perlu untuk mewujudkan perdamaian. Demikianlah perdamaian merupakan buah dari cintakasih, yang masih melampaui apa yang dapat dicapai melalui keadilan” (GS 78:13-19).

B. Merumuskan Sikap Bina Habatakon
Memberlakukan keadilan dan tuntutan hak asasi rnanusia, pada era kita sekarang, kita harus merumuskan ulang sikap-sikap dasar kita terhadap Habatakon. Sikap kristiani ini tidak cukup memberi dasar-dasar dari masa lalu, betapa pun valid dan valabelnya, sebab dunia sudah berubah dan secara tak terhindarkan menuju globalisasi. Kita tidak perlu menangisi masa lalu. Kita hendak menyesuaikan pendulum tatanan sehingga bersifat lebih seimbang, selaras dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah dasar Kekristenan.

1. Menghormati Hak Yang Paling Asasi
Berlaku sebagai kompendium hak asasi manusia, yang harus dihormati setiap orang karena martabat insaninya ialah: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya” (UUD-1945 ps.28:E: 2). Menjadi hak yang “paling asasi” adalah: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” (Ibid. ps. 28:E:1).

Mengenakannya kepada kelompok penganut agama Parmalim, yang kita ketengahkan sebagai salah satu permasalahan dalam bina Habatakon kita harus mengakui hak yang paling asasi bagi mereka, sehingga segala kendala harus disingkirkan, termasuk membatasi penerbitan Kartu Penduduk bagi mereka, apa pun. agamanya, Mereka harus diakui menyandang hak asasi penuh: Meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya” dan “bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.”

Alasan yang kita pegang ada dua, yakni: Pertama, tuntutan harkat kemanusiaan bahwa kita harus menghormati dan mengakui kebebasan bagi setiap orang untuk meyakini, menganut dan mempraktekkan kepercayaan dan agamanya. Kedua ialah penghormatan bahwa mereka rnenyandang sepenuhnya hak membela Habatakon menurut keyakinan dan versi mereka. Keyakinan dan versi ini diakui bersumber dari akarakar dan sumber-sumber Habatakon sendiri.

2. Pengabaran lnjil dan Misi Kristen Akomodatif
Dari Tuhan diterima perintah: “Wartakanlah Injil kepada segala bangsa” (Mk 16:16). Gereja tidak boleh dan tidak dapat mengabaikan perintah Tuhan dan Pengutusnya.

Tetapi dalam mengabarkan Kabar Baik (Injil), dalam missio ad gentes (kepada Non-Kristen, termasuk Batak), Gereja harus ingat: Oleh rahrnat penjelmaan Yesus Kristus, ke datam agama-agama, budaya, paguyuban dan pribadi manusia, telah ditaburkan “benih-benih Sabda” (logos spermatikos), yang menjadi “benih-benih,” “kebenaran dan hal-hal baik” serta “yang suci” dalam agama-agama, termasuk Batak. Tentang kebenaran, hal-hal yang baik dan hal-hal yang indah, yang terdapat dalam agama-agama, Gereja berpesan: “Apa pun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka [agama, budaya, paguyuban dan pribadi bangsa-bangsa], oleh Gereja, dipandang sebagai persiapan Injil (praeparatio evangelica), dan sebagai karunia dari Dia [Tuhan Yesus Kristus], yang menerangi setiap orang, supaya akhirnya memperoleh kehidupan” (Kons. Vat. II, LG 16:19-20).

Penegasan ini mengimplikasikan tiga hal, yang mencirikan sikap misi baru (Katolik).

Pertama adalah sikap positif dan menghormati “apa pun yang baik dan benar”, yang terdapat dalam agama, budaya, paguyuban dan pribadi Batak. Alasannya ialah karena, “yang baik dan benar” itu adalah “karunia Tuhan”, yang dianugerahkan sebagai rahmat bagi “persiapan Injil.”

