Pages

Monday, June 2, 2014

PENELITIAN ARKEOLOGI DI EKS KABUPATEN PASAMAN, PROVINSI SUMATERA BARAT

PENELITIAN ARKEOLOGI DI EKS KABUPATEN PASAMAN,
PROVINSI SUMATERA BARAT

Repelita Wahyu Oetomo
Balai Arkeologi Medan

Abstract
Pasaman has important role for history of Sumatera. This region have long story of
historic period. Hindoo-Buddism also have role and really fast develop in this
region. With archaeological research there, the Pasaman’s archaeological remains
can be found and give the fact of it.


1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Secara astronomis eks Kabupaten Pasaman terletak pada koordinat 0° 55’ LU -
0° 11’ LS sampai dengan 100° 21’ BT, tepat berada di garis Khatulistiwa dengan luas
wilayah 7.835,40 km². setelah diberlakukannya otonomi, eks Kabupaten Pasaman
dimekarkan menjadi Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat.


Eks Kabupaten Pasaman dan juga daerah lainnya di pesisir barat Sumatera Barat
pernah dikuasai oleh Kerajaan Aceh, sekaligus tercatat menjadi tempat persinggahan
pedagang asing. Seorang pujangga India yang pernah singgah di daerah ini
menyebutkan bahwa di Air Bangis pernah berdiri sebuah kerajaan yang aman,
makmur, dan pasarnya selalu ramai baik pada siang maupun malam hari. Kerajaan
tersebut memiliki hubungan yang erat dengan daerah-daerah lainnya seperti Ujung
Gading, Sungai Aur, Aur Kuning, Paritbatu (Kota Baru), Kinali, dan sebagainya. Selain
mengekspor lada, Pasaman juga merupakan tempat penampungan emas dari daerah
sekitarnya yang dikirim melalui Sungai Siak menuju ke daerah Patapahan dan
selanjutnya dibawa ke pantai timur Sumatera melalui Selat Malaka (Mansoer,1970: 4).
 

Masyarakat eks Kabupaten Pasaman merupakan campuran antara orang Batak dari
sub etnis Mandailing yang telah menganut Islam dan orang Melayu (Marsden, 1999:
210). Dalam berbahasa mereka menggunakan bahasa Minangkabau dan Mandailing
sehingga dikatakan sebagai daerah berdwi-kebudayaan (Mansoer dkk, 1970: 4).


Batara Sangti mengemukakan bahwa ada beberapa marga yang berasal dari pusat
negeri Toba tua melakukan migrasi ke daerah Mandailing dengan maksud
membendung penetrasi dan ekspansi Kerajaan Minangkabau (Sangti, 1977: 47). Hal
itu dikuatkan oleh mantan asisten residen di Tanjung Balai, M. Hamerster dalam
bukunya “Bijdrage tot de Kennis van Afdeling Asahan”, bahwa raja yang pertama kali
memerintah Kota Pinang adalah Sultan Batara Guru Pinayung, putera Sultan
Alamsyah Sayifuddin, Raja Negeri Pagaruyung Alam Minangkabau. Mengenai sejarah
penyebaran agama, jauh sebelum berkembangnya pengaruh kebudayaan Islam di
Pasaman, telah ada bukti unsur pengaruh kebudayaan Hindu – Buddha, seperti
bangunan candi di Tanjung Medan disertai temuan 2 buah arca singa dan sebuah
fragmen arca tokoh yang diduga sebagai dwarapala. Walaupun belum diketahui
dengan pasti latar belakang keagamaannya, namun dugaan sementara umur
pembuatannya tidak jauh dari masa kejayaan Kerajaan Melayu Swarnabhumi.


Sejarah keberadaan Kerajaan Swarnabhumi telah diteliti oleh kontrolir Belanda,
Verkerk Pistorius pada tahun 1868 yang menuliskan bahwa di DAS Batanghari pernah
berkembang kebudayaan Hindu (Amran, 1981:17). Berdasarkan hasil survei yang
dilakukan, keletakan situsnya termasuk dalam wilayah Kabupaten Sawahlunto yang
meliputi Padanglaweh, Padangrocok – Seilangsat, Seguntur, Pulausawah, Rembahan
dan Lubukbulan. Kemungkinan situs-situs tersebut dari masa kejayaan Kerajaan
Swarnabhumi sekitar abad XIII – XIV Masehi. Kitab Pararaton dan Negarakertagama
menyebutkan bahwa pada tahun 1275 Masehi Raja Kertanegara dari Singasari
mengirimkan tentaranya ke Melayu (ekspedisi Pamalayu), menjalin persahabatan
dengan Kerajaan Swarnabhumi untuk bekerjasama dalam menghadapi ekspansi yang
akan dilancarkan Kubilai Khan. Untuk mempererat persahabatan itu Kertanegara
mengirim arca Amogapasha pada tahun 1286 (Djoened, 1990:83-85). Hal itu
menunjukkan bahwa Eks Kabupaten Pasaman dahulu merupakan tempat bagi
terjadinya persentuhan berbagai aktivitas dari kebudayaan besar yang mewakili masa
Hindu-buddha, Islam, dan pengaruh kebudayaan etnis Batak.


1.2. Permasalahan
Eks Kabupaten Pasaman pada masa lalu telah menjadi tempat terjadinya persentuhan
budaya yang mewakili masa Hindu-Buddha, Islam, dan pengaruh kebudayaan etnis
Batak, namun sejauh ini bukti-bukti arkeologis yang mendukung masih minim padahal
eks Kabupaten Pasaman memiliki wilayah yang strategis dalam pergaulan antar etnis
dan bangsa karena letaknya di pesisir pantai barat Sumatera. Di sebelah utara
terdapat daerah yang kaya peninggalan kepurbakalaan masa Hindu-Buddha yaitu
Situs Padang Lawas (abad 9 – 14 M). Pada masa yang lebih muda daerah Pasaman
merupakan tempat lalu lalang migrasi kebudayaan Batak (Mandailing) ke darah
Pasaman, demikian pula sebaliknya. Permasalahan yang diungkap adalah, tinggalantinggalan apa saja yang merupakan sisa-sisa budaya masa lalu yang keberadaannya masih dapat diketahui sampai saat ini, serta bagaimana aktivitas budaya masa lalu yang tercermin melalui tinggalan arkeologisnya, yang menggambarkan proses
terjadinya kontak budaya yang mewakili masanya ?


1.3. Kerangka Pikir dan Metode
Dalam sejarah hubungan pelayaran dan perdagangan, daerah pantai Barat Sumatera
sejak permulaan abad pertama masehi telah menjadi ajang tempat persentuhan
budaya-budaya besar yang mewakili masa Hindu – Buddha, Islam dan Kolonial. Bukan
hanya itu, daerah ini juga menjadi tempat terjadinya proses migrasi dari utara ke
selatan ataupun sebaliknya. Sebatas penelitian terakhir yang pernah dilakukan di
daerah pantai barat Sumatera khususnya di eks Kabupaten Pasaman telah diperoleh
data penting peninggalan purbakala berupa struktur bata (candi) masa Hindu –
Buddha. 


Dari bukti yang ada itu diperoleh keterangan bahwa di daerah Minangkabau
termasuk Pasaman pernah berdiri kerajaan dengan peradaban besarnya yaitu Swarnabhumi abad XIII-XIV Masehi. Hubungannya dengan Kerajaan Singasari di Jawa
adalah dalam rangka menahan serangan Cina yang membuktikan bahwa eksistensi
kerajaan ini memiliki pengaruh yang kuat, khususnya di daerah Padang Lawas pernah
berdiri Kerajaan Panai. Dari fakta tersebut dapat ditarik benang merah yaitu daerah
Pasaman dahulu merupakan tempat terjadinya lalulalang aktivitas ekonomi dan politik
yang mengakibatkan terjadinya kontak sekaligus percampuran budaya dengan daerah- daerah, baik yang di utaranya (Padang Lawas) maupun di daerah sekitarnya, di
samping proses percampurannya dengan budaya Melayu (dari pantai timur Sumatera)
dan Mandailing. Kondisi tersebut menghasilkan berbagai bentuk tinggalan budaya
yang jejaknya sebagian masih dapat kita temukan.


