Pages

Saturday, May 24, 2014

Tradisi Konservasi Puangaja
 
 
MASYARAKAT asli yang bermukim di sekitar hutan, dipandang mampu mengelola sumberdaya hutan secara lestari. Sayangnya, paradigma itu masih sebatas wacana. Hal ini nampak dari belum banyaknya kajian ikhwal nilai-nilai masyarakat lokal sebagai kearifan dalam menjaga hutan.
Tata budaya yang mengatur praktik konservasi secara tradisional, ternyata memuat nilai pelestarian alam. Sekadar mencuplik sejumlah praktik tradisional yang banyak dijumpai di Indonesia: Subak di Bali, tanah ulayat (parak) di Minangkabau, Sumatera Barat, dan Lubuk Larangan di Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara (Sumut).

Wiratno et al. (2004) menyatakan, praktik konservasi tradisional tak dapat dilepaskan dari sistem pengetahuan asli masyarakat lokal. Berdasarkan pengetahuan asli itulah, masyarakat mempraktikkan kaidah-kaidah konservasi yang khas di daerahnya.

Konservasi tradisional pada dasarnya pengetahuan setempat yang diperoleh dari interaksi manusia dengan lingkungannya beserta seluruh aspek kebudayaannya. Praktik tradisional adalah warisan dari nenek moyang yang bersumber dari pengalaman hidup selaras dengan alam. Inilah yang kemudian dikenal dengan kearifan lokal. Nilai-nilai setempat sejatinya masih dipegang teguh oleh masyarakat lokal. Banyak yang unik dan menarik. Salah satu wujudnya dapat ditengok dalam kehidupan masyarakat suku Batak Karo di sekitar hutan Desa Puangaja, Kabupaten Karo, Sumut.

Nilai-nilai Tradisional
Dalam kehidupan Desa Puangaja, ada beberapa kepercayaan terkait pengelolaan hutan: budaya aron, mengeramatkan sumber air, durian kuta, dan jangan menjual lahan warisan kepada pihak luar.

Menurut Ibrahim (2003), nilai budaya seperti ini merupakan suatu rangkaian dari konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, dan apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup.

Masih menurut Ibrahim, nilai ini, selain berfungsi sebagai suatu pedoman, juga sebagai pendorong tindakan manusia dalam hidup. Sistem nilai ini menjadi pedoman dan tata kelakuan manusia serta mendarah daging dalam mentalitas masyarakat. Sehingga, untuk mengubahnya memerlukan proses yang sulit dalam waktu lama. Sistem ini mempengaruhi pola pikir dan tindakan warga masyarakat.

Budaya Aron
Menurut Koentjaraningrat (1964), gotong royong adalah aktivitas bekerja sama antara sejumlah besar warga desa untuk menyelesaikan proyek tertentu yang dianggap berguna bagi kepentingan umum. Sistem tolong-menolong merupakan tambahan tenaga bantuan dalam pekerjaan pertanian yang tidak disewa tetapi yang diminta dari sesama warga desa.

Dalam adat Karo, tolong-menolong dan gotong-royong disebut dengan aron. Manfaat aron dapat dirasakan oleh individu dan kelompok. Seperti kegiatan sanitasi dan pemeliharaan kebun kelompok tani di desa. Aron, yang berarti teman bekerja sama, dilakukan di lahan salah satu anggota kelompok tani dengan bantuan seluruh anggota.

Aron tak hanya mencakup pengelolaan kebun atau lahan hutan, tetapi menyentuh seluruh sendi kehidupan lain. Seperti pemeliharaan sungai dengan menanam berbagai jenis tanaman di tepi sungai. Selain itu, terdapat pula pembibitan untuk kebutuhan kelompok dengan bibit yang dikumpulkan dari sekitar hutan.

Kegiatan aron juga meliputi pembuatan pupuk kompos cair alami untuk digunakan di lahan masing-masing anggota kelompok. Bahkan aron mencakup pelaksaanaan pesta adat dan perbaikan jalan (jika dibutuhkan).

