Pages

Wednesday, August 27, 2014

Pengaruh Asing pada Masyarakat dan Kebudayaan di Sumatera

Pengaruh Asing pada Masyarakat dan Kebudayaan 

di Sumatera



Pulau Sumatera merupakan sebuah pulau besar ketiga di Nusantara setelah Irian dan Kalimantan. Di pulau yang secara administratif dibagi dalam sembilan provinsi ini tinggal sekurang-kurangnya 80 suku-bangsa (Melalatoa, 1995). Mereka tinggal di Pulau Sumatera, Kep. Riau – Lingga, Kep. Bangka-Belitung, Kep. Enggano, Kep. Mentawai, Kep. Nias, dan pulau-pulau kecil di sekitar Sumatera.

Siapa sebenarnya nenek moyang suku-suku-bangsa yang tinggal di Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya? Untuk menjawab pertanyaan ini ada dua teori yang berbeda berdasarkan pendekatannya, tetapi mengarah pada asal-usul yang sama. Teori pertama berdasarkan pendekatan artefaktual menyatakan bahwa nenek-moyang orang Sumatera berasal dari pedalaman Asia Tenggara daratan (sekitar Vietnam) yang kemudian bermigrasi ke Sumatera melalui Thailand dan Semenanjung Tanah Melayu.

Di daerah pesisir timur laut Sumatera, di antara Langsa dan Medan ditemukan sampah dapur berupa timbunan kerang yang membukit (kjökkenmöddinger). Di antara timbunan kerang tersebut ditemukan alat-alat batu yang bentuknya sangat sederhana. Penelitian arkeologis yang dilakukan oleh van Stein Callenfels (1927:129-133) di situs dekat Medan berhasil mengidentifikasikan bahwa alat batu tersebut berupa kapak genggam. Kapak genggam ini bentuknya berbeda dengan chopper (kapak genggam Paleolith). Pada kapak genggam yang kemudian disebut dengan istilah pebble atau disebut juga Kapak Sumatera, bagian yang mempunyai tajaman hanya pada salah satu sisi, sedangkan sisi lainnya dibiarkan halus.

Sementara di pesisir timur laut Sumatera ditemukan pebble, di daerah pedalaman Vietnam, di Pegunungan Bacson dan Hoabinh ditemukan alat-alat batu dan tulang. Alat-alat batu tersebut ada yang sama seperti pebble dari Sumatera dan berasal dari masa Mesolithikum. Penelitian yang dilakukan oleh Madeleine Colani (1927) menyimpulkan bahwa Bacson-Hoabinh merupakan pusat atau asal dari kebudayaan Mesolithikum Asia Tenggara. Dari tempat ini manusia pendukung budaya kapak gengam Sumatera tersebut kemudian menyebar ke Sumatera melalui Thailand, Semenanjung Tanah Melayu, dan akhirnya menyeberangi Selat Melaka menuju Sumatera.

Teori lainya berdasarkan pendekatan linguistik menyatakan bahwa orang-orang yang bertutur bahasa Austronesia-lah nenek moyangnya. Austronesia adalah istilah yang dipakai oleh pakar linguistik untuk keluarga bahasa yang berkembang di Taiwan antara 5000-7000 tahun yang lampau (Collins, 2005).

Di Taiwan orang-orang ini mengembangkan teknik-teknik pertanian dari Tiongkok Selatan, beradaptasi dengan lingkungan pulau, dan “belajar” menyeberangi selat. Sejak sekitar millenium ke-3 Sebelum Masehi, mereka mengembara ke arah selatan menuju Filipina. Di tempat ini mereka membawa dan mengembangkan teknik perladangan berpindah, pembuatan perahu/kapal, dan pembuatan barang-barang tembikar. Pada akhirnya mereka membentuk sub-rumpun bahasa Melayu-Polynesia (Bambang Budi Utomo (ed) 2007:1-18).

Menjelang millenium pertama Sebelum Masehi, para penutur rumpun bahasa Melayu-Polynesia barat sudah mencapai pesisir Indocina (Champa), Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Sumatera. Pada periode berikutnya, secara bersinambungan mereka sudah berlayar jauh hingga ke Madagaskar di pantai timur Afrika. Akibat berhubungan secara bersinambungan, kemudian tumbuh budaya Melayu-Polynesia Barat (Malagasy) dan berkembang secara mandiri.

Kelompok penutur yang menyebar ke arah timur membentuk rumpun bahasa Melayu-Polynesia Timur. Perkembangannya di daerah pantai-pantai kawasan timur Nusantara, seperti Halmahera dan pantai utara Irian. Dari tempat ini kemudian diteruskan sampai ke seluruh penjuru Pasifik, Tonga, Samoa, Hawaii, dan yang terjauh Selandia Baru.