Diharapkan melalui sisa peninggalan budaya masa lalu diperoleh pemahaman
mengenai aktivitas budaya yang pernah terjadi di Pasaman pada masa lalu, yang
merupakan cerminan dari terjadinya kontak budaya yang mewakili masanya. Penelitian
kali ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan tinggalan-tinggalan arkeologis yang
terdapat di eks Kabupaten Pasaman. Sampai sejauh ini (tahun 2004) tidak banyak
penelitian dan pendataan terhadap peninggalan arkeologis yang dilakukan. Diharapkan
melalui penelitian ini akan dapat didata kembali tinggalan arkeologis/budaya yang
terdapat di daerah tersebut dan direkatkan kembali sebagai jalinan sejarah
kebudayaan di eks Kabupaten Pasaman.


Dalam upaya mengungkap keberadaan warisan budaya peninggalan manusia masa
lalu di wilayah eks Kabupaten Pasaman, tipe penelitian yang diterapkan bersifat
eksploratif dengan alur penalaran induktif. Data yang akan dikumpulkan pada
penelitian kali ini diperoleh melalui survei permukaan, dan bila ditemukan indikasi
temuan yang signifikan. Selain itu untuk mendukung informasi yang ada dilakukan
wawancara terbatas untuk mengetahui keberadaan situs, lingkungannya dan apresiasi
masyarakat terhadap tinggalan arkeologis tersebut.


1.4. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan akan terungkap potensi tinggalan budaya masa lalu di
Kabupaten Pasaman. Antara lain sisa-sisa tinggalan budaya pada masa Hindu-
Buddha, Islam/kolonial dan sebagainya yang merupakan bukti perjalanan sejarah yang
pernah ditempuh oleh eks Kabupaten Pasaman pada masa lalu. Diharapkan hasil
penelitian kali ini dapat dirangkai menjadi rajutan perjalanan sejarah di eks Kabupaten
Pasaman. Tahap selanjutnya adalah, mengingat arti penting tinggalan-tinggalan
budaya tersebut diperlukan penanganan lebih lanjut, mengingat kondisinya akan
semakin menurun. Adapun penanganan yang perlu dilakukan antara lain adalah;
pengelolaan, pemeliharaan, dan perawatan mengingat tinggalan budaya tersebut
merupakan aset sejarah budaya yang penting bagi perkembangan pembangunan di
masa yang akan datang.


Diharapkan hasil penelitian kali ini akan mampu memberikan informasi kesejarahan di
eks Kabupaten Pasaman. Dengan kata lain, informasi sejarah kebudayaan di daerah
tersebut pernah mengalami pasang dan surut seiring dengan perkembangan jaman.
Kearifan pada masa lalu diharapkan mampu memberikan rasa bangga dan kesadaran
masyarakat bahwa kehidupan yang pernah dikembangkan oleh pendahulu kita
merupakan pilihan tepat untuk menghadapi tantangan jaman, antara lain adalah pola
kehidupan yang selaras dengan alam yang merupakan cara arif mengatasi
permasalahan dimasa datang.

2. Hasil Pengumpulan Data
2.1. Candi Tanjung Medan
Situs Candi Tanjung Medan secara administratif berada di Jorong Petok, Kecamatan
Panti, Kenagarian Panti, Kabupaten Pasaman, berjarak sekitar 200 m dari jalan
provinsi yang menghubungkan Provinsi Sumatera Utara dengan Sumatera Barat.
Secara astronomis situs ini berada pada titik 00º 17’ 507’’ LU dan 100° 06’ 099’’ BT.
Lokasi kompleks Candi Tanjung Medan berada tidak jauh dari kanal irigasi Panti – Rao
selebar 4 m yang memotong sebagian areal situs. Kawasan Candi Tanjung Medan
dialiri dua buah sungai yaitu Batang Pauh Gadis dan Batang Sumpur. Sejarah
penemuan candi berkaitan dengan pembangunan saluran irigasi untuk mengairi areal
persawahan. Dalam penggalian pembuatan saluran irigasi ini secara tak sengaja
ditemukan potongan-potongan bata dan bata berstruktur yang ternyata bagian dari
candi. Atas desakan warga sebagai langkah penyelamatan situs maka lintasan saluran
irigasi dibelokkan agak jauh dari pembangunan candi.


Kompleks Candi Tanjung Medan terdiri dari beberapa unit bangunan yang meliputi
bangunan candi I sampai dengan VI. Adapun bangunan candi V dan VI kondisinya masih berada dalam tanah, ditandai dengan keberadaan gundukan dan serakan bata
di permukaan tanahnya. Candi I dan II telah dipugar oleh Suaka Peninggalan Sejarah
dan Purbakala Batusangkar (kini Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar). Bagian depan kedua bangunan ini posisinya saling berhadapan.
 

Bangunan yang tersisa dan berhasil dipugar saat ini hanya sebatas bagian dasar
candi. Candi I berbentuk persegiempat dengan anak tangga di sisi timur dengan konstruksi
tangga menjorok. Di bagian atas tidak ditemukan kelanjutan sehingga susunan batanya dibuat mendatar. Di sisi utara, selatan dan barat bangunan tersebut terdapat tumpukan bata yang tertata dalam posisi rebah, yang merupakan runtuhan dari bagian tubuh candi.


Candi II merupakan perwara dari candi I. Dalam proses pemugaran, berhasil
ditampakkan bagian dasar dan sebagian badan candi. Bangunan ini berukuran 9 m x 9
m. di sisi barat dan timur terdapat tangga berukuran sekitar 2 m dengan sejumlah anak
tangga berukuran kecil, kemungkinan tidak berfungsi untuk menaiki bangunan
tersebut. Tiap bagian candi tersusun dari beberapa buah bata yang member bentuk
dan kesan estetis pada bangunan candi, demikian pula dengan tiap sisinya yang
berbentuk lengkung ataupun yang dipahatkan miring.


Candi III dan IV berukuran lebih kecil dibandingkan kedua bangunan di atas dan telah
mengalami pemugaran serta dibuatkan cungkup pelindung. Yang tersisa saat ini
adalah dasar dan sebagian badan bangunan. Candi III berukuran 8,8 m x 8,8 m.
seperti, candi I, II, dan III, bagian dasar candi IV juga lebih rendah dari permukaan
tanah sehingga untuk menampilkan bagian tersebut harus digali dengan kedalaman
hingga mencapai 1 m. bahan penyusunnya adalah bata yang terdiri dari beberapa
lapis. Di beberapa bangunan susunannya hanya satu lapis. Bagian atas bangunan
tidak diketahui bentuknya. Pada bagian tengah candi terdapat isian tanah.


Di bagian atas dijumpai 5 buah batu andesit. Pada batu-batu tersebut tidak tampak
adanya pengerjaan. Empat buah batu diletakkan pada setiap sudut bangunan, dan
sebuah lagi terletak di tengah. Di depan bangunan candi terdapat sebuah batu yang
telah mengalami pengerjaan. Bagian dasar berbentuk persegiempat berukuran tinggi
70 cm, lebar 50 cm, sedangkan bagian atasnya bulat berukuran 20 cm.


Bangunan candi IV dilindungi oleh cungkup. Bentuk bangunannya hampir sama,
struktur bata polos berundak membentuk bagian dasar dan sebagian badan bangunan.
Di bagian atas terdapat isian yang menggunakan bahan yang sama dengan candi III
yaitu tanah. Bangunan ini dilengkapi dengan tangga di sisi timur.


Beberapa temuan lepas disimpan di gudang penyimpanan, terdiri dari enam buah
fragmen batu yang telah mengalami pengerjaan. Batu-batu tersebut mengalami
pengerjaan namun tidak diketahui secara pasti fungsinya. Fragmen-fragmen batu
tersebut antara lain berupa puncak bangunan atau lingga-yoni (?), lumpang batu, serta
beberapa pecahan keramik. Temuan batu andesit yang pertama lebih menyerupai batu
penggilasan, diketahui dari bagian tengahnya yang cekung. Bagian tepi atas datar
sedangkan tengahnya cekung. Fragmen batu kedua tidak diketahui fungsinya,
kemungkinan merupakan bagian sudut dengan pahatan miring. Fragmen batu ketiga
merupakan batu granit yang tidak diketahui fungsinya. Batu-batu tersebut ditemukan
dalam areal percandian, berasosiasi dengan bangunan-bangunan candi. 


