Pages

Wednesday, October 8, 2014

Berdirinya Gereja Batak Karo Protestan




 http://www.gbkp.or.id/images/gbkp%20logo.png
Latar Belakang Pekabaran Injil
Sejak permulaan abab ke XIX Pekabaran injil telah tiba di Sumatera Utara dibawa oleh Badan-Badan Zending seperti Zending Babtist, Ermelo (Belanda). Pekerjaan itu baru berhasil sebesar-besarnya setelah Rheinisch Mission Gesellschaft (RMG) sejak tahun  1861 menyebarkan Injil ke pedalaman tanah Batak. RMG telah menetapkan seluruh Tapanuli, Nias dan simalungun menjadi wilayah pelayanannya. Dengan Demikian hanyalah wilayah Karo yang belum dilayani.

J.Th. Cremer, bekas Direktur Maskapai Deli (1873-1884) yang pada waktu itu adalah anggota Parlemen Rendah Belanda mengemukakan kepada sidang Parlemen tentang keadaan orang Karo yang masih terbelakang dan yang sampai saat itu belum mendapat pendidikan Barat seperti saudara-saudaranya orang Batak Toba di  Tapanuli. Ia juga mengemukakan bahwa, sekarang wilayah ini sudah terbuka dan dikunjungi oleh suku-suku bangsa indonesia lain. Orang Karo perlu dididik supaya kelak dapat ikut dalam arus kemajuan yang dibawa oleh Pemerintah Kolonial , dan injil perlu segera diberitakan kepada mereka sebelum mereka beralih agama kepada agama yang lain. Ia juga menambahkan bahwa pekerjaan ini telah lebih mudah dijalankan, sebab jalan-jalan sudah dibuka maskapai Perkebunan sampai ke kaki-kaki Bukit Barisan.

Mengingat Kenetralan Pemerintah Belanda dalam agama, maka tugas itu tidaklah menjadi beban Pemerintah, dan juga tugas pendidikan belum dapat dijalankan Pemerintah oleh sebab itu belum seluruhnya wilayah Karo berada dibawah kekuasaan Belanda.

Akhirnya Cremer mendekati Nederlands Zenedeling Genootschap (NZG) dan mengusulkan agar NZG mengambil tanggung jawab penginjilan terhadap orang Karo dan ia sendiri bersedia mencari dana untuk maksud tersebut. Usul Cremer ini dipandang baik oleh NZG. Mengingat keterbatasan NZG dalam keuangan, maka NZG bersedia menerima bantuan dana yang akan diusahakan Cremer.


Permulaan Perkabaran Injil 1890-1900

NZG mengutus H.C. Kruyt untuk memulai perkabaran injil ditengah-tengah orang Karo. Ia adalah anak Pdt. J.Kruyt salah satu pelopor Perkabaran Injil di Mojowarno Jawa Timur. Sewaktu ia diminta oleh NZG memulai perkabaran injil diantara orang-orang Karo, ia bertugas sebagai Kepala Sekolah di Tomohon Minahasa. Ia dan isterinya menerima tugas ini dengan senang hati. 

Pada tanggal 18 April ia bersama-sama dengan pembatunya Nicolas Pontoh tiba di Medan dengan kapal laut sedang isterinya masih tinggal di Mojowarno. Setelah mengadakan perjalanan peninjauan sebanyak tiga kali maka ia menetapkan Buluh Awar sebagai pangkalan pertama Perkabaran Injil.

Pemilihan tempat ini adalah dengan beberapa pertimbangan :
1.Desa ini terletak ditepi jalan yang dilalui para pejalan kaki dari Dataran Tinggi Karo ke Belawan.
2.Jumlah penduduknya ada sebanyak 200 jiwa.
3. Desa dekat dengan desa-desa lain sekitarnya, khusunya desa Ketangkuhen. Didesa Ketangkuhen ada seorang Guru atau Dukun Besar yang oleh Kruyt diharapkan dapat mengajarinya tentang adat dan kepercayaan orang Karo.
4.Jalan-jalan perkebunan mudah dicapai dari desa ini.

H.C. Kruyt mulai menetap di Buluhawar sejak tanggal 2 juli 1890 dengan menyewa sebuah rumah reot milik penduduk dengan sewa 16 dollar per bulan.

Ia mulai pelayanannya dengan bercakap-cakap dengan penduduk desa mulai dengan bahasa melayu dan membuka poliklinik dirumahnya. Orang-orang segera berdatangan kerumahnya meminta obat dan ada yang hanya ingin tahu. Dengan itu Kruyt juga segera mahir berbahasa karo dan menjalin persahabatan dengan penduduk dan pejalan kaki dari gunung, diantaranya Pengulu Seberaya. Ia diundang oleh Pengulu Seberaya mengadiri pesta Pekuwaluh ( Penghanyutan Abu Jenazah). Kruyt tidak jadi pergi karena tidak diijinkan oleh Pemerintah. Hasratnya berkunjung kesana begitu besar, sehingga akhirnya terlaksana pada tahun 1891.

Kruyt telah yakin bahwa injil akan dapat berkembang diantara orang-orang Karo. Oleh sebab perasaan optimis ini , maka kruyt pun mendatangkan 4 orang guru Minahasa yang akan membantunya. Tapi sebelum guru-guru itu sempat ditempatkan di desa-desa , ia minta berhenti dari dinas NZG dengan alasan bahwa ia ingin melanjutkan studi Sekolah Tinggi Teologia. Demikianlah ia meninggalkan Buluhawar pada tahun 1982 sebelum seorangpun dibaptiskan.

