Pages

Friday, October 24, 2014

Reportoar Musik Batak Toba di Antara Derasnya Zaman

Reportoar Musik Batak Toba di Antara Derasnya Zaman

Minggu, 15 Juni 2014

Oleh: Jones Gultom. 

Sejak masuknya zending ke Tanah Batak, dinamika masyarakat ini begitu progresif. Terjadi pertautan kebudayaan serta pertukaran pengetahuan yang cenderung radikal. Ini dapat dilihat dari singkatnya waktu yang dibutuhkan untuk mengkristenkan Batak, khususnya Toba. Tidak sampai 5 dekade, sejak kehadiran Nommensen. 
Meski sebelum Nommensen, sudah ada misionaris lain yang “merasul” di Tapian Nauli ini. Tetapi Nommensen-lah yang dianggap paling berhasil. Boleh dikatakan dengan waktu yang begitu singkat itu, Nommensen eksis dengan misinya. 
Kini nyaris 90 persen, masyarakat Batak, yang menjadi sasaran Nommensen, telah menjadi Kristen. Di sisi lain, ekspansi atas nama agama itu, menyisakan banyak persoalan, khususnya menyangkut kearifan lokal dan kebudayaan setempat. Salah satunya, musik dan pengetahuan yang ada di dalamnya. 