Sikap misiologis yang positif dan adaptatif seperti ini, apalagi langsung mengakui unsur-unsur yang baik dan benar dalam agama dan budaya Non-Kristen sebagai “anugerah” atau `rahmat” Allah adalah sungguh baru dan khas. Dengan ini diusir segala sikap-sikap yang berpandangan negatif terhadap agama, adat dan tatakrama Batak. Dan tataran budaya Batak dibidas dari sebutan-sebutan atau cap imputif sama rata, sebagai “sipelebegu”, “sipelesumangot” “sipelesombaon”, “kafir” “Iblis”, dsb. Benar bahwa, terutama dalam agama Batak, tetapi juga dalam agama Kristen, kita harus mengawaskan dan mewaspadai pengaruh “dosa pusaka” dari Adam: Sering mereka “ditipu oleh si Jahat, sehingga jatuh ke dalam pikiran-pikiran yang sesat, dan mengubah kebenaran Allah menjadi dusta, serta mengabdi kepada ciptaan [mis. Sombaon, yang adalah arwah unggul dari nenek moyang, maka adalah ciptaan] daripada Sang Pencipta (lih. Rm 1:21.25)” (Ibid. 16:21-24). Tetapi bahaya yang sama mengancam juga orang Kristen.

Kedua adalah misi “penyingkapan benih-benih Sabda.” Unsur-unsur “baik dan benar”, yang diakui sebagai “benih-benih Sabda”, sebagaimana terdapat dalam budaya dan adat Batak, adalah untuk “dicari, disingkapkan dan didulang” menjadi permata-permata indah dari “karunia Allah.” Ditegaskan oleh Gereja Katolik, agar “Umat Katolik dengan gembira serta penuh hormat menyingkapkan benih-benih Sabda yang terpendam di dalamnya” (Kons. Vat. II, AG 11:13-14). Sikap dan pandangan positif yang seperti ini pastilah akan menghindarkan orang Katolik dari “pembakaran ulos”. Sebaliknya, menjadi misi Utama Katolik adalah “agar, dengan penghargaan dan cinta kasih menggabungkan diri dengan sesama, menyadari diri sebagai anggota masyarakat di lingkungan mereka, dan ikut-serta dalam kehidupan budaya dan sosial, melalui aneka cara pergaulan hidup manusiawi dan pelbagai kegiatan. Hendaknya mereka sungguh mengerti tradisi-tradisi kebangsaan dan keagamaan mereka” (Kons. Vat. Il, AG 11:10-13). Orang Katolik, dengan suruhan seperti ini, tentulah harus paham dan bergaul akrab dengan peristiwa-peristiwa adat, seperti perkawinan, adat Dalihan Natolu, bahkan dalam acara-acara “gondang yang baik dan benar, ” penyucian pangir, dsb. Sebab dalam semuanya itu, pasti terdapat unsur-unsur yang “baik dan benar”, yang membutuhkan penyucian dan permuliaan. Pendeknya, buah-hasil dari sikap dan upaya mereka dalam menghadapi agama, adat dan kebiasaan Batak, haruslah bermuara kepada penggabungan diri kepada sesama penduduk Batak, menjadi anggota masyarakat di lingkungan Batak dan ikut serta dalam kehidupan budaya dan sosial. Sikap dan pendirian seperti ini bertolak-belakang dengan sikap curiga, memandang “kafir” atau malumalu mencari jarak dari lingkungan adat dan kegiatan kemasyarakatan.

Dalam mengamalkan perintah “menyingkapkan benih-benih Sabda”, kita proposalkan supaya mengadakan pengkajian, penelitian dan analisis pada bidang-bidang: Gondang Mulamula dan Gondang Sombasomba dalam kerangka menata sikap sembah manusia sebagai ciptaan di hadapan Sang Khalik. Juga supaya mengadakan upaya yang sama dalam menyingkapkan benih-benih Sabda pada bakti kurban Horbobius sebagai persiapan Injil yang tampan bagi pemahaman Sakramen Ekaristi. Juga ajaran mengenai pernikahan dan Dalihan Natolu, dalam kerangka memantapkan keutuhan pernikahan dan landasan demokratisasi.