Sebagai gantinya tibalah Pdt.J. Wijingaarden pada bulan Desember 1892 yang sebelumnya telah bekerja di Savu. Wijingaarden dan Nyoya tidak mengenal letih dan tidak membuang kesempatan yang ada. Oleh sebab itu ia segera menempatkan para guru-guru Minahasa di desa-desa, yaitu B.Wenas di Salabulan, H.Pesik di Tanjungberingin, J.Pinontoan di Sibolangit, Richard Tampenawas di Pernengenen sedang N.Pontoh tetap tinggal di Buluhawar.

Penempatan guru-guru ini sebenarnya atas undangan kepala-kepala desa,sebab mereka mengerti akan manfaat pendidikan Barat. Oleh sebab itu sekolah dan tempat tinggal guru-guru tersebut dibangun penduduk dengan cara bergotong royong. Sekolah di Salabulan kemudian ditutup dan  dipindahkan ke Bukum pada tahun 1896. Diluar jam-jam sekolah guru-guru ini mengabarkan injil kepada penduduk desa dengan mendatangi mereka ke rumah-rumahnya, ladang-ladang dan jambur atau balai desa.

Tuhan memberkati pelayanan mereka. Pada tanggal 20 Agustus 1893 terjadilah pembaptisan pertama terhadap orang Karo, yaitu : Sampai Bukit dengan isterinya Ngurupi Br Sembiring, Beserta anak mereka yang bernama Pengarapen Bukit, Nuan Barus , Tala Barus keduanya bersaudara dan masih muda, dan Tabar Bukit.

Tak lama kemudian wijingaarden jatuh sakit diwaktu perjalanannya ke Pernengenen. Setelah Berobat beberapa hari ia meninggal dunia di Rumah Sakit Perkebunan di Medan. Sebelum Menghembuskan nafas terakhir , ia meminta isterinya untuk supaya tetap tinggal di Buluhawar meneruskan Pelayanannya sampai penggantinya tiba. Nyonya Wijingaarden menepati amanah ini, dan ia tinggal di Buluhawar sampai beberapa bulan lagi sampai pekerjaan dapat diteruskan M.Youstra yang tiba pada bulan Februari 1894.

Youstra sangat berbakat dalam bahasa. Ia menyusun tata bahasa Karo, mengalih bahasakan  istilah-istilah teologi, menterjemahkan 104 Ceritera Alkitab ke dalalm bahasa Karo dan mengarang bahan bacaan anak -anak sekolah minggu dan lain-lain. Ia menggerakkan gotong royong membangun sawah untuk Buluhawar.

dari perkunjungannya ke Tanah Tinggi Karo, ia memutuskan agar Perkabaran Injil segera dapat dijalankan disana, meskipun wilayah itu belum sepenunhya dikuasai oleh Belanda. Ia meminta Ijin kepada Badan Zending untuk mengadakan pendekatan ke RMG untuk meminta bantuan tenaga. Ia berangkat ke Toba pada tahun 1898. Sebagai hasil perkunjungan ini, maka tahun 1899 RMG mengutus Pdt. H.Guillaume membantu NZG untuk wilayah Tanah Tinggi Karo. Oleh sebab ijin mengabarkan injil kesana belum diperoleh, maka buat semetara Guillaume bertempat tinggal di Bukum, sambil menjadi peserta Resort Bukum yang wilayahnya sampai ke Serdang. Dalam kurun waktu 1899-1904 ia berpuluh kali mengunjungi Tanah Tinggi Karo. Pada tahun 1902 sudah keluar ijin mengabarkan injil di Tanah Tinggi Karo, dan sibayak Pa Pelita dari Kabanjahe juga memberi ijin kepadanya bertempat tinggal di Kabanjahe. Ia pun segera merencanakan membangun rumah di Kabanjahe pada akhir tahun 1902 . Tetapi sayang bahan papan yang telah tersedia, pada suatu malam dirampas orang. Dengan sedih Guillaume menulis surat kepada kantor Zending di Belanda tentang peristiwa tersebut, ia menutup suratnya dengan :" Kiranya papan itu kelak menjadi permulaan dari gereja-gereja diwilayah ini ".

Bersama Guillaume tiba dua guru injil yaitu M.L. Siregar yaitu putera dari Pendeta Batak pertama dan Nahum Tampubolon. M.L.Siregar melayani ditengah-tengah orang karo dari Buluhawar, Bukum, Pancur Batu dan Kutajurung, Sibolangit sampai pensiun pada tahun 1938, sedang Nahum Tampubolon segera pulang ke daerah asalnya.

Pendeta J.H.Neumann tiba pada tahun 1900. Beberapa waktu ia tinggal di Buluhawar tetapi kemudian ia memilih Sibolangit menjadi tempat kedudukannya. Pemilihan tempat ini adalah karena sudah agak pasti bahwa jalan akan dibuka melalui Sibolangit ke Bandar Baru dan selanjutnya ke Kabanjahe. Selain mengabarkan injil dari desa ke desa dan membangun sekolah-sekolah , Neumann membuka klinik di Sibolangit. Ia dibantu oleh Pa Ngamper Tarigan yang sebelumya juga bertugas sebagai penginjil. Kemudian Neumann terkenal dengan tulisan-tulisannya mengenai kepercayaan kristen,kebudayaan karo dan menterjemahkan Perjanjian Baru dan Perjanjian lama kedalam bahasa Karo. Sejak Neumann di Sibolangit peranan Buluhawar sebagai pangkalan pelayanan menjadi berkurang. Akhirnya seluruh dusun dilayani dari Sibolangit, Dan terbentuklah Klasis Sibolangit kurang lebih tahun 1920


