Pages

Friday, October 24, 2014

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Alam pada Etnis Mandailing, Sumatera Utara



Sistem Pengelolaan Sumberdaya Alam 


pada Etnis Mandailing, Sumatera Utara


Sudirman


Pendahuluan
Ketika hasil pembangunan telah dirasakan oleh masyarakat dan sulit diingkari bahwa sebagian besar masyarakat terbuai oleh kenikmatan yang berhasil diperoleh dari pembangunan tersebut. Sementara itu, dampak negatif dari pembangunan kurang diperhatikan, seperti kerusakan fisik lingkungan, tataran sosial dan cultural, berubahnya hubungan pola-pola sosial lama dan hilangnya pengetahuan-pengetahuan penting yang dimiliki oleh suatu masyarakat yang sebelumnya sangat besar sumbangan bagi kehidupan masyarakat tersebut.

Berbagai bentuk dampak negatif melahirkan berbagai macam keprihatinan terhadap semakin dilupakannya berbagai pengetahuan lama, pengetahuan tradisional, yang ada dalam masyarakat. Pengetahuan-pengetahuan itu dianggap tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi masyarakat yang telah berubah atau ingin mencapai tingkat yang lebih maju, bahkan tidak jarang dianggap menghambat proses pembangunan.

Proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya selalu terjadi secara terus- menerus sehingga memunculkan sederetan pengalaman yang kemudian diabstraksikan menjadi konsep, teori, dan pendidikan atau pedoman-pedoman tingkah laku masyarakat. Manusia merupakan bagian dari lingkungannya, antara manusia dengan lingkungannya terjadi hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi yang melahirkan keseimbangan.


Bagaimana lingkungan berfungsi dan memberi petunjuk tentang apa yang diharapkan manusia dari lingkungannya, baik secara alamiah maupun sebagai hasil dari tindakannya, serta apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh. Kearifan dan akal budi manusia sebagai sumber daya utama pembuka rahasia dan hikmah alam semesta. Oleh karena itu, dalam tulisan singkat ini dijelaskan secara umum kearifat tradisional Mandailing dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Mandailing
Mandailing salah satu nama etnis di Sumatera Utara, sebagian besar mendiami wilayah Kabupaten Madina. Etnis Mandailing pada umumnya penganut agama Islam, sehingga nilai-nilai ajaran Islam sangat berpengaruh dalam segala aspek kehidupan. Hal itu seperti terungkat dalam falsafah Mandailing Hombar do adat dohot ibadat (adat dan ibadat tidak dapat dipisahkan), dan adat tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam.

Dalam kehidupan masyarakat, orang-orang yang mengatur dan menjaga supaya adat dapat terlaksana dan terpelihara dengan baik, mereka itu ialah raja, namora natoras dan pembantu raja. Raja terdiri atas Raja Panusunan, yaitu raja yang tertinggi, Raja Ihutan, raja dari kumpulan huta dan berada di bawah Raja Panusunan, Raja Pamusuk, berada di bawah raja Ihutan, memimpin satu huta. Raja Sioban Ripe, berada di bawah raja pamusuk. Suhu, berada di bawah raja pamusuk dan raja sioban ripe.[1]


Namora Natoras, sebagai pendamping raja dalam mengambil keputusan ketika membahas dan menyelesaikan suatu peradatan yang menyangkut kepentingan kesatuan huta serta mengawasi raja dalam menjalankan pemerintahan. Namora terdiri atas namora (berasal dari kerabat raja), natoras, suhu, dan bayo-bayo nagodang.
Pembantu raja, terdiri atas Anggi ni raja, imbang raja, suhu ni raja, lelo ni raja, gading ni raja, sibaso ni raja, bayo-bayo nagodang, dan goruk-goruk. Selain itu ada juga semacam staf raja, yaitu jombeng raja (semacam intelijen), tanduk raja (semacam panglima), tongkat raja (semacam penasihat), dan mananti raja (orang yang mendampingi raja).[2]