Temuan lain berupa nisan atau kemuncak bangunan beserta lapiknya. Lapik berbentuk
persegiempat terdiri dari dua tingkat dengan bagian atas mengecil. Di bagian tengah
terdapat lubang persegiempat tempat meletakkan nisan yang berbentuk gada dengan
bagian bawah hiasan berbentuk bulat, sedangkan bagian atasnya berbentuk persegi
delapan dan semakin ke atas semakin mengecil. Fragmen batu lainnya berbentuk
menyerupai gada persegi delapan, bagian bawah hilang. Adapun temuan lainnya berupa lumpang batu. Bentuknya tidak beraturan, dan di bagian tengah terdapat lubang bekas pengerjaan. Beberapa temuan lain adalah fragmen keramik berwarna hijau dan krem. Keramik Cina dengan dasar warna hijau memiliki pola hias bermotif sulur, sedangkan keramik dengan dasar warna krem berglasir pecah seribu, keduanya diperkirakan berasal dari abad 13 – 14 M.


2.2. Prasasti Lubuk Layang (Kubu Sutan)
Objek ini terletak di Jorong Simpang IV, Desa Kubu Sutan, Kecamatan Rao Selatan, Nagari Lubuk Layang, Kabupaten Pasaman pada koordinat 00° 31’ 277’’ LU dan 100°03’ 768’’ BT. Lokasinya terletak sekitar 25 m di sisi tenggara jalan yang menghubungkan Dusun Kubu Sutan dengan Kecamatan Rao. Prasasti tersebut terletak di tengah-tengah areal pemakaman umum, berbatasan dengan pemukiman penduduk di sebelah timur dan barat serta aliran Sungai Tingkarang di sebelah selatan. Prasasti ini ditulis pada sebuah lempengan batuan sandstone yang kondisinya saat ini dalam posisi miring karena sebagian terbenam dalam tanah. Ukuran lempengan prasasti yang tampak di permukaan adalah panjang 85 cm, sedangkan sisi lainnya dalam kondisi terbenam dan menyisakan permukaan batu sepanjang 43 cm. Lebar batu adalah 42 cm dan tebal 16 cm. Di bagian atas batu prasasti tersebut saat ini pecah.


Pertulisan terdapat di dua sisi. Sisi depan terdiri dari 9 baris, dan beberapa pertulisan
di bagian atas hilang. Di sisi belakang terdapat 7 baris tulisan. Kondisi pertulisan
secara umum telah aus mengingat bahan yang digunakan cenderung rapuh sehingga
menyulitkan upaya pembacaan.


2.3. Arca Dwarapala
Arca ini terletak di tepi jalan yang menghubungkan Dusun Kubu Sutan dengan
Kecamatan Rao di halaman rumah penduduk, tepatnya di Jorong Tigo, Lubuk Layang,
Nagari Padang Nunang, Kecamatan Rao Selatan, Kabupaten Pasaman. Selain
dwarapala, terdapat pula sebuah makara pada lokasi yang sama. Kondisi arca
dwarapala sudah aus. Kepala, tangan, dan beberapa atributnya telah hilang. Arca ini
ditemukan dengan kondisi seperti saat ini pada sekitar tahun 1960-an oleh penduduk
Desa Padang Nunang di sekitar aliran Sungai Sibinail. Arca berukuran tinggi 94 cm
dan lebar badan sekitar 39 cm. pada tangan kiri terdapat kelat bahu dan gelang. Arca
tersebut menggunakan kain dengan lipatan menjurai di antara kedua kakinya. Posisi
kaki lurus tanpa menggunakan atribut. Tangan kanan kemungkinan memegang gada.
Pada bahu arca terdapat upawita (tali kasta) berupa seekor ular.


Objek yang diperkirakan sebagai makara terbuat dari bahan sandstone juga ditemukan
di sekitar aliran Sungai Sibinail. Bagian atas telah mengalami pelapukan. Di bagian
mulut terdapat belalai, dan di ujung belalai terdapat relief manusia. Di samping kiri –
kanan relief terdapat beberapa relief berbentuk garis-garis, di belakangnya terdapat
beberapa motif hias sulur-suluran berbentuk lingkaran menyerupai kipas yang
berfungsi mengisi bidang-bidang kosong. Di bagian belakang terdapat relief berbentuk
manusia menggunakan mahkota dengan tangan kanan membawa pedang/gada
sedangkan tangan kiri memegang perisai (?).


2.4. Benteng Amerongen
Berada di Desa Tarung-tarung, Kecamatan Rao, Kabupaten Pasaman, tepatnya di
sebelah SDN I Rao pada koordinat 00° 33’ 782’’ LS dan 100° 01’ 087,, BT. Bangunan
tersebut berdenah persegiempat, sekelilingnya dibatasi gundukan tanah yang
ditumbuhi semak belukar. Di luar gundukan terdapat parit yang sebagian telah tertutup
akibat aktivitas manusia di masa belakangan. Di sebelah timurlaut dan baratdaya
gundukan terdapat unit yang menonjol sebagai bastion.


Permukaan tanah di dalam benteng relatif datar dan ditumbuhi tanaman liar. Di
beberapa bagian permukaan tanah dijumpai struktur susunan batu yang diperkirakan
merupakan fondasi bangunan. Selain itu di dalam benteng ditemukan pula fragmen
botol berwarna hijau tua.

Gundukan tanah di sebelah barat benteng terpotong, tampaknya merupakan pintu
masuk yang menghubungkan dengan permukiman di luar benteng. Kondisi permukaan
tanah di belakang benteng relatif datar dan masih menyisakan setidaknya dua struktur
batu. Menurut informasi beberapa tahun sebelumnya susunan batu tersebut masih
menampakkan bentuk fondasi sebuah bangunan. Benteng ini dibangun untuk
mengantisipasi penyerangan yang dilakukan oleh pasukan pengikut Tuanku Rao yang
berada di sebelah utaranya.


2.5. Benteng Parit Rao
Terletak di Desa Padang Metinggi, Kecamatan Rao, di tepi jalan desa yang
menghubungkan ke Nagari Sungai Ranyah. Benteng ini berbatasan langsung dengan
jalan, memanjang dari baratdaya ke timurlaut. Benteng tanah ini terdiri dari dua lapis.
Lapis terluar merupakan pembatas dengan daerah luar. Tinggi benteng tanah ini
bervariasi, di beberapa tempat tampak sangat rendah sedangkan di tempat lain
ketinggiannya mencapai 2 m. Lapis kedua adalah saluran air yang berukuran lebar
sekitar 3 m dengan kedalaman mencapai 1 m. parit di tempat lain kondisinya hampir
rata dengan benteng tersebut. Selanjutnya adalah benteng lapis terdalam.


Di beberapa tempat kondisi benteng relatif utuh, sedangkan di tempat lain hampir rata
dengan tanah. Di beberapa tempat hanya tersisa satu lapis saja karena lapisan lainnya
telah terganggu aktivitas penduduk. Ketinggian benteng bervariasi baik benteng lapis
pertama ataupun kedua yang mencapai 2 m. lebar benteng bagian atas mencapai 1 –
2 m sedangkan bagian bawah mencapai 4 m. bagian dalam benteng merupakan areal
perkampungan yang berupa pemukiman serta kolam ikan. Sebuah masjid yang
terletak di sebelah barat jalan desa dibangun pada masa belakangan di atas Masjid
Rao lama. Masjid tersebut berdenah persegiempat dengan atap kubah dari seng.
Di sekitar Benteng Rao ditemukan beberapa temuan lepas berupa mata uang masa
Hindia Belanda bertuliskan VOC berangka tahun 175… , 1820 dan 1825 (India Batav),
1837 dan 1841 (Nederl Indie), liontin bertuliskan United States of America berangka
tahun 1906 serta beberapa fragmen botol.