Perkembangan PI 1905-1915

Dalama kurun waktu ini terdapat dua perkembangan . Pertama adalah waktu untuk mengkabarkan Injil ke Tanah Tinggi Karo yang telah lama dinanti-nantikan terwujud dengan menetapkan Pdt.E.J. Van den Berg di Kabanjahe pada tanggal 10 April 1905. Ia dibantu oleh guru-guru lulusan Sekolah Guru Cepat yang dipimpin Youstra di Buluhawar  dan oleh Neumann di Sinbolangit sejak tahun 1900. Segera setelah bertempat tinggal di Kabanjahe, ia membuka sekolah dan mengabarkan injil. Sekolah pertama di Kabanjahe dibuka pada tahun 1905, gurunya bernama Tuhan Purba dan kemudian Renatus. Dengan pertolongan Sampai Bukit yang telah dibaptis di Buluhawar, ia memulai pekabaran injil dan membuka sekolah di Bukit. Gurunya adalah Ngendes Tarigan (Pa Dina). Kemudian ia juga membuka sekolah di Dokan, gurunya bernama Menteri Ketaren, yang sebelumnya dibawah bimbingan Neumann telah menjalankan perkabaran injil di Resort Sibolangit. Sekolah juga dibuka di Cingkes, gurunya bernama Deman Ginting. Pada tahun 1908 berlangsung pembabtisan pertama di Kabanjahe. Antara tahun 1908-1915, Bukit dan Dokan. Yang dibabtis pada tahun 1910 terdapat Sibayak Pa Mbelgah, terkenal sebagai pemberani.

E.J van den Berg membuka sekolah-sekolah dibanyak tempat, antara lain di Lingga, Naman, Berastagi, Ajibuhara,Barusjahe, Batukarang dan Sarinembah. Ia membuka poliklinik umum dan lepra yang kemudian berkembang menjadi Rumah Sakit Zending dan R.S Kuta Lau Simomo.

Van den Berg sangat tekun bekerja dan pandai bergaul dengan penduduk maupun raja-raja. Untuk memenuhi kebutuhan guru-guru, maka NZG membuka Sekolah Guru yang lebih tinggi tarafnya yang telah dibuka oleh Youstra di Berastagi. Guru-gurunya adalah G.Smit merangkap kepala sekolah, H.Pesik, G.C. Rompas dan Moningka, ketiganya berasal dari Minahasa. Sebelum ditutup pada tahun 1920,sekolah sempat menerima murid 4 kali.

Perkabaran injil juga dikembangkan kedaerah Serdang dengan penempatan L.Boadaan di Kotajurung, pada tahun 1910. Di Kutajurung dibuka sekolah Zending. Seperti halnya Neumann diangkat pemerintah mengawasi sekolah-sekolah Pemerintah di Deli hulu, demikian juga Bodaan diangkat menjadi pengawas sekolah-sekolah pemerintah di Serdang. Setelah 5 tahun melayani di Kutajurung L.Bodaan pindah ke Kabanjahe dan ia digantikan oleh van den Berg(1917-1919).

Berdasrkan statistik keanggotaan maka dalam 10 tahun masa kerja di Tanah Tinggi jumlah yang dibaptis hampir sama dengan 25  tahun masa kerja didusun. Seluruh anggota jemaat setelah 25 tahun baru 962 orang, terdiri dari resort Sibolangit 337 orang, resort Kutajurung 174 orang, sedang Resort Kabanjahe 451 orang.  


Kemandekan Pekabaran Injil 1915-1925

Setelah mengalami perkembagan yang baik antara tahun 1900-1915 maka terjadi kemandekan 10 tahun lamanya. Menurut laporan E.J. van den Berg yang melayani di Resort Serdang dari tahun 1917-1919, hampir semua yang telah dibaptis pada kurun waktu 1893-1918 tidak ada yang aktif ke Gereja. Bersamaan dengan itu, murid-murid sekolah juga berkurang secara menyolok. Sebab-sebab kemunduran ini :

1.Orang mulai kurang percaya ajaran moral dan pendidikan yang dikembangkan Belanda, sebab orang Eropah sendiri berperang satu dengan yang lain dalam Perang Dunia I
2.Orang tidak melihat kegunaan menjadi Kristen.
3.Orang Belanda hanya menyuruh orang lain menjadi Kristen,menghormati hari minggu, tetapi mereka sendiri tidak ke Gereja.
4.Pada waktu itu timbul gerakan Si Parhudamdam, yaitu satu gerakan nasional yang religius yang berasal dari Toba, memasuki Karo melalui Serdang. Gerakan ini anti  Belanda, anti pajak, anti pengobatan Belanda dan anti sekolah dan juga anti gereja.

Pikiran rakyat yang berkembang ini, membuat anak-anak menarik diri dari sekolah-sekolah. Dalam pada itu Pemerintah Belanda tidak memberikan subsidinya, jika jumlah murid tidak memenuhi ketentuan Pemerintah. Oleh sebab jumlah murid kurang dari ketentuan, maka sekolah Zending akhirnya ditutup pada tahun 1920. Pada bulan-bulan pertama tahun 1918 tidak ada orang yang mau berobat ke Rumah Sakit Zending di Sibolangit. Gerakan itu tidak sampai ke Tanah Tinggi Karo , Namun pikiran kritis terhadap Orang Barat terasa dimana-mana.


Pertumbuhan Baru 1925-1940

Para pendeta NZG ,melalui konfrensi-konfrensinya berusaha mengembalikan perkembangan dan pelayanan Gereja dengan :
1.Penataan ulang penempatan Pendeta. Dalam rangka ini Resort Kutajurung dipindahkan ke Gunung Meriah. ada dugaan bahwa hubungan Bangun Purba - Seribu Dolok akan sama seperti Medan-Kabanjahe. Kutajurung dijadikan tempat kedudukan Guru jemaat yaitu Guru Julius Raintung dari Minahasa(1918-1925).
2.Membatalkan Resort Sarinembah dan mengembalikannya ke Resort Kabanjahe, serta menutup Resort Barusjahe dan jemaan Barusjahe digembalakan oleh Guru Jemaat Siam Ketaren dan selanjutnya oleh Juai Sembiring Meliala.
3.Memulai lagi penempatan guru-guru agama baru bekas siswa Sekolah Guru di Raya.
4.Menempatkan sebagian dari mereka menjadi Guru-guru sekolah swasta, yang mulai bermunculan 1920-an.

