Pages

Thursday, October 23, 2014

Dakka Hutagalung: Batak Harus Diduniakan

Dakka Hutagalung: Batak Harus Diduniakan



TAHUN 1970-an silam, orang-orang Batak, terutama yang berdomisili di Tanah Batak dan sekitarnya, pasti mengenal vocal group bernama Trio Golden Heart. Sekalipun ada beberapa vocal group dan penyanyi Batak yang juga terkenal di masa itu, namun Trio Golden Heart memiliki tempat tersendiri di hati banyak masyarakat Batak.


Personil grup penyanyi trio ini adalah: Dakka Hutagalung, Star Pangaribuan, dan Ronald Tobing. Lagu-lagu mereka sangat digemari, terutama lagu Batak, dan lagu-lagu rohani Batak yang diambil dari Buku Ende. Di masa keemasannya, Trio Golden Heart tidak hanya menghasilkan album lagu-lagu Batak, namun juga album pop Indonesia, irama Melayu, bahkan dangdut. Namun album Batak tetaplah mendominasi, dan menjadi trademark  mereka. Selama kiprahnya, Trio Golden Heart telah menghasilkan 28 album terdiri dari pop Batak, rohani, Melayu. Bahkan irama dangdut juga ada.

Seiring perjalanan waktu, grup band ini pun secara perlahan menghilang dari panggung musik. Star Pangaribuan meninggal dunia. Ronald Tobing saat ini menderita stroke. Saat ini hanya Dakka Hutagalung, yang notabene lebih tua dari kedua rekannya itu, masih tetap segar dan sehat walafiat. Sekalipun tidak lagi tampil dengan Trio Golden Heart dan melahirkan album-album, namun kiprah Dakka di blantika musik Batak, bahkan nasional, tetap berkibar. Hingga kini, 400 lebih lagu telah dihasilkan Dakka Hutagalung.

Ditemui di Lippo Mall Karawaci, Tangerang, Banten  pertengahan Oktober 2013 lalu untuk sebuah wawancara, Dakka Hutagalung mengatakan kalau proses perjalanannya sebagai musikus kenamaan adalah karena talenta.  “Saya baru sadar sekarang bahwa talenta, kalau dibina dan dijadikan hobby akan menghasilkan apa yang kita inginkan,” katanya. Dakka mengakui kalau talenta menyanyi dia jadikan hobby.

Sedari kecil Dakka suka menyanyi dan bermain gitar. Bahkan aktivitas bermusik itulah yang lebih banyak dia lakukan ketimbang sekolah. Ketika itu Dakka bersekolah di SMPN 6 Medan. Dia sendiri lahir di Pahae, Kabupaten Tapanuli Utara, pada 28 Oktober 194.... (tidak mengasih tahu tahun berapa).

Tidak sia-sia memang Dakka menekuni talentanya itu. Semasih duduk sebagai siswa SMP itu, dia pernah menjadi juara kedua nyanyi (vokal solo) dalam ajang Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) yang diadakan di Medan.  

Mestinya, itu menjadi momentum yang bagus untuk mengembangkan talenta tarik suara itu. Namun peristiwa G-30-S/PKI membuat semuanya berantakan. Dakka akhirnya merantau ke  Jakarta untuk melanjutkan sekolah. Tetapi  memang minatnya sudah ke musik. Hanya saja, persaingan di Ibu Kota sangat berat. Dakka mulai giat dan tekun menciptakan lagu-lagu, sampai kemudian terbentuklah Trio Golden Heart, pada 1972.  

Ciptakan Lebih dari 400 Lagu

“Saya menciptakan lagu mulai dari tahun 1970-an,” cetus Dakka mengingat awal dari kiprahnya sebagai komposer lagu. Dia tentu tidak lupa pula bahwa pada masa itu dia juga menciptakan sebuah lagu bersama ayahandanya, yang mereka beri judul “Sibaganding”. Sibaganding adalah nama sebuah kampung di dekat Kota Parapat, tempat keluarga Dakka Hutagalung pernah berdomisili. “Di dia jumpang au”, sebuah lagu cinta berirama sendu, adalah salah satu karya Dakka yang tercipta di masa itu.

Dakka memastikan, umumnya lagu-lagu hasil kreasinya itu direkam dan dinyanyikan, baik oleh Trio Golden Heart sendiri, maupun penyanyi lain. Dan banyak dari karya ciptanya itu yang populer bahkan secara nasional. “Cuma sekitar 5% dari karya saya tersebut yang belum direkam. Beberapa lagu yang belum direkam secara komersial itu berupa lagu-lagu rohani,” tandas Dakka Hutagalung.