2.6. Makam Rajo
Makam ini terletak di sebuah kompleks pemakaman kuno di Kecamatan Rao. Makam
Rajo merupakan makam kepala jorong atau rajo yang berkuasa di Rao. Selain makam
orang dewasa terdapat juga makam anak-anak. Menurut informasi makam-makam
tersebut merupakan makam lama sejaman dengan masa perjuangan Tuanku Rao. Di
antara makam-makam tersebut terdapat makam orang-orang Banten yang terletak di
baian depan kompleks. Secara umum makam-makam tersebut berbentuk sederhana,
hanya ditandai dengan gundukan tanah serta nisan batuan andesit.


2.7. Candi Pancahan
Terletak di wilayah Jorong 9, Kenagarian Tarung-tarung, Desa Pancahan, Kecamatan
Rao, Kabupaten Pasaman, pada koordinat 00° 31’ 436’’ LS dan 100° 01’ 596’’ BT.
Situs Candi Pancahan dikelilingi areal persawahan dan perkebunan coklat, pisang, dan
kelapa. Lokasi candi ditandai beberapa gundukan tanah yang lebih tinggi dibandingkan
areal sekitarnya, salah satunya berketinggian 120 cm. Temuan permukaan yang
diperoleh antara lain fragmen bata dan parit yang mengelilingi gundukan tersebut.
Salah satu fragmen bata yang ditemukan menunjukkan adanya bekas pengerjaan,
kemungkinan merupakan bagian pelipit candi.


Ekskavasi penyelamatan yang dilakukan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Batusangkar pada tahun 1993 menunjukkan adanya struktur dasar candi perwara yang
berasosiasi dengan bagian lantai, penggunaan batu putih sebagai pondasi candi induk
serta struktur batu kerakal sebagai batas dinding candi sisi barat. Candi ini berdenah
persegiempat dilengkapi dengan perwara. Ukuran candi perwara adalah 2,4 m x 2,3 m
dengan sebuah ruang yang dilengkapi lantai. Lokasi candi dilengkapi parit dalam
berukuran 30 m x 25 m dan parit luar berukuran 60 m x 50 m. Fragmen gerabah dan
keramik menunjukkan adanya suatu aktivitas ritual yang dilakukan oleh pendukung
candi tersebut (Istiawan, 1992/93 : 29).


2.8. Benteng Huta Nauli
Terletak di Jorong Huta Nauli, Kenagarian Tarung-tarung, Kecamatan Rao, Kabupaten
Pasaman pada koordinat 00° 33’ 646’’ LU dan 100° 01’ 875’’ BT. Benteng tersebut
terletak sekitar 100 m dari jalan desa yang menghubungkan ke jalan provinsi, Medan –
Bukittinggi ke Desa Lubuk Layang. Keseluruhan lokasi benteng telah dipenuhi semak
belukar. Indikasi bahwa lokasi tersebut merupakan bekas benteng adalah adanya
gundukan tanah dan parit keliling.

Benteng tersebut merupakan benteng tanah yang dibangun dengan menggali parit di
sekelilingnya untuk membuat bangunan tembok pertahanan. Lokasi benteng berada di
puncak sebuah bukit yang bagian depannya menghadap langsung ke jurang di
sebelah utaranya. Bangunan benteng berdenah persegiempat dengan sudut barat dan
timur melengkung menyerupai bastion. Sudut sebelah selatan berbentuk persegi,
sedangkan di sebelah utara yang berhadapan langsung dengan jurang mengikuti
kontur tanah.


Ukuran benteng 50 m x 50 m. kedalaman parit keliling berkisar antara 0,5 m sampai 1
m dengan lebar mencapai 2 m. tebal benteng mencapai 6 m, pada beberapa bagian
telah mengalami longsoran. Tinggi benteng tanah di bagia dalam mencapai 0,5 m
sampai 1 m.


2.9. Batu Bertulis/Prasasti
Prasasti ini terletak di tepi Sungai Batang Brubus, Jorong Caniago, Nagari Ganggo
Hilir, Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman, lebih kurang 100 m sebelah timur dari
pasar kecamatan dan 50 m dari jembatan yang merupakan lintasan menuju Situs
Benteng Bukit Takjadi. Prasasti ini tergeletak di tepi aliran Batang Brubus. Prasasti ini
ditulis pada sebuah batu andesit berukuran tinggi 150 cm, lebar 150 cm, dan tebal 100
cm. Pada prasasti tersebut terdapat dua bagian pertulisan yaitu pada sisi selatan dan
timurlaut – utara. pertulisan pada sisi selatan terdiri dari satu baris yang melingkar di
bawah cap telapak tangan. Sedangkan pada sisi timurlaut – utara terdapat dua bagian
pertulisan. Di sisi timurlaut terdapat gambar segitiga sebanyak tiga buah berderet
horisontal. Di sisi utara pertulisan tampak lebih lengkap. Kelompok pertama terdiri dari
empat baris tulisan yang berukuran lebih besar, terlebih yang terdapat di bagian paling
bawah. Kelompok kedua terdapat di bawah, sekumpulan pertulisan dengan sedikitnya
3 baris.


2.10. Makam Ibu dan Istri Imam Bonjol
Terletak di Semaian Bacang Kacik, Jorong Caniago, Nagari Ganggo Hilir, Kecamatan
Bonjol, Kabupaten Pasaman pada titik koordinat 00° 00’ 552’’ LU dan 100° 13’ 611 BT.
Di lokasi tersebut terdapat dua buah makam yang dibatasi dinding/tumpukan batu
berketinggian lebih kurang 50 cm. Nisan menggunakan bahan batu andesit,
sedangkan jirat berupa batuan kerakal. Panjang jirat makam sekitar 4 m, sedangkan
makam lainnya berukuran lebih kecil dan letaknya lebih rendah daripada makam
pertama. Makam tersebut merupakan makam ibu mertua dan istri Tuanku Imam
Bonjol.


2.11. Benteng Bukit Takjadi
Benteng ini terletak di atas bukit. Untuk mencapainya ditempuh melalui jalan di
belakang Kantor Wali Nagari Ganggo Hilir, Jalan Pasar Ganggo Hilir no. 7, Kecamatan
Bonjol. Benteng ini berupa bukit yang oleh masyarakat disebut sebagai Bukit Takjadi.
Di sepanjang jalan menuju lokasi benteng terdapat beberapa makam, di antaranya
adalah makam Inyiak Son Sangbulu yang merupakan pengikut Tuanku Imam Bonjol.
Benteng pertahanan Imam Bonjol hanya berupa sebuah bukit yang berfungsi untuk
mengawasi daerah sekitarnya (Bonjol). Melalui bukit tersebut pandangan akan leluasa
mengawasi daerah Bonjol dan sekitarnya. Di lokasi tersebut tidak ditemukan struktur
bangunan yang mengindikasikan sebuah bangunan pertahanan. Pada masa
belakangan di lokasi benteng berada didirikan monumen untuk mengenang perjuangan
Tuanku Imam Bonjol. Menurut informasi, tidak jauh dari lokasi benteng Bukit Takjadi
terdapat lokasi dengan lubang-lubang kecil di permukaan tanah sebagai sisa tungku
yang dipercaya merupakan bagian dari dapur yang digunakan pada masa perjuangan
Tuanku Imam Bonjol.


2.12. Meriam
Terletak lebih kurang 150 m dari jalan Pasar Ganggo Hilir, arah utara. Kondisi meriam
saat ini sebagian terkubur dalam tanah. Yang tampak di permukaan adalah bagian
moncongnya serta beberapa buah proyektil. Lubang meriam berdiameter 11 cm.
Menurut informasi, dalam keadaan utuh meriam tersebut memiliki ukuran panjang
antara 1 – 1,5 m, dilengkapi roda. Proyektil berjumlah 14 buah berdiameter 9 cm, 10
cm, 13 cm, dan 14 cm. tiga buah proyektil yang berukuran 13 cm dan sebuah yang
berukuran 14 cm bukan merupakan proyektil dari meriam tersebut. Pada proyektil ini
terdapat lubang tempat mengisi mesiu yang akan meledak bila membentur sasaran.


