Pages

Monday, October 20, 2014

Kajian Antropologi Batak Prof Bas

Kajian Antropologi Batak Prof Bas
Oleh : Aufrida Wismi Warastri

Melihat kayanya studi antropologi Jawa, tebersit rasa cemburu dalam hati Bungaran Antonius Simanjuntak (66). Itulah yang membuatnya tak henti membuat kajian antropologi tanah kelahirannya, Tano Batak. Dia juga menyemangati orang-orang muda untuk meneliti dan menulis kekayaan budaya Batak.

Kecemburuan itu salah satunya ia tujukan kepada almarhum Koentjaraningrat yang, menurut dia, njlimet, sangat rinci menggambarkan Jawa dalam buku Kebudayaan Jawa. Ia juga cemburu pada banyaknya orang Jawa yang tertarik mengkaji budayanya sendiri.

"Perampok di Jawa saja bisa menjadi kajian yang menarik," kata Ketua Program Studi Pascasarjana Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan (Unimed) yang akrab disapa sebagai Prof Bas atau Pak Bas. Kajian yang dimaksud adalah tulisan Suhartono, Kecu, Sebuah Aspek Budaya Jawa Bawah Tanah. Nama Prof/Pak "Bas"—singkatan dari Bungaran Antonius Simanjuntak—adalah inisial yang ia gunakan saat menjadi redaktur harian Sinar Indonesia Baru, Medan, tahun 1972-1978.

"Banyak publikasi Batak yang telah terbit. Namun, jarang ada publikasi yang dibuat oleh orang Batak sendiri dalam kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Jika di Jawa ada 500 tulisan, di Batak baru lima tulisan," tuturnya.

Kajian-kajian tentang Batak masih dipublikasikan terbatas di kalangan akademisi. Jarang ada penerbit yang tertarik menerbitkannya sebagai buku. Maka, sangat sulit menemukan literatur populer tentang Batak di toko buku.

Tesis yang ia terbitkan tahun lalu, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945, memperkaya studi tentang Batak. Terbitnya jurnal Antropologi Sumatera Unimed juga menambah perbendaharaan kekayaan literatur Batak.

Seperti bertengkar

Menurut Prof Bas, banyak sekali obyek kajian antropologi di Tanah Batak yang sebenarnya bisa ditulis. Salah satunya, di mata sebagian orang non-Batak, kalau orang Batak berbicara terkesan seperti orang yang tengah bertengkar.

Mengutip ungkapan sosiolog Islam Ibnu Khaldun dalam teori sosialnya, Prof Bas menjelaskan, letak geografis, jenis makanan, dan pola kerja sehari-hari ikut memengaruhi perilaku masyarakat. Secara geografis, Tanah Batak di Tapanuli, Sumatera Utara, terletak di kawasan pegunungan, iklimnya sejuk, dan jarak antarrumah penduduk berjauhan. Jika tak berteriak, orang tak akan mendengar.

Selain itu, sebagian orang Batak terbiasa minum tuak, sejenis minuman keras yang memanaskan tubuh. Maka, pembawaan mereka pun terkesan keras. Di dalam pekerjaan, mereka terbiasa bekerja tuntas dan bila perlu sampai lembur.

"Ini berbeda dengan orang Jawa yang makanannya tahu dan tempe. Kedelainya saja dirawat berbulan-bulan. Maka, pembawaan mereka halus. Kerjanya juga alon-alon waton kelakon, tetapi tekun dan punya target," papar Pak Bas seraya menambahkan, ketekunan Jawa jelas berbeda dengan kerja keras Batak.

Mengapa Pak Bas membandingkan budaya Batak dengan Jawa?

Ia memang bercita-cita membuat kajian atas dua budaya yang berbeda itu karena sejak usia 16 tahun hingga lulus sarjana (S-1) ia tinggal di Yogyakarta, kuliah di Universitas Gadjah Mada.

Ia bahkan pernah ikut menjalani tirakat saat Jumat Kliwon, menelusuri tempat-tempat petilasan di lereng Gunung Merapi hingga goa-goa di Gunung Kidul. Ia juga banyak tahu soal sekar Macapat dan gending jawa. Kekaguman pada budaya suku lain itu membuatnya justru makin mencintai budaya Batak.

Saat bercakap pun ia menggunakan banyak idiom Jawa. Ketika salah seorang staf minta izin, dengan ringan dia berkata "mangga". Dia sering disebut "baja" alias Batak Jawa.

"Spiritual recharge saya ada di Yogya, sementara cultural recharge saya di Batak," ungkapnya.

Dia juga dikenal keras kepada mahasiswa. Nilai tertinggi yang dia berikan kepada mahasiswa biasanya B. Jika ada A, berarti mahasiswa itu istimewa di matanya. Para pegawai universitas sudah biasa menemukan dirinya berjam-jam duduk di kursi kerjanya, tekun membaca dan menulis hingga kantor sepi.

Kepada para mahasiswa, ia menyarankan membaca banyak buku tentang Jawa sebelum membuat kajian tentang Batak. Dengan begitu bisa dipelajari metode yang dilakukan para antropolog Jawa dalam menganalisis budayanya. Namun, ia juga mengkritik penyederhanaan tentang Jawa sebagai sesuatu yang "satu", padahal sebenarnya berbeda-beda.

Bidang hukum

Sebagai bahan kajian, dia menyebutkan contoh, apakah orang Batak bisa menjadi diplomat? Mengapa orang Batak lebih senang bekerja di bidang hukum, seperti pengacara, hakim, atau jaksa? Itu demi membela kebenaran atau karena bisa mendukung eksistensinya sebagai orang Batak?

Dalam tradisi Batak, ada tiga kata yang secara eksistensial saling mendukung: hamoraon (kekayaan) hagabeon (keturunan), dan hasangapon (kehormatan). Metode pencapaiannya diatur dalam struktur sosial dalihan na tolu atau tungku dengan tiga batu, lambang struktur sosial masyarakat Batak: hula-hula (kelompok pemberi istri), boru (kelompok penerima istri), dan dongan sabutuha (kelompok satu marga).

Relasi unsur-unsur itu banyak menentukan kehidupan sosial orang Batak. Sayangnya, kata Prof Bas, saat ini muncul kecenderungan konflik internal di kalangan masyarakat Batak untuk mempertahankan kehormatan. Kehormatan masih dipandang secara individual sehingga melahirkan budaya destruktif. Kehormatan bersama belum sepenuhnya disadari banyak orang Batak.

"Saat pengeboman gereja di Medan tahun 2000, perang antar-agama hampir pecah. Perang itu tak terjadi karena struktur sosial dalihan na tolu," kata Prof Bas. Akan tetapi, sekarang ini banyak orang Batak berkonflik demi memperebutkan kekayaan dan kehormatan.

Semua kajian itu ada dalam disertasi doktoral Prof Bas, salah satu pendiri Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Sumatera Utara (USU) dan Jurusan Antropologi di Fakultas Sastra USU. Disertasi berjudul Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba itu akan terbit tahun ini, dilengkapi kajian-kajian konflik Batak terbaru.

Seperti yang dilakukan gurunya, Prof Dr HJM Claesen, dari Instituut voor Culturele Anthropologie Rijks Universiteit, Leiden, dan Prof Soedjito Sosrodiharjo SH MA di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Pak Bas juga mengajak para murid mencintai budaya sendiri, di antaranya juga mempelajari budaya lain yang ada di Indonesia.




Sumber: Kompas, Kamis, 3 Mei 2007
http://bukan-tokohindonesia.blogspot.com

No comments:

Post a Comment