Kendati usaha ini sangat lamban. Barulah pada tahun 1925-1940 terjadi lagi perkembangan baru timbul di seluruh daerah. Jemaat juga berkembang di Langkat Hulu sejak Perkabaran Injil dimulai dimasa pada 1922.

Ada beberapa hal yang perlu kita catat dalam proses perkembangan ini :

1.Tanah Tinggi Karo mengalami kemakmuran dibanding kurun waktu sebelumya. Kemakmuran ini terjadi oleh karena wilayah itu menjadi sumber sayur-sayuran, buah-buahan dan bunga. Beberapa daerah muncul sebagai penghasil beras oleh sebab sistem irigasi yang dijalankan Pemerintah.

2.Semangat mencari pendidikan muncul kembali. Dalam kaitan ini dibukakan sekolah yang berbahasa Belanda di Kabanjahe pada tahun 1922 oleh Raja-raja Berempat sedang pelopornya E.J van den Berg dan selanjutnya S.D Keristen berbahasa Belanda ditahun 1933.

3.Rumah sakit Zending di Kabanjahe dan Sibolangit, mulai pula mendirikan klinik-klinik dibanyak tempat dataran Tinggi Karo dan Deli Hulu.

4.Kedatangan John Mott ke Indonesia (1925) mendorong Pendeta-pendeta NZG mengadakan pelayanan terhadap pemuda dan wanita. Dapat dikatakan sejak tahun 1930-an Gereja telah melayani pemuda-pemuda dan wanita-wanita melalui sepakbola , musik, kerajinan tangan dan dengan mendirikan asrama pria dan asrama wanita di Kabanjahe dan Medan.

Pelopor-pelopor pelayanan dibidang Kategorial dikalangan Wanita, adalah Nyoya van den Berg, Nyonya de Kleijen dan zuster Meyer, sedang dari anggota jemaat dalah Pertumpuan br Purba, Nimai br Purba dibantu oleh guru-guru pengasuh yang dinamai guru-guru CMCM(Christelyk Meijes Chub Madju) yaitu Bakul br Suka, Dina, Perembahen br Barus, Hanna br Munte, Nungkun br Manik, Nawari br Tarigan Tua, Martha br Munthe, Megiken br Sinuraya, Rehulina br Ketaren, Christina br Meliala, Tenteng br Sinulingga dan Lemah br Sinulingga. Pelopor dibidang pria oleh Pdt.W.A Smit yang mendirikan BKDK (Bond Kristen Dilaki Karo ). Diluar BKDK bergerak Pdt. Jansen Schoonhoven, Pdt.H.Vuurmans, pendeta Resort Kabanjahe dalam sepakbola dan Penelaah Alkitab. Dari orang karo yang bergerak di BKDK terdapat guru agama Ngikut Ketaren,J.A. Sebayang dan lain-lain. Ketua BKDK di Sibolangit adalah G.Siregar. Dibidang musik terkenal penggeraknya adalah Bilik Purba, Rumpia Bukit dan Rumani Barus dan Adniel Layari Surbakti.

Untuk menampung perkembangan ini NZG membuka Sekolah Guru Agama  pada tahun 1924, 1929 dan selanjutnya 1935 yang dipimpin Pdt. J.H. Neumann dan kemudian oleh Pdt.J.van Muylwijk.
Melihat perkembangan yang menggembirakan itu dan mengingat pula kemungkinannya terjadi Perang Dunia II, maka mulailah dibicarakan pembentukan suatu organisasi untuk jemaat-Jemaat Karo dalam Bentuk Synode. Besarlah peranan DR.H.Kraemee yang turut mendorong Pendeta-pendeta ,Guru-guru jemaat dan pendeta-pendeta mencapai kemufakatan pada pertemuan yang diadakan di Kabanjahe 1939. Selanjutnya Pendeta W.A.Smit mempersiapkan sebuah tata gereja.

Demikianlah pada Sidang Synode pertama di Sibolangit pada tanggal 21-23 Juli 1941 terbentuklah Synode Gereja Batak Karo Protestan. Dan pada waktu itu juga dibaptiskan dua Putera Karo setelah mereka mengakhiri studynya di Seminari Sipaholon, bernama Palem Sitepu dan Thomas Sibero. Ketua Synode ialah Pdt.J.M van Muylwijk, sedang sekretarisnya Gr.Agama Lucius Tambun


Masa Sulit Pendudukan Jepang dan Perjuangan Kemerdekaan 1940-1950

Pertumbuhan Kembali terhalang waktu tentara Jepang menduduki Indonesia, sejak tahun 1942 sampai tahun 1945. Dalam masa ini terjadi kesulitan-kesulitan hidup, sebab tidak ada tersedia cukup keperluan-keperluan pokok seperti makanan, pakaian dan obat-obatan.

Pada pihak lain tentara Jepang sering melakukan tindak kekerasan menembak,menahan dan menyiksa serta mengadakan kerja paksa membuat benteng-benteng pertahanan. Rakyat diadu supaya saling mencurigai. Dalam keadaan inilah Gereja yang baru saja mengadakan Synode hidup dan melayani. 