Ketiga adalah misi permuliaan (sublimasi) unsur-unsur baik dan benar dari budaya dan adat Batak. Sungguh, Gereja Katolik sangat menghargai unsur-unsur “baik dan benar yang diperintahkannya untuk “disingkapkan”, artinya “digali” dan “disublimasikan”. Lebih dahulu ditegaskan: “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang baik dan suci dalam agama-agama” (Kons. Vat. II, NA 2:20-21). Ini berarti bahwa Gereja Katolik “menyingkapkan dan menyambut dengan terbuka unsur-unsur yang baik dan suci” dalam agama Batak.

Pertanyaannya, sesudah, “menyambutnya” akan dipengapakan unsur-unsur yang baik dan suci itu? Jawabannya juga cukup gamblang dengan berkata: Unsur-unsur itu adalah untuk disublimasikan lantas diramu dalam liturgi Gereja, sebagai pujian tertinggi kepada Allah: “Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhyul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dalam keadaan baik dan utuh. Bahkan ada kalanya Gereja menampungnya dalam Liturgi sendiri, asal saja selaras dengan hakekat semangat Liturgi yang sejati dan asli” (Kons. Vat. 11, SC 37). Secara konkret, rumusan ini berarti bahwa gondang mulamula dan gondang somba tidak ditabukan masuk liturgi dan ritual Gereja. Sebab kedua gondang ini, bukan saja tidak “mutlak terikat pada takhyul”, bahkan sebaliknya sangat tampan untuk mengggalang sikap takwa manusia di depan Pencipta. Itu sebabnya Gereja Katolik terbuka untuk mengadopsi gondang dalam Liturgi. Tetapi distingsi dipegang: Gondang Sumangot, yang menyembah arwah nenek moyang sebagai “Tuhan”, samasekali terlarang diampu dalam Liturgi, sebab arwah nenek moyang adalah ciptaan. Kita tidak boleh menyembah ciptaan. Gondang Sumangot dengan itu memang “secara mutlak terikat pada takhul” atau “kafir.”
Pada dasarnya, baik gondang, terompet atau poti marende, sama saja bersifat netral sebagai hasil budaya manusia. Semua unsur budaya manusia dapat saja bersifat salah atau baik, sesuai dengan tujuan dan pemberian makna kepadanya.

3. Pemetaan Fungsi Pemerintah, Agama dan Adat
Pemetaan fungsi ini pantas menurut pembagian tiga kelompok utama komponen pembangun Kabupaten Samosir, yakni jajaran Pemerintah, kelompok Agama dan kelompok Adat tradisional. Pemetaan ini harus memperkenalkan kerangka tatanan Adat agar dapat berlangsung mantap dan lestari.

a. Fungsi Jajaran Pemerintah
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam tata kemasyarakatan dan bernegara sekarang, motor dan penggerak pembangunan adalah Pemerintah. Pemerintah menyandang fasilitas administratif, personil dan modal, yang sangat menentukan, mengatasi kemampuan perorangan warga ataupun kelompok. Kepemimpinan Pemerintah dalam mengatur masyarakat dan kemajuan kesejahteraan rakyat sangatlah menonjol.

Pertanyaannya bagaimana memetakannya dalam tatanan Adat yang mapan. Kemantapan dan kelestarian pembangunan yang berkesinambungan sangat ditentukan oleh kejelian penempatan posisi dan peranannya dalam stelsel Adat kemasyarakatan.

Kiranya fungsi jajaran Pemerintah dapat dipetakan dalam beberapa titel fungsi dan peranan.

Pertama, Pemerintah patut ditempatkan sebagai Raja Huta. Raja Huta selalu menyandang kuasa eksekutif tertinggi. Baik dalam menentukan membuka tali air, memulai enterprise baru, bahkan menentukan perang antar kampong. Raja Huta senantiasa menyandang kuasa eksekutif tertinggi. Ini sangat cocok dengan peranan superior dari Pemerintah bagi kemajuan masyarakat wilayah.