Sejak Batak menganut Kristen, perspektif musik dalam kehidupan mereka mengalami perkembangan. Fungsinya pun kian variatif. Dia tidak lagi sekedar hadir dalam ritus-ritus agama dan upacara tertentu, tetapi juga dalam peristiwa keseharian yang bahkan bersifat entertain. Sejak itulah, pengetahuan yang ada di dalamnya turut bergeser bahkan sebagian besar hilang.
Dalam pengetahuan Batak, pemusik yang disebut pargonci atau orang pandai, merupakan tokoh sentral. Bahkan diberi gelar Batara Guru na Humundul. Kira-kira mengandung arti, Batara Guru (salah satu Dewa Batak) yang sedang khusyuk berdoa. Fungsi utamanya menjadi perantara antara penyelenggara kegiatan dengan Sang Pencipta. 
Pentingnya pargonci juga diimplementasikan dari posisi tempat mereka bermusik yang selalu lebih tinggi dari aula (tempat kegiatan berlangsung).Tujuannya tak lain agar mereka lebih khusyuk dan dekat Sang Pencipta. Simbol lain para pargonci biasa mengenakan kain kepala berwarna putih yang melambangkan keikhlasan mereka menjalankan tugasnya. Karena itu, sebelum melaksanakan tugasnya, pargonci beserta alat musik yang akan dipakainya harus benar-benar suci. 
Dalam setiap kegiatan, terlebih dulu ritual maminta tua ni gondang, dengan harapan alat musik yang nantinya digunakan sepanjang kegiatan benar-benar bertuah. Biasanya para pargonci memainkan satu reportoar yang berulang sampai 7 kali. Angka 7 di sini merupakan simbol, pensucian sesuatu lazimnya harus dilakukan sebanyak 7 kali. Falsafah ini sampai kini masih dianut umat Parmalim, yang kukuh dengan komitmen mereka, 7 hali malim, 7 hali solam (7 kali alim, 7 kali suci). Setelah itu dilanjutkan dengan gondang penghormatan sekaligus permohonan kepada Sang Pencipta, agar kegiatan itu dapat berlangsung dengan baik.
Gondang somba-somba dan liat-liat yang mengandung arti sebagai rasa hormat kepada setiap tamu yang sudah mau hadir dalam kegiatan tersebut.  Liat-liat sendiri salah satunya bermakna agar manusia mampu mengatasi kehidupannya. Prinsip ini ditandai dengan prosesi berkeliling sambil manortor. Setidaknya setelah ritus-ritus ini dilakukan barulah acara bisa dilanjutkan sesuai dengan tujuan kegiatan.
Demikian juga terjadi pergeseran nilai-nilai dalam satu reportoar. Seperti misalnya, reportoar musik “marhusip”. “Marhusip” adalah berbisik. Awalnya
“marhusip adalah reportoar untuk berdialog dengan Tuhan. Saya lebih suka menyebutnya membatin. Reportoar ‘marhusip” diminta, manakala seseorang atau masyarakat ingin meminta petunjuk dari Tuhan. Jika kita mendengar reportoar ini lebih detail, ada nada yang diulang-ulang serta diberi aksentuasi pada bar tertentu. Mirip orang berdialog. Sifat bunyi-bunyian gondang Batak Toba yang ritmis, membuat reportoar ini semakin khusyuk. Sekarang reportoar ini lebih sering dipakai dalam pesta anak-anak muda. Makna “marhusip” menjadi berbisik-bisik antara sesama anak muda untuk saling memperkenalkan dirinya kepada pasangannya manortor.
Sering juga terjadi penggunaan reportoar yang tidak tepat. Misalnya dalam pesta kematian yang dimainkan reportoar Si Bunga Ri. Padahal konten reportoar ini berkaitan dengan kehidupan muda-mudi. Bunga Ri, adalah bunga ilalang. Ilalang menjadi simbol remaja yang dalam kehidupannya rentan terhadap pengaruh dari luar. Jika angin bertiup ke kiri maka dia mengayun ke kiri.
Soal keakuratan data, terutama mengenai judul lagu serta syairnya juga sering menjadi masalah. Misalnya lagu Palti Raja ada yang memberinya judul Raja Sakti atau Raja Lontung. Bahkan ada juga yang menyebutnya Raja Ketemu Raja. Begitu pula dengan reportoar Parbinsar ni Mata ni Ari ada yang menyebutnya Embas-embas. Demikian pula lagu, Anak Tading-tadingan yang memiliki judul lain, Tio pe mual dang tar inum ahu yang sempat populer di masa Opera Batak. Atau Aek Sibulbolon ada yang memberinya judul Sisingamangaraja. Ada juga reportoar berjudul Melos Bunga-bunga menjadi lagu pujian gereja berjudul Nyanyikanlah Lagu Pujian Baru. Begitu  juga dengan syairnya yang lebih sering didasari atas ego si pembuat syair. 
Seringkali kita temukan syair yang berbeda-beda dari musik yang sama. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini. Pertama, tidak adanya sumber asli dalam bentuk tertulis dari sang pencipta. Selama ini para musisi tradisional Batak hanya mengutip dari apa yang ia dengar dan berkembang di masyarakat, secara turun temurun dan bersifat oral. Kedua, ada kebiasaan para musisi Batak, terutama demi kepentingan bisnis hiburan, mengembangkan sendiri satu reportoar khususnya judul dan lirik-liriknya. Alhasil sumber utama menjadi kabur. Terutama ini terjadi pada karya-karya Tilhang Gultom, seorang musisi dan perintis Opera Batak.
Semakin Ditinggalkan
Pentingnya merawat nilai-nilai kebudayaan itu, sebenarnya juga diakui oleh gereja. Dalam hal musik mereka buktikan dengan mengkombinasikan nyanyian yang bersumber dari tradisi dengan budaya dari luar yang mereka bawa. Salah satunya dengan menggunakan Buku Ende sebagai rujukan lagu-lagu yang digunakan di gereja. Buku Ende adalah buku kumpulan nyanyian utama orang Batak Kristen yang dipakai di sebagian besar gereja. Buku Ende dianggap sebagai kumpulan nyanyian yang hidup, selaras dengan perkembangan zaman. 
Klasifikasi Buku Ende setidaknya memperlihatkan 4 aspek. Pertama, memperkenalkan siapa Allah. Kedua, membuka tabir manusia dalam hubungannya dengan Sang Pencipta. Ketiga, sifatnya yang menggembalakan setiap orang yang menyanyikannya. Keempat, nyanyiannya yang menyegarkan jiwa manusia.
Lagu-lagu dalam Buku Ende ini sebagian besar dibawa oleh misionaris Jerman ke tanah Batak. Sebagian lainnya diciptakan di tanah Batak. Lagu-lagu ini berlatar belakang falsafah, budaya, ideologi dan bahasa Batak. Sekarang Buku Ende juga mulai ditinggalkan. Pertama, karena sebagian besar generasi muda kurang fasih berbahasa Batak, sehingga tidak mampu menghayati makna dari lagu-lagu yang ada di buku tersebut. Kedua, derasnya globalisasi yang membuat generasi muda kehilangan akar budayanya. Ketiga, semakin berkembangnya lagu-lagu pujian baru yang diproduksi secara massif, sehingga lagu-lagu dalam Buku Ende semakin terlupakan.
James Rawlings Syndor (1989) dalam buku yang berjudul ‘Introducing A New Hymnal’ menyebutkan, masalah yang dihadapi oleh beberapa gereja tertentu terkadang bukanlah soal memiliki Buku Pujian (Hymnal) yang baik. Buku pujian yang dimiliki, tak lagi cukup dikenal oleh anggota jemaat di tempat lagu itu berasal.

Sumber:
http://analisadaily.com/news/read/reportoar-musik-batak-toba-di-antara-derasnya-zaman/38485/2014/06/15

No comments:

Post a Comment