Mengeramatkan Sumber Air
Masyarakat Karo masih percaya kepada pemujaan roh nenek moyang atau roh kerabat yang telah meninggal yang disebut perbegu. Praktik religi adat ini juga masih ditemui di Puangaja, meski masyarakat telah menganut agama Kristen, Katolik dan Islam.

Praktik-praktik spiritual dapat ditemui dalam ritual pemujaan dan penyerahan sesajen kepada mata air. Tujuan ritual ini untuk meramal atau mencari hari baik (niktik ari), mendapat rejeki, jodoh dan lain-lain.

Menurut tetua adat Puangaja, Mula Tarigan (67), hal ini wajib dilakukan untuk melindungi sumber air demi keberlangsungan kehidupan. Tujuan utama lainnya, agar masyarakat tidak merusak sumber air dan tidak berladang terlalu dekat dengannya. Kepercayaan pada praktik spiritual Puangaja sejatinya menyiratkan nilai-nilai pelestarian alam. Mengeramatkan mata air berarti mencegahnya dari kerusakan akibat eksploitasi lahan hutan.

Durian Kuta
Kuta dalam bahasa Karo berarti kampung; durian kuta berarti durian kampung. Durian kuta merupakan pohon durian yang biasanya telah berumur ratusan tahun dan tumbuh sebelum Desa Puangaja ada. Masyarakat Puangaja sejak dulu menyepakati hasil produksi tanaman ini dimanfaatkan untuk membangun desa.

Menurut tetua adat Desa Puangaja, pemanenan durian kuta dilakukan dengan sistem lelang di acara adat khusus. Warga yang memenangkan lelang berhak memanen dan menjual hasil panen durian kuta. Uang hasil penjualan menjadi hak pemenang lelang, dengan terlebih dahulu menyerahkan uang ke kas desa sesuai dengan harga yang telah disepakati sebelumnya. Nilainya antara Rp 4 juta - Rp 6 juta.

Tatkala durian kuta tak mampu berbuah, pohon tidak ditebang, tetapi tetap dilestarikan. Masyarakat menyakini, dengan tidak menebang durian kuta dapat menjaga kelestarian keseluruhan hutan di desa.

Larangan Jual Tanah Warisan
Masyarakat Puangaja masih memiliki kekerabatan satu sama lain. Hubungan kekerabatan masyarakat Karo masih merupakan elemen yang teramat penting di dalam segala aspek kehidupan. Suku Karo mengenal lima klan (marga) utama: Ginting, Karo-karo, Peranging-angin, Sembiring, dan Tarigan. Lima klan utama ini lazim disebut sebagai merga si lima yang menerapkan sistem patrilineal.

Meski tak ditemui sistem kepemilikan lahan berdasarkan klan, tetapi sistem kekerabatan menciptakan adat untuk tidak menjual lahan warisan kepada pihak luar. Ini lantaran lahan hutan merupakan warisan keluarga turun-temurun. Jika suatu keluarga hendak menjual lahannya, lahan harus terlebih dahulu ditawarkan kepada tetangga lahan. Menjual tanah kepada pihak luar menjadi sesuatu yang tak lazim.

Nilai-nilai seperti ini juga ditemui pada masyarakat adat Allang di Maluku. Dalam masyarakat Allang, tanah dikuasai oleh kelompok kekerabatan yang patrilineal. Tanah tersebut dimiliki oleh setiap kepala keluarga yang disebut sebagai tanah pusaka. Tanah pusaka ini tidak dapat dijual ke luar lingkungan keluarga. Tetapi bila keluarga merasa berhutang budi, tanah ini bisa diberikan (dihadiahkan) kepada orang luar.

Kearifan lokal Puangaja dalam mengelola hutan menjadi salah satu warisan leluhur negeri ini yang harus dipertahankan. Konservasi tradisional bisa menjadi satu wujud apresiasi mencintai bumi dan mengelola sumberdaya alam dengan prinsip kelestarian alam.*** (lina naibaho)

Penulis adalah pemerhati budaya dan lingkungan



Sumber:
http://medanbisnisdaily.com/news/arsip/read/2011/06/24/40649/tradisi_konservasi_puangaja/#.U4B4UqIVO1s

No comments:

Post a Comment