Kemudian kepada jajaran Trias Politika dapat diatribusikan peranan Pargomgom fungsi pargomgom, terutama dalam masyakat kerajaan, sangat dekat. dengan administrasi pemerintahan. Haknya untuk menyandang personil pelaksana pemerintahan, seperti Parbaringin (pemerintahan), Parhudamdam (serdadu) dan opas, pangulu dsb, sudah dikandung oleh fungsi Pargomgom.

Sangat-dekat dengan fungsi Pargomgom, tetapi khusus bagi kepe milikan tanah, adalah fungsi Sipungka Huta; atau Sisuan Bulu. Sipungka huta menyandang hak untuk pembagian tanah dan perluasan tanah (Vergouwen). Tetapi Sipungka Huta kurang akrab dengan profesi administrasi wilayah.

Apa pun ceritanya, seorang kepala pernerintahan atau jajaran pemerintahan tidak akan berfungsi dalam masyarakat apabila tidak mempunyai cukup pemahaman mengenai seluk beluk tatanan dan nilai nilai Adat. Seorang anggota jajaran pemerintahan haruslah menguasai tata adat dan beberapa umpasa penyampai ide, agar dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan masyarakat.

Magna Charta seorang pamong daerah adalah umpasa berikut; Hamu ma, arnang, pandapotan di uhum, natading nijalahi; pamuro na so mantat sior, parmahan na so mantat bataki; na di pudi dipaima: na di. jo!o dieaki; pangalualuan ni nabile, pangompapasan ni na maliali.

Dia harus mahir dan proaktif dalam masalah pembangunan, dengan kemampuan engeneering dan kepemimpinan yang tangguh, komunikatif dan, persuasif yang tinggi. Kehadiran dan kepemimpinannya harus sanggup menggugah dan menggerakkan orang-orang loyo dan kurang bersemangat. Dia adalah pamuro yang tanpa panah, tetapi kerajinannya mengunjungi serta meninjau rakyatnya sembari menyemangati adalah sarana yang sangbt efektif. Bagi rakyat yang putus asa, sebagai pangalualuan ni na bile, dia harus menjadi pendukung dan penghibur yang berbakat.

Bahwa ia harus menjadi pandapotan di uhum mengandung tiga makna yang penting: la harus mahir akan seluk-beluk hukum dan peraturan sehingga tidak terancam oleh PTUN atau tuntutan ketidak-adilan. Kedua ialah kebutuhan pemenuhan hukum penggunaan keuangan dan transparansi akuntabilitas keuangan, juga bagi rakyatnya.l a.tidak boleh korupsi atau melanggar tata aturan keuangan lewat nepotisme, koncoisme atau persekongkolan. Dia diharapkan menjadi tokoh kesepakatan, tetapi tidak boleh menjadi anggota persekongkolan. Record tracknya tidak boleh berbelang.

Ketiga ialah tuntutan bakat visioner untuk melihat ke.depan, sehingga tindakan-tindakan antisipatif menjadi bagian dari kehandalannya. Hal ini berhubungan dengan hubungan yang efektif-harmonis dengan garis-garis. Hubungan kerja pemerintahan, vertikal atau horizontal. Harapan kita ialah agar Pemerintah mernprakarsai suatu gerakan -pembangunan rumah dan bangunan lainnya dari Pemerintah dan penduduk bergaya tradisional. Dengan demikian; identitas gaya dan budaya langsung terungkap yang sangat menarik bagi wisatawan. domestik dan mancanegara. Tetapi gaya dan langgam bangunan tradisional ini pantas dikreasi baru agar praktis dan menarik. Gambar bangunannya pantas disediakan oleh Pemerintah.

b: Mayarakat Agama
Dalam tatanan Adat-kemasyarakatan, kelompok agama lebih tepat disejajarkan dengan kelompok Parmalim. Parmalim ini mengasyikkan diri pada ajarah agama dan etika kernasyarakatan. Secara lebih berkebajikan, ia menyandang tata hidup yang lebih suci, man of God, dan menyandang keutamaan yang terhormat.

