Pages

Saturday, May 3, 2014

Renungan Sejarah Bangsa Simalungun

Renungan Sejarah Bangsa Simalungun

ciri rumah adat simalungun ( rumah bolon)

Ungkapan Simalungun mengatakan, “Ulang Lupa Bona!” Soekarno pernah berkata, “Jasmerah: Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!” Sejarah memang suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, tanpa mengenal sejarah masa lampau, sulit melangkah ke masa depan. Demikian ungkapan orang-orang arif menyinggung perlunya sejarah sebagai guru dalam proses kehidupan manusia.

Dengan mengetahui sejarah, kita menghargai dan mengenal siapa dan dari mana serta mau ke mana kita melangkah selanjutnya. Dengan mengenal dan mengetahui sejarah bangsa kita “Simalungun”, kita ditegur dan diajar bagaimana menghargai para pendahulu dan melangkah ke depan menggapai masa depan Simalungun yang lebih baik.

Etnis atau Suku Bangsa Simalungun Ada orang Simalungun yang ngotot mengatakan kalau etnis Simalungun adalah orang yang di belakang namanya tertera embel-embel marga: Sinaga, Saragih, Damanik, Purba serta Sipayung yang dalam ungkapan sehari-hari disebut SISADAPUR palima Sipayung. Tetapi kenyataan di masyarakat Simalungun, banyak orang lain yang bukan berasal dari kelima marga itu yang justru lebih Simalungun ketimbang orang yang namanya diikuti oleh marga di atas. Di Simalungun Bawah, seperti di Tanah Jawa, Bandar dan Siantar hingga ke Asahan dan Labuhan Batu, ada banyak huta (kampung) yang penduduknya bukan berasal dari kelima marga di atas, tetapi dalam kesehariannya mereka memakai bahasa, adat dan pendeknya kultur Simalungun. Malahan karena begitu kentalnya hasimalungunon mereka, sampai-sampai justru orang di Raya dan Dologsilou yang mereka katakan bukan orang Simalungun.
Hal ini sebenarnya bukan hal yang baru yang harus diperdebatkan orang yang mengaku Simalungun, kalau kita baca apa yang telah diputuskan Seminar Kebudayaan Simalungun Indonesia Pertama di Pematangsiantar tahun 1964 yang dalam salah satu butir keputusannya menegaskan kalau yang dimaksud orang Simalungun adalah: “Orang yang beradat dan berbahasa dan ber”ahap” Simalungun. Itu berarti, siapa saja yang dalam kesehariannya menunjukkan ia orang Simalungun melalui bahasa, budaya dan kepeduliannya pada Simalungun, dialah yang disebut asli Simalungun. Ketimbang sebaliknya, mengaku Simalungun, bahkan kaum bangsawan Simalungun, tetapi dalam kesehariannya menunjukkan identitas yang bukan Simalungun.
Pengaruh Asing yang Mewarnai “Pluralisme” Simalungun Suku bangsa Simalungun menurut sejarah adalah keturunan Melayu Tua (Proto Malay) dari India Belakang yang menyebar ke daerah yang disebut sekarang Simalungun setelah mengalami proses transformasi, asimilasi dan integrasi dalam berbagai aspek dengan suku-suku bangsa lain yang bersentuhan dengan leluhur Simalungun. Dalam perkembangannya, leluhur Simalungun yang pertama itu setelah menetap di pantai timur berangsur-angsur berpindah ke pedalaman. Ini diakibatkan invasi bangsa-bangsa lain yang silih berganti datang mengadakan ekspansi ke daerah-daerah homeland (tanah air) Simalungun.
Demikianlah sehingga orang Simalungun sekarang ini ada yang mengaku nenek moyangnya berasal dari Pagarruyung di Sumatera Barat, Samosir di Tapanuli, Aceh, Pakpak dan Alas-Gayo, bahkan dari India dan Pulau Jawa. Jadi ke dalam lingkungan etnis Simalungun itu sudah membaur berbagai suku-suku bangsa yang sulit untuk diurai dan dirunut kembali hingga ke tahap permulaannya.
