Pages

Saturday, May 24, 2014

Lubuk Larangan

Lubuk Larangan

Kearifan Lokal, Tradisi Konservasi Lingkungan oleh Masyarakat Mandailing Natal
Semakin mengemukanya issu pemanasan global (global warming) membuat kita untuk arif dan bijak pada alam dalam berbagai aspek kehidupan. Komunitas masyarakat adat sejak jaman nenek moyang kita telah mengajarkan berbagai macam pelajaran sangat berharga untuk menghormati alam. Kehidupan masyarakat tradisional yang masih kuat memegang dan menjalankan adat memposisikan diri mereka sebagai kelompok yang diidealkan dalam berhubungan dengan alam, menekankan pada realita akan adanya hubungan spiritualitas masyarakat dengan alam. Konsep ini yang kemudian di modern-kan oleh kalangan pelaku pengembang masyarakat menjadi konsep pembangunan masyarakat baru yang memadukan kepercayaan, kebiasaan lama dan kearifan lokal, untuk menumbuhkan kehidupan modern yang sangat menghormati lingkungan hidup. Modern dan maju tapi tidak merusak alam…!

Hasil dari 4 tahun (2003 – 2007) pendampingan terhadap masyarakat adat dan tani di daerah Kabupaten Mandaling Natal (Madina), Sumatera Utara yang dilakukan oleh BITRA Konsorsium (BITRA Indonesia, Pusaka Indonesia, Walhi Sumut dan Samudera) untuk melakukan konservasi dan mendorong terbentuknya Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) menunjukkan bahwa  secara tradisional masyarakat adat mempunyai konsep konservasi alam yang berkaitan erat dengan kepercayaan supranatural.

Rarangan (Larangan)
Konsep melindungi sumber daya alam agar tetap terpelihara dengan baik, bukan hal baru bagi orang Mandailing. Mereka sejak dahulu mengenal istilah yang pas tentang hal tersebut, yaitu “rarangan”, yang secara harfiah bermakna “larangan”. Khusus untuk kawasan hutan ada yang disebut “harangan rarangan”, yaitu “hutan larangan”. Hutan larangan dalam konsepsi tradisional adalah bagian dari suatu kawasan hutan milik suatu kampung (huta) yang tidak boleh dibuka untuk lahan pertanian (karena tanah untuk pertanian secara adat sudah disediakan tersendiri, bahkan padang rumput untuk gembala ternak juga). Kayu dalam hutang larangan juga tidak boleh diambil untuk keperluan domestik dan komersil.

Kawasan demikian (daerah-daerah terlarang tersebut) biasa juga dipercaya sebagai tempat yang dihuni oleh mahluk-mahluk halus, biasa disebut “naborgo-borgo”, artinya adalah “yang lembab-lembab”. Ada  kepercayaan bahwa melanggar tabu untuk memasuki tempat-tempat demikian akan menyebabkan petaka bagi pelakunya.

Selain pada lingkungan hutan, konsep rarangan tersebut juga berlaku untuk suatu kawasan tertentu di kawasan bagian aliran sungai. Bagian-bagian yang biasa dipantangkan (terlarang) bagi penduduk untuk menangkap ikan di dalam sungai adalah di lubuk-lubuk yang dalam dan diatasnya terdapat pohon-pohon besar yang berdaun rimbun. Tempat demikian juga dipercaya sebagai tempat naborgo-borgo dan terlarang untuk melakukan aktivitas yang bisa mengganggu keberadaan mahluk-mahluk gaib yang mendiaminya.

Keberadaan hutan larangan dan lubuk larangan yang dilembagakan melalui mekanisme tabu (pantangan) dan kepercayaan akan kekuatan-kekuatan supranatural yang ada di sekitarnya, dalam kenyataannya berada pada tempat-tempat yang signifikasinya tinggi bagi kelestarian lingkungan. Bagi kawasan hutan yang disebut harangan rarangan tadi biasanya berasosiasi dengan sumber-sumber mata air atau daerah resapan, daerah tangkapan air (water catchments area) yang amat vital bagi pemeliharaan dan kesinambungan penataan pasokan air bagi penduduk yang bermukim disekitarnya atau penduduk yang berada di hilir aliran sungai, baik air untuk penggunaan sehari-hari maupun untuk mengairi lahan pertanian.

