Pages

Wednesday, May 21, 2014

Perkembangan Tanjungbalai Dari Masa ke Masa

Perkembangan Tanjungbalai Dari Masa ke Masa



    1. Masa Kerajaan Pardembanan dan Kesultanan Asahan  


      Kampung di ujung tanjung itu sejak kepulangan Sultan Iskandar Muda (Raja Aceh 1612 M) darisana hari ke hari semakin ramai dan dikenal masyarakat sekitarnya. Balai tempat menghadap Raja Margolang kepada Sultan Iskandar Muda itupun tetap dipertahankan sampai menunggu lahirnya sang Pangeran yang akan dinobatkan sebagai Sultan I Asahan sesuai perjanjian antara Bayak Lingga (Haro-haro) dengan Sultan Iskandar Muda bergelar Sultan Aladdin Mahkota Alam Johan Berdaulat (Sultan Alaiddin Riayatsyah "Al Qahhar"), Bayak Lingga datang menghadap bersama kedua abang Puteri Ungu Selendang Awan (Puteri Raja Air Merah-Panai) untuk menjemput sang Puteri yang sedang hamil.
 

    Kampung ini lama kelamaan berubah menjadi bandar yang ramai tempat bertemunya masyarakat petani yang membawa untuk menjual hasil-hasil hutan dan pertanian dari hulu Sungai Asahan (suku Batak) dan Sungai Silau (suku Simalungun) dengan nelayan, pelaut, dan pedagang dari pesisir Sumatera Timur bahkan Semenanjung Malaysia  (suku Melayu, Bugis, China, dan Arab). Akhirnya dikenal masyarakat dengan Tanjungbalai daerah yang menjadi koloni Kerajaan Aceh dibawah pengawasan Raja Margolang yang berkuasa di sekitar Bandar Pulau (ke hulu Sungai Asahan). 

 

     Marga “Simargolang” berasal dari Raja Simargolang salah seorang putera dari Ompu Sahang Mataniari. Tarombo marga Simargolang (karena sudah sejak lama dan seluruhnya telah meninggalkan daerah Toba) tidak begitu jelas lagi dalam buku-buku tarombo marga-marga suku Batak Toba tua.

 

     Menurut hikayat lama adapun Ompu Sahang Mataniari alias Ompu Sahang Matanibulan, adalah paman dari Si Nagaisori yang tercatat dalam buku tarombo sebagai putera dari Sipongki Nangolngolan (Tuanku Rao), masuk ke dalam tarombo marga Rajagukguk (salah satu cabang dari marga Aritonang). Berdasarkan penyelusuran dan penelitian sejarah sebenarnya Margolang masuk marga Sinambela cucu dari Si Singa Mangaraja ke VIII. Kerajaan Margolang awalnya berpusat di Pulau Raja dengan wilayah penyebaran mencakup sebagian Asahan dan sebagian Labuhan Batu, Raja terakhir yang mejadi pemimpin masyarakat ini adalah Raja Marlau.





Situs sejarah dari Raja Simargolang I dan II di Dusun Dolok Maraja, Desa Lobu Rappa, Kecamatan Aek Songsongan dan Raja Simargolang pada keturunan berikutnya sampai ke Kampung Pea atau Kampung Sawah, Desa Marjanji Aceh, Kecamatan Aek Songsongan dan di Dusun Pancuran Raja, Des Rahuning Kecamatan Rahuning, di Kampung Pertandanan, Dusun Titi Putih, Desa Gunung Melayu Kecamatan Rahuning. Akhirnya pada keturunan ke V sampai ke Kampung Pertandaan, Dusun Titi Putih, Desa Gunung Melayu.





Disamping komunitas masyarakat Margolang di daerah ini juga ditemukan komunitas masyarakat Nahombang. Hal ini dapat dilihat dari ditemukannya patung-patung Raja Tuan Nahombang di Kampung Parhutaan Gana-Gana, Desa Gonting Malaha Kecamatan Bandar Pulau. Ditambah lagi Gua Silalahi yang juga di Bandar Pulau.





Sementara itu di daerah pinggiran Sungai Silau ke hulunya adalah daerah penyebaran komunitas masyarakat Simalungun. Daerah ini dahulunya dibawah kekuasaan Raja Purba Dasuha hingga dibawah kekuasaan Sitorus Pane. 

Ini dapat dilihat dari situs sejarah Istana Kerajaan Pane di Dusun V Desa Simpang Buntu Pane, Kec. Buntu Pane. Di daerah ini terdapat Batu Pelanggiran (terletak di Padang Makkire perkebunan Ambalutu Buntu Pane). Istana Raja Pane yang pertama dibangun di daerah Tratak, namun tidak diketahui siapa Rajanya dimasa itu. Kemudian dipindahkan ke daerah Padang Makkire pada masa Pemerintahan Raja Pane yang ke V yaitu Raja Nabaruton. Kemudian di bangun di daerah Dusun V Desa Simpang Buntu Pane pada Tahun 1939 oleh Raja Pane yang ke XII yaitu Sitorus Pane yang lebih dikenal dengan Raja Idup Sitorus Pane.