Kerajaan yang pertama di kenal orang Simalungun adalah Kerajaan Nagur (500-1886) dan Batangiou (500-1339). Menurut sebagian sejarawan, raja Nagur bermarga Damanik (bukan Manik) berasal dariNagpur atau Nagore di India Selatan yang ahli bermain catur dan menunggang kuda. Pada masa kejayaannya di abad kelima, Nagur sudah melakukan hubungan dagang dengan Tiongkok sampai abad keduabelas. Catatan Tiongkok yang dikumpulkan oleh pakar sejarah W.P. Groeneveldt menyebut kalau dalam catatan Tiongkok Ying Yai Sheng Lan (1416), Nagur sudah berkali-kali disebut dengan sebutan “Nakur” atau “Nagore.” Dalam catatan Tiongkok itu disebut juga kalau raja Nagur pernah bertempur dengan Kerajaan Sumatra di Aceh dan mengalahkan Sumatra dengan terbunuhnya raja Sumatra oleh raja Nagur dengan hantaman pasukan panah beracun dan pasukan berkudanya. Diceritakan pula kalau permasuri raja Sumatra menuntut balas atas kematian suaminya, dan dengan satu sayembara, seorang nelayan berhasil membunuh raja Nagur dan kimpoi dengan janda raja Sumatra.
Invasi Kerajaan Hindu-Jawa, India dan Kesultanan Islam-Aceh Pada abad keduabelas dan kelimabelas, kerajaan Singasari (1295), Majapahit (1367), Chola di India dan Aceh (Juni 1539) berkali-kali menyerang Nagur, sehingga Nagur terpaksa harus memindahkan ibukota kerajaannya (pamatang ni Harajaan Nagur) untuk mengamankan pusat kerajaan dan mengkonsolidasikan pasukan perangnya menghadapi invasi asing ini. Demikianlah pamatang Kerajaan Nagur pernah eksis di Gayo-Alas sampai terakhir di Nagur Raja dekat Tebingtingi sekarang. Bukti bahwa di tempat ini pernah menjadi ibukota kerajaan Nagur dapat dibuktikan dengan peninggalan kerajaannya, sayangnya belum ada arkeolog atau sejarawan yang menaruh minat mengadakan penelitian yang lebih komprehensif dan seriusmengungkap rantai sejarah nenek moyang Simalungun yang terputus sampai masa raja maroppat (1367-1906) dan raja marpitu (1907-1946) di Simalungun.
Pengepingan wilayah Nagur sejak masuknya kekuatan asing makin nyata dan memperoleh bentuknya sekitar abad kelimabelas. Banyak daerah-daerah taklukan Kerajaan Nagur yang melepaskan diri dari pusat (pamatang) dan kalau tidak bergabung dengan kerajaan-kerajaan Melayu, segera memposisikan dirinya menjadi kerajaan sendiri terlepas dari kekuasaan Nagur secara politik. Akan tetapi yang mengherankan, walaupun terpisah secara politik, ikatan budaya yang sama dari “induknya” Kerajaan Nagur rupanya menjadi perekat di antara Nagur dengan kerajaan-kerajaan “pecahan” Nagur kemudian. Demikianlah sehingga baik Kerajaan Silou, Panei, Batangiou (kemudian menjadi Tanah Jawa), Raya, Silimakuta, Purba (ketiganya bekas daerah Silou), dan Siantar tetap satu dalam ikatan budaya dan kekerabatan yang saling mengikat mereka dari sisi sosial budaya dan politik. Budaya yang sama yang mereka warisi dari Kerajaan Nagur itulah yang sekarang disebut budaya Simalungun yang menjadi ciri khas identitas masyarakat yang sekarang disebut suku bangsa Simalungun.
Di Bawah Kolonialisme Belanda Sesudah masuknya kolonialisme Belanda dan dimasukkannya daerah kerajaan-kerajaan Simalungun ke dalam tatanan adminitrasi pemerintahan Hindia Nederland melalui penandatanganan Perjanjian Pendek (Korte Verklaring) tahun 1907, resmilah nama Simalungun dipakai dalam surat-meyurat dan adminitrasi kolonial. Melalui Staatsblad No. 531 tahun 1906, nama Simalungun dikukuhkan sebagai nama resmi dalam Afdeeling Simeloengoen en Karolanden yang berpusat di Saribudolook dan kemudian berpindah ke Pematangsiantar dengan V.C.J Westenberg sebagai asisten residen yang pertama.