Kesatuan masyarakat Mandailing sebagai wadah tempat tinggal dan mengikatkan diri terhadap kelompoknya di sebut huta (semacam desa). Hal itu seperti umumnya masyarakat tradisional Indonesia adalah orang yang terikat dengan hukum adat.[3] Selain huta, dikenal pula kelompok-kelompok masyarakat seperti, banjar (suatu permukiman yang biasanya terdiri atas 4 hingga 6 kepala keluarga, terletak di tengah perladangan atau persawahan dan mempunyai ikatan adat dengan kampung induk). Lumban (suatu perkampungan yang terdiri atas 6 hingga 10 kepala keluarga. Pagaran (suatu perkampungan yang terdiri atas 10 hingga 20 kepala keluarga yang diurus oleh kerapatan adat dari kampung induk). Janjian (kumpulan dari beberapa huta yang dipimpin oleh raja pamusuk).[4]


Untuk mencapai suatu tujuan kesejahteraan hidup, biasanya suatu masyarakat mempunyai ketentuan-ketentuan yang harus diikuti dan dipatuhi oleh warganya. Nilai-niliai luhur itu terkandung dalam ungkapan-ungkapan tradisional, seperti holong (menyeimbangkan diri pribadinya dalam masyarakat dan sebaliknya masyarakat dapat menerima kepribadiannya pada tempat yang seharusnya) dan domu (rasa satu kesatuan). Kehidupan masyarakat yang didasari atas holong dan domu menjadi marsihaholongan (perasaan kasih saying), hagoran (kejujuran), hadomuan (persatuan) dan hamean (keamanan).[5] Itulah yang dicita-citakan oleh masyarakat, sehingga setiap warga dituntut berprilaku pada holong dan domu.

Konsep Penguasaan Wilayah dan Sumberdaya
Tanah dan sumberdaya mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi setiap orang yang dalam hokum adapt disebutkan bahwa tanah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan penghidupan kepada persekutuan, merupakan tempat warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan merupakan tempat tinggal para dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.[6]


Masyarakat Mandailing mengenal beberapa konsep berkenaan dengan pembagian tata ruang, penguasaan wilayah dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Di antaranya adalah Banua, Huta dan Janjian. Banua mengandung pengertian satu kesatuan wilayah, Huta mengandung pengertian satu kesatuan tempat permukiman penduduk, sedangkan Janjian merupakan persekutuan teritorial sejumlah Banua yang terikat oleh kesatuan adat.[7]


Konsep teritorial dan penguasaan sumberdaya alam terungkap dalam sebuah ungkapan ganop-ganop banua martano rura (setiap Banua mempunyai tanah dan sumber airnya sendiri), dimaksudkan bahwa sebuah huta harus memiliki wilayah teritorial yang jelas serta memiliki sumberdaya yang dapat dimanfaatkan masyarakatnya untuk menjalankan berbagai aktivitas kehidupan. Keberadaan sebuah huta atau banua harus ditopang oleh adanya sumber air, kawasan hutan dan tempat pengembalaan. Sumber air diperlukan untuk kebutuhan subsistensi, mengairi areal persawahan, memelihara ikan, dan berbagai keperluan sosial dan religius. Oleh karena itu, hampir setiap permukiman (huta) berada di sekitar sumber-sumber air, baik berupa mata air (mual), anak sungai (rura) maupun sungai (aek).[8]


Dalam masyarakat Mandailing dikenal adanya kolam ikan luas (tobat bolak) dan areal sawah (saba bolak) yang dipunyai oleh kerajaan. Keduanya fungsional untuk menopang fungsi raja sebagai talaga na so tola hiang (tempat persediaan makanan yang tidak boleh kering). Menurut tatanan adat setempat seorang raja tidak boleh membiarkan seorang pun dari rakyatnya menderita kelaparan. Oleh karena itu, raja yang memimpin sebuah huta harus dilengkapi dengan persediaan bahan pokok yang dapat menjamin rakyatnya dan tamu-tamu yang datang mendapatkan makanan yang memadai. Hasil padi dari sawah tersebut dapat dipinjam oleh rakyat ketika terjadi musim paceklik (aleon), sedangkan kolam ikan (tobat bolak) sewaktu-waktu sengaja dibuka oleh raja untuk dapat diakses secara bebas oleh semua warga huta.[9]