Kerajaan Pane sudah diperintah sebanyak 12 raja, diantaranya Buttu Martabun, merupakan Raja Pane yang pertama, Raja Nabaruton, merupakan Raja Pane yang kelima, Sah Maraja, merupakan Raja Pane yang kesembilan, Marihot Jawa, merupakan Raja Pane yang kesepuluh, Sitorus pane, merupakan Raja Pane yang kedua belas, dan bergelar Raja Idup Sitorus Pane.





Dilihat dari suka berpindah-pindahnya pusat kekuasaan kerajaan kecil ini, menunjukkan bahwa mereka hanyalah kelompok-kelompok masyarakat seketurunan dan seasal yang berekspansi alamiah ke daerah sekitarnya melalui darat ataupun sungai karena kebutuhan hidup yang lebih baik. Juga ditandai dengan belum mempunyai tata kelola kepemerintahan yang baik layaknya kerajaan-kerajaan besar masa itu. Mereka mengangkat pemimpinnya diantara mereka dari tokoh yang dituakan ataupun yang lebih berilmu dan sakti diantara mereka atau keturunannya.





Kerajaan Margolang, Kerajaan Nahombang, dan Kerajaan Pane ketiga kerajaan kecil ini disebut juga dengan Batak Pardembanan (Suku Batak di daerah Asahan). 
                Suku Pardembanan (Suku Batak Islam di Asahan) menarikan tarian daerah Alkisah lahirlah Abdul Djalil Rahmadsyah sang Pangeran di bawah perlindungan dan asuhan Sukma Diraja (keturunan Perlak kepercayaan dari Sultan Iskandar Muda untuk melindungi Pangeran karena Puteri Ungu sesudah melahirkan diperbolehkan menikah lagi dengan Bayak Lingga). Setelah akil baligh (1630 M) dengan disaksikan oleh Pihak Raja Margolang dan Sultan Iskandar Muda, sang Pangeran dinobatkan menjadi Sultan Asahan I dengan gelar Sultan Tuanku Abdul Djalil Rahmadshah di Balai di Ujung Tanjung. Pusat kekuasaan kala itu masih berada di Bandar Pulau dengan menempatkan keluarga “Bahu Kanan (Abdul Karim, putera Raja Bolon dan Siti Onggu)” dan “Bahu Kiri (Abdul Samad dan Abdul Kahar, putera-putera Raja Bolon dengan Puteri Raja Margolang)” memimpin daerah daerah kecil dan tetap tunduk pada Kesultanan Asahan.

Setelah Raja Bolon meninggal dunia terjadi perebutan kekuasaan di Bandar Pulau. Dengan didukung kakeknya (Raja Margolang), Abdul Samad dan Abdul Kahar (putera-putera Raja Bolon dengan Puteri Raja Margolang) berkuasa dan menjadi Raja di Huta Bayu dan Tanjung Pati melepaskan diri dari kekuasaan Kesultanan Asahan bahkan menyerangnya. Sultan Abdul Djalil Rahmadsyah dan pasukannya mundur ke Batubara dan darisana meminta pertolongan ke ayah beliau (Raja Aceh).

Mendapat bantuan pasukan Kerajaan Aceh akhirnya Raja Margolang dan cucu-cucunya (Bahu Kiri) dipaksa damai dengan melakukan perjanjian di daerah Marjanji Aceh (daerah dekat Bandar Pulau).Pada saat itu pula Anak Sukmadiraja dinobatkan menjadi Bendahara di Kerajaan Asahan.
 
Sultan Abdul Jalil menikah dengan Puteri dari Bendahara Pemangku Raja Bahu (anak dari Sukmadiraja dengan Ompa Liang) yang bernama Aminah dan dikaruniai 5 ( Lima ) orang putera yaitu : Sultan Saidi Syah dan Sri Paduka Raja. Kemudian Sultan Abdul Jalil Rahmadsyah menikah lagi dengan Tengku Ampuan, puteri dari Tengku Sulung (gelar Marhom Mangkat di Simpang) Raja Panai dan Bilah. Dari pernikahan ini mendapat tiga orang puteri Raja Busu, Raja Marsyah dan Raja Huma Akhirnya beliau meninggal di Pangkalan Sitarak dekat Pulau Raja dan dimakamkan disini (Bersambung).


Sumber:
http://harunsyaharsyad.blogspot.com/2014/05/perkembangan-tanjungbalai-dari-masa-ke.html

No comments:

Post a Comment