Resistensi dan Oposisi Simalungun atas Kolonialisme Masuknya Simalungun ke dalam wilayah kerajaan Hindia Nederland bukan tanpa resistensi dan oposisi. Raja-raja Simalungun bersama dengan rakyatnya bangkit berkali-kali menentang Belanda. Mulai dari “serangan fajar” Tuan Raimbang Sinaga tuan Dolog Panribuan yang menunggang-langgangkan pasukan Controleur Kroesen dan Baron de Raet di Aek Buluh di pagi hari tanggal 11 September 1891, sampai Tuan Rondahaim (1897-1891) di Raya yang karena perlawanannya yang cukup keras digelari pejabat kolonial Tichelman sebagai Napoleon van Bataks. Raja Siantar Tuan Sang Na Ualuh Damanik beserta dengan iparnya raja Panei Tuan Djontama Purba Dasuha ikut bahu-membahu mengobarkan perang diplomasi/politik melawan ambisi kolonialisme Belanda yang ingin memecah belah dan memisahkan sebagian wilayah Simalungun ke daerah sultan Deli yang merupakan sahabat terdekat Belanda. Raja Sang Na Ualuh yang dicap keras kepala dan Felle op Mohammedan (Islam yang Keras) oleh Belanda dengan tuduhan yang dicari-cari segera diasingkan ke Bengkalis pada 24 April 1906. Sementara itu iparnya raja Panei Tuan Djontama Poerba Dasoeha yang meprotes tindakan Belanda segera berangkat menghadap residen ke Medan pada 1901 dan meminta Belanda mengembalikan wilayah Kerajaan Panei : Dolog Batu Nanggar, Badjalinggei dan Dolog Merawan ke Panei yang dialihkan Belanda ke daerah kesultanan Deli melalui Padang Badagei, menerima perlakuan yang tidak baik. Begitu bertemu residen, ia ditahan dan meninggal dalam penjara. Sampai sekarang, tidak diketahui di mana kuburnya.
Politik Pecah-Belah Kolonialisme Belanda kemudian memecah belah Simalungun dengan mengadakan poses pembodohan atas Simalungun dengan menumbuh-suburkan praktek perjudian, Candu diberikan dengan dalih apresiasi kolonial untuk kesetiaan raja-raja pada aturan kolonialisme Belanda. Padahal sesungguhnya, Belanda berniat jahat; untuk menghancurkan Simalungun dengan program pembodohan atas golongan pemimpin elit-politik halak Simalungun. Akibatnya raja-raja lebih asyik menghayati kehidupannya sendiri dan kurang peduli dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyat banyak yang sengaja diarahkan Belanda untuk kepentingan ekonomi kapitalisnya. Munculnya perkebunan-perkebunan swasta dan pemerintah sejak 1910 di saat Simalungun secara resmi dicanangkan sebagai bagian dari Daerah Perkebunan Sumatera Timur (Cultuurgebied Oostkust vanSumatra) [yang sahamnya sebagian besar dimiliki pengusaha perkebunan (ondernemingers) asing dari Eropa] dalam kenyataannya sedikit saja menyisakan keuntungannya bagi pembangunan dan kemajuan rakyat Simalungun dan itu pun hanya dinikmati raja-raja bersama orang-orang besar kerajaannya. Akibatnya makin bertumbuh dan melebar jurang pemisah yang nyaris tak terjembatani antara raja-raja dan elit politik Simalungun di satu pihak dan rakyat (paruma ni harajaan) di pihak yang lain. Alienasi bangsawan dan elit politik Simalungun dari rakyatnya makin hari makin melebar dan berbalik arah menghunjam kekuasaan “kaum feodal” dan sempurnanya berhasil menjungkalkan kekuasaan kaum feodal yang konon “pro Belanda” dalam aksi Revolusi Sosial tahun 1946.