Sebuah huta juga harus mempunyai areal jalangan (lahan pengembalaan), biasanya berada di luar areal permukiman penduduk. Setiap huta juga harus mempunyai kawasan hutan (harangan). Keberadaan hutan bagi sebuah huta terutama untuk mendukung penyelenggaraan kehidupan ekonomi. Pembukaan hutan untuk aktivitas pertanian biasanya dimulai dengan membuka ladang (auma) kemuadian baru ditami dengan tanaman seperti karet dan kopi. Hutan juga dimanfaatkan untuk areal tempat berburu binatang. Pemanfaatan sumberdaya yang ada di dalam hutan biasanya diatur oleh otoritas kerajaan dengan menerapkan bungo ni padang, yaitu sejenis restribusi atau konpensasi yang harus diserahkan kepada kerajaan. Selain untuk keperluan bertani dan berburu, hutan juga dimanfaatkan untuk tempat meramu hasil-hasil hutan seperti jenis dammar, madu, dan juga sayur-sayuran yang dapat dikonsumsi dan meramu bahan untuk bangunan.

Setiap huta juga memiliki kawasan hutan yang terlarang untuk aktivitas pertanian, berburu maupun meramu hasil-hasil hutan. Areal hutan yang terlarang yang demikian disebut harangan rarangan (hutan larangan). Keberadaan areal hutan terlarang biasanya dilegitimasi oleh adanya unsur-unsur kepercayaan, misalnya kepercayaan penduduk bahwa tempat-tempat tertentu di dalam kawasan hutan dihuni oleh makhluk-makhluk halus (begu) yang dapat mengganggu manusia. Tempat-tempat seperti itu dinamakan naborgo-borgo dan biasanya kawasan mata air.

Masyarakat Mandailing membagi wilayah vertikal yang ada di lingkungan mereka menjadi beberapa tingkatan, yaitu napa (daratan), untuk (tanah bergelombang), tor (bukit), dolok (anak gunung) dan sorik (gunung). Mereka juga mengenal taksonomi aliran air, yaitu mual (mata air), rura (ranting sungai), aek (anak sungai) dan batang (sungai besar).

Sedangkan yang terkait proses interaksi dengan kawasan hutan mereka mengenal rubaton, yaitu kawasan hutan belantara yang jarang dimasuki manusia. Tombak, yaitu kawasan hutan lebat yang kepadatannya berada di bawah tombak. Apabila suatu kawasan hutan sudah dibuka oleh penduduk untuk dijadikan lahan pertanian, maka pada tahap pertama hutan bukaan tersebut berubah kategori menjadi auma (lahan perladangan), apabila tidak ditanami beberapa kali tanam menjadi gasgas (semak belukar) dan apabila semak belukar itu terus dibiarkan maka lahan itu menjadi hutan sekunder (harangan). Lahan ladang (auma) yang terus diolah dan ditanami dengan tanaman keras akan berubah kategori menjadi kobun (kebun).[10]


Penguasaan wilayah dan sumberdaya di bawah wewenang pimpinan Raja Panusunan Bulung atau Raja Pamusuk dengan kelembagaan Na mora Na toras di setiap huta. Setiap huta memiliki hak otonom untuk membagi-bagi wilayahnya kepada penduduk yang tinggal dalam lingkungannya maupun dalam hal pemanfaatan berbagai jenis sumberdaya yang ada di dalamnya. Namun, apabila mereka ingin membuka kawasan hutan yang sudah masuk wilayah huta lain, mereka harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari pimpinan huta tersebut.