Populasi orang-orang penutur bahasa Austronesia menempati wilayah dari Madagaskar di barat hingga Easter Island di timur, dan dari Taiwan/Micronesia di utara hingga Selandia Baru di selatan. Benang merah yang menyatukan mereka adalah teknik bercocok-tanam, teknik pembuatan perahu/kapal, dan teknik pembuatan tembikar. Itulah nenek moyang bangsa bahari.


Puak Melayu

Melayu dalam perwujudannya mempunyai tiga konsep yang masing-masing mengacu pada bentuk yang berbeda, yakni ras sebagai suatu ciri-ciri fisik secara biologi yang membedakannya dengan ras lain dengan ciri-ciri fisik dari kelompok lain; suku-bangsa sebagai suatu jati diri yang lebih mengacu pada ciri-ciri fisik, gaya bicara yang pada akhirnya sebagai perwujudan dalam tingkat sosial dengan dasar askriptif; dan kemudian kebudayaan yang mengacu pada model-model dan cara memahami serta menginterpretasi lingkungan yang kemudian dipakai untuk mendorong terwujudnya kelakuan dan benda-benda budaya.

Ketiga konsep ini menjadi satu dalam memahami apa yang disebut sebagai orang Melayu, dan tentunya penjabaran masing-masing konsep serta keterkaitannya satu dengan lainnya akan sangat berbeda-beda keluasannya. Bila bicara Melayu secara ras, maka yang terjadi akan melewati areal kesukubangsaan Melayu itu sendiri karena melibatkan suku-suku-bangsa lainnya seperti Minangkabau, Batak, sebagai paparan daerah ras. Bila berbicara Melayu secara suku-bangsa maka yang terdeteksi adalah adanya pengelompokan-pengelompokan jati diri Melayu ini yang didasari pada informasi yang didapat dari interaksi kelompok-kelompok tersebut dengan suku-bangsa lainnya, seperti adanya suku-bangsa Melayu di Jambi, Sumatera Barat, Riau, dll. Kesemua informasi tersebut didapat dari serentetan hubungan dengan suku-bangsa lainnya di daerah-daerah setempat. Apabila berbicara Melayu secara kebudayaan maka akan tampak perbedaan-perbedaan yang besar antara satu kelompok Melayu dengan kelompok Melayu lainnya, karena masing-masing kelompok berada dan hidup dalam lingkungan alam, sosial dan binaan yang berbeda-beda. Kelompok Melayu yang tinggal di tepian sungai besar dan pesisir, umumnya hidup dari berdagang dan nelayan, sedangkan yang hidup di pegunungan bermata-pencaharian sebagai petani dan peladang.

Kelompok Melayu yang berada di daerah Jambi, lebih banyak bersentuhan dengan kelompok Kubu, sehingga mempunyai model-model yang berbeda dengan kelompok-kelompok Melayu yang bersentuhan dengan kelompok Sakai, atau kelompok Minangkabau, dsb. Akan tetapi secara garis besar, pada umumnya kelompok-kelompok Melayu ini dimana pun mereka tinggal akan selalu diidentikkan dengan Islam. Seperti Melayu sama dengan Islam di daerah Sakai, atau Islam sama dengan Melayu di daerah Kubu, dan Melayu sama dengan Islam di Barus (pantai barat Sumatera Utara).

Bila ditelusuri persebaran orang Melayu secara suku-bangsa maka akan dapat dilihat dari model-model mitologi yang menyertainya yang dapat dijadikan acuan kesukubangsaan tentang penguasaan wilayah dimana kelompok tersebut menetap dan tinggal. Dari mitologi yang ada maka bisa tergambarkan kapan dan sampai dimana batas-batas kesukubangsaan Melayu tersebut ada dan kelompok mana yang menjadi ‘tetangga’nya. Mitos dan kosmos merupakan fokus dalam suatu kegiatan ritus yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, bagaimana cara manusia memahami diri mereka, keberadaannya sebagai anggota masyarakat dan di dunia sebagai satu kesatuan. Hasil pemahaman manusia terhadap alam sekitarnya dimanifestasikan ke dalam kehidupan sosial dan berusaha menjelaskan dan menciptakan pembenaran keadaannya sebagai masyarakat, baik bentuk asal maupun cara kehidupannya. Hasil pemahaman tersebut biasanya dimanifestasikan dalam bentuk cerita yang diinformasikan dari orang ke orang.


Kesukubangsaan

Seiring dengan perjalanan waktu, akibat dari semakin kerapnya terjadi perkawinan antarsuku, bangsa, dan ras, ciri-ciri rasial suku-suku-bangsa penduduk Sumatera kian memudar. Namun, pada sebagian dari mereka ciri-ciri ras yang dominan masih dapat terlihat cukup nyata.

Dilihat dari sudut pandang antropologi fisik, sebagian besar suku-suku-bangsa Sumatera yang utama berasal dari golongan ras Deutromelayu atau Melayu Muda. Suku-suku dengan ciri dominan ras tersebut termasuk suku Aceh, Melayu-Minangkabau, Melayu-Pesisir Sumatera, Rejang-Lebong, dan Lampung.