Proyektil ini memiliki pelontar khusus yang berukuran lebih besar. Selain meriam
terdapat kayu yang dipergunakan untuk mencampur mesiu. Menurut informasi meriam
tersebut dipindahkan dari Benteng Bukit Takjadi. Dari pertulisan yang tercantum pada
meriam diketahui bahwa meria tersebut berasal dari Portugis dan dibuat sekitar tahun
1700-an.

2.13. Rumah Adat Raja Sontang
Bangunan ini terletak di Jorong Gunung kelabu, Kenagarian Simpang Torong,
Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman. Rumah adat Raja Sontang merupakan
sebuah kompleks pemukiman untuk raja beserta keluarganya disertai beberapa
bangunan seperti lumbung, mesjid, dan balai adat lainnya. Saat ini yang tersisa adalah
rumah tempat tinggal raja serta mesjid yang terletak tidak terlalu jauh dari lokasi
tersebut.


Rumah adat ini berupa rumah panggung berdenah persegempat dengan tinggi 1 m di
atas permukaan tanah. Keseluruhan dinding bangunan menggunakan bahan papan
dan atap terbuat dari seng. Atap bangunan terdiri dari dua tingkat, pada tingkat teratas
bergonjong. Dasar bangunan disangga beberapa tiang kayu berukuran cukup besar. Di
bagian tengah terdapat dua buah tiang berukuran cukup besar yang merupakan tiang
utama penyangga atap bangunan. Untuk menaiki bangunan terdapat tangga yang
dinaungi atap gonjong berbahan seng. Di bagian ujung terdapat mustaka berbentuk
payung. Pada setiap sisi dinding terdapat jendela berukuran lebar masing-masing dua
buah. Bagian belakang dihubungkan dengan bangunan tambahan yang berfungsi
sebagai dapur. Dinding bangunan tersusun dari bahan papan dengan profil sederhana.
Pada dinding atas bagian luar atap depan terdapat hiasan motif bunga dan di bagian
lisplang terdapat angka tahun 15 – 10 – 1928.


2.14. Lubang Pertahanan di Talamau
Terletak di tepi jalan sisi kiri arah Talamau – Simpang Empat, Kecamatan Talamau,
Kabupaten Pasaman Barat, pada koordinat 00° 12’ 031’’ LU dan 099° 59’ 017’’ BT.
Lubang pertahanan ini berbentuk persegi enam dengan tiga sisi menghadap ke jalan
(baratlaut, timurlaut, dan tenggara) yang mengelilinginya, sedangkan pintu masuk
terdapat di timurlaut. Ada lima sisi yang dilengkapi lubang pengintai yaitu sisi baratlaut,
barat, baratdaya, tenggara, dan timur. Khusus sisi barat, baratdaya dan tenggara
diarahkan untuk mengawasi daerah lembah (jurang). Pembangunannya menggunakan
sistem cor, terlihat dari bekas penggunaan papan pada dinding bagian dalam.
Ruangan bagian dalam sebagian tertimbun tanah. Di bagian baratdaya terdapat
sebuah pijakan berbentuk persegi enam dari semen. Tidak diketahui fungsi pijakan
tersebut, kemungkinan adalah sebagai tumpuan untuk melakukan pengintaian pada
lubang sisi baratdaya.


2.15. Masjid Raya Simpang IV
Terletak di tepi jalan tidak jauh dari perempatan jalan Kota Simpang IV, di Jorong
Simpang IV, Nagari Lingkungan Aur, Kecamatan Pasaman, Kabupaten Pasaman
Barat. Di sebelah selatan Mesjid Raya ini mengalir Sungai Batang Haluan. Secara
astronomis keletakan mesjid ini adalah pada 00° 05’ 604’’ LS dan 099° 49’ 233’’ BT.
Bangunan mesjid berdenah persegiempat dengan mihrab menjorok di sisi barat. Atap
bangunan berdenah persegi empat berbahan seng, terdiri dari dua tingkatan,
sedangkan di atasnya atap berbentuk persegi delapan sebanyak dua tingkatan. Di
bagian ini terdapat corong pengeras suara yang digunakan untuk mengumandangkan
adzan. Di bagian paling atas terdapat kemuncak atau mustaka yang terbuat dari seng
berbentuk kubah kecil dengan payung di atasnya. di atas payung terdapat hiasan
berbentuk bulan sabit dan bintang. Atap mihrab terpisah dari atap ruang utama. atap
bangunan ini terbuat dari bahan yang sama dengan bangunan induk (seng), berbentuk
persegiempat terdiri dari dua lapis. Bagian atas atap diakhiri dengan kemuncak
berbentuk kubah kecil dan bintang.


Bangunan ini berukuran 16 m x 12 m. ruang utama berukuran 12 m x 12 m. Di sisi
utara dan selatan terdapat serambi berukuran 12 m x 2 m. mihrab berukuran 3,2 m x
3,6 m. pintu masuk terletak di sisi utara, timur, dan selatan. Di depan pintu utara
terdapat serambi tambahan yang dibangun pada masa belakangan. Atap serambi
disangga empat buah pilar yang membentuk kolom-kolom tanpa pagar. Pintu masuk
menuju serambi dihubungkan dengan susunan anak tangga mengarah langsung ke
bagian pintu masuk ruang utama. Di kiri – kanan pintu masuk terdapat beberapa pilar
yang bagian atasnya berambang lengkung, membentuk relung sebagai pintu masuk,
sedangkan yang bukan merupakan pintu masuk ditutup dengan pagar tembok setinggi
60 cm dan di bagian atasnya merupakan pagar besi. Awalnya relung-relung terdapat di
sisi utara, selatan, dan timur, namun karena akan dilakukan perluasa serambi maka
relung di sebelah timur dihancurkan.


Ruang utama bagian atapnya disangga lima buah pilar dengan sokoguru berbentuk
lebih raya. Dasar pilar sokoguru berbentuk persegi empat, bagian atas berbentuk
persegi delapan dengan variasi bulatan-bulatan. Keempat pilar lain berbentuk silindris.

2.16. Benteng Parit Batu
Terletak di Jorong Bandarejo, Nagari Lingkuang Auo (Aur), Limo Aur, Pasaman Barat.
Benteng Parit Batu dikenal juga dengan nama Kampung Lama Parit Batu. Situs ini
terletak 500 m dari jalan raya yang menghubungkan Simpang Empat dengan jalan
menuju Air Bangis. Secara geografis Benteng Parit Batu terletak di antara aliran
Sungai Batang Tomani di sebelah utara dan Sungai Batang Tipo di sebelah selatan.
 

Sebelah timur merupakan jajaran Pegunungan Bukit Barisan, sedangkan sebelah barat
merupakan akses masuk karena merupakan bagian paling mudah dijangkau dengan kondisi permukaan tanah relatif datar. Bangunan benteng berdenahpersegipenjang, menempati lahan seluas 150 m x 100 m. benteng berupa susunan batu andesit yang dibangun mengelilingi areal tersebut dengan ketinggian berkisar antara 150 cm – 200 cm dengan lebar bagian atas berkisar 1 m – 2 m. Ukuran panjang batu yang digunakan sebagai bahan penyusun benteng bervariasi antara 8 – 40 cm. di bagian dalam benteng tidak ditemukan struktur bangunan tetapi cukup banyak ditemukan fragmen keramik. Berjarak 100 m sebelah barat benteng terdapat kompleks pemakaman yang menurut informasi merupakan pemakaman tokoh yang berkaitan dengan pembangunan benteng dan pemukiman. Tiga di antara makam tersebut merupakan makam pejabat/raja penguasa di benteng tersebut, yaitu Daulat Sakit Kaki (raja pertama), dan Raja Muhammad Ali Nafiah.