Demikian juga dalam pemanfaatan binatang yang ada di dalam kawasan hutan. Penduduk huta bebas memanfaatkan binatang sepanjang bukan hewan piharaan seseorang, sebuah keluarga, atau hewan ternak yang ada di kawasan jalangan (lahan pengembalaan) milik kerajaan karena pada dasarnya semua hewan yang hidup di hutan adalah milik masyarakat. Akan tetapi, hewan yang diburu kemudian tertangkap di wilayah huta lain, maka ketentuan adat mengatur bahwa orang yang menangkap hewan buruan tersebut harus memberikan bungo ni padang (semacam restribusi) kepada pimpinan huta lain tersebut.

Aliran sungai beserta kekayaan yang terdapat di dalamnya juga dikategorikan sebagai sumberdaya yang dimiliki secara komunal. Pada zaman dahulu setiap orang berhak menangkap ikan di sungai, mengambil batu dan pasir, mendulang emas, dan sebagainya. Aliran sungai sering kali dijadikan sebagai tanda batas alamiah untuk perbatasan sebuah huta dengan huta lain. Namun, kemudian berkembang suatu pranata baru yang tergolong bentuk kearifan lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya sungai. Akses penduduk terhadap sungai khususnya untuk menangkap ikan dibatasi untuk jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun, dan hasil ikan yang dipelihara selama jangka waktu tersebut digunakan untuk pendapatan desa atau biaya pembangunan berbagai fasilitas sosial di desa.[11]


Hak Ulayat
Warga persekutuan mempunyai hak atas tanah dan sumberdaya, sedangkan orang-orang di luar persekutuan tidak dibenarkan ikut memanfaatkan tanah hak ulayat persekutuan, kecuali atas persetujuan persekutuan dan wajib memberikan uang pemasukan. Oleh karena itu, terjadi perhubungan perseorangan antara seorang warga persekutuan dengan tanah atau sumberdaya. Apabila perhubungan terputus maka hak perorangan hilang.[12]
Setiap huta memiliki tanah ulayat. Selain tanah, tumbuhan yang hidup di atas tanah ulayat juga dianggap sebagai milik suatu huta. Sistem kepemimpinan terkait erat dengan kelompok klen (marga) yang dianggap sebaga huta, sehingga tanah ulayat hampir identik dengan tanah milik kelompok klen. Namun aturan-aturan adat mengatur pemanfaatan tanah dan sumberdaya lainnya di lingkungan sebuah huta. Penegasan mengenai batas wilayah biasanya dengan tanda-tanda alamiah seperti bukit atau gunung, aliran sungai, jenis pohon tertentu, dan juga melalui tanda-tanda yang diberikan oleh hewan melalui suaranya atau jenis habitatnya.

Penetapan batas wilayah antarhuta biasanya didasarkan pada alasan-alasan ideologis, historis dan sosio-politis. Batasan biasanya saling berhimpitan, menyilang, atau justru terpisah oleh suatu geografis yang belum pernah dijamah manusia. Dalam konteks seperti itu keberadaan persekutuan antarhuta yang disebut janjian menjadi penting untuk mengintegrasikan seluruh wilayah yang diklaim menurut acuan ideologis, historis, dan sosio-politis yang relatif sama.

Berdasarkan kenyataan tersebut, klaim terhadap tanah ulayat belum tentu dan tidak selalu berhimpitan dengan tanah yang sudah diusahakan secara konkrit oleh penduduk di dalam suatu huta. Wilayah yang sudah dikelola oleh komunitas huta untuk kepentingan ekonomi dalam menunjang kehidupan warganya. Wilayah-wilayah demikian pada umumnya berbatasan langsung dengan permukiman, meliputi areal persawahan, lahan pengembalaan dan juga hutan yang sudah dibuka untuk perladangan dan kebun, serta bagian-bagian lainnya dari hutan yang sudah dimasuki manusia untuk mencari sumber-sumber penghidupan, misalnya areal hutan tempat mencari kayu, madu, damar, kapur, berburu, mengembala dan sebagainya.[13] Di luar wilayah itu, yang sudah diklaim sebagai wilayah penguasaan sebuah huta, sepanjang belum dikelola dan belum ada investasi manusia baik secara pribadi maupun kelompok, maka wilayah tersebut berada di luar kategori tenure (penguasaan suatu bagian wilayah huta dengan cara mengusahakannya). Luas wilayah yang dapat dikategorikan tenure sangat erat kaitannya dengan jumlah penduduk suatu huta. Yang memerlukan lahan untuk mendukung kehidupan ekonominya. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk yang semakin besar biasanya berbanding lurus dengan perluasan kawasan tenure. Dalam perkembangan sebuah huta, sangat dimungkinkan terjadinya himpitan antara wilayah tenure dengan wilayah teritoriti.

