Pages

Friday, October 10, 2014

Pernikahan Etnis Mandailing

Pernikahan Etnis Mandailing


Merah & Keemasan Hiasi Pengantin Mandailing

Berbicara tentang pernikahan, Indonesia sebagai negara yang memiliki beragam suku dan budaya juga mempunyai tata cara adat tersendiri mengenai pernikahan. Pelaksanaan pernikahan secara adat biasanya unik dan berbeda satu sama lain. Misalnya, suku Mandailing yang berasal dari Provinsi Sumatera Utara. Suku ini menganggap bukan termasuk dalam batak karena asal usul dalam kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Tantular bahwa Mandailing, Pane, Toba dan Barus termasuk ke dalam rumpun Melayu dan tidak ada Batak di kala itu.

Nah, kembali lagi soal pernikahan, pengantin Mandailing menggunakan pakaian adat yang didominasi warna merah, keemasan dan hitam. Pengantin pria menggunakan penutup kepala yang disebut ampu-mahkota yang dipakai raja-raja Mandailing di masa lalu, baju godang yang berbentuk jas, ikat pinggang warna keemasan dengan selipan dua pisau kecil disebut bobat, gelang polos di lengan atas warna keemasan, serta kain sesamping dari songket Tapanuli. Sedangkan, pengantin wanita memakai penutup kepala disebut bulang berwarna keemaasan dengan beberapa tingkat, penutup daerah dada yaitu kalung warna hitam dengan ornamen keemasan dan dua lembar selendang dari kain songket, gelang polos di lengan atas berwarna keemasan, ikat pinggang warna keemasan dengan selipan dua pisau kecil, dan baju kurung dengan bawahannya songket.

Upacara Adat Pernikahan Mandailing

Sebelum acara adat dimulai, biasanya diperlukan perlengkapan upacara adat, seperti sirih (napuran/burangir) terdiri dari sirih, sentang (gambir), tembakau, soda, pinang, yang semuanya dimasukkan ke dalam sebuah tepak. Lalu, sebagai simbol kebesaran (paragat) disiapkan payung rarangan, pedang dan tombak, bendera adat (tonggol) dan langit-langit dengan tabir.

Adat pada suku Mandailing melibatkan banyak orang dari dalian na tolu, seperti mora, kahanggi dan anak boru. Prosesi upacara pernikahan dimulai dari musyawarah adat yang disebut makkobar/makkatai, yaitu berbicara dalam tutur sapa yang sangat khusus dan unik. Setiap anggota berbalas tutur, seperti berbalas pantun secara bergiliran. Orang pertama yang membuka pembicaraan adalah juru bicara yang punya hajat (suhut), dilanjutkan dengan menantu yang punya hajat (anak boru suhut), ipar dari anak boru (pisang raut), peserta musyawarah yang turut hadir (paralok-alok), raja adat di kampung tersebut (hatobangan), raja adat dari kambpung sebelah (raja torbing balok) dan raja diraja adat/pimpinan sidang (raja panusunan bulang).

Setelah itu, dilaksanakan acara tradisi yang dikenal dengan nama mangupa atau mangupa tondi dohot badan. Acara ini dilaksanakan sejak agama Islam masuk dan dianut oleh etnis Mandailing dengan mengacu kepada ajaran Islam dan adat. Biasanya ada kata-kata nasihat yang disampaikan saat acara ini. Tujuannya untuk memulihkan dan atau menguatkan semangat serta badan. Pangupa atau bahan untuk mangupa, berupa hidangan yang diletakkan ke dalam tampah besar dan diisi dengan nasi, telur dan ayam kampung dan garam.

Masing-masing hidangan memiliki makna secara simbolik. Contohnya, telur bulat yang terdiri dari kuning dan putih telur mencerminkan kebulatan (keutuhan) badan (tondi). Pangupa tersebut harus dimakan oleh pengantin sebagai tanda bahwa dalam menjalin rumah tangga nantinya akan ada tantangan berupa manis, pahit, asam dan asin kehidupan. Untuk itu, pengantin harus siap dan dapat menjalani dengan baik hubungan tersebut.


Sumber:
http://blog.goindonesia.com/pernikahan-etnis-mandailing/

No comments:

Post a Comment