Imigran Batak Toba dan Tobaisasi Masuknya imigran Batak Toba dari Tapanuli atas inisiatif dan dukungan finansial dan payung hukum Kolonial Belanda dan lambaga zending Jerman (RMG) yang secara spontan dan simultan “menjarah” tanah subur Simalungun Bawah, makin menyempurnakan proses marginalisasi orang Simalungun yang sudah dimulai pasca pasifikasi kolonial 1907. Dampaknya banyak orang Simalungun yang kurang agresif dan “garang” ketimbang imigran Batak Toba itu terpaksa harus mengalah dan mundur ke pedalaman di Simalungun Atas. Dengan arogannya pendatang Batak Toba itu yang merasa dirinya lebih tinggi derajadnya ketimbang raja-raja Simalungun dengan alasan bernada semangat “triumfalistik” produk kolonial dan zending merasakan kalau raja-raja Simalungun yang menjadi zelfbestuur (penguasa swapraja) nota bene sipelebegu dan Silom (Islam) tidak patut memerintah mereka yang lebih superior dan beradab. Dengan alasan itu pula, mereka terang-terangan memaksa Belanda menempatkan pemimpin tersendiri untuk orang Batak Toba seperti halnya orang China dan Timur Asing yang bermigrasi ke Simalungun. Karena itu Belanda atas nama kepentingan politik Hindia Nederland segera pula memenuhi permintaannya dan mengangkat bekas pegawai raja Purba bernama Guru Andreas Simangunsong sebagai “jaihutan” (raja kecil buat orang Toba) pada 1917 untuk memimpin mereka. Sikap “tak tau diri” pendatang orang Toba ini, sangat menggusarkan perasan raja-raja Simalungun. Dengan suara bulat kaum aristokrat menyuarakan protes mereka atas pengangkangan kaum imigran ini atas realitas politik posisi raja-raja Simalungun yang diakui secara de jure dan de facto oleh Belanda sebagai zelfbestuurende landschappen di Onderafdeeling Simeloengoen. Protes mereka atas “previlege” yang diterapkan Belanda atas kaum pendatang dari Tapanuli ini akhirnya mendapat respon dari Asistent Resident Ter Haar, sehingga pada tahun 1920 jabatan itu dihapus dan banyak pegawai-pegawai Batak Toba yang kemudian diberhentikan pemerintah Belanda atas desakan raja-raja dan digantikan pejabat-pejabat orang Simalungun. Ini rupanya menimbulkan perasaan tidak puas dari pihak orang Batak Toba. Dengan pewartaan yang mereka buat di surat-surat kabar lokal, mereka menyuarakan protes dan mengerahkan banyak massa di Tapanuli mendemo keputusan “rasialis” Belanda di Tano Timur.
Perjuangan Pdt. J. Wismar Saragih dan Tokoh-tokoh Simalungun Akan tetapi proses Tobaisasi terus dipertahankan di Simalungun, khususnya dalam kegiatan gerejawi. Orang Simalungun yang sudah beragam Kristen dimasukkan ke HKBP dan memaksa mereka untuk memakai bahasa dan adat Toba, sehingga menimbulkan perlawnaan dari pendeta Simalungun pertama Pdt. J. Wismar Saragih. Bersama dengan kawan-kawannya seperjuangan, mereka meretas kebuntuan perjuangan orang Simalungun dengan mendirikan Lembaga Bahasa dan kebudayaan Simalungun yang mereka sebut Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen pada tahun 1928. Diterbitkan juga banyak buku yang mengupas berbagai topik dan akar penyebab ketertinggalan suku bangsa Simalungun dan sekalian mengarahkan orang Simalungun ke arah kemajuan (social progress) di segala bidang, seperti pemerintahan, pertanian, rumahtangga dan keluarga maupun kehidupan religius orang Simalungun. Pdt. J. Wismar, Djaoedin Saragih, Guru Djason Saragih dan kawan-kawan dengan tanpa pamrih dan jemu-jemunya berani bersikap menerobos arogansi Gereja Batak Toba yang mengecilkan peranan orang Simalungun dalam partisipasi aktifnya di HKBP. Sukses Pdt. J. Wismar dicatat dengan pengakuan HKBP atas kemandirian Gereja Simalungun dalam HKBP Simalungun (1952) setelah sebelumnya menjadi Distrik Simalungun tahun 1940 dan GKPS sejak 1 September 1963. Perjuangan itu tercapai dengan kerjasama yang kompak antara pejabat-pejabat Gereja Simalungun dengan pejabat-pejabat pemerintah yang kebetulan warga Simalungun, seperti Tuan Madja Purba, Tuan Djariaman Damanik, Haji Ulakma Sinaga, T.S. Mardjans Saragih dan lain-lain.