Penguasaan suatu bagian wilayah huta dengan cara mengusahakannya (tenure) menjadi awal bagi tumbuhnya kepemilikan pribadi atau keluarga. Namun demikian, klaim penguasaan individu itu tidak serta merta berlaku bagi penduduk huta yang ingin membuka hutan di luar wilayahnya. Bagi penduduk yang datang dari luar, ada ketentuan adat yang mengatur cara mereka mendapatkan izin atau hak mengelola lahan di huta lain, harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari raja dan lembaga kepemimpinan di huta tersebut.[14] Hak milik terjadi jika seseorang mengusahakan tanah secara terus-menerus bahkan samapai turun-temurun atau jika tanah itu ditanami dengan tanaman keras. Tanah itu dapat hilang hak apabila tidak diusahakan lagi sehingga menjadi semak belukar kembali.[15]


Penutup
Meskipun kearifan tradisional merupakan suatu kenyataan yang sulit diingkari, hal itu tidak berarti bahwa kearifan tersebut dapat digunakan untuk memecahkan semua persoalan sosial yang ada dalam suatu masyarakat. Ada kenyataan lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan, yakni bahwa setiap masyarakat pada dasarnya selalu mengalami perubahan-perubahan. Dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan-perubahan yang cepat, sehingga kearifan tradisional seringkali terasa tidak relevan lagi, bahkan menimbulkan kesan keterbelakangan.

Di tengah perubahan sosio kultural yang cepat, perangkat pengetahuan yang selama itu menjadi pegangan hidup pada umumnya berubah lebih lamban, sehingga muncul kesenjangan antara perangkat pengetahuan tersebut, antara kearifan tradisional tersebut, dengan realitas fisik yang dihadapi dan dialami oleh pemilik kearifan tersebut. Di sini seringkali kearifan tidak lagi dapat membantu atau digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi, tetapi seringkali malah justru menjadi salah satu kendala bagi upaya-upaya penyelesaian persoalan, sehingga istilah kearifan menjadi tidak tepat lagi.

Untuk itu, kearifan tradisional seyogyanya jangan terlalu disanjung-sanjung, sebab hal itu dapat membuat kita terpeleset de dalam sikap konservatif yang menolak perubahan atau pembaharuan-pembaharuan dalam masyarakat. Kearifan tradisional perlu dipahami dengan baik agar dapat mengambil manfaat darinya, dan terhindar dari kelemahan-kelemahan yang dikandungnya.


[1] H. Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman, 2005, hlm. 25.
[2] Ibid., hlm.34-36.
[3] Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Alumni Bandung, 1971, hlm. 112.
[4] Ibid., hlm. 38.
[5] Ibid., hlm. 57-58.
[6] Ibid., hlm. 249,270.
[7]Zainuddin Lubis, “Pemimpin Tradisional Mandailing”, Skripsi Sarjana Antropologi, Fakultas Sastra USU, 1988, hlm. 92.
[8] Zulkifli B. Lubis, “Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya di Tapanuli Selatan” dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Vol 29, No. /2005, hlm. 243.
[9] Ibid., hlm. 243.
[10] Ibid., hlm. 245.
[11] Ibid., hlm. 246.
[12] Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta, 1958, hlm. 83.
[13] Pandapotan Nasution, op.cit., hlm.450.
[14]Ibid., hlm. 248.
[15] Ibid., hlm. 451.


Sumber:
http://dirmanmanggeng.blogspot.com/2009/02/mandailing.html

No comments:

Post a Comment