Daerah Mandailing sangat terkenal dengan pertanian tanaman pangannya di Sumatera Utara. Demikian juga bagi aliran sungai yang disebut lubuk larangan, merupakan tempat-tempat dimana proses pembiakan ikan berlangsung. Oleh karena itu, konsep rangrangan di Mandailing yang diselimuti suatu kepercayaan akan kekuatan supranatural yang tidak boleh terganggu, pada hakekatnya adalah mekanisme budaya yang mengatur praktek-praktek konservasi sumber daya alam secara tradisional.

Lubuk Larangan
Awal terbentuknya lubuk larangan bermula dari kepercayaan masyarakat setempat bahwa daerah-daerah tertentu, termasuk daerah aliran sungai (DAS) dihuni oleh mahluk-mahluk halus naborgo-borgo. Sehingga pada jaman dahulu jika daerah tertentu yang dipercayai berhantu tersebut, maka masyarakat enggan untuk memasuki kawasan itu. Kepercayaan ini di-regenerasi-kan pada anak keturunan mereka.

Lubuk 2Lubuk larangan yang berasal dari kepercayaan terhadap daerah hunian mahluk halus tersebut masih sangat membudaya di daerah Mandailing Natal sampai tahun 1970-an. 

Akibat baik yang ditimbulkan dari kepercayaan dan praktek lubuk larangan ini adalah terpeliharanya kesinambungan sumber daya ikan sungai karena terjaganya proses reproduksi ikan. Keuntungan lain yang diperoleh masyarakat (dimana umumnya masyarakat Mandailing adalah petani tanaman pangan dan pekebun sub sistem – berdasarkan belas kasih alam) adalah terpeliharanya sumber-sumber air untuk mengairi pertanian karena terpeliharanya rimbunan hutan di daerah hulu sungai dan badan sungai (DAS secara umum).

Namun lambat laun kebiasaan mengenai lubuk larangan tersebut mulai memudar. Seiring dengan perkembangan jaman, memudarnya kepercayaan lama tergilas oleh modernisasi yang kurang menghormati alam, tingkat pertumbuhan penduduk yang menimbulkan peningkatan kebutuhan konsumsi ikan, dan pola pandang prakmatisme cenderung komersial yang mengakibatkan penangkapan ikan secara eksploitatif. Berbagai teknik penangkapan ikan dari yang sangat bernuansa keraifan lokal seperti memancing dan pasang bubu (perangkap ikan) sampai yang bernuansa eksploitatif, seperti menuba (meracuni ikan) bahkan mem-bom ikan dilakukan. Hal ini bisa terjadi karena aliran sungai dipandang sebagai sumber daya yang bersifat open source atau open access (sumber daya terbuka yang dapat diambil oleh siapa saja).

Pembaharuan Lubuk Larangan
Kemudian hari, pada tahun 80-an beberapa tokoh masyarakat adat yang berprofesi petani di Mandailing Natal merasa prihatin terhadap kondisi lubuk larangan tersebut. Kemudian tokoh masyarakat ini mulai menghidupkan kembali budaya lama lubuk larangan dengan pola yang diperbaharui yang dipelajari dari pola yang dilakukan oleh masyarakat adat dan tani di daerah Sumatera Barat.

Menghidupkan kembali budaya lubuk larangan dengan pembaruan sistem pengelolaan ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Terutama Bupati Tapanuli Selatan (saat itu Mandailing Natal Belum Mekar dari Tapanuli Selatan), A. Rasyid Nasution. Tidak tanggung-tanggung, beliau membuat payung hukum untuk melegalisasi dan melindungi kegiatan praktek lubuk larangan ini dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 19 tahun 1988, tentang pengelolaan lubuk larangan. Hal ini membuat pengelolaan lubuk larangan agak berbeda dengan sebelumnya, lebih rasional, terorganisir dengan baik, memiliki aturan-aturan, dan ada sanksi-sanksi berdasarkan kesepakatan yang dihasilkan oleh musyawarah bersama desa. Maka menguatlah kedaulatan komunitas untuk menentukan dan mengelola sumberdaya yang mereka miliki untuk kepentingan bersama.