Revolusi Sosial Puncak kebencian rakyat Simalungun produk proses alienasi bertahun-tahun yang dilakukan kolonial Belanda dan provokasi aktif dari pihak-pihak di luar Simalungun yang punya beragam kepentingan dan akses politik di Simalungun pecah dengan serangkaian aksi vandalisme dan barbarisme yang disebut Revolusi Sosial pada tanggal 3 Maret 1946-1947. Kaum bangsawan (parbapaan, partongah dan partuanan) dan elit-politik Simalungun dituduh publik sebagai antek kolonial dan cenderung pendukung separatisme, yang “halal” untuk dilenyapkan dari permukaan bumi. Satu persatu raja-raja dan golongan bangsawan serta intelektual Simalungun diciduk kalau bukan diculik dari istananya dan dibunuh dengan sadis di tempat-tempat umum yang dapat disalksikan oleh rakyat banyak untuk mendemonstrasikan pembalasan dendam kaum marginal atas kaum feodal selama kejayaannya. Penjarahan atas harta benda milik kerajaan, pemerkosaan dan pembunhan marak di mana-mana di seluruh Sumatera Timur, banyak istana raja-raja dan sultan serta sibayak yang dibakar dan keluargannya dicerai-beraikan oleh perusuh. “Pameran” atas keberhasilan kaum “proletar” menumbangkan kaum “borjuis” diperankan di seluruh Sumatera Tiimur (Simalungun, Melayu dan Karo). Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Poerba Dasoeha beserta sanak saudaranya dibunuh dengan sadis di Sibuttuon, pemangku raja Raya Tuan Djaoelan Kadoek Saragih Garingging diciduk paksa dari keramaian pesta di Manak Raya dan disembelih di jembatan Bah Huta Iling di perbatasan Kerajaan Panei dan Raya. Raja Silimakuta Tuan Padiraja Girsang yang jelas-jelas pro Republik tidak luput dari pembunuhan, demikian pula dengan Tuan Mogang Purba Pakpak raja Purba. Deretan korban revolusi makin panjang, tuan Dologsaribu Tuan Djademan Saragih Garingging harus menerima nasib yang sama seperti tondong-nya raja Panei. Sementara itu, pada April 1947 pembunuhan masih berlanjut, orang-orang yang mengaku nasionalis dan pro Republik menyeret Tuan Hormajawa Sinaga anak tuan Dolog Panribuan dari rumahnya dan mayatnya setelah dibunuh konon dicincang dan dicampur-baurkan dengan daging kerbau untuk santapan laskar rakyat yang berpesta pora merayakan kemenangan orang “kecil” atas orang-orang “besar” kerajaan. Ya, sekali lagi atas nama demokrasi, orang membungkam suara halus hati nurani dan mengabaikan nilai-nilai agama dengan tanpa perasaan bersalah melakukan serangkaian tindakan pembunuhan bahkan kanibalisme demi sesuatu yang dinamakan cita-cita dan ideologi.
Menyikapi “semaraknya” Revolusi Sosial itu ada pakar yang “sedikit mentoleransinya” dengan menyebutnya sebagai tindakan “sadis” yang “terpaksa” dilakukan para barisan sakit hati dan korban-korban arogansi kekuasaan raja-raja dan golongan elit Sumatera Timur [baca: Simalungun] yang konon dimanja oleh Belanda selama masa kolonial. Siapa pelaku Revolusi? Ada yang menyebut pelakunya adalah sekelompok laskar rakyat yang kurang berpendidikan yang teragitasi dan terprovokasi slogan-slogan menggugat pemarginalisasian kaum feodal atas kelompok rakyat kerajaan yang terkondisi untuk miskin dan terbelakang dari para “petualang-petualang” politik yang konon dialamatkan kepada organisasi politik yang namanya PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan arahan Bupati Urbanus Pardede dan eksekutor lapangan Komandan Barisan Harimau Liar (BHL) yang dilatih Inoue seorang Jepang, yakni Anggaraim Elias Saragih Turnip anak partuanan Tigaras di wilayah Kerajaan Panei.