Selain dari masalah-masalah yang dihadapi masyarakat umumnya, gereja menghadapi :
1.Lemahnya organisasi yang seyogyanya mengatur pelayanan secara keseluruhan.
2.Tidak ada lagi kas umum.
3.Kurangnya tenaga pelayan oleh sebab Pendeta Belanda telah ditangkap, dan beberapa Guru Injil tidak bersedia lagi melayani.
4.Kecurigaan Jepang terdahap umat Kristen.

Sungguhpun demikian dalam kurun waktu ini terjadi dua kali Sidang Synode, yaitu Juli 1942 dan September 1943. Dalam sidang Synode 1943 dipihlah Pdt Th. Sibero menjadi Ketua Synode.

Sungguhpun kesulitan-kesulitan tersebut jumlah pengunjung gereja tetap banyak dan sakramen tetap dijalankan. Setelah berakhir pemerintahan Jepang, keadaan bukan makin tenteram karena Republik Indonesia yang baru di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 diserang oleh tentara Belanda. Sebahagian besar penduduk Karo meningggalkan desa asalnya mengungsi ke Alas dan Dairi.

Dalam suasana perang ini orang-orang Kristen tetap setia mengadakan kebaktian dimana mungkin. Kalau dibaca statistik baptisan maka dalam masa pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan Indonesia terdapat kira-kira 1000 orang yang dibaptis.


1950-1965

Setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa  (PBB) mengakui kemerdekaan Indonesia maka terbuka pula kehidupan baru bagi orang-orang Karo. Ada benerapa yang perlu dicatat dalam perkembangan ini :
1.Orang Karo mengadakan transmigrasi lokal dengan menduduki bekas tanah perkebunan di dataran rendah. Terbentuklah desa-desa baru ditempat tersebut.
2.Pejuang-pejuang kemerdekaan mendapat jabatan resmi militer maupun pemerintah.
3.Makin banyak orang berani berwiraswasta dalam perdagangan.
4.Hasrat bersekolah pria dan wanita tidak terbendung.

Dalam perkembangan ini orang-orang tidak puas lagi dengan agama pribumi. GBKP sadar akan masalah dan berusaha melayani mereka dan sebagai akibatnya terbentuklah jemaat-jemaat di kota-kota dan di daerah-daerah pemukiman baru. Pada tahun 1953 satu Batalyon TNI yang kebanyakan anggotanya orang Karo minta belajar agama Kristen, mereka pun dibaptis secara masal di Aceh pada tahun 1953.

Mereka ini memilih agama Kristen, sebab di masa usia sekolah mereka telah menerima pelajaran agama Kristen di sekolah-sekolah Rakyat, ditambah pula dengan pengalaman kegerejaan mereka sewaktu mengadakan operasi militer di Sulawesi Utara dan tempat-tempat lain di Indonesia Timur. Tidak kurang juga usaha-usaha perwira yang beragama Kristen dalam Batalyon tersebut membuat mereka secara masal memasuki Kristen.

Perkembangan yang terjadi antara tahun 1950-1953 ditunjang pula oleh pertambahan pendeta dan guru-guru agama yang diasuh oleh Pdt. J.H. de Rider dan D.Solinger, keduanya adalah utusan Zending Belanda.

Antara tahun 1950-1965 pengembangan Injil dan pembinaan jemaat Kota dan daerah pemukiman baru di proritaskan. Akibatnya jemaat-jemaat kota seperti Medan, Binjai, Lubuk Pakam, Pematang Siantar, Pancur Batu, Berastagi, Kabanjahe kemudian dapat menjadi tulang punggung penginjilan ke desa-desa. Untuk membina jemaat Kota Medan, khususnya pemuda, Zending Belanda mengutus Pdt. N.W van den Bent. Ia berangkat pulang karena masalah politik anatar Pemerintah Indonesia dengan Belanda yaitu masalah Irian Barat. Dalam kurun waktu ini OMF ( Overseas Missionary Fellowship) memperbantukan tenaga kepada GBKP dimulai dengan M.Goldsmith, berikut M.Dunn dan dua tenaga lainnya.

Pada tahun 1963 terjalin pula hubungan dengan Rheinisch Mission, yang sekarang dinamai VEM ( Vereinigte Evangelische Mission). Utusan pertamanya adalah Pdt. W. Grothous.

GBKP mendapat manfaat yang besar sekali dengan kehadiran Pdt. W. Grothous ini, khusunya dibidang Musik Gereja dan Pembinaan untuk Pertua dan Diaken. Sejalan dengan itu, RMG membatu pengadaan rumah-rumah para pejabat GBKP dan dana-dana program. Kemudian Zending Belanda juga meningkatkan bantuan dana untuk program-program.

Perlu dicatat bahwa orang karo yang selama ini (1910) didalam jemaat HKBP di Tingga Lingga, Tanah Pinem, bergabung dalam GBKP pada tahun 1957 melalui pemufakatan.

Pada tahun 1965 dirayakan Jubelium 75 Tahun GBKP di Medan, dengan meriah sekali. Jumlah pengunjung kira-kira 20.000 . Diantara tamu-tamu adalah Panglima Komando Antara Daerah Militer Sumatra, Walikota Medan, Wakil DGI Dr.W.B.Sijabat dan Dr.A.de Kuyper mewakili Gereja Belanda. Mantan Ephorus HKBP G.H.M. Siahaan mewakili HKBP yang pada waktu itu adalah Dekan Fakultas Teologi Nommensen.

Setelah Jubelium 75 tahun ini timbul kesadaran baru dikalangan anggota Jemaat, yaitu bahwa :
1.Tidak boleh lagi terlalu jauh dari adat dan kehidupan masyarakat Karo.
2.Bahwa kaum terkemuka anggota GBKP merasa terpanggil untuk lebih berperan dalam mengembangkan injil dan membina jemaat-jemaat.
3.Ada semacam kerinduan agar mayoritas orang Karo hendaknya menjadi anggota GBKP.
Ada tiga peranan yang dianggap mungkin dilakukan oleh anggota-anggota jemaat :
1.Mengumpulkan dana bagi keperluan pembangunan gereja-gereja.
2.Mengadakan Perkabaran Injil.
3.Membantu gereja dalam masalah sosial, ekonomi dan politik.