Tetapi kelompok agama sekarang juga adalah agen-agen pembangunan yang handal: pendidikan; kesehatan, kebudayaan, dan peiayanan diakonia. Karena itu, bingkai Parmalim saja; tidak memadai. Dia harus diperluas kepada fungsi Parbaringin, yakni fungsi eksekusi profesi khas untuk kemajuan masyarakat.

Dalam pilihan primadonna pembangunan adalah soft tourism, seperti di Kabupaten Samosir, maka pemahaman yang diharapkan disandang oleh tokoh agama adalah menyangkut tiga masa.

Untuk masa lalu, tokoh agama diharapkan bukan saja mengetahui sejarah semantik ajaran agamanya, tetapi juga mengenai asal-usul dan mitologi Batak, tata adat yang lebih mendasar, pemahaman budaya Batak yang lebih luas dan pemahaman ketatanegaraan dan ideologi bangsa yang berlaku mapan.

Sedangkan untuk masa kini, ia bukan saja menjadi pemangku prinsip “berjiwakan Yesus Kristus dan berbajukan budaya Batak”, tetapi ia juga harus mampu menjadi implementer dari keduanya secara jitu dan up to date. Misalnya dalam bidang budaya dan Adat Batak, ia harus mampu menerjemahkannya sedemikian rupa sehingga menjadi unsur pengungkit kemajuan bagi pariwisata. Celaka akan timbul bila tokoh agama menjadi bodoh atau bahkan penghalang bagi budaya dan Adat setempat. Sebab soft tourism sangat bergantung pada kemampuannya menerjemahkan dan mengaplikasikan secara etis dan entrepreneur-ship bagi kemajuan kesejahteraan masyarakat. Misatnya, program pembangunan di kompleks pastoran Katolik sekarang harus memenuhi persyaratan: Profil kultural sehingga menjadi cultural garden. Juga harus menyandang- fasilitas dan penanganan bidang pengembangan budaya: museum, bina ketrampilan budaya dan penjiwa serta penggerak kebudayaan Batak.

Dilihat ke masa depan, peranan tokoh agama hendaknya sigap mengadakan aggiomamento (pembacaan tanda-tanda zaman). Hal ini berlaku buat bidang keagamaan, seperti ethos dan perayaan liturgi yang up to date. Pada bidang ajaran sosial harus sanggup menangkap arus dan arah kemajuan zaman. Termasuk pendidikan haruslah bersifat inovatif dan renovatif sehingga sanggup menjawab kebutuhan zaman. Sekolah yang bertaraf internasiona! dan serentak patriotik adalah kebutuhan.

c. Masyarakat Adat
Profesi masyarakat Adat adalah bidang Adat dan kebudayaan Batak. Justru karena stelsel Dalihan Natolu sangat handal dalam pengembangan demokrasi, maka perhatian untuk penajaman dan pembaharuan bidang ini pantas dipertegas. Penyederhanaan dan penajaman kiranya sangat didambakan.
Kelompok ini harus menemukan formula yang handal bagi menjawab keluhan bahwa pelaksanaan Adat terlalu berteletele dan boros waktu. Juga konsumtisme Adat pantas lebih diperlincah dan diperramping.

Masyarakat Adat di Kabupaten Samosir sekarang ini sangat ditantang dalam hal kepemilikan tanah. Tantangan itu datang dan kaidah pengembangan kesejahteraan bidang ekonomi, seperti dilansir oleh tokoh pemenang Hadiah Nobel, Mohammad Junus, dan temannya Desoto dari Amerika Latin. Tantangan dasarnya adalah bagaimana mengubah lahan tidur menjadi lahan produktif atau enterprise ekonomi.

Menurut Nota Pastoral KWI 2005, penegasan dari Desoto ialah perlu mengadakan sertifiksi tanah dan kepemilikan. Bagaimana pun bentuknya, sesuai dengan tatanan Adat setempat, tetapi, dengan menggunakan bermacam dokumen alas, suatu kepemilikan harus dicapai dan dilengkapi oleh Pemerintah. Maksudnya ialah agar kepemilikan jelas serta bersifat modal ekonomi. Kepemilikan ini didorong agar merupakan aset atau share dalam industri dan mesin ekonomi. Bagaimanapun, fleksibilitas kepemilikan harus dicapai sampai tingkat tertentu, sehingga secara dinamis sanggup mendukung program pembangunan yang dinamis dan berkelanjutan. Pembukaan jalan dan transportasi serta komunikasi bersifat sangat menentukan bagi kemajuan modern. Kepemilikan atau sistem kepemilikan tanah dan perusahaan tidak boleh mensabot atau mentorpedo program pembangunan yang disepakati bersama.