Konyolnya lagi, para pelaku revolusi apakah karena kurang cerdas atau memang tolol; tega-tegannya pula membunuh dokter pertama suku bangsa Simalungun dr. Djasamen Saragih Sumbajak (putera pangulubalei Djaoedin Saragih) yang tidak ada hubungan dengan kaum “feodal”, hanya disebabkan di pil yang dipakai dokter Simalungun pertama ini tertera tulisan “MB” yang segera dimengerti secara salah sebagai singkatan dari Militer Belanda.
Manaili hu Pudi, Mangkawah hu Lobei Sungguh banyak dan terlalu banyak memang kerugian yang diterima dan dialami orang Simalungun sampai sekarang ini, akibat Revolusi Sosial. Bayangkan saja, setelah Kebangkitan Nasionalisme Lokal Etnis Simalungun mati-matian diperjuangkan petinggi Simalungun sejak tahun 1928 dengan motor Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen. Upaya kerja keras pencerahan yang seharusnya sudah dipetik orang Simalungun dalam kontribusi dan partisipasi aktifnya dalam pembangunan nasional Republik Indonesia, kandas sampai ke tahap paling dasar. Aksi Revolusi Sosial yang terkesan lebih kental dengan warna balas dendam dan ketidakpuasan pihak-pihak tertentu terhadap kekuasaan raja-raja sudah menyumbang pada proses kehancuran eksistensi etnis Simalungun. Imbasnya bermuara pula pada timbulnya kegamangan identitas etnis yang namanya Simalungun, dan makin merajalelanya dan bertumbuh subur di kalangan generasi muda dan orang Simalungun yang jauh dari lingkungan asali kultur identitas hasimalungunon di Tanah Simalungun, secara perlahan tetapi pasti pada proses desimalunngunisasi. Mengapa ? Sebab mereka tidak melihat figur yang dapat dibanggakan dan terlegitimasi di antara setumpuk realitas “pluralisme” Simalungun. Figur tokoh Siumalungun yang diakui oleh lintas marga, agama, teritorial dan kepentingan di Simalungun yang dirasakan dapat mewujudkan representasi sukubangsanya di tengah-tengah percaturan dan pergulatan sosial-politik regional, nasional dan internasional. Orang Simalungun tetap meraba-raba dan mencari terus jati dirinya hingga ke ruang publik yang bernama politik. Kegamangan akibat krisis jati diri itu jelas terlihat menyolok ketika timbul pertanyaan, “Siapakah yang patut mewakili saya sebagai representasi suku bangsa Simalungun di negeri ini, mulai yang patut mewakili orang Simalungun di huta-nya Simalungun, entah sebagai tokoh Simalungun yang kredibel dan acceptable di lembaga-lembaga legislatif, judikatif atau eksekutif. Mulai dari jenjang, lokal (urung, nagori, kecamatan, kabupaten/kotamadya di Siantar-Simalungun) sampai ke provinsi, nasional dan mungkin adatua ke cakupan [yang mungkin tak terjangkau pikiran logis sederhana orang Simalungun] di kancah internasional?”