Bagian-bagian tertentu dari aliran sungai yang menjadi wilayah suatu desa dijadikan lubuk larangan. Beberapa desa yang berdekatan dan aliran sungainya sama, menerapkan pengelolaan lubuk larangan pada desanya masing-masing dengan membuat batas fisik antar desa maupun batas terlarang dan tidak terlarang untuk menangkap ikan.

Pengelolaan lubuk larangan ditangani oleh suatu panitia yang dibentuk di tingkat desa melalui musyawarah desa. Jangka waktu pelarangan untuk aktifitas apa-pun yang terkait dengan menangkap ikan dilakukan selama satu tahun. Masa panen, atau yang biasa disebut pembongkaran/pembukaan lubuk larangan biasanya dilakukan pada hari raya Idul Fitri atau hari-hari besar lain. Setelah 1 hari panen/pembukaan lubuk larangan segera ditutup kembali (mejadi lubuk larangan kembali) sampai satu tahun berikutnya.

Lubuk 3Sekarang lubuk larangan bukan lagi open source (sumber daya yang dapat diakses siapa saja) kecuali pada saat pesta pembukaan lubuk larangan. Lubuk larangan lebih dimanajemen dengan baik dan diberi makna sebagai asset desa (communally owned resources). Ada aturan baru yang dikenakan setiap dilakukan pembukaan lubuk larangan.

Panitia penyelenggara pesta pembukaan/pembongkaran lubuk larangan mengutip sejumlah uang dari semua peserta yang mendaftarkan diri ingin ikut pesta (baik masyarakat desa setempat maupun dari luar desa). Tiket peseta harganya disesuaikan dengan jenis alat tangkap ikan yang digunakan peserta. Lebih besar daya tangkap ikannya tentunya akan lebih mahal tiketnya.  Hasil dalam bentuk uang yang terkumpul oleh panitia  akan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan desa, misalnya; membeli benih ikan untuk ditaburkan ke lubuk larangan untuk masa pelihara 1 tahun ke depan, perbaikan sarana irigasi (tali air) untuk persawahan desa, perbaikan jalan, rumah ibadah, pembangunan sekolah swadaya desa atau honor gurunya, santunan anak yatim. Dll. Sesuai dengan kesepakatan warga desa pada musyawarah 1 tahun sebelumnya atau musyawarah baru (tahun berjalan).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zulkifli B. Lubis (tahun 2001), sedikitnya masih ada 70 desa yang masih menerapkan lubuk larangan di Mandailing  Natal. Pengelolaan lubuk larangan memberikan kontribusi yang sangat besar untuk pembangunan dan pengembangan desa, khususnya pada sarana pendukung pertanian.

Bukan hanya di daerah Mandailing Natal saja budaya lubuk larangan ini ada. Di wilayah lain, seperti di beberapa DAS di daerah Deli Serdang, Sumatera Utara. Para petani, yang bernaung di bawah Forum Masyarakat Peduli Sungai (FMPS) juga menerapkan lubuk larangan untuk upaya konservasi lingkungan sungai dan biota yang ada di dalamnya dan disekitarnya. Hanya cara dan peraturan yang diterapkan berbeda-beda. Di Deli Serdang tersebut, selama masa larangan masyarakat masih tetap diperbolehkan menangkap ikan dengan alat tangkap sederhana dengan nuansa keraifan lokal, seperti memancing dan menjala/jaring ikan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, bukan dengan alat tangkap massal dan untuk komersial.

Lubuk larangan menjadi contoh kemampuan warga desa untuk meng-Kapitalisasi (membiakkan) modal sosial di antara mereka, antara lain berupa prinsip saling percaya, partisipatif dan transparansi. 

Iswan Kaputra (R&D – ICT BITRA Indonesia).


Sumber:
http://bitra.or.id/2012/2010/03/23/lubuk-larangan/

No comments:

Post a Comment