2.17. Benteng Pertahanan Jepang
Terletak di Jorong Pasar I, Kenagarian Air Bangis, Kecamatan Sungai Beremas,
Kabupaten Pasaman Barat pada koordinat 00° 11’ 841’’ Lu dan 99° 22’ 585’’ BT.
Bagunan benteng terbuat dari beton cor dengan bahan penyusun berupa kerikil dan
kerakal. Di beberapa tempat benteng dalam keadaan terpendam, rebah, bahkan
sebagian telah dihancurkan. Tinggi benteng di sekitar muara adalah 110 – 120 cm
dengan bagian atas berukuran lebar 50 cm. di bagian yang merupakan bastion
ketinggian benteng mencapai 2 m dengan ketebalan 100 cm. menurut informasi
benteng tersebut memanjang mulai dari Muara Sungai Batang Sikaban sampai ke
pasar Kecamatan Sungai Beremas (Air Bangis), namun keberadaannya kini hanya
mencapai alun-alun/lapangan kecamatan karena beberapa bagian benteng telah
roboh, dihancurkan atau terpendam dalam tanah karena abrasi. Benteng pertahanan
dibangun lurus sepanjang muara dan di sudut terdapat bastion. Selanjutnya benteng
dibangun mengikuti garis pantai. Di sekitar benteng dijumpai lubang-lubang
pertahanan, sekurang-kurangnya terdapat 3 buah di sekitar pantai Air Bangis.

Lubang pertahanan I terletak di halaman/kolong rumah penduduk dan dimanfaatkan
sebagai penyangga bangunan rumah panggung. Bahan pembangunnya adalah semen
dan batuan kerikil/kerakal, berukuran 185 cm x 140 cm dengan ketinggian bagian yang
muncul di permukaan 40 cm. Lubang pertahanan II berukuran cukup besar, dibangun
dari bahan yang sama dengan lubang pertahanan I. Kondisi bangnan roboh/miring
mengakibatkan lubang pertahanan dan pintu masuk terpisah. Lubang pertahanan
tesebut dibangun sejajar dengan benteng bagian depan di mana letak lubang pengintai
menjorok/berada di luar tembok. Bangunan berbentuk persegi enam. Lubang
pertahanan III terletak di persimpangan Jalan Gajah Mada dengan Jalan Diponegoro
Kecamatan Sungai Beremas pada koordinat 00° 12’ 056’’ LU dan 099° 22’ 772’’ BT.
 

Bangunan ini dibangun dalam posisi terpendam dalam tanah. Bangunan terbuat dari
beton cor menggunakan bahan campuran antara semen dengan kerakal, sedangkan
lapisan luar merupakan campuran semen dan kerikil. Bangunan ini berbentuk persegi
lima dengan ukuran tiap sisi berbeda. Sisi depan memiliki panjang mencapai 5 m
sedangkan sisi samping dan belakang berkisar antara 3 – 3,5 m. lubang pengintai
terdapat di sebelah barat dan timur, sengaja diarahkan ke pantai dan pedalaman,
sedangkan pintu masuk menghadap ke baratdaya dilindungi oleh tembok. Di bagian
atas terdapat 2 buah lubang yang berfungsi sebagai sirkulasi udara. Tinggi bangunan
dari permukaan tanah mencapai 87 cm dengan ketebalan 35 – 40 cm.


2.18. Mess/Penginapan Bayu Samudra
Bangunan bergaya kolonial ini terletak di tepi pantai jalan Imam Bonjol, kota Air
Bangis. Bangunan ini beratap limasan dengan bagian depan dan belakang terdapat
penambahan atap pelindung teras depan dan belakang. Di sebelah baratdaya terdapat
bangunan yang lebih kecil memanjang. Lantai mess 70 cm lebih tinggi dari permukaan
tanah sekitarnya. Ruang tengah merupakan ruang terbuka dengan dua kamar, masing-masing sisi kiri dan kanan. Baik pintu dan jendela berukuran cukup lebar dan tinggi
sehingga sirkulasi udara leluasa masuk. Bangunan yang terletak di sebelah barat
dihubungkan dengan koridor menuju ruang induk. Setidaknya terdapat empat buah
kamar berukuran kecil. Kemungkinan bangunan ini dahulu digunakan sebagai tempat
tingga pembantu atau sopir.

3. Pembahasan
3.1. Tinggalan monumental dan tinggalan lepas
3.1.1. Bangunan Percandian
Masyarakat menyebut Candi Tanjung Medan sebagai Candi Puti Sangkar Bulan, tokoh
yang oleh masyarakat dimitoskan karena kesaktiannya. Konon tokoh tersebut yang
dimakamkan tidak jauh dari kompleks percandian tersebut.


Keberadaan percandian tersebut telah dilaporkan sebelumnya oleh Gubernur Pantai
Barat Sumatera (Gouverneur van Sumatra’s Westkust) pada tahun 1865 kepada
Direktur Bataviaasch Genootschap di Jakarta. Dalam laporannya disebutkan bahwa
bangunan percandian tersebut bentuknya menyerupai menara yang dikelilingi empat
teras dan memiliki dua kamar (OV, 1912:36). Analisis terhadap inskripsi pendek
berupa delapan buah kelopak bunga emas yang dilakukan Bosch pada tahun 1950
terbaca pertulisan: hum (om) Aksobya.. phat, hum (om) Amoghasiddi..phat dan hum
(om) Ratnasambhava..phat diketahui bahwa bangunan candi tersebut memiliki sifat
keagamaan berupa Buddha Mahayana. Nama-nama Dewa, Amogasiddi dan
Ratnasambhava merupakan perwujudan Dyanibuddha yang menguasai arah timur dan
barat, sedangkan Aksobya merupakan simbol merupakan dewa yang diutamakan.
Diperkirakan pertulisan ini berasal dari abad 12 Masehi (OV, 1950 dan Schnitger,
1937:14).


Berdasarkan hasil pemugaran yang dilakukan oleh BP3 Batusangkar diketahui bahwa
di kompleks percandian Tanjung Medan setidaknya terdapat enam buah bangunan
berbahan bata. Berdasarkan keletakan tangga bangunannya diperkirakan bangunan candi ini memiliki persamaan dengan candi di situs Muara Jambi (abad IX – XII Masehi), yaitu memiliki pola keletakan tangga yang linier (Atmojo,1999).


Penggalian yang dilakukan pihak BP3 Batusangkar terhadap Candi Pancahan
memperlihatkan bahwa yang tersisa dari candi tersebut antara lain adalah sturktur kaki
candi perwara yang berasosiasi dengan lantai candi induk dengan bentuk denah
persegiempat. Selain bangunan candi di sekitarnya terdapat parit keliling. Diperkirakan
pertanggalan bangunan candi tersebut adalah sejaman dengan Candi Tanjung Medan
yaitu abad ke 12 – 14 Masehi.

Sebuah fragmen berupa Arca Dwarapala, yang merupakan arca penjaga yang
umumnya terdapat di depan bangunan candi sebagai arca penjaga, ditunjukkan
dengan peralatan yang dipegang, antara lain gada. Arca dwarapala ini didirikan
dengan maksud menjaga kesucian bangunan candi.


Fragmen bangunan selanjutnya adalah makara. Fragmen bangunan ini umumnya
diletakkan di samping kiri dan kanan bangunan percandian. Di bagian atas dwarapala
ini umumnya merupakan kala yang dipahatkan di bagian atas relung pintu masuk
bangunan candi.


3.1.2. Prasasti
Buchari dan Satyawati Sulaiman sependapat bahwa terdapat 2 jenis tulisan pada
prasasti Lubuk Layang atau disebut juga dengan Prasasti Kubu Sutan. Kedua tulisan
tersebut agak berbeda dengan pertulisan yang biasa dipakai Adityawarman namun
pertulisan tersebut sangat jauh berbeda dengan pertulisan yang umum dipakai rajaraja
Sriwijaya. Pertulisan tersebut lebih mirip dengan pertulisan yang dipakai di
Kamboja. Kemungkinan pertulisan tersebut berkaitan dengan Adityawarman,
mengingat kebiasaannya menggunakan huruf dan bahasa yang berbeda. Keletakan
prasasti Kubu Sutan berada di antara dua pusat kebudayaan besar, yaitu Pagaruyung
dan Padang Lawas, tentu saja keduanya membawa pengaruh yang cukup kuat. Hal
yang sama juga diketahui dari temuan prasasti yang terdapat daerah aliran Sungai
Ganggo Hilia. Prasasti ini menggunakan setidaknya dua junis huruf dan bahasa yang
berbeda, salah satunya adalah penggunaan Bahasa Jawa. Adapun isi dari pertulisan
prasasti tersebut adalah pengumuman mengenai penggunaan mata air, yang boleh
dipakai oleh siapa saja, bahkan untuk ternak (Setianingsih,2006:74-75). Tidak
diketahui siapa yang menulis prasasti tersebut dan untuk tujuan apa sehingga perlu
dituliskan dengan huruf dan bahasa yang berbeda? Hal ini menunjukkan bahwa di
daerah tersebut terdapat dua kelompok yang menggunakan dua bahasa yang
berbeda.