Untuk lebih jelasnya, Dakka Hutagalung menciptakan lagu Batak, rohani Batak, lagu pop Indonesia, dan rohani Indonesia. Tentu saja lagu Batak yang paling banyak dia hasilkan. Namun Dakka menegaskan bahwa semua lagu pop Indonesia yang dia telurkan itu semua populer. Salah satu contoh lagu  pop  ciptaan Dakka yang pernah mengharu-biru perasaan masyarakat pencinta musik se-Tanah Air pada tahun 80-an, khususnya para remaja yang sedang jatuh cinta, adalah “Sonata yang Indah”. Lagu “Sonata yang Indah” ini dipopulerkan oleh Robin Panjaitan, adik kandung Christine Panjaitan, yang kala itu sudah menjadi artis penyanyi papan atas di Tanah Air.

Lagu-lagu lain ciptaan Dakka Hutagalung yang diterima secara luas antara lain: “Mamaku  Sayang” yang dibawakan oleh  Puput Novel. Penyanyi Julius Sitanggang tentu beruntung punya kesempatan membawakan buah karya Dakka yang diberi judul: “Dia dan Dia”, “Tabahlah Mama”, dan lain-lain. Lagu-lagu ini sangat populer di seantero Tanah Air pada masa itu. Novia Kolopaking juga menjadi salah satu artis yang dipercaya memopulerkan lagu ciptaan Dakka Hutagalung. Sayang sekali, Dakka tidak bisa mengingat semua judul lagu tersebut. Tapi yang sangat membanggakan adalah bahwa beberapa dari lagu tersebut seperti Tabahlah Mama, Dia dan Dia, mencatat predikat best seller, dan dianugerahi Grammy Award.

Kebanyakan orang Batak  pasti familiar dengan lagu berjudul: “Di Dia Rongkaphi”, “Ho Do Rajangku”, dan lain-lain. Lagu-lagu inilah yang antara lain menorehkan kesan khusus bagi Dakka Hutagalung selaku penciptanya. Soalnya lagu-lagu ini sangat populer di kalangan orang Batak.

Namun di atas semua itu, lagu berjudul “Sipata”, tentu mendapat tempat yang lebih khusus lagi dalam relung hati Dakka Hutagalung.  Pasalnya, lagu “Sipata” ini pernah sangat populer di Eropa. Lagu berlirik Batak ini dibawakan oleh Herman Delago, penyanyi Austria. “Saya sangat bangga lagu Batak populer di Eropa,” kata Dakka tentang lagu ciptaannya tersebut. Lagu tersebut dibawakan orang Austria, direkam di Jerman, dan dipasarkan hanya di luar negeri.

Royalti tidak beres

Tidak mengherankan bila hingga saat ini ada lagu-lagu ciptaan Dakka Hutagalung yang didaur ulang. Namun hal ini lebih banyak menghasilkan duka bagi Dakka selaku pemilik hak intelektual atas lagu-lagu tersebut. Betapa tidak, royalti yang mestinya menjadi bagiannya, tidak dia peroleh sebagaimana mestinya. “Bicara soal royalti, Republik ini tidak beres,” tegas Dakka menahan rasa geram. Menurut Dakka, tangan pemerintah tidak panjang untuk melindungi dan memperhatikan kesejahteraan para seniman pencipta lagu.

Oleh karena itulah, belum lama ini sejumlah pencipta lagu membentuk Komisi Nasional Pencipta Lagu Indonesia (KNPLI). Di lembaga ini, Dakka menjadi ketua dewan pertimbangan dan pendiri. Badan ini baru dibentuk. Anggotanya seluruh artis pencipta lagu. Direncanakan pada 28 Oktober 2013  KNPLI akan melayangkan somasi terhadap seluruh pengelola televisi, radio, dan badan-badan bisnis yang kerap menggunakan karya cipta para seniman musik ini supaya “menghargai hak moral”.

Dakka melihat, selama ini sudah merupakan kebiasaan pihak televisi dan radio tidak mencantumkan nama pencipta lagu, tetapi “dipopulerkan oleh”. Menurut Dakka, tindakan seperti itu melanggar hak intelektual. Padahal terhadap pelanggarnya diancam hukuman sebesar Rp 5 miliar dan hukuman penjara 7 tahun.

Di mata Dakka, kualitas lagu Batak akhir-akhir ini jauh beda dibanding dulu. Sekarang orang mau populernya saja. Tidak pedulu kualitas asal populer. “Kalau mau populer kan gampang saja. Bikin saja lagu yang norak, syairnya jelek, pasti top,” terang Dakka seraya mengulangi bahwa dari segi kualitas, lagu-lagu Batak terdegradasi. Soal penurunan kualitas ini, Dakka menunjukkan beberapa lagu Batak yang dicampur-campur lirik bahasa Indonesia. Bagi Dakka, hal ini tidak benar. “Kalau mau lagu Batak, ya harus konsisten dong lirik Batak,” ingat Dakka.