Sejak itu GBKP lebih terbuka terhadap adat yang masih hidup. Synode GBKP tahun 1966 memutuskan bahwa Gendang Karo dapat dipakai secara resmi dalam pesta-pesta Gereja. Keputusan ini disambut jemaat-jemaat dengan gembira. sejak itu GBKP dalam pesta-pesta memasuki gereja, ulang tahun, dan evangelisasi sering dimeriahkan dengan gendang.


1965-1975

Lima bulan setelah Jubelium 75 tahun terjadi peristiwa G 30 S yang membawa goncangan politis, sosial, dan religius dalam masyarakat. Orang merasakan bahwa sesuatu dapat terjadi secara tiba-tiba diluar perkiraan manusia, dan banyak merasakan kehilangan pegangan hidup. GBKP menawarkan pegangan hidup yang baru yaitu Injil Yesus Kristus. Kesadaran anggota jemaat untuk berpartisipasi dalam pelayanan gereja yang timbul setelah Jubelium tersebut, kini diwujudkan dalam perkabaran Injil dan membangun gereja-gereja di kota dan desa. Pada pihak lain, orang-orang yang merasakan kekosongan rohani menyambut pemberitaan Injil dan bersedia belajar agama Kristen. Terjadilah pembaptisan masal mulai Tigalingga, kemudian menyusul dibanyak tempat seperti Munte, Tiganderket, Barusjahe, Aji Siempat, Cinta Rakyat, Sibolangit, Namoukur, Gunung Meriah, Kutabuluh, Serbajadi, Namorih dan lain-lain. Tokoh-tokoh masyarakat seperti T.M.sinulingga, Koran Karo-karo, R.O.Sembiring, Kok Karo-karo Sitepu, Pertua Pa Rajamen Bangun giat dalam pengabaran Injil ke Desa-desa. Dalam hal ini, tidaklah dapat kita lupakan bantuan dan kesetiakawanan gereja-gereja tetangga dibawah koordinator Dewan Gereja di Indonesia turut dalam kegiatan ini. Diantara tokoh-tokohnya yang dapat kita sebut : A.J. Ferdinandus, M.L. Siagian, Pdt. M.A. Simanjuntak Sekretaris Umum DGI Wilayah, dan beberapa tokoh dari kepolisian dan Militer. HKBP meminjamkan pendeta-pendetanya beberapa bulan untuk melayani di desa-desa Tanah Karo. Melalui DGI datang pula dua orang tenaga utusan dari GMIM dan dua orang dari GPM. Demikian juga BNKP mengutus seorang pendeta senior untuk membantu GBKP.

Pemuda-pemuda anggota Permata dan GMKI secara berkesinambungan mengunjungi desa-desa dan tinggal disana dalam beberapa bulan dan ada pula yang mengadakan perkunjungan setiap akhir pekan. Hampir 4 tahun lamanya gerakan Pekaran Injil berlangsung menggebu-gebu. Jumlah anggota jemaat ditahun 1970 sampai 78.500.000 orang. Jadi terdapat kenaikan 100%.

Sayang bahwa perkembangan jemaat yang mendadak ini sulit dibarengi dengan pelayanan yang memadai. Ternyata banyak anggota-anggota jemaat, khusunya Dairi, Tiga Binanga, Tiganderket dan sekitar langkat tidak lagi hadir dalam kebaktian Minggu. Sebab utama karena kekurangan pendeta, dan guru jemaat sedang Penetua dan Diaken yang telah ditahbiskan di jemaat-jemaat yang baru belum mampu melayani Firman Tuhan. Demikian juga GBKP tidak mempunyai kemampuan untuk membangun rumah-rumah gereja. Untuk mengatasi ini GBKP mengadakan pembinaan terhadap pelayan-pelayan gereja dan kursus-kursus pengajaran dan mengutus calon-calon pendeta ke Sekolah Teologi di Ujung Pandang, Jakarta, dan Fakultas Teologi Nommensen di Pematang Siantar. Bersama-sama dengan gereja-gereja tetangga GBKP membuka Pendidikan Guru Injil dan Guru Agama dalam Perguruan Abdi Sabda pada tahun 1969. Demikian juga GBKP membuka sendiri Sekolah Injil di Kabanjahe.

Dalam program pembinaan wanita dan Kebaktian Anak dan Remaja besarlah sumbangan  dari dua suster yang diutus RMG yaitu Elisabet Zoller dan Erika Rolker. Pdt.H.Kustermann dari RMG, L.Eyres dan Bruce Warner, keduanya dari Gereja Methodist Amerika, Dr.Diana Dunn dari OMF mengembangkan pembinaan pelayanan dan keterampilan melayani yang diperolehnya dari kursus-kursus tersebut, akhirnya GBKP dapat mencairkan kemandekan berjemaat.

Namun semangat perkabaran Injil sudah mereda. Antara tahun 1970-1975 tidak ada lagi terjadi pembaptisan masal. Banyak orang menafsirkan, bahwa orang-orang sudah merasa berevangelisasi, dan juga klasis-klasis sibuk mengembalakan dan menghidupi jemaat-jemaat. ada pula berpendapat bahwa peralihan pikiran masyarakat menyongsong Pemilihan Umum tahun 1971 juga turut mempengaruhi suasana. Setelah pemilu penyiaran agama Islam menggebu-gebu ke Tanah Karo.