3.1.3. Benteng Pertahanan
Bangunan pertahanan di eks Kabupaten Pasaman umumnya dibangun oleh Belanda
untuk mempertahankan diri dari kepungan pejuang Paderi. Benteng Amerongen
mengambil nama seorang Mayor Belanda yang berperang melawan pasukan Paderi
pimpinan Tuanku Rao. Benteng Amerongen dibangun setelah posisi Belanda dapat
ditekan oleh pejuang Paderi saat berada di benteng Huta Nauli. Kekalahan Belanda di
Benteng Huta Nauli dibalas dengan pembangunan Benteng Amerongen yang menghadap langsung ke Benteng pertahanan Parit Tuanku Rao. Kedua benteng ini berhadap-hadapan.


Benteng pertahanan di perkampungan Rao digunakan oleh pejuang Paderi untuk
melaksanakan misi perjuangan pasukan Paderi yaitu memberantas kemungkaran yang
terjadi di masyarakat yang didalangi oleh tokoh adat dan didukung oleh Belanda.


3.1.4. Benteng Parit Batu simpang IV
Berbeda dengan beberapa benteng tersebut di atas, Benteng Parit Batu Simpang IV
berada pada lokasi yang cukup jauh. Bangunan benteng tersebut dilengkapi 4 pintu,
dan sebuah pintu dilengkapi bangunan penjagaan. System pertahanan di Benteng
Parit Batu Simpang IV ini merupakan system pertahanan buatan yang terintegrasi
dengan pertahanan alam. Keletakan benteng antara 2 sungai merupakan suatu sistem
pertahanan yang efektif.


3.1.5. Bangunan Kolonial
Keberadaan Belanda di Sumatera Barat didukung juga dengan keberadaan bangunan-bangunan bergaya kolonial, salah satunya adalah bangunan bergaya kolonial yang saat ini digunakan sebagai mess penginapan Bayu Samudera. Bangunan kolonial tersebut dibangun dengan mengadaptasi pola pemukiman Belanda untuk daerah tropis, antara lain dengan menggunakan atap tinggi jendela lebar agar sirkulasi udara tetap terjaga sehingga tetap sejuk.


Bangunan tradisional masyarakat asli yang berkembang pada masa lalu antara lain
adalah diwakili oleh rumah adat Raja Sontang. Rumah adat tersebut merupakan
pemukiman yang digunakan oleh pembesar yang dilengkapi beberapa sarana
pendukungnya, antara lain lumbung, balai pertemuan, mesjid dan sebagainya. Selain
memiliki fungsi praktis, komponen bangunan tradisionil tersebut memiliki makna-makna
simbolis.


3.1.6. Makam
Makam-makam yang terdapat di daerah Pasaman memiliki banyak persamaan. Pada
umumnya makam-makam hanya ditandai dengan nisan berbahan batu andesit demikian juga dengan jiratnya. Hal ini berkaitan dengan ajaran yang dianut pada masa perjuangan kaum Paderi yang menganut mahzab Hambali yang mengajarkan kemurnian Islam yang berpegang pada Al Quran dan Hadits yang mengajarkan untuk tidak membangun monumen pada makam tersebut.


3.2. Eks Kabupaten Pasaman Dalam Perjalanan Sejarah
Seperti daerah-daerah lain di Nusantara, sejarah awal daerah Minangkabau masih
dipenuhi legenda dan mitos-mitos mengenai nama daerah maupun nama-nama tokoh,
sehingga menyulitkan dalam penyusunan/pengkerangkaan sejarah. Beberapa data
tertulis mengenai keberadaan Minangkabau bahwa penguasa pertamanya adalah
Adityawarman setelah memindahkan pusat kerajaan Melayu Kuno ke pedalaman yang
akhirnya menjadi Kerajaan Pagaruyung. Pada tahun 1347 Adityawarman telah menjadi
raja di Kerajaan Melayu yang berkedudukan di Sungai Langsat Jambi, kemungkinan
karena mengawini saudara sepupunya yang merupakan pewaris tahtah kerajaan. 


Hal ini didasari oleh sebuah prasasti yang tertera nama Adityawarman sebagai “Udayatyawarman Prataparakramarajindra Mauliwarmadewa”. Mauliwarmadewa
adalah nama raja Melayu yang berkuasa tahun 1286. Pada tahun 1349 pusat kerajaan
dipindahkan ke pedalaman Minangkabau, tidak lagi di Sungai Langsat, kemungkinan
didorong oleh keinginan melepaskan diri dari dominasi Majapahit serta keinginan untuk
menguasai daerah penghasil lada di sekitar Sungai Kampar Kiri/Kanan, hingga ke
Alam Minangkabau umumnya dan khususnya daerah sebelah timur gunung kembar
Merapi – Singgalang (Amran,1981:21-39).


Peninggalan Pagaruyung berkaitan erat dengan keberadaan Adityawarman yang
menurut beberapa ahli merupakan raja berdarah campuran Minang – Jawa. Adityawarman merupakan seorang raja yang berhubungan erat dengan ekspedisi Pamalayu yang dilancarkan oleh Kerajaan Singosari di Jawa. Adityawarman juga disebut-sebut beberapa kali diutus ke Tiongkok atas perintah Majapahit. Sepeninggal Adityawarman pada tahun 1375 tidak diketahui lagi pewaris tahtahnya. Dalam Prasasti Suroaso II disebut sebuah nama Putra Mahkota, Yawaraja yang bernama Anaggawarman. Tidak diketahui berita selanjutnya tentang keberadaan Anaggawarman (Amran,1981:21-39).


Pembacaan Bosch terhadap pertulisan yang diperkirakan berkaitan dengan keberadaan candi Tanjung Medan menunjukkan bahwa bangunan candi tersebut memiliki sifat keagamaan berupa Buddha Mahayana dan diperkirakan pertulisan ini berasal dari abad 12 Masehi (OV, 1950 dan Schnitger, 1937:14). Seiring dengan itu, diperkirakan pertanggalan candi Pancahan tersebut adalah sejaman dengan Candi Tanjung Medan yaitu abad ke 12 – 14 Masehi. Informasi berkaitan dengan Adityawarman, adalah berupa prasasti yaitu Prasasti Kubu Sutan dan Ganggo Hilia.Prasasti tersebut menggunakan huruf dan bahasa yang berbeda, meskipun kedua tulisan tersebut agak berbeda dengan pertulisan yang biasa dipakai Adityawarman.


Perjalanan sejarah terputus terlebih ketika berkobarnya Gerakan Paderi yang dengan
sengaja memusnahkan semua warisan budaya yang berbau Hindu-Buddha. Kekuasaan beralih ke tangan para sultan yang telah memeluk agama Islam. Kekuasaan para sultan ini bercorak desentralistis dengan berdasar Hukum Islam dan Hukum Adat dan dikenal dengan sebutan “Tungku nan Tigo Sejarangan”. Raja yang berkuasa tiga orang, yang mewakili keturunan raja-raja Pagaruyung, pemegang hukum Titah Allah, dan koordinator adat dan ibadah. Ketiganya disebut juga dengan “Raja nan Tigo Selo”. 


Raja-raja tersebut dibantu empat orang menteri (Basa Ampek Balai) yang berkedudukan di empat nagari. Kerajaan Pagaruyung diperintah berdasarkan adat dan syarak yang dalam pepatah sering disebutkan “Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah” sampai pada munculnya pembaharuan agama yang dipelopori tiga orang haji yang baru pulang dari tanah suci yaitu Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik pada tahun 1803. Pada saat itulah mulai muncul gerakan Paderi dengan membawa ajaran yang beraliran Wahabi dari Mekkah, menentang ajaran yang ada sebelumnya.
 