Dua suku ras Melayu Muda yang ada di Sumatera bagian utara adalah Suku Aceh dan Suku Melayu-Pesisir. Orang Aceh merupakan penduduk utama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, meski sebagian dari mereka juga ada yang berkampung halaman di desa-desa di kawasan pesisir Provinsi Sumatera Utara. Sementara itu, Suku Melayu-Pesisir, atau yang biasa disebut dengan Orang Melayu saja memiliki kampung halaman di sepanjang pesisir pantai timur Provinsi Sumatera Utara.

Suku Melayu-Minangkabau, atau yang lebih umum disebut sebagai Orang Minangkabau, adalah penduduk asli pedalaman/pegunungan di Kabupaten Tanah Data, Limapulueh Koto, dan Agam (Provinsi Sumatera Barat). Meski kini banyak di antara mereka yang bermukim di daerah pesisirnya, daerah-daerah pedalaman yang bergunung-gunung merupakan kawasan induk yang menjadi lokasi dari permukiman-permukiman yang paling tua dan secara kultural paling bersejarah bagi Suku Minangkabau.

Dalam mitos disebutkan bahwa dari Gunung Merapi, di Paryangan turun seorang raja nenek moyang bangsa Minangkabau. Rajo di Rajo ini membagikan kekuasaan pada tiga anak buahnya yang kawin dengan anaknya, yaitu Kucing Siam, Harimau Campo, dan Kambing. Pada awalnya kekuasaan dibagi menjadi tiga luhak (yang artinya ”kurang”), yaitu luhak Tanah Data, luhak Limapulueh Koto, dan luhak Agam (Junus 2004:248-265). Pada akhirnya ditambah luhak Kubung Tigobaleh (Solok). Luhak Kubung Tigobaleh sebenarnya tidak termasuk luhak inti, karena letaknya di daerah pinggiran dekat pesisir sekitar Solok dengan batasnya Durian Ditakluk Rajo.

Dua di antara suku-suku Melayu Muda yang hidup di Sumatera bagian selatan adalah suku Rejang-Lebong dan Lampung. Orang Rejang-Lebong, yang secara kultural masih berkaitan dengan suku Melayu-Minangkabau dan Melayu-Pesisir, merupakan suku penduduk asli Provinsi Bengkulu. Sementara itu, Suku Lampung merupakan suku penduduk asli daerah atau Lampung, di ujung paling tenggara Sumatera. Juga termasuk ras Melayu Muda adalah suku Melayu-Riau, baik Riau Daratan dan Riau Kepulauan, Suku Jambi, serta Suku Melayu-Palembang dan sub-sub kelompok etniknya yang tinggal di wilayah Provinsi Sumatera Selatan.

Suku-suku utama di Sumatera yang memiliki ciri fisik dominan ras Protomelayu atau Melayu Tua adalah Suku Batak dan Gayo. Suku Batak adalah suku yang sebagian besar warganya tinggal daerah pegunungan di pedalaman Provinsi Sumatera Utara; sementara Suku Gayo tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, di daerah Gayo yang bertetangga dengan Tapanuli, daerah asal Suku Batak.

Ciri-ciri yang sama juga terdapat pada sejumlah suku yang tergolong minoritas. Mereka adalah Suku Nias, penduduk Pulau Nias di lepas pantai barat Provinsi Sumatera Utara; Suku atau Orang Laut yang tinggal di beberapa pulau di perairan Riau dan Bangka-Belitung; Suku Sakai, Talang, Utan, dan Rawar di Riau Daratan; serta Suku Mamak, Kubu, dan Luwu, penghuni hutan-hutan di pedalaman Jambi dan Sumatera Selatan.

Ras Weddoid dan Negrito juga masih memiliki perwakilan di antara suku-suku minoritas lain di Sumatera. Ciri-ciri dominan ras Weddoid misalnya dimiliki warga suku Mentawai, penduduk asli Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat, serta Suku Enggano, penghuni Pulau Enggano di lepas pantai Bengkulu. Sementara itu, Suku Akit yang hidup di daerah aliran Sungai Mandau, Riau, mungkin merupakan satu-satunya suku-bangsa pemilik karakter fisik dominan dari ras Negrito yang masih tersisa di Sumatera.