Kemudian, Mohammad Junus membuat opsi akselerasi pembangunan dan penyunatan pengangguran, bukan tewat industri padat modal melainkan lewat microfinance. Koperasi-koperasi antar-rakyat yang lebih bersifat swasta, seperti sistem di Jepang, dan gerakan CU, BPR, tndustri terpadu, terutama antar-rakyat miskin adalah metode pengembangan pembangunan yang sangat handal dan lebih cepat.

Masyarakat Pemerintahan, masyarakat Adat dan masyarakat agama harus bahu membahu mencipta formula-formula baru dan prakarsaprakarsa yang baru.

Epilog
Terhadap pertanyaan quo vadis Habatakon kita telah menelusuri pembelajaran, pemberadaban dan pengkristenan Batak. Kita selain bersikap kritis apakah semua proses itu berada pada alur bina Habatakon yang positif atau pembiasan bahkan apakah pengkhianatan?

Jawaban kita kiranya dapat disimpulkan, dalam beberapa alur pemikiran dan penataan sikap serta upaya pengejawantahan yang lebih terjabar.

Mengenai kehadiran agama Parmalim, sebagai penyandang agama tradisional, kita menghormati pilihan kepercayaan mereka sebagai perwujudan dari “hak yang paling asasi.” Pilihan ini adalah hak mereka dan kita menghormati serta tidak membuat halangan-halangan bagi pelaksanaan iman serta hak-hak kewarganegaraan mereka.

Tetapi bila ditanya apakah agama ini menyandang ketampanan dan kemampuan untuk mengarungi tantangan globalisasi, maka kita berkata: Rasanya mereka kurang tampan untuk mengarunginya.

Selanjutnya, apakah Kekristenan, seperti dipraktekkan sekarang, adalah pelabuhan yang tepat bagi quo vadis Habatakon? Mengenai pertanyaan ini kita hendak berkata: Labuhan yang tepat menampung bina Habatakon sejati, rasanya yang lebih jitu adalah misiologi yang akomodatif dan yang berkomitmen mengampu unsur-unsur Habatakon secara positif. Kekristenan jenis lain, rasanya kurang berpadanan dengan bina Habatakon sebagai pelestarian unsur-unsur budaya, agama, paguyuban dan pribadi Batak. Rasanya cara Konsili Vatikan II yang kita utarakan di atas adalah yang lebih memadai.

Memang pilihan, terutama buat Tapanuli Utara, agak terbatas dan kurang menyisakan pilihan ketiga. Kekristenan memang terbukti telah menjadi penjasa pembelajaran dan pengadaban serta sublimasi iman kepada Allah. Serentak pula bahwa Kekristenan terbukti telah sanggup menguak cakrawala globalisasi. Dari itu, pilihan inilah yang terbaik dari yang ada, dengan perbedaan bahwa ada Kekristenan yang lebih akomodatif dan ada yang kurang.

Selebihnya, bina Habatakon sejati tidak cukup berkutat hanya pada penataan sikap misiologis. Secara berkesinambungan, suatu tatanan pembagian fungsi dan tugas patut digariskan antara fungsi Pemerintah, masyarakat agama dan masyarakat adat. Tentatif untuk penjabarannya telah diupayakan di atas.
Dengan demikian, kita telah menjawab sekadarnya pertanyaan dan tantangan quo vadis Habatakon. Semoga berguna.


Medan, 06 Agustus 2007
Mgr. DR. A.B. Sinaga
Mgr. Dr. A. B. Sinaga


Sumber:
http://pamitaonline.wordpress.com/2007/08/12/quo-vadis-habatakon/

No comments:

Post a Comment