Ajaran yang diterapkan oleh kaum Paderi merambat hampir menyeluruh di daerah
Sumatera Barat sehingga mengakibatkan berkembangnya mahzab Syafe’i di daerah
Minangkabau (Amran,1981: 60-67). Pemurnian Islam yang berpegang pada Alquran
dan Hadits diketahui dari bangunan makam yang hanya ditandai dengan nisan
berbahan batu andesit demikian juga dengan jiratnya. Hal ini berkaitan dengan ajaran
yang dianut pada masa perjuangan kaum Paderi yang mengajarkan kemurnian Islam
dengan tidak membangun monumen pada makam tersebut.


Pembunuhan besar-besaran atas keluarga Kerajaan Pagaruyung dianggap sebagai masa berakhirnya zaman Kerajaan Minangkabau pada sekitar tahun 1821 di bawah pimpinan kaum Wahabi/Paderi. Dengan memperalat penghulu-penghulu pelarian, Belanda mulai melancarkan perang kolonial di Minangkabau yang merupakan permulaan dari perang Sumatera, berakhir dengan ditakhlukkannya daerah Aceh pada tahun 1904 dan Tapanuli 1908. Sebaliknya Kaum Paderi mulai memproklamirkan Perang Sabil menentang ekspansi Kolonial Belanda di Minangkabau. Beberapa kesempatan kurang dimanfaatkan untuk mengusir keberadaan Belanda, salah satunya adalah pada saat Belanda dalam kesulitan saat melawan Diponegoro di Jawa.


Pembangunan Benteng Amerongen setelah posisi Belanda dapat ditekan oleh pejuang
Paderi saat berada di benteng Huta Nauli. Kekalahan Belanda di Benteng Huta Nauli
dibalas dengan pembangunan Benteng Amerongen yang menghadap langsung ke
Benteng pertahanan Parit Tuanku Rao. Kedua benteng ini berhadap-hadapan.


Minangkabau berhasil ditakhlukkan pada tahun 1823, namun perlawanan masih terus
dilakukan yang mengakibatkan timbulnya pertemuan Tandikat (1832) disusul dengan
perjanjian Plakat Panjang pada tahun 1833 yang berhasil memecah belah persatuan
rakyat Minangkabau. Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan Belanda merasa
kuat, usaha dipusatkan untuk menakhlukkan Bonjol yang dipimpin oleh Tuanku Imam
Bonjol (Amran, 1981).


Kebangkitan Jepang sebagai negara industri dan militer menjadikan jepang sebagai negara penjajah di Asia Pasifik. Sistem pertahanan dibangun di tempat-tempat strategis, termasuk di Indonesia. Kubu pertahanan yang dihubungkan dengan paritparit dan dilengkapi dengan persenjataan berat merupakan cara ampuh untuk menahan serangan musuh. Bangunan pertahanan maupun benteng-benteng dibangun dengan tujuan mengantisipasi perang daerah Pasifik dan penguasaan wilayah-wilayah di Pasifik Selatan yang kaya akan bahan baku, sekaligus daerah potensial bagi pemasaran produk-produk industrinya yang tumbuh sangat pesat. Pembentukan PETA (Pembela Tanah Air) oleh Jepang digunakan untuk kepentingan militernya, kesempatan ini digunakan oleh pemuda Minangkabau untuk melakukan pelatihanpelatihan keprajuritan yang belum pernah dialami sebelumnya. Namun bom atom yang dijatuhkan sekutu pada akhirnya harus membuyarkan impian Jepang untuk melanjutkan perang Asia-Pasifik.



4. Penutup
Bukti tertua berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan bercorak
Hindu-Buddha di eks Kabupaten Pasaman adalah berupa biaro/candi arca-arca,
maupun prasasti yang menyebutkan tentang keberadaan seorang tokoh pendiri
Kerajaan Pagaruyung, yaitu Adityawarman. Bukti-bukti ini didukung juga dengan
beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa kebudayaan Hindu-Buddha dapat
dirunut setidaknya dari abad ke-12.


Pada masa selanjutnya, temuan berasal masa Islam dan kolonial menunjukkan bahwa peran Pasaman tidak berhenti ketika peradaban bercorak Hindu-Buddha mulai surut,
akibat kerasnya gerakan Paderi yang dengan sengaja memusnahkan semua warisan budaya yang berbau Hindu-Buddha. Kekuasaan beralih ke tangan para sultan yang telah memeluk agama Islam. Selanjutnya tinggalan bercorak Islam/kolonial menggantikan kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Tinggalan berupa bangunan tradisionil Rumah Adat Raja Sontang maupun bangunan rumah adat yang lain merupakan salah satu bukti keberadaan tinggalan budaya yang telah ada sebelum berkobarnya gerakan Paderi. Hal ini merupakan kesinambungan budaya setempat di saat munculnya corak kebudayaan baru yang datang dan berkembang di tengah keragaman budaya yang silih berganti mewarnai daerah ini.


Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun pada saat Islam menacapkan pengaruhnya dengan sangat kuat namun kebiasaan masyarakat yang telah ada sebelumnya tetap dipertahankan bahkan sampai saat ini tinggalan yang masih tersisa, baik berupa bangunan bercorak Hindu-Buddha, Islam/kolonial maupun bangunan modern berdampingan mewarnai
keberagaman perjalanan sejarah eks Kabupaten Pasaman.
 

Kepustakaan
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan
Atmojo, Junus Satrio dkk. 1999. Laporan Pemintakatan Situs Tanjung Medan Sumatera Barat.
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Sumatera Barat
Bronson, Bennet et.al. 1973. Laporan Penelitian Arkeologi di Sumatera. Lembaga Purbakala
dan Peninggalan Nasional serta The University of Pennsyvania Museum
Kempers, A.J. Bernett. 1959. Ancient Indonesian Art. Massachusetts, Harvard University Press.
Mansoer, M.D. dkk. 1970. Sedjarah Minangkabau, Jakarta: Bhratara
Marsdem, Wiliam. 1999. Sejarah Sumatera (diterjemahkan oleh A.S. Nasution dan Mahyuddin
Mendim). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mundardjito. 2002. Perimbangan ekologis penempatan Situs Masa Hindu-Buddha di Daerah
Yogyakarta. Jakarta: Wedatama Widyasastra dan EFEO
Ojong, P.K. 2001. Perang Pasifik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia
II. Jakarta: Balai Pustaka.
Schnitger, F.M. 1937. “The Archaeology of Hindoo Sumatra”, dalam Internationales Archiv Für
Ethnographie. Leiden: E.J. Brill
119
Penelitian Arkeologi di Eks Pasaman ….
Setianingsih, Rita Margaretha. 2005. “Prasasti Ganggo Hilia: Temuan Baru dari Sumatera
Barat”, dalam Berita Arkeologi Sangkhakala, No. 16, hlm. 65–78. Medan: Balai
Arkeologi Medan
Suhadi, Machi. 1991. Laporan Penelitian Epigrafi dan Arsitektur Sumatera Barat. Jakarta: Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional
Sumalyo, Yulianto. 1995. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gadja Mada
University Press.
Sutopo, Marsis dan Nurmatias Zakaria. 1995. Laporan Ekskavasi Penyelamatan Situs
Pulausawah. Batusangkar: SPSP Prov Sumbar dan Riau.
Sutopo, Marsis. 1991. Survei Awal di Sungailangsat dan Siguntur. Batu Sangkar: Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Barat dan Riau
---------------. 1992. Laporan Survei Pendataan Arkeologi DAS Batanghari dan Ekskavasi Candi
Sunagilangsat. Batu Sangkar: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera
Barat dan Riau
Tim Penelitian. 1995/1996. Situs-situs Arkeologi di Wilayah Provinsi Sumatera Barat, Laporan
Penelitian Arkeologi. Medan: Balai Arkeologi Medan (tidak diterbitkan)
Tim Monografi Daerah Sumatera Barat. tt. Monografi Daerah Sumatera Barat. Jakarta: Proyek
Media Kebudayaan Depdikbud
Tjandrasasmita, Uka. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka
---------------, 2000. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia dari abad
XIII sampai XVIII Masehi. Kudus: Menara Kudus.





Sumber:
https://sites.google.com/site/nagarisundata/testing-iframe/kisah-seputar-sangka-bulan-dan-danau-pasaman

No comments:

Post a Comment