Budaya India dan Timur Tengah

Tiga peradaban dunia, yakni India, Timur Tengah, dan Eropa, yang pengaruhnya pada kebudayaan penduduk Pulau Sumatera, merupakan pengaruh-pengaruh asing yang digunakan untuk memahami sejarah berbagai kebudayaan Nusantara secara umum. Namun, dalam konteks masyarakat dan kebudayaan Sumatera, sebuah pengaruh asing lain, yang tidak didasarkan atas ajaran agama tertentu mungkin perlu ditambahkan. Pengaruh asing itu adalah pengaruh kebudayaan tradisional India, yang tak bisa dipungkiri telah ikut memberi warna pada berbagai masyarakat dan kebudayaan Sumatera. Hal ini karena berbagai unsur kebudayaan India telah ikut masuk ke Sumatera bersama masuknya agama Hindu-Buddha dan Islam, dua dari tiga agama dan peradaban dunia yang pengaruhnya pernah atau masih sangat besar di antara beragam masyarakat dan kebudayaan yang hidup di pulau tesebut.

Menurut seorang pengamat kebudayaan Sumatera, kebudayaan India, khusus bahasa dan aksaranya, sudah dikenal di Sumatera setidaknya sejak abad ke-7 Masehi. Prasasti-prasasti dari masa Śrīwijaya yang ditemukan di berbagai tempat di sana banyak yang ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta. Mulai abad ke-7 itu, aksara Pallawa juga makin sering digunakan oleh berbagi suku-bangsa di Sumatera untuk menulis dalam bahasa lokal mereka, yang juga mengandung banyak kata pinjaman dari bahasa Sanskerta dan Tamil.

Sampai saat ini, kitab-kitab warisan kuno yang masih sering digunakan Suku Lampung dan Batak juga ditulis dengan turunan aksara Pallawa, yang dipelajari nenek moyang mereka melalui interaksi dengan kaum pendatang India. Aksara Batak merupakan aksara yang terbentuk dan berkembang melalui penggubahan radikal dari bentuk aksara yang khas seperti bentuk aksara pada prasasti-prasasti beraksara Pallawa. (McGlynn 2002:14).

Pengaruh bahasa Tamil dari India Selatan juga terlihat dalam bahasa Minangkabau. Menurut seorang ahli linguistik, kata-kata seperti ’gudang’, ’kuli’, ’suasa’, ’kodi’, ’kolam’, ’peti’, ’niaga’, ’bedil’, dan ’tembaga’ berasal dari bahasa Tamil. Demikian pula nama-nama kue khas Minangkabau, seperti talam, onde-onde, apam, dan serabi.

Ramainya saudagar Arab yang berniaga sambil menyebarkan Islam di Sumatera, membawa suatu perubahan besar dalam urusan baca-tulis pada penduduk lokal. Para saudagar ini mengalami kesulitan dalam berkomunikasi karena yang mereka jumpai adalah bahasa Melayu. Mau tidak mau bahasa Melayu harus dipelajari. Sementara itu penduduk lokal tidak dapat baca-tulis. Melalui mubaligh yang turut dalam rombongan saudagar, penduduk yang berbahasa Melayu belajar menulis aksara Arab. Pada akhirnya, di tangan orang Melayu aksara Arab diubah dan aksara khusus diciptakan untuk bunyi yang tidak ditemukan dalam bahasa Arab (McGlynn 2002: 74). Tulisan Arab-Melayu dikenal sebagai tulisan Jawi atau sekarang dikenal dengan istilah ”Arab gundul”.

Di bidang seni pertunjukan, pengaruh budaya India misalnya dapat dilihat pada seni teater Mendu yang dikenal dalam masyarakat Melayu. Konon, bentuk kesenian ini berasal dari seni wayang Parsi, yang kemudian pada tahun 1870-an dibawa oleh kaum imigran India ke Pulau Penang (Semenanjung Tanah Melayu) dan Singapura. Meski lakon-lakon yang ditampilkan adalah lakon-lakon dari Persia, namun Mendu dipertunjukkan dengan memakai bahasa Tamil. Kesenian Mendu masih populer hingga saat ini di daerah Riau.

Masakan rendang daging yang selama ini disangka khas Melayu Minangkabau ternyata merupakan masakan yang sangat dipengaruhi oleh tradisi dapur dan budaya kuliner India. Berbagai bumbu dan rempah-rempah yang digunakan dalam memasak rendang, seperti kapulaga, ketumbar, bawang putih, bawang merah, cabai merah, jahe, lengkuas, sereh, daun salam, hingga asam dan kunyit, jelas merupakan racikan bumbu yang berasal dari dapur India. Pengaruh seni kuliner India juga dapat dilihat dari seringnya digunakan jinten, kunyit, dan ketumbar sebagai bumbu dalam berbagai hidangan Minangkabau dan suku-suku-bangsa Sumatera lainnya.

Masyarakat rumpun Borbor yang tinggal di daerah Toba atau Dairi di Sumatera Utara, memiliki adat membakar jenazah warga yang meninggal dunia dan sisa-sisa tulangnya dihanyutkan di sungai. Adat ini pun pun dikenal dalam lingkungan Marga Sembiring. Ada dugaan bahwa Orang Batak-Karo dari marga induk Sembiring merupakan kaum keturunan Suku Tamil (McKinnon 1994:59). Banyak nama marga dan submarga rumpun Sembiring yang diduga berasal dari kosa kata bahasa Tamil, seperti Pandia, Meliala, dan Chola. Seperti juga banyak cerita dan mitologi rakyat Batak, kalender Batak, dan sejumlah adat kebiasaan lain, adat penanganan jenazah ini juga diduga berasal dari kebudayaan India.