Trio Golden Heart

Kembali ke Trio Golden Heart. Dakka mengakui, kelompok grup vokal Batak yang masyhur di era 70-an itu memang sangat berperan pada perjalanan hidup nya. “Bahwa grup trio vokalis itu mendukung popularitas saya, hal itu tidak dapat saya pungkiri. Tetapi sebagai komposer, saya kan lepas dari itu. Bayang-bayang itu sudah tidak ada,” ujar Dakka. Dari ketiga personil Trio Golden Heart, kini hanya Dakka Hutagalung-lah yang masih segar dan eksis berkarya. Bahkan dalam usianya yang menjelang 70 tahun, Dakka masih terlihat awet muda, bugar dan energik. Ditanya apa resepnya, “Hati yang selalu damai,” jawab Dakka.

Dalam menciptakan lagu, Dakka sangat mandiri. Dia berusaha tidak terpengaruh dengan yang namanya trend.  Dakka tidak menciptakan lagu saduran atau meniru lagu lain. Bahkan dia tidak pernah mendengar lagu di rumah.  “Di rumah saya pantang mendengar lagu. Jadi, saya tidak tahu lagu apa pun. Saya tidak tahu lagu The Bee Gees, The Beatles, dll.  Kalaupun dengar paling saat menonton televisi, tetapi di rumah tidak boleh terdengar musik dari tape, dll,” tandas Dakka. Kalau anak-anak di rumah mau menikmati musik, harus menggunakan headphone.

Tentang sikapnya ini, Dakka mengatakan itu bukan lantaran dirinya ekstrim, tetapi malas saja mendengar lagu lain. “Maka saya menciptakan lagu bukan untuk trend, tetapi saya membuat karya saya,” tegasnya. Dia juga tidak menafikan bahwa tentu saja ada “masukan” ke telinganya yang dia dengar saat berada di luar rumah. “Tetapi saya tidak pedulilah dengan itu. Saya membuat lagu sesuai karaketr saya, warna saya, berdasarkan apa yang ada di benak saya saja,” urainya.


Danau Toba

Dakka Hutagalung ternyata punya perhatian yang sangat besar terhadap Danau Toba. Alasannya, Danau Toba itu suatu anugerah bagi bangsa Indonesia, khususnya bangsoBatak. “Harus ada  sesuatu yang dibanggakan dari negeri kita. Dan yang patut menurut saya adalah Danau Toba,” tandas Dakka. Dia mengaku tidak bisa melukiskan bagaimana luar biasanya danau tersebut. Bahkan dia mengatakan lebih mencintai Danau Toba dibanding tempat apa pun di dunia ini. Danau Toba boleh menjadi icon negeri ini.

Tapi sayang, keindahan alam yang luar biasa itu tidak dimanfaatkan. Tidak dimaksimalkan untuk memopulerkan kawasan wisata itu, dan sekaligus bisa mengangkat harkat dan kesejahteraan rakyat yang bermukim di sana. Menurut Dakka, yang ada hanya pesta dan pesta, tetapi tidak berhasil mencapai tingkat kunjungan wisatawan yang baik. Ini karena tidak didukung pemerintah daerah.

Kebanggaan Dakka adalah bahwa kebanyakan orang Batak masih mencintai lagu Batak, mencintai seniman Batak.  Namun dia sangat menyayangkan pemimpin yang terkesan kurang menghargai nilai-nilai budaya Batak. Contohnya, menurut Dakka,  Festival Danau Toba belum lama ini adalah penghinaan terhadap seni budaya Batak. Hal ini terkait dengan diberikannya panggung kepada seniman-seniman luar Batak dalam Festival Danau Toba tersebut.  “Dunia jangan dibatakkan, tetapi Batak yang harus diduniakan,” tegas Dakka.

Dakka mengecam seniman dari daerah lain dan negeri lain yang tampil di ajang tersebut. “Tujuan kita kan mempromosikan  Tanah Batak untuk menjadi tujuan wisata. Jangan terbalik. Kalau mau melihat drummer Myanmar, pergilah ke Myanmar. Kalau ingin melihat seniman Bali berkarya, datanglah ke Bali. Ngapain ke Tanah Batak?” tegas Dakka dengan nada tinggi.

Di Festival Danau Toba, tunjukkanlah budaya original Batak. Tampilkan uning-uningan, tortor, tumba, lagu Batak, bagaimana cara mendesain ulos, membuat garantung, pamerkan, ogung, dan cara memainkannya.

Terlepas dari sikap kerasnya akan perlunya melestarikan budaya Batak, Dakka Hutagalung tetaplah seorang komponis lagu Batak yang layak diberi apresiasi tinggi. Dan itu sudah diwujudkan pada November 2011 lalu di Hotel Sultan Jakarta. Untuk
mengapresiasi karya-karya Dakka, sebuah pagelaran digelar: "A Special Music Performance Tribute for Dakka!". Pagelaran musik dan apresiasi 40 Tahun Dakka Hutagalung Berkarya.

No comments:

Post a Comment