1975-1990
Kemandekan tersebut berangsur pulih kembali. GBKP mendapat kekuatan baru setelah calon-calon pelayanan yang telah disekolahkan telah menamatkan pelajarannya. Setelah menjalani praktek beberapa tahun mereka dipercayakan untuk melayani jemaat. Jumlah anggota Jemaat yang datang berbakti, makin bertambah lagi dengan berdirinya pula dengan keuangan GBKP semakin baik.

Sidang Synode tahun 1975 menekankan tiga prioritas yaitu :
1. Pembinaan Jemaat.
2.Pelayanan Pembinaan Masyarakat.
3.Perkabaran Injil.
 Ketiga program ini adalah saling kait mengait dalam Moderamen diangkat pejabat menangani ketiga program tersebut.

Pdt.N.Keliat bersama Pdt.A.Doram mengembangkan Pembinaan warga gereja yang diarahkan kepada pembinaan jemaat, sedang Pdt. Selamat Barus dibantu Pdt.Borong Tarigan dan Leon Rich mengembangkan Pelayanan Pembangunan  sedang Pdt.E.P Gintings mengkoordinir Perkabaran Injil. Ketiga Departemen ini bersama Diakonia GBKP yang di ketuai Dk.P. Sinuraya berusaha mengembangkan dan meningkatkan pelayanan Gereja. Pembinaan warga gereja, meneruskan peningkataan keterampilan melayani, menyediakan brosur-brosur, dan mengembangkan pembinaan di Klasis-klasis . Pelayanan Pembangunan menjalankan usaha-usaha penyadaran untuk membangun dan usaha-usaha padat karya. Dalam kaitan GBKP mengadakan kursus-kursus penyadaran tentang potensi yang dimiliki oleh setiap desa,masalah-masalah yang dihadapi, dan bersama memikirkan usaha penyelesaiannya. Dari sinilah muncul program pembuatan sarana air bersih, pembuatan jalan, jembatan, penyuluhan pertanian dan peternakan, pemasaran, listrik desa dan Credit Union. semuanya program-program ditujukan kepada masyarakat tanpa memandang agama dan suku.

Diakonia GBKP bergerak dalam usaha meningkatkan kehidupan ekonomi anggota jemaat dalam usaha Diakonia Usaha Bersama (DUB). Pelayanan diakonia terutama ditujukan bagi anggota Jemaat. Mereka mulai usahanya melalui pembahasan Alkitab dikaitkan dengan keprihatinan bersama. dari sana lahir program-program sesuai dengan kebutuhan mereka.

Dalam kurun waktu ini kembali digalakkan Perkabaran Injil sambil meningkatkan pembinaan jemaat-jemaat sesuai kebutuhan mereka. Cara-cara yang ditempuh :
1. Anggota Jemaat mengadakan penginjilan terhadap keluarganya dan anak-anak desanya. Untuk ini anggota-anggota Jemaat tertentu berkunjung ke desa asalnya mengadakan percakapan serta kekeluargaan.
2.Anggota jemaat yang mempunyai profesi dibidang yang diperlukan masyarakat seperti dokter, ahli pertanian dan peternakan digerakkan untuk melayani.
3.Jemaat kota membantu jemaat yang lemah dalam pembinaan jemaat,perkabaran injil, dan pembangunan gereja.
4.Mendorong tokoh-tokoh masyarakat ikut melaksanakan evangelisasi ke desa-desa yang ada hubungan historisnya.
5.Menempatkan tenaga-tenaga sukarela di desa tertentu untuk mengabarkan Injil. Tugasnya berakhir jika ditempat  itu sudah banyak menjadi kristen.
6. Membangun jemaat-jemaat GBKP diluar Sumatra Utara, jika hal ini diperlukan untuk pemeliharaan anggota jemaat dan pengembangan berita injil.

Penggalakan penginjilan ini diadakan secara masal didaerah si Empat Teran pada tahun 1978 dengan mengadakan perkunjungan ke desa-desa dan diakhiri dengan pesta pengumpulan dana gereja Berastepu. tokoh-tokoh yang terlibat dalam pekerjaan ini adalah Roga Ginting SH, Kol.Pur.E.K.Ginting, G.Sitepu dan Drs. J.M. Sitepu. Hal yang sama juga dilakukan Drs. Missi Barus dan sebagai hasilnya terbentuklah Jemaat Serdang. Dokter R.M Kaban yang sebenarnya anggota Gereja Methodist mengabarkan injil ke desanya Pernantin. Inilah permulaan jemaat GBKP Pernantin sekarang. Antara 1974-1984 Moderamen GBKP memusatkan PI ke daerah Klasis Tigabinanga.

Klasis Medan Delitua menggerakkan jemaat-jemaat Kota Medan mengabarkan Injil ke desa-desa secara intensif. Tokoh masyarakat Langkat seperti Ngasami Br Sinagarimbun, Dokter Masang sitepu, Tammat Sitepu, Drs. Janggun Sitepu bersama Klasis GBKP Langkat secara berkesinambungan menajalankan Perkabaran Injil di daerah Langkat.

Untuk menampung semangat Perkabaran Injil maka pada thun 1983 dibentuklah Badan Penunjang Perkabaran Injil(BPPI). Badan ini berusaha mencari dana-dana Perkabaran Injil dan juga ikut campur mengatur dan mengawasi pelaksanaan Perkabaran Injil, khususnya terhadap tenaga-tenaga sukarela yang dibiayainya. Pada Awalnya BPPI dipimpin oleh Drs.rupati Perangin-angin kemudian digantikan oleh Pt.Kantor Tarigan . Dengan BPPI rencana pemusatan PI ke daerah Langkat(1984-1989) dapat terlaksana.