Budaya Tionghoa

Berdasarkan sumber-sumber tertulis yang dibuat oleh saudagar, pendeta, dan juru tulis Tionghoa, diketahui bahwa orang-orang Tionghoa melalui aktivitas perdaganganya sudah sejak abad ke-7 Masehi ada di Sumatera (Groeneveld 1960:60-100). Mereka menjalankan aktivitas niaga dengan kerajaan-kerajaan di Sumatera. Ketika Sumatera (Palembang) sedang tidak ada penguasa, ada kawanan lanun yang berasal dari Kuang tung (Tiongkok) tinggal di Palembang sampai akhirnya pada tahun 1405 ditangkap oleh Chêng Ho (Mills 1970: 99-100).

Pada awal abad ke-15 ketika kekaisaran Tiongkok diperintah oleh Yung Lo, kaisar memerintahkan semacam ekspedisi kebudayaan ke seluruh penjuru dunia. Salah satu ekspedisi yang terkenal di bawah pimpinan Laksamana Chêng Ho. Di Nusantara tempat-tempat yang disinggahi ekspedisi yang melibatkan ratusan kapal ini adalah Palembang, Aru, Nakur, Lambri (sekarang Banda Aceh), dan Samudra Pasai. Tentu saja di tempat-tempat ini tinggal komunitas Tionghoa. Di Lambri, Chêng Ho menghadiahkan sebuah lonceng besar dari perunggu yang sekarang dikenal dengan nama lonceng Cakradonya.

Orang-orang Tionghoa yang datang ke Sumatera bukan berasal dari satu tempat saja, melainkan dari beberapa tempat berbeda dengan suku dengan dialek dan bahasa yang berbeda pula (Vasanty 2004: 353). Demikian juga keahlian masing-masing sesuai dari tempat asalnya. Orang-orang ini berasal dari Provinsi Kuang tung dan Provinsi Fukien. Berdasarkan dialek bahasanya, di Sumatera terdapat kelompok Tionghoa Hokkien, Teo-chiu, Hakka, dan Kanton. Orang-orang Hokkien dikenal sebagai saudagar yang ulet dan menetap di daerah pantai barat daya Sumatera; orang Teo-chiu, Hakka, dan Kanton dikenal sebagai kuli perkebunan dan pertambangan yang menetap di pantai timur laut Sumatera, Bangka, dan Belitung. Kebanyakan orang dari Kanton, datang ke Nusantara membawa modal yang besar dan mempunyai keahlian bertukang. Kebanyakan mereka tinggal di Sumatera Tengah dan Pulau Bangka. Tidak jarang di antaranya ada yang menjadi pemilik tambang timah.

Seperti juga bangsa-bangsa lain yang merantau ke Sumatera, orang-orang Tionghoa juga membawa budaya dari tempat asalnya di Tiongkok. Lamanya mereka tinggal menetap di Sumatera secara tidak langsung mempengaruhi budaya penduduk asli Sumatera. Sebagai contoh, kerajinan menenun songket yang hampir di seluruh dunia Melayu mengenalnya. Motif dan warna songket mengingatkan kita akan warna-warna pada wihara Tionghoa yang hampir di setiap lingkungan pecinan ditemukan.

Masyarakat di Minangkabau mengenal sulaman pada kain yang dipakai kaum perempuan dan hiasan pada pelaminan. Kain yang dipakai sebagai bahan dasar sulaman adalah kain sutra dan satin. Kain sutra atau satin yang disulam ini mendapat pengaruh budaya Tionghoa. Secara nyata tampak pada hiasan flora, warna, dan teknik menyulamnya (Sutan Aswar 1999: 425-435). Meskipun sulaman kain mendapat pengaruh Tionghoa, namun setelan pakaian mempelai pria pada upacara pernikahan mendapat pengaruh Portugis.

Entah sejak kapan orang Tionghoa datang dan menetap di Pulau Bangka. Sebetulnya tambang timah di Bangka ditemukan secara tidak sengaja. Menurut Marsden, timah di Bangka ditemukan tahun 1710 ketika sebuah rumah keluarga Tionghoa terbakar (Marsden 2008: 159) Akibat kebakaran tersebut, dari lantai tanah rumah yang terbakar itu tampak lelehan timah. Belakangan orang-orang Tionghoa yang mempunyai keahlian dalam penambangan timah berdatangan ke Bangka. Sementara itu, penduduk asli Bangka belum mengenal logam timah. Kepandaian inilah yang kemudian ditularkan kepada penduduk asli Bangka.