Sangat tepat apa yang dikatakan oleh R. William Liddle, bahwa pada dasarnya krisis representasi akan tetap menghantui dan menyertai kehidupan sosial politik orang Simalungun dengan latar belakang sejarahnya yang kelam dan “unik” di antara perjuangannya menuju kursi “decision maker” di ruang-ruang publik strtegis di Republik ini. Dan ini sudah dibuktikan dengan tergususrnya Kurpan Sinaga dari DPR yang seharusnya menjadi perwakilan orang Simalungun dan goncangan yang dihadapi orang Simalungun dalam perjuangannya menempati posisi strategis di pemerintahan dan parlemen. Lihat saja kasus pemilihan Bupati Simalungun yang walau suara Simalungun getol memperjuangkan “maningon halak Simalungun”, nyatanya kandas sekandas-kandasnya. Bukan figur Simalungun yang diimpikan halak Simalungun yang memenuhi rasa keadilan publik halak Simalungun yang terpilih, tetapi justru tokoh yang sejak awal sudah diwarnai gugatan dan kontroversi atas kredibilitas, moralitas dan acceptabilitasnya [yang jauh-jauh hari oleh publik Simalungun sudah digugat dan diminta untuk dianulir]. Kenyataannya, justru tokoh kontroversial ini yang keluar dengan gemilang sebagai pemenang dan dinobatkan sebagai partongah Simalungun lima tahun ke depan. Sungguh menyakitkan dan mempecundangi eksistensi halak Simalungun. Buntutnya sudah dapat ditebak, suara halak Simalungun yang menuntut perbaikan atas “kealpaan” pendahulunya [yang konon juga (meski katanya asli orang Simalungun) tidak berbuat banyak memenuhi harapan orang Simalungun] semakin terabaikan, dan jeritan orang Simalungun di huta-huta atas jalan rusak dan pembangunan yang menyangkut kebutuhan primer publik tak didengar, yang kesemuanya ini, rasanya sangat mempermalukan dan menyakitkan perasaan halak Simalungun; jangankan di tingkat nasional dan provinsi; di tingkat lokal saja, yakni di Siantar-Simalungun yang jelas-jelas adalah homeland etnis Simalungun, sulit mendudukkan kader Simalungun sebagai godfather dan decision maker di Simalungun seperti ditunjukkan pengalaman suksesi beberapa tahun yang lalu.
Belajar pada Realitas Keseluruhan fenomena realitas sejarah orang Simalungun ini, bagaimanapun sunguh-sungguh mengajar dan mengajak seluruh komponen bangsa Simalungun untuk marruji-ruji (introspeksi diri) dan bila perlu memvonis dirinya sendiri sebagai penyebab mandeknya proses regenerasi dan upaya juang orang Simalungun memperjuangkan pengakuan publik yang lebih luas atas hak-hak orang Simalungun sebagai bagian yang sah di negeri ini yang sepatutya diberikan kesempatan dan peluang memerintah dan mengatur rumahnya sendiri paling tidak di Siantar-Simalungun. Kegagalan ini juga mengajak seluruh komponen Simalungun “berkaca pada kesalahannya sendiri” untuk tidak saling menyalahkan dan balik menuduh apalagi mengkabing hitamkan pihak lain. Mari, seluruh komponen bangsa Simalungun, belajarlah lebih dulu pada kekompakan dan solidaritas etnis tetangga kita yang lebih solid, seperti suku bangsa Batak Toba dan Karo misalnya; yang tanpa malu-malu berani tampil eksis dan diperhitungkan dalam upaya perjuangannya “merebut” posisi-posisi penting di segala bidang ruang-ruang publik di Republik ini. Dan satu lagi yang layak membuat kita malu dan salut atas kekompakan dan solidaritas dan militansi-idealisme kesukuan mereka yang teguh kepada kepentingan etnisitas publiknya [meski ada tuduhan nepotisme]. Ingat juga bahwa suku bangsa Karo, dan Tapanuli sudah terbukti bukan hanya “jago di kandang sendiri” tetapi juga berani tampil beda di “kandang orang lain.
Nah, ini suatu pelajaran yang sangat berharga bagi seluruh komponen bangsa Simalungun, secara khusus pada peminat dan pengincar kursi empuk di parlemen dan pemerintahan, apalagi dengan makin dekatnya perhelatan akbar Pemilu 2004 dan suksesi Bupati Simalungun 2005. Heja, siapkan Uang, Lobi dan Relasi serta Support yang luas dari grass root dan tentunya restu dari “Yang Ilahi” untuk meraih kursi-kursi “empuk” yang sudah tersedia. Mari rapatkan barisan seluruh bangsa Simalungun, “Maningon hita do Hasuhuton Bolon i Rumah ampa Talunta Simalungun na Jotih na Laingan on.” Horas, Merdeka !
Ditulis Oleh: Juandaha Raya Purba Dasuha 
Sumber: Kaskus

No comments:

Post a Comment