Dalam kurun waktu ini tercatat pula pengembangan jemaat-jemaat GBKP di Jakarta, bendirinya GBKP di Pontianak, Lampung, Surabaya, Semarang, Pekan Baru, Padang, tarutung, Sibolga, Padangsidempuan dan Nias.

Kehadiran jemaat-jemaat GBKP disana membangun semangat berjemaat yang selama ini hampir-hampir padam. Sebenarnya dari pihak GBKP tidak ada desakan bagi anggota-anggotanya yang telah menjadi anggota jemaat gereja lain untuk masuk GBKP, tetapi semata-mata keinginan sendiri.

Khusnya di Sumatera Utara Perkabaran Injil juga dikaitkan dengan pembangunan masyarakat desa, dalam usaha membagun manusia memdapatkan hidup yang bermartabat. Walaupun pemberitaan Firman tidak dilakukan secara langsung, pelayanan pembangunan juga merupakan ungkapan Injil secara nyata.

Mengingat lulusan Sekolah Teologi baik kurikulum dan tujuan pendidikan tidak terarah untuk memberitakan Injil ke tempat-tempat dimana gereja belum ada, maka Synode tahun 1979 memutuskan untuk menbuka Sekolah Evangelis. Direkturnya adalah Pdt. J. Brahmana. Kurikulum sekolah dibagi atas praktek dan pengetahuan teoritis. Maksudnya, supaya mereka selama sekolah juga mampu menghubungkan masalah jemaat dengan pengetahuan teologi. Setelah mereka lulus, mereka ditempatkan di jemaat-jemaat pedesaan yang baru mulai berkembang.

Perkembangan jemaat dalam kurun waktu ini mengharuskan GBKP mengutus calon pendeta ke Sekolah Pendeta rata-rata 3-5 orang setiap tahun. Untuk ini diterima bantuan beasiswa dari Zending Belanda dan sebagian dari VEM.

Pelayanan Kebaktian Anak dan Remaja (K.A.K.R) dikembangkan oleh Suster Tabean Muller, Nora Pdt.Mac Quenn, Nora Pdt.M.Sinulingga, Liwen Br Sembiring, Pdt. Pestanta Surbakti dan Nora, dan Pdt. Matius P.Barus dan Nora. Program-program mereka adalah membuat buku bimbingan K.A.K.R, Kursus-kursus Guru K.A.K.R mengadakan Pekan Anak-anak dan lain-lain. Kesulitan yang dijumpai adalah, di banyak jemaat guru-guru K.A.K.R nya terlalu sering berganti-ganti. Sudah dicoba menggiatkan partisipasi kaum Ibu (Moria) tetapi sampai sekarang ide ini belum mendapat sambutan.

Pelayanan Wanita (Moria) makin berkembang baik lembaga maupun program dan pelaksanaannya. Moria juga mempelopori pendirian Taman Kanak-Kanak (TK) di beberapa jemaat dan bekerja sama P3W di Brastagi dalam program pedesaan. Besarlah peran Nora Pdt.J.P. Sibero yang telah mengetuai Moria sejak tahun 1960-an, beserta Zuster Moria Elisabet Zoller yang kemudian diganti oleh Edelgaard Abram pada tahun 1978. Diantara ibu-ibu yang yelah lama melayani Moria adalah Nd. Felix Br Sembiring, Nd. Persadaan, Pt.Dra.K.Muham. Synode tahun 1989 telah memutuskan pengangkatan Pendeta Moria dari kalangan Pendeta Wanita GBKP yang ada sekarang.

Pelayanan terhadap pemuda (Permata) dilakukan bersama-sama dengan Pengurus Permata. Setelah Pdt.van den Bent (1956-1959), Pdt.W.Moning dari VEM dan Pdt.Benar Tarigan Ditugaskan menjadi pendeta pemuda dalam kurun waktu ini. Umumnya pendeta-pendeta yang melayani pemuda kurang merasa puas terhadap pelayanan yang mereka lakukan. Mungkin sekali oleh karena pendeta-pendeta tidak dalam struktur Permata, seperti kedua Suster ( Elisabet Zoller dan Edelgard Abram ) ikut dalam kepengurusan pusat Moria. Kemungkinan kedua adalah sifat kesementaraan tokoh-tokoh pemuda dalam suatu jemaat,sebab sering pindah tempat karena studi atau pekerjaan dan kebanyakan setelah menikah tidak aktif dalam Permata. Kekecualian kita temukan dalam diri tokoh pemuda  seperti Dr. Melky Tarigan, Drs. Josia Munte, M.Pd., Drs. Tarigan, Drs.Johnson Pinem, Drs Semyon Sinulingga dan J.Sinulaki.

Dalam Sidang Synode GBKP XXIX di Cibubur Jakarta diputuskan bahwa Permata dan Moria yang selama ini berada dalam posisi ganda,yaitu organisasi intra dan ekstra gerejawi, telah dijadikan lembaga GBKP bersama dengan K.A.K.R dan Diakonia. Pelembagaan ini mengisyaratkan bahwa sebagai lembaga Permata dan Moria adalah bagian dari kehidupan gereja dalam semua jajarannya. Dari pihak gereja, hal ini berarti bahwa jemaat,Klasis dan Moderamen berkewajiban membimbing lembaga-lembaga sebagai perpanjangan tangannya dalam pelayanan. Pada pihak lain Permata dan moria harus mengarahkan pelayanannya dalam derap langkah dari kehidupan dan pelayanan gereja. Yang patut dijaga, agar gereja tidak menghambat keprakarsaan yang mungkin timbul dalam lembaga-lembaga. Hal ini berarti perlu dijaga keseimbangan antara kebebasan dan keterikatan.


- See more at: http://www.gbkp.or.id/index.php/tentang-gbkp/sejarah-gbkp#sthash.Sz7sO0Gp.dpuf

No comments:

Post a Comment