Pengaruh budaya Tionghoa juga tampak pada bentuk-bentuk atap bangunan rumah tinggal dan masjid di Palembang. Pada bubungan atap bangunan terdapat hiasan seperti tanduk kambing. Masjid Agung Palembang yang dibangun pada abad ke-18, selain bentuk hiasan atapnya, bentuk menara masjid mirip dengan bentuk menara pada bangunan wihara orang Tionghoa.


Budaya Eropa

Sumatera sudah dikenal lama oleh bangsa-bangsa di dunia. Berbagai sumber tertulis menginformasikan tentang Sumatera sebagai pulau penghasil emas. Kitab/peta pertama yang dikaji adalah Periplous tès Erythras thalassès. Kitab ini dibuat oleh nakhoda kapal dagang berbangsa Yunani-Mesir pada sekitar abad pertama tarikh Masehi (Wheatley 1961: 129 cat 1). Isinya pedoman untuk berlayar di lautan Erythras (Samudra Indonesia). Nakhoda yang membuat kitab ini biasa melakukan pelayaran antara Asia Barat dan India.

Keterangan mengenai geografi sebelah timur India memang kurang lengkap, tetapi keterangan mengenai sistem perdagangannya cukup bernilai (Wheatley 1961: 129-131). Dalam kitab Periplous terdapat keterangan mengenai perdagangan antara India dengan suatu daerah yang bernama Chrysè yang berarti “emas”. Nama ini mengingatkan kita pada Swarnnabhūmi dan Swarnnadwīpa yang mengacu pada Sumatera. Pulau ini dikenal sebagai penghasil emas dan hasil hutan yang banyak digemari oleh para pedagang asing seperti kapur barus dan kemenyan.

Kehadiran orang Yunani di Sumatera dicatat oleh orang Arab dalam kunjungannya ke Fansur (Barus). Karya ‘Ahbar... dan Ibn al-Fāqih dari abad ke-9 dan 10 Masehi menceriterakan tentang burung-burung beo dari Zābaj (Śrīwijaya) yang salah satu kemahirannya ialah dapat berbahasa Yunani (Kèvonian 2002: 61). Burung beo dapat berbicara apabila ia secara kontinyu mendengarkan pembicaraan manusia dalam bahasa yang dipakai sehari-hari. Apabila dikatakan banyak burung beo yang dapat berbahasa Yunani, ini mengindikasikan keberadaan orang-orang Yunani atau sekurang-kurangnya orang yang berbahasa Yunani yang tinggal menetap di Zābaj.

Keberadaan orang-orang Yunani di Sumatera “tidak sempat” mengembangkan budaya dari tanah asalnya. Boleh jadi mereka hanya tinggal untuk sementara waktu. Karena itu jejak keberadaannya sulit untuk ditelusuri kembali. Demikian juga ketika Marco Polo singgah di Samudra Pasai pada 1292.

Antara 1492-1511, sekelompok armada Portugis di bawah pimpinan Kapten de Pinto berlabuh di Kuala Daya, Lamno (pantai barat laut Aceh, Kabupaten Aceh Jaya). Di tempat ini mereka melakukan aktivitas dagang. Pada saat itu Lamno di bawah kekuasaan Raja Mereuhoem. Dari Lamno sebagian dari mereka melanjutkan pelayarannya ke Melaka. Namun, tidak semua pelaut/saudagar tersebut ikut ke Melaka. Sebagian dari mereka ada yang tinggal menetap dan beranak pinak membentuk suatu komunitas. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang masih kental. Umumnya mereka sudah membaur dengan penduduk asli dan memeluk agama Islam.

Selain di Aceh pengaruh budaya Portugis juga ditemukan di daerah Medan. Di Medan-Deli pengaruh Portugis tampak melekat pada kesenian musik dan tari. Akan tetapi pengaruh yang muncul sudah terdistorsi karena tidak langsung dari orang Portugis, tetapi datang dari Melaka yang letaknya agak berseberangan (da França 2000: 41). Boleh jadi pengaruh budaya Portugis juga ditemukan di daerah-daerah sepanjang pantai timur laut Sumatera bagian utara.

Budaya Eropa lain yang jejaknya dapat ditelusuri melalui tinggalannya adalah ketika bangsa Belanda menduduki Sumatera. Jejak budayanya dapat dilihat dari teknologi bangunan (tangible) dan agama (intangible). Dalam hal teknologi bangunan, sebelum kedatangan bangsa Eropa bangunan-bangunan rumah tinggal (termasuk istana) di Sumatera dibuat dari bahan kayu dan bambu. Atapnya dibuat dari bahan rumbia, ijuk, dan daun kelapa. Bangunan-bangunan seperti inilah yang menjadi ciri khas rumah orang Melayu. Bangunan-bangunan permanen yang dibuat dari bata hanya diperuntukan bagi bangunan-bangunan suci Hindu maupun Buddha.

Bangunan-bangunan batu yang dibangun berdasarkan pengetahuan dari Eropa adalah bangunan istana dan benteng-benteng pertahanan. Selain itu, teknologi bangunan dipakai juga pada bangunan-bangunan agama, seperti masjid dan gereja. Istana Maimoon dari Kesultanan Deli dibangun dengan arsitektur campuran antara Timur Tengah dan Eropa. Arsitektur Timur Tengah tampak pada lengkung-lengkung akulade pada jendela dan pintu, sedangkan pengaruh Eropa diserap pada teknik sipil bangunan. Demikian juga pada bangunan-bangunan istana Kesultanan Siak Sri Indrapura, bangunan-bangunan tinggalan Kesultanan Riau-Penyengat.

Pada waktu menduduki Sumatera, bangsa Eropa banyak membangun benteng pertahanan dari bahan batu, sebagai contoh misalnya benteng Belanda di Muntok (Pulau Bangka), benteng di Aceh, benteng di Pulau Cingkuk, Fort de Kock, Fort van der Cappellen (Sumatera Barat), dan benteng Inggris Fort Marlborough (Bengkulu). Beberapa benteng tersebut masih berdiri kokoh dan telah direnovasi.

Bangunan benteng yang dibangun dalam satu sistem pertahanan, mengispirasi bangsa Melayu untuk membangun benteng pertahanan yang kokoh dan berdiri pada satu sistem pertahanan. Satu-satunya benteng pertahanan di Sumatera yang dibangun oleh bangsa Melayu dengan mengadopsi teknologi perbentengan Eropa adalah Benteng Kuto Besak di Palembang (Hanafiah 1989: 25-27). Benteng ini tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari sistem pertahanan sungai hingga ke Selat Bangka (Mead Earle 1962: 41-43). Dengan demikian, musuh tidak dapat dengan mudah menduduki Palembang karena harus berhadapan dengan benteng-benteng lain di sepanjang Musi.

Salah satu budaya tangible yang berhasil dikembangkan oleh bangsa Eropa di Sumatera adalah agama Kristen. Keberadaan agama ini di Sumatera diduga jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa, yaitu ketika para saudagar Persia berdagang di Barus (pantai barat daya Sumatera bagian utara). Agama Kristen yang ada di tempat ini diduga dari mazhab Nestorian, Kristen yang berkembang di Persia pada sekitar abad ke-7-8 Masehi. Namun bukti keberadaan mazhab ini di Barus sulit dibuktikan. Penyebaran Kristen secara “resmi” baru dilakukan ketika Belanda sudah “mapan” di Sumatera.

Masuknya Kristen di Tapanuli bermula dari penelitian Frans Junghuhn (peneliti bangsa Jerman) di tanah Batak pada tahun 1842. Laporan hasil penelitiannya kemudian diterbitkan di Eropa dan dibaca oleh orang-orang dari Lembaga Alkitab di Belanda. Setelah itu, diutuslah van der Tuuk --seorang ahli bahasa--untuk melakukan penelitian bahasa Batak dan tinggal di Barus pada 1851-1857. Setelah lama tinggal di Batak dan menetap di tepi danau Toba, ia menganjurkan pada pemerintahnya untuk mengirimkan penginjil-penginjil ke Tapanuli sebelum seluruh daerah itu diislamkan. Sejak itu banyak penginjil yang datang ke Tapanuli dan menetap di Sipirok dan Angkola.

Pekabar Injil terkenal dan mengakar di masyarakat Tapanuli adalah Ludwig Ingwer Nommensen (1834-1918), seorang penginjil bangsa Jerman. Pada tahun 1862 ia tiba di Padang, dan pada 23 Juni 1862 ia tiba di Barus. Namun, karena Barus dipandang sebagai daerah pinggiran Batak, ia minta izin pada Residen Tapanuli untuk tinggal di pedalaman Batak, dan akhirnya tinggal di Silindung (van den End 1989: 173-175). Keberhasilannya di Silindung ia mendirikan Sekolah Guru Zending, dan pada 27 Agustus 1865 ia membaptis Raja Pontas Lumbantobing (kepala suku di Silindung/Tarutung). Sampai akhir hayatnya ia berhasil mengkristenkan lebih dari 180.000 orang. Hingga kini umat Kristen Lutherian di Tapanuli tergabung dalam organisasi Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di bawah pimpinan seorang ephorus.

Demikianlah gambaran budaya Sumatera sebagai tempat bertemunya orang-orang dari berbagai bangsa dan budaya yang berbeda. Ada yang tetap bertahan dengan budayanya, dan ada pula yang sudah membaur menjadi suatu bentuk budaya yang berbeda dari budaya aslinya. Pendatang dari India ada yang tetap mempertahankan budayanya, misalnya dalam hal upacara keagamaannya. Demikian juga orang-orang Tionghoa dengan ketaatannya dalam menjalankan ajaran Kong Hu Chu dan Tao dengan wihara-wiharanya di daerah pecinan.

Bambang Budi Utomo
Mulyawan Karim


Kepustakaan

Bambang Budi Utomo (ed), 2007, Pandanglah Laut Sebagai Pemersatu Nusantara. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Colani, M., 1927, “L’ Age de la pierre dans la Province de Hoabinh, Tonkin”, dalam Memoirs Service Geologie d’Indo-Chine 14. Hanoi.

Collins, James T., 2005, Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta

Daldjoeni, N., 1992, Geografi Kesejarahan (Jilid II, Indonesia), Bandung: Penerbit Alumni.

de França, Antonio Pinto, 2000, Pengaruh Portugis di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Geertz, Hildred, 1981, Aneka Budaya dan Komunitas Indonesia, terjemahan Indonesian Cultures and Communities (1963), Seri Bacaan Wajib No. 42 FIS UI, Jakarta: Pulsar/Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.

Groeneveldt, W.P., 1960, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources. Djakarta: Bhratara.

Hanafiah, Djohan, 1989, Kuto Besak: Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan. Jakarta: CV Haji Masagung.

Hasibuan, Waty, 1975, “Batak Toba”, dalam Berita Antropologi No 19, Tahun VII, Jakarta: Yayasan Perpustakaan Nasional.

Kèram Kèvonian, 2002, “Suatu catatan perjalanan di Laut Cina dalam Bahasa Armenia”, dalam Lobu Tua: Sejarah Awal Barus (Claude Guillot, ed.), hlm. 61. Jakarta: EFEO.

Koentjaraningrat, 1971, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan.

Koentjaraningrat, 1969, Atlas Etnografi Sedunia, Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.

Koentjaraningrat (penyunting), 1993, Masyarakat Terasing di Indonesia, Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional untuk Kesejahteraan Sosial/Gramedia.

Marsden, William, 2008, Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu.

McGlynn, John H., 2002, “Bahasa dan Sastra” dalam Indonesian Herritage vol. 10. Jakarta: Buku Antar Bangsa.

McKinnon, E. Edwards, 1994, “Arca-arca Tamil di Kota Cina”, dalam Kalpataru 10. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Mead Earle, Edward, 1962, Penjusun-penjusun Strategi Perang Modern. Djakarta: Bhratara.

Melalatoa, Junus, 1995, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (2 jilid). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI

Mills, J.V.G., 1970, Ma Huan. Ying-yai Sheng-lan. ‘The Overall Survey of the Ocean’s Shore’ (1433). [translated from the Chinese text edited by Feng Ch’eng-Chün with introduction, notes and appendices by JVG Mills]. Cambridge: University Press for the Hakluyt Society.

Nooteboom, C., 1971, Sumatera dan Pelayaran di Samudera Hindia, Seri Terjemahan Karangan-karangan Belanda LIPI-KITLV, Jakarta: Penerbit Bhratara.

Puspa Vasanty, 2004, “Kebudayaan orang Tionghoa di Indonesia”, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (ed. Koentjaraningrat), hlm. 353-373. Jakarta: Djambatan.

Reid, Anthony, 1992, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (Jilid I: Tanah di Bawah Angin), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

van den End, Dr. Th., 1989, Ragi Carita Jilid 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Stein Callenfels, P. V van, 1927, “Rapport over een dienstreis door een deel van Sumatera”, dalam Oudheidkundig Verslag, Bij. K, hlm. 127-133.

Sutan Aswar, Sativa, 1999, “Pengaruh Budaya Tionghoa dalam Sulaman Minangkabau”, dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard (ed. Henry Chambert Loir & Hasan Muarif Ambary), hlm. 425-435. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sutton, R. Anderson, 2008, Music of Indonesia, New York: The Festival of Indonesia Foundation.

Tjandrasasmita, Uka, 1976, “Masuknya Islam ke Indonesia dan Pertumbuhan Kota-kota Pesisir Bercorak Islam”, dalam Bulletin Yaperna No. 11 Tahun III, Jakarta: Yasasan Perpustakaan Nasional.

Vollenhoven, C. van, 1987, Penemuan Hukum Adat, terjemhan De Ontdekking van het Adatrecht (1928, Leiden: E.J. Brill), Jakarta: Djambatan.

Wheatley, Paul, 1961, The Golden Chersonese. Kuala Lumpur: University of Malaya Press, hlm. 129-131.

Whitten, Anthony J., Sengli J Damanik, Jazanul Anwar, dan Nazaruddin Hisyam, 1987, The Ecology of Sumatra, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Winick, Charles, 1970, Dictionary of Anthropology, New Jersey: Littlefield, Adams & Co.

(Sumber: Treasures of Sumatra, Museum Nasional, 8 Juni-8 September 2009)